Terima Kasih , Anda telah mengunjungi blog saya.

Thank you so much to have you here.
It is about my novels, notes, comments of something, features, short stories and pictures.

Also my products, Furoshiki and Yukata (summer kimono).

Please leave your comments.... thank you
Enjoy it....



Kamis, 15 Juli 2010

Bunga Bakung Musim Kemarau

Novel ini kutulis dan kuhadiahkan untuk sepupuku tersayang Ai Syahruni. Pernikahannya menginspirasiku menuliskannya. Berharap dia selalu bahagia.


1. SAHABAT AYAH


“Hallo, hallo! Dian ya? Ini aku, Indra!” suara Indra terdengar panik dan cemas, ketika Dian mengangkat telpon pada pukul setengah enam pagi. Dian tadi terpaksa bergegas keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe dan tubuh masih penuh sabun mandi dan rambut basah busa shampo. Air menetes netes di tempat Dian berdiri, membasahi lantai. Tak ada yang mengangkat telpon yang berdering terus. Suaminya, Iwan entah dimana, mungkin sedang memanaskan mesin mobil, di garasi. Bik Atun mungkin masih berbelanja di tukang sayur yang mangkal di ujung jalan.
“Ya, Indra, ini aku Dian! Ada apa? Kok pagi-pagi sudah telpon?” sahut Dian cemas. “Indra! Ada apa?” desak Dian, karena tak mendengar suara jawaban Indra. Dian benar-benar khawatir sahabatnya Indra ada masalah. Iwan muncul dari pintu samping, tersenyum melihat Dian yang rambutnya penuh gelembung busa shampo.
“Dian, aku sedang di rumah sakit Fatmawati. Nadya malam tadi masuk rumah sakit, sekarang koma!” kata Indra, mengagetkan Dian.
“Apa? Sakit? Siang kemarin masih ngobrol di telpon sama aku!” kata Dian tak percaya.
Iwan yang akan masuk ke kamar mandi sejenak berhenti ketika mendengar suara Dian meninggi karena kaget. Tapi kemudian meneruskan masuk ke kamar mandi. Biasa, dua sahabat itu saling bercanda, pikir Iwan. Dia sudah tahu yang berani pagi-pagi telpon hanya Indra.
“Iya, mendadak sekali! Dian, tolong mampir ke rumahku, antarkan Alvin ke sekolah bisa nggak? Supirku lagi jemput Mama Nadya. Hari ini dia dan teman sekelas akan tour ke Monas sama Museum Gajah . Jangan kasih tahu dia ya!” kata Indra.
“Okay, soal Alvin beres! Nanti setelah antar Alvin aku ke rumah sakit. Sudah telpon Papa Mama, In?” jawab Dian menyanggupi permintaan Indra.
“Dian, terima kasih! Aku sudah telpon Papa subuh tadi. Mungkin sore baru bisa datang, belum dapat ticket pesawat” kata Indra.
“Okay In, nanti aku telpon Alvin supaya dia tunggu aku. Sekarang aku mau mandi dulu! Sabar ya In, Daag!” kata Dian mengakhiri pembicaraannya dengan Indra. Kemudian menelpon ke rumah Indra.
“Hallo, Mbak Yun, saya Bu Dian! Nanti Alvin saya yang antar ke sekolah. Sekarang dia sudah bangun?” kata Dian begitu telpon di rumah Indra diangkat dan di jawab oleh pembantu rumah Indra. Karena persahabatannya dengan Indra, maka Dian sudah dikenal oleh pembantunya.
“Sudah Bu, sedang makan” jawab Mbak Yun.
“Mbak, jangan sampai Alvin tahu Mamanya sakit ya!” pesan Dian, mengingatkan lagi. Sebenarnya Mbak Yun sudah mendapat pesan juga dari Indra.
“Okay, tunggu aja, ya” kata Dian mengakhiri pembicaraannya dengan pembantu Indra.
Dian menoleh ketika Iwan, suaminya keluar dari kamar mendatanginya sambil tersenyum-senyum. Iwan masih dalam kimono mandi dan rambut basah.
“Mas Iwan, Indra telpon, Nadya koma di rumah sakit Fatmawati. Aku berangkat duluan ya, Indra minta aku antar Alvin ke sekolahnya. Supirnya lagi jemput Mama Nadya” kata Dian.
“Sakit! Sakit apa? Kukira kalian tadi ngobrol biasa”kata Iwan, kaget.
“Kalau gitu berangkat sama-sama aja, kita antar Alvin lalu ke rumah sakit. Teruskan mandimu deh” kata Iwan.

Ketika Dian dan Iwan tiba di depan rumah Indra, Alvin sudah terlihat menunggu. Duduk di bangku teras bersama Mbak Yun. Iwan membunyikan klakson mobilnya membuat Alvin kaget dan melonjak senang. Mbak Yun segera membuka pagar dan membimbing Alvin masuk ke mobil.
“Selamat Pagi Bu Dian! Sebentar ya Bu, saya kunci rumah dulu” kata Mbak Yun. Dia akan menemani Alvin yang baru berusia belum genap empat tahun itu tour dengan teman TK dan gurunya. Tadinya Nadya yang akan menemani Alvin, sayang dia sakit.
“Hallo Alvin! Gantengnya anak Tante! Seragam baru ya!” sapa Dian.
“Tante Ade, Alvin mau ke Monas! Tante juga mau ikut ya?” kata Alvin begitu masuk ke mobil. “Ini baju baru, Mama beli di sekolah Alvin” kata Alvin menerangkan baju seragamnya yang masih terlihat baru. Iwan tertawa.
“Vin, Om Iwan boleh ikut nggak ke Monas?” tanya Iwan. Alvin menggeleng.
“Ayo kita berangkat!” kata Iwan, begitu Mbak Yun masuk mobil. Sambil menyetir Iwan masih mengajak Alvin ngobrol. Iwan sebenarnya sangat ingin memiliki anak. Sudah hampir lima tahun dia menikah dengan Dian, tapi mereka belum juga mendapatkan anak. Dian pernah keguguran ketika kehamilan masih tiga bulan. Itu terjadi sekitar tujuh bulan setelah mereka menikah. Mereka telah memeriksakan diri ke dokter, tidak ada masalah apa-apa. Jadi soal waktu saja, pikir Iwan. Tapi Dian dan Iwan tetap merasa nyaman dan bahagia dengan pernikahan mereka. Mereka sesekali pinjam Alvin untuk diajak jalan-jalan, atau mengajak keponakan Iwan, Tia, yang lucu dan cantik.
Dian mengantarkan Alvin ke kelasnya dan bertemu dengan guru Alvin, Bu Rina. Dia berbisik menceritakan kondisi Nadya sekarang dan meminta Bu Rina untuk menjaga Alvin. Dian juga meminta hal ini dirahasiakan agar Alvin tetap bisa bergembira, karena ini pertama kali Alvin bertamasya dengan teman TK nya tanpa Nadya atau Indra.
“Bu Rina, saya minta nomor telpon Ibu, agar kalau ada apa-apa saya bisa menghubungi Ibu. Nanti saya juga yang akan jemput Alvin” pinta Dian.
“Oh boleh!” kata Bu Rina kemudian menyebutkan nomor telepon genggamnya. Dian juga memberikan nomor telponnya.
“Maaf Bu Dian ini Tantenya Alvin ya? Maksud saya adik Mamanya Alvin?”tanya Bu Rina, karena baru pertama kali bertemu dengan Dian. Dian tersenyum menggeleng.
“Saya sebenarnya sahabat Papanya Alvin. Kami berkawan sejak masih bayi!” kata Dian. Senyum Bu Rina mengembang.
“Begitu ya! Ibu mirip sekali sama Bu Indra!” katanya. Dian tak menanggapi, kemudian berpamitan. Wanti-wanti berpesan pada Mbak Yun agar menjaga Alvin dan jangan membicarakan Nadya yang sedang sakit.
“Alvin, Tante mau ke kantor ya! Jangan nakal ya! Nanti pulangnya tunggu, Om Iwan atau Tante yang jemput” kata Dian. Kemudian dia memeluk dan mencium pipi Alvin, membetulkan letak topinya. Lalu kembali ke mobil, melaju ke arah rumah sakit Fatmawati. Sudah jam tujuh, jalanan mulai macet.
Hampir jam delapan Dian dan Iwan baru tiba di rumah sakit. Indra masih di ruang perawatan intensif. Dian melihat Indra berdiri dekat tiang untuk menggantungkan botol infuse. Nadya terbaring di tempat tidur dengan segala macam selang dan kabel yang tersambung ke mesin dan computer yang terletak di samping tempat tidur. Matanya terpejam, tanpa daya. Hidungnya dipasangi selang oksigen, Dian benar-benar shock!
Indra memeluk Dian, mengharapkan kekuatan dan dukungan semangat dari sahabatnya. Dian justru menangis, sedih melihat kondisi Nadya. Iwan juga memeluk Indra. Sebagai anak tunggal, kehadiran Dian sangat berarti bagi Indra, karena ayah dan Ibunya tinggal di luar kota. Mertuanya tinggal di Bekasi, pada jam sibuk begini, mungkin sekitar jam sepuluh baru bisa tiba di rumah sakit. Mereka juga sudah tua dan agak sakit-sakitan, makanya Indra mengirim supirnya agar mereka tidak perlu naik taxi. Kalau pagi, taxi agak sulit di dapat, terutama yang bisa dijamin kenyamanannya. Hanya Nadya yang tinggal di Jakarta. Kakak Nadya tinggal menyebar di beberapa kota besar. Di Samarinda, Batam, Ujung Pandang dan Los Angeles. Nadya bungsu.
“Bagaimana kondisi Nadya, In?” tanya Iwan.
“Dokter bilang apa?” tanya Dian, berbisik, memegangi tangan Nadya, berdiri diapit Indra dan Iwan. Tak ada reaksi dari Nadya meski Dian meremas telapak tangan Nadya.
Indra menarik tangan Dian dan memberi isyarat agar Iwan untuk mengikutinya. Di luar kamar perawatan, Indra mengajak Iwan dan Dian duduk pada sebuah sofa. Dia sendiri duduk dan menunduk lesu. Menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya. Dian berdiri,kemudian duduk di sebelah Indra, menepuk pundak Indra.
“Sudah kena batang otak. Pembuluh darah pecah. Sedikit sekali harapan untuk bisa bertahan” kata Indra, menahan tangis. Matanya merah ketika mengangkat kembali wajahnya. Menatap Dian yang termangu dan Iwan yang tak bisa mengucapkan apa-apa. Kaget dan tak percaya. Selama ini mereka tidak pernah melihat Nadya sakit atau mengeluh sakit. Tiba-tiba langsung koma seperti ini.
“Apa tindakan dokter selanjutnya In?” tanya Iwan.
“Menurut mereka tadi malam, semua sudah maksimal yang bisa dilakukan. Karena sudah kena batang otak, jadi mereka hanya bisa andalkan mesin dan minta kita banyak berdoa saja. Keluar negeri juga percuma, harus tunggu kondisi Nadya lebih baik baru bisa dibawa. Goncangan dalam perjalanan akan sangat berbahaya” kata Indra, terdengar pasrah.
“Sejak masuk sini belum pernah sadar?” tanya Dian. Indra mengangguk. Dian menunduk lesu, bersandar pada sofa. Kemudian teringat pada roti isi yang dibawanya dalam tas.
“Indra, ini makan roti dulu, belum sarapan kan?”kata Dian menyerahkan bungkusan roti. Dia tahu Indra belum sempat makan pagi, karena pasti dia tak akan mampu meninggalkan Nadya sendirian. Indra menerimanya, memandangi bungkusan roti tanpa selera.
“Sebentar! Aku cari kan kopi susu dulu!” kata Iwan, berdiri meninggalkan sofa menuju kantin rumah sakit. Tak lama Iwan datang dengan dengan kopi susu yang masih hangat, dalam gelas karton.
“Ayo sarapan dulu, jaga orang sakit jangan sampai sakit In” kata Dian. Indra patuh, menyantap roti dan kopi susunya, di tunggui Dian dan Iwan.
Hati Indra merasa lebih tenang karena Dian dan Iwan bersamanya. Indra selalu merasa, sesulit apapun, bersama Dian akan lebih nyaman. Dulu, ketika Alvin sakit demam berdarah, Dian dan Iwan turut bergadang menjaga Alvin. Nadya sangat berterima kasih karena Indra memiliki sahabat seperti Dian. Nadya sangat akrab dengan Dian. Mereka sering keluyuran di Mall bersama-sama. Berbagi cerita tentang urusan kantor masing-masing atau juga tentang suami mereka. Apalagi Iwan begitu pengertian, malah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Bahkan Indra sekeluarga pernah berlibur ke rumah orang tua Iwan di Kediri. Jika Iwan tugas ke luar kota atau ke luarnegeri, selalu juga meminta Indra untuk menjaga Dian, demikian juga sebaliknya. Iwan juga pernah menginap di rumah orang tua Indra di Banjar Baru ketika dia mendapat tugas ke Kalimantan. Begitulah ke akraban Dian dan Indra menular pada Iwan dan Nadya.

“Dian, aku ke kantor sebentar ya! Ada rapat jam sepuluh” kata Iwan. “Kau mau ke kantor dulu atau bolos saja?” tanya Iwan lagi. Dian ingat hari ini dia harus menanda tangani dua surat penting, agar programnya bisa segera dilaksanakan. Jam sebelas nanti Anneke, Account Executive, Links & Networks Indonesia, sebuah kantor konsultan Humas akan datang dan mendiskusikan tahap akhir perencanaan program kerjasama promosinya untuk client mereka. Dian harus ke kantor.
“Indra, aku ke kantor dulu ya. Nanti aku kesini lagi setelah jemput Alvin” kata Dian. Indra mengangguk. Tak kuasa menolak. Jika bisa, dia ingin Dian dan Iwan tidak pergi meninggalkannya. Bagi Indra, keduanya adalah orang yang paling dekat dengannya.
“Nggak apa-apa, kalian ke kantor saja!” kata Indra. Jadi Dian dan Iwan berpamitan.

Mertua Indra tiba di rumah sakit sekitar jam sepuluh. Mama Nadya meledak tangisnya melihat kondisi Nadya. Tak menyangka putrinya sakit begitu parah. Susah payah Indra menjelaskan kondisi Nadya, karena Mama Nadya begitu emosional. Tak percaya bahwa putrinya masih mengobrol di telepon tadi malam dengannya. Papa Nadya tak banyak bicara, selain berdoa dan memegangi tangan Nadya yang tak bereaksi apapun.
“Indra, mana Alvin?” tanya ibu mertuanya, setelah dirinya mulai tenang.

“Ibu, Alvin hari ini ada tour sekolah ke Monas dan Museum Gajah . Ini pertama kali Alvin pergi tanpa kami, jadi saya kasihan kalau di batalkan karena Nadya sakit. Tadi saya minta Dian yang antar dan jemput lagi nanti” kata Indra menjelaskan. Mertuanya mengenal Dian dengan baik dan sering bertemu.
Sementara itu hingga siang pukul satu lebih, kondisi Nadya tak ada perubahan. Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggui Nadya, berdoa dan mengharapkan Nadya bangun, sadar dari koma. Indra mendapat telpon dari ayahnya, memberitahukan pesawat yang ditumpanginya sudah mendarat di airport dan akan langsung naik taxi ke rumah sakit. Indra juga menerima telpon dari Dian.
“Indra, aku sekarang sedang menjemput Alvin, aku sudah telpon Bu Rina gurunya. Bawa dia pulang ke rumah atau ke rumah sakit, In?” tanya Dian, ragu. Indra berpikir cepat.
“Bawa kesini, biar ketemu Nadya. Mertuaku juga sudah disini” kata Indra. Bagaimanapun, Indra berharap ada kemungkinan kesadaran Nadya bisa pulih bila mendengar suara Alvin yang dicintainya.
“Okay, tunggu ya! Sabar ya In, jangan panik! Alvin aman bersamaku” kata Dian menenangkan Indra. Setelah memutuskan sambungan dengan Indra, Dian menghubungi suaminya, Iwan.
“Mas Iwan, aku sedang menuju ke Museum Gajah diantar Pak Heru, jemput Alvin. Indra minta Alvin dibawa ke rumah sakit aja. Kayanya makin nggak ada harapan!” kata Dian.
“Dian, aku sebentar lagi selesai rapat, langsung ke rumah sakit. Kita ketemu di sana ya. Sudah makan siang?” kata Iwan. Dia sendiri belum sempat makan siang.
“Sudah!” jawab Dian, berbohong. Mana aku mampu makan, tak selera. Sahabatku sedang susah, pikir Dian. Cuma tadi Dian sempat membeli susu kotak dingin, dan menghabiskannya sebagai ganti makan siang.

“Alvin! Alvin! Sini!” teriak Dian begitu melihat Alvin muncul di pelataran Museum Nasional yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah itu bersama teman-teman kecilnya. Alvin berlari mendekati Dian yang berdiri dekat pilar besar penyangga atap teras gedung tua itu.
“Tante Dian!” kata Alvin senang, berlari mendapati Dian langsung memegang tangan Dian. Dian sedikit berjongkok, menghapus peluh yang merambat turun dari kening Alvin. Tangan Alvin sudah berada di pundak Dian. Di belakang Alvin muncul Mbak Yun menenteng tas bekal Alvin. Kemudian akhirnya muncul Bu Rina dan beberapa guru pembimbing lainnya.
“Selamat Siang Bu Rina!” sapa Dian, kembali menegakkan tubuhnya, mengangguk hormat, juga kepada guru lainnya.
“Selamat Siang! Bagaimana keadaan Bu Indra?” tanya Bu Rina, ketika Alvin kembali bergabung dengan teman-temannya di awasi Mbak Yun. Guru-guru lainnya juga mendekat, rupanya sudah mengetahui tentang Nadya yang sakit dari Bu Rina.
“Harapan tipis Bu! Kami mohon bantuan doa Bu!” pinta Dian, sedih, ingat Nadya yang terbaring tadi pagi. Alvin yang kembali mendekati Dian, berdiri di sampingnya, menarik-narik tangan Dian, mengajaknya cepat-cepat pulang.
“Ayo Tante Dian, ke mobil Om Iwan!” rengek Alvin. Alvin memang sangat suka mobil Iwan, karena jenis Jeep, bukan sedan seperti punya Indra, ayahnya.
“Alvin, tunggu sebentar sayang! Kita naik mobil Tante, itu lihat Pak Heru. Om Iwan nggak bisa jemput, sedang di kantor” kata Dian. Alvin menjadi lebih tenang.
“ Maaf Ibu-Ibu, kami pamit dulu” kata Dian.
“Ayo Alvin, salam sama Ibu guru, pamitan dulu!” kata Dian menyuruh Alvin bersalaman dengan guru-gurunya. Dengan patuh Alvin menyalami gurunya. Juga melambaikan tangan dari dalam mobil ketika mereka lebih dulu meninggalkan halaman Museum.
“Alvin sudah makan siang Mbak?” tanya Dian, khawatir Alvin lapar, karena sudah hampir jam dua siang, sudah lewat waktu makan. Mbak Yun yang duduk di samping supir, Pak Heru, menoleh pada Dian.
“Sudah Bu, disediakan bekal dari sekolah. Saya juga bawa, takut Mas Alvin nggak suka makanannya” jawab Mbak Yun.
“Kamu sendiri sudah makan Mbak?” tanya Dian, sambil meraih pundak Alvin menyuruhnya berbaring. Membuka topi Alvin, juga sepatunya.
“Sudah Bu” jawab Mbak Yun.
“Alvin, kita mau ketemu Mama, tempatnya jauh! Jadi Alvin tidur dulu ya, kan capek” bujuk Dian. Alvin menurut, merebahkan tubuh kecilnya, memeluk boneka beruang yang memang selalu ada di mobil Dian, sambil meletakkan kepalanya di pangkuan Dian. Dian mengelus-elus kepala Alvin hingga anak itu terlelap. Kasihan sekali anak ini! Dia capek, asyik bermain dengan temannya, pikir Dian. Tak menyadari ibunya sedang meregang nyawa! Tuhan berilah kesempatan Nadya mengasuh anaknya hingga Alvin mandiri. Jangan ambil dia Tuhan! Dian berdoa sepanjang perjalanan.
Jalanan sangat macet. Dua kali Dian mengirim SMS pada Indra, memberi tahu dia sudah bersama Alvin sedang menuju rumh sakit. Tanpa jawaban dari Indra. Dian curiga Nadya kritis, dia mencoba menahan diri agar tidak panik. Menahan diri untuk tidak menelpon Indra. Dian khawatir Alvin terbangun dari tidurnya jika mendengar suaranya berbicara di telepon.
Jam tiga lebih baru Dian tiba di rumah sakit. Pak Heru, supirnya berjuang menembus kemacetan lalu lintas dengan mencari jalan alternatif. Dari utara menuju ke selatan Jakarta, pada jam sibuk kantor memang memerlukan waktu lama dan sabar. Mereka sudah di lapangan parkir rumah sakit. Pelan-pelan Dian membangunkan Alvin yang tertidur pulas. Dipasangkannya sepatu Alvin, Mbak Yun menyerahkan saputangan handuk, kemudian Dian membasahinya dengan air mineral yang tersedia di mobilnya, melap wajah Alvin agar lebih segar. Menyisiri rambutnya dan merapikan pakaiannya. Degup jantung Dian makin kencang. Perlahan, Dian menuntun Alvin menuju tempat perawatan Nadya.
“Alvin, dengar ya Tante Dian mau kasih tahu. Mama sedang sakit, jadi nanti Alvin kalau lihat Mama jangan takut ya. Mama belum boleh ngomong, jadi kalau Alvin ajak ngomong Mama diam aja. Alvin boleh peluk dan cium Mama, Alvin nggak nangis ya” kata Dian mencoba mempersiapkan mental Alvin. Dian khawatir Alvin akan berontak dan rewel. Dian mencoba menelpon Indra.
“Hallo Indra, aku bisa bawa Alvin masuk nggak sekarang, sudah sampai nih” kata Dian.
“Bisa, tunggu ya aku jemput!” jawab Indra yang sedang berdiri di samping tempat tidur Nadya, lalu berjalan keluar ruangan kemudian memutuskan sambungan telepon. Dian merasa lemas dan gemetar, sangat khawatir. Indra muncul dengan segera di ujung gang yang menghubungkan ruang rawat dengan koridor utama. Wajahnya kuyu dan letih. Dia terlihat tua, kasihan dia ,pikir Dian.
“Papa!” teriak Alvin, berlari menyongsong Indra. Indra mengembangkan tangannya memeluk Alvin, mencoba tertawa gembira. Dian berjalan bersama Mbak Yun mengikuti Indra yang menggendong Alvin.

Pertemuan Alvin dengan Ibunya sangat mengharukan. Alvin dengan wajah riang masuk ke kamar perawatan Nadya. Kelihatannya Alvin berharap Nadya sedang duduk menunggunya. Alvin mungkin berharap Mamanya akan memeluknya, seperti biasa ketika dia pulang dari sekolah atau kalau Nadya pulang dari kantor. Alvin masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu pada peralatan yang asing baginya.
Ketika Indra menunjukkan pada Alvin, Nadya yang terbaring, Alvin berdiri tegak, tak berani menyentuh ibunya. Bagi anak sekecil Alvin, pemandangan ini sungguh asing. Wajah Nadya sebagian tertutup oleh masker dan selang oksigen. Alvin tentu mengharapkan senyum ibunya! Yang Alvin lihat adalah bibir Nadya yang tertarik ke samping karena selang terpasang di mulutnya! Alvin berbalik, memeluk Dian yang kebetulan berdiri di sebelah Indra. Dian berjongkok sambil memeluk Alvin hingga dia menjadi lebih tenang, membujuknya. Dian merasakan degup jantung Alvin di dadanya. Tak ada kata yang keluar dari mulut Alvin. Tangisan dan wajah kalut saja yang terlihat padanya. Indra juga berjongkok, mengusap usap kepala Alvin.
Dengan ditemani Dian, Alvin akhirnya mau menyentuh lengan Nadya. Kemudian Dian menyuruh Alvin bicara pada ibunya yang berbaring diam.
“Alvin, ayo bilang Mama agak keras ya! Mama, ini Alvin datang! Mama cepat sembuh ya!” kata Dian, mengangkat tubuh Alvin ke dekat Nadya. Alvin dengan patuh mengikuti ucapan Dian. Nadya tak menunjukkan reaksi apa-apa, tidak juga pada layar monitor yang memantau kondisinya. ”Tuhan, berikan keajaiban, pinta Dian dalam hati. Kasihanilah Alvin, tolong Nadya” doa Dian dalam hati.
“Sekarang Alvin cium pipi Mama ya! Bilang yang keras, Alvin sayang sama Mama!” kata Dian lagi. Alvin lagi-lagi dengan patuh mengikuti perintah Dian. Indra menitikkan airmata ketika melihat Alvin mencium Nadya dan mendengar suara lantang Alvin meniru ucapan Dian. Kedua mertuanya berdiri tanpa kata memperhatikan cucu mereka.
Dian sendiri begitu tabah, menyelesaikan keinginannya agar Nadya mendapatkan ciuman dari Alvin. Mungkin ciuman terakhir selagi napasnya masih ada, pikir Dian. Kemudian menurunkan Alvin, meminta Alvin untuk keluar kamar bersama Mbak Yun.
Setelah Alvin keluar dari ruang perawatan, justru Dian yang tak dapat menahan diri. Menangisi dan menciumi tangan Nadya.
“Nadya! Nadya bangun! Alvin sudah datang! Nadya kita janji pergi jalan-jalan Sabtu besok! Nadya!” ratap Dian memilukan. Tubuh Nadya sedikit berguncang, tapi kesadaran Nadya tak akan lagi pulih selamanya. Tangis yang telah Dian tahan sejak pagi tadi, saat pertama kali melihat Nadya. Kedua orang tua Nadya sangat terharu melihat ulah Dian. Mereka memang tahu Dian dan putri mereka sangat akrab. Indra datang mendekati, memeluk Dian yang makin menangis dipelukkan Indra. Indra juga menangis, berbagi beban.
Sejam kemudian, kondisi Nadya makin memburuk. Iwan sudah berada di rumah sakit, juga ayah dan Ibu Indra sudah tiba ketika Nadya akhirnya meninggal. Iwan menenangkan ibu Nadya bersama ayahnya. Sementara ayah dan ibu Indra duduk diam di kursi tanpa bicara. Indra duduk di samping jenazah Nadya, memandangi isterinya. Tanpa tangisan lagi. Wajahnya sedih, duka. Indra ingat ucapan terakhir Nadya sebelum dia pingsan. Waktu itu Indra sedang duduk membaca majalah sedangkan Nadya sedang membuka bungkusan seragam sekolah Alvin yang baru dibelinya untuk dipakai besok tour sekolah. Memasangkannya ke sebuah gantungan baju dari plastic.
“Indra, kalau aku nggak bisa jaga Alvin besok, Dian katanya sih mau gantikan aku. Enak juga ya, aku tenang punya teman kaya Dian! Apalagi Alvin juga nurut sama Dian” katanya.
“Lho, memang kenapa nggak bisa Nad?” tanya Indra, karena dia tahu sejak awal Nadya akan menemani Alvin ikut tour itu. Nadya hanya tertawa saja, tak menjawabnya.
“In, aku tidur duluan ya! Sudah capek nih” kata Nadya, lalu mendekatinya sambil menunduk, mencium pipi Indra yang duduk di sofa. Entah merasakan begitu capek atau apa, Nadya kemudian limbung. Sebelum sempat jatuh ke lantai Indra dapat meraih bahu Nadya. Nadya pingsan. Hingga saat maut menjemputnya, Nadya tak pernah sadar kembali.
Dian berdiri di sisi Indra, memegangi pundak Indra, juga tanpa bicara. Ada seribu kata yang ingin Dian ucapkan untuk menghibur Indra. Tak satupun yang berhasil terucapkan. Dian sendiri begitu sedih kehilangan Nadya, sahabatnya. Alvin di luar ruang belum mengetahui ibunya telah pergi meninggalkannya, selama lamanya. Hampir setengah jam baru Indra bicara, itupun karena Iwan mengingatkan apa rencana Indra.
“Indra, ayo kita bicarakan rencana pemakaman Nadya” ajak Iwan. Indra mengangguk, lesu.
“Kita bawa pulang ke rumah kami atau bagaimana Pa?” tanya Indra pada mertuanya.
“Ke rumah kalian saja, nggak apa-apa!” kata ayah Nadya. “Yang penting sekarang bawa Alvin pulang ke rumah, persiapkan rumah dan lapor RT” katanya melanjutkan.
“Mas Iwan dan Indra mengurus kepulangan jenazah. Saya bawa Alvin pulang ke rumah. Papa Irawan sama Mama pulang duluan juga. Tante Fikri kalau bisa pulang sama saya supaya kita bisa telpon keluarga! Bagaimana?” kata Dian.
“Begitu boleh! Saya tunggu Nadya disini” kata Pak Fikri, ayah Nadya.
“Okay , kalau gitu Papa Irawan, Mama sama Tante Fikri naik mobil saya, ada supir. Saya bawa mobil Mas Iwan. Mas Iwan nanti pakai mobil Indra. Indra sama Om Fikri pakai ambulance dampingi Nadya” kata Dian mengatur pemberangkatan.
“Dian, kamu jangan nyetir, lagi kondisi kaya gini! Nanti malah bahaya!” kata Indra khawatir.
“Mobilku pakai aja, ada supir. Iwan biar sama aku. Nanti Papa aja yang di ambulance” kata Indra. Iwan juga mengangguk setuju. Dia juga khawatir pada Dian.
“Okay, pulang lah, Dian, titip Alvin ya!”kata Indra menatap Dian.
“Tenang In, aku yang jaga!” kata Dian, mulai lagi mengalir air matanya. Dian sedang berpikir bagaimana jika Alvin tak ingin pulang?
Dian keluar ruangan, menemui Alvin yang sedang menonton televisi bersama Mbak Yun, di ruang tunggu. Indra mengantar, berjalan di belakang Dian , bersama Iwan, sekalian akan ke bagian Administrasi.
“Alvin, sini!” panggil Dian. Alvin mendekat, Dian memegangi tangan Alvin.
“Alvin, kita pulang ya! Mama juga mau pulang, tapi nanti sama Papa dan Om Iwan” kata Dian.
“Nggak mau, disini sama Mama aja” kata Alvin menolak.


“Vin, tadi kan pergi ke Monas, ke Museum, Alvin kan belum sempat cerita sama Mama. Karena Mama sakit, nggak bisa dengar Alvin cerita, lebih baik Alvin pulang, terus semua yang Alvin lihat hari ini digambar aja, jadi nggak lupa! Bagaimana?” bujuk Dian. Mata Alvin menatap Dian, terlihat ceria, mendapat ide untuk mengerjakan sesuatu yang disukainya. Aku suka menggambar, pikir Alvin.
“Iya deh! Tapi buku gambar Alvin habis Tante!” kata Alvin.
“Tenang! Nanti Tante Dian belikan yang baru! Yuk kita pulang” kata Dian, memegangi tangan Alvin, menariknya pelan dari kursi.
Saat Dian membujuk Alvin, kedua orang tua Indra, ibu Nadya, Iwan dan Indra memperhatikan dialog keduanya. Alvin akan nyaman bersama Dian. Ayah Indra teringat masa kecil Dian, tak menyangka, gadis kecil yang begitu lincah ini telah menjadi wanita dewasa. Masih tetap jadi sahabat Indra. Sama seperti persahabatanku dengan Hidayat, kenang Pak Irawan. Dian sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Karena itu mereka meminta Dian memanggil mereka Papa dan Mama juga, sama seperti Indra, putra tunggalnya.

Pemakaman Nadya esok harinya berjalan lancar. Indra sangat tabah sehingga dapat melalui semua upacara dengan baik. Alvin tetap selalu bersama Dian, meski nenek dan kakeknya ada di dekatnya. juga para tante Alvin, kakak-kakak Nadya. Alvin malah kelihatan ketakutan kalau Dian berada jauh darinya. Dian yang memilihkan baju Alvin untuk ke pemakaman, setelan baju muslim berwarna biru muda dengan topi kecil berwarna putih. Itu hadiah Lebaran dari Dian dan Iwan. Dian membimbing Alvin menaburi makam Nadya dengan bunga, mengajaknya duduk dan membimbing Alvin membaca doa dan surah Al-Fatihah untuk Nadya. Hari itu Alvin hanya mau bersama Dian.

Kemarin malam, Dian dan Indra serta Iwan berusaha menjelaskan apa artinya kematian pada Alvin. Yang akhirnya di fahami Alvin adalah, Mamanya akan tidur terus. Sudah tidak bisa bermain dan mengantarnya ke sekolah. Tidak akan mengajak berenang dan menemaninya tidur atau baca buku dongeng lagi. Mama juga akan pergi jauh sekali untuk bertemu Tuhan. Nanti lama sekali baru Alvin bisa bertemu Mama. Jadi Alvin harus menurut kata Papa, Tante Dian dan Om Iwan.
Tangan Tante Dian seperti tangan Mama, jadi harus dipegang terus! pikir Alvin. Mama juga punya gelang yang sama dengan Tante Dian. Aku harus pegang terus tangan Tante Dian, tekad Alvin lagi. Kalau tidak, nanti Tante Dian bisa diajak Mama pergi. Mama kan paling sering pergi jalan-jalan berdua dengan Tante Dian! Kalau Tante Dian juga pergi, Alvin cuma sama Mbak Yun! Nggak enak, Mbak Yun nggak bisa setir mobil, jadi nggak bisa jalan-jalan ke Mall! Itu sebabnya Alvin selalu memegangi tangan Dian! Demikian pikiran bocahnya menghadapi kematian ibunya. Alvin menerima Mama nya pergi di panggil Tuhan.
Masih ada Tante Dian, sahabat Papa! Sahabat ayahku.


2. SEPEDA RODA TIGA


Indra dan Dian berteman sejak mereka sangat kecil. Mereka teman bermain, teman sekolah dan hingga kini sampai mereka masing-masing telah berumah tangga. Almarhum ayah Dian, Pak Hidayat adalah rekan bisnis dan sahabat Pak Irawan, ayah Indra. Jadi sejak kecil mereka sudah saling kenal. Bahkan menurut ayah Dian, mereka berdua di lahirkan di rumah sakit yang sama dan di tolong oleh dokter yang sama, Dokter Wiyono. Tahun kelahirannya saja yang berbeda. Dian lebih muda dua tahun dari Indra. Indra anak tunggal, sementara Dian kemudian masih punya dua adik lagi. Donny dan Dewi.
Meski rumah mereka tidak berdekatan, tapi mereka bersekolah di tempat yang sama. Juga ikut kegiatan yang sama, les bahasa Inggeris dan Jerman. Ikut kegiatan basket di sekolah dan membentuk band. Dian jadi vokalis sementara Indra memainkan gitar. Indra dan Dian melalui masa kecil hingga remaja bersama sama. Dian bagai adik bagi Indra. Dian selalu manja pada Indra, dan Indra selalu bersikap melindungi Dian.
Indra lah yang mengajari Dian naik sepeda roda tiga. Indra juga yang memaksa Dian belajar main catur, karena dia tak punya lawan bermain catur kalau ayahnya tidak di rumah. Tapi Dian juga yang memaksa Indra belajar main gitar karena Dian yang suaranya tergolong bagus ingin menyanyi diiringi petikan gitar Indra.
Dian juga yang memaksa Indra membaca majalah Gadis langganannya, meski Indra menolak habis-habisan karena menganggap itu bacaan untuk para gadis saja. Dian berhasil memaksa Indra untuk saling bertukar sebelah tali sepatu olah raga mereka. Tali sepatu olah raga mereka jadi unik. Tali sepatu Dian yang berwarna merah muda dipakai satu pada sepatu Indra yang sebelah kanan. Sedang tali sepatu Indra yang berwarna biru juga dipakai satu pada sepatu Dian di sebelah kanan. Kompak dan rada ngawur.
Teman-teman mereka berdua selalu menjuluki mereka ’Kembar Nggak Mirip” ada juga teman-teman yang menyebut mereka “Bagai Pinang dibelah kereta api” pelesetan pepatah lama, “Bagai pinang dibelah dua” untuk menunjukkan sesuatu yang sama persis. Indra dan Dian tak peduli, mereka selalu bersama, bermain, bertengkar kemudian berbaikan lagi.
Wajah mereka memang tidak mirip sama sekali. Dian termasuk gadis yang cantik, selalu memotong rambutnya jadi pendek. Kulitnya putih bersih, Gayanya lincah dan mudah bergaul. Prestasi di sekolah Dian biasa saja, yang menonjol soal bahasa Inggeris dan Jerman saja. Sedang Indra berkulit tak terlalu putih, agak sawo matang, meski sama aktifnya seperti Dian, tapi tak terlalu banyak omong. Dia hanya ramai bicara jika dengan Dian. Tapi Indra sangat di sukai gadis-gadis, karena dia ganteng, tinggi, juga termasuk pandai di sekolah.
Pada Dian lah Indra menceritakan gadis yang dia sukai dan ingin dipacarinya. Kalau Dian mengatakan gadis itu ok, maka Indra bersemangat mendekati gadis itu. Kalau Dian mengolok-olok gadis yang ditaksir Indra, maka entah bagaimana akhirnya Indra tak jadi mendekati gadis itu. Pernah suatu kali Indra naksir berat pada Lian, teman sekelas Dewi, adik Dian. Dian sibuk cari informasi tentang Lian. Kemudian dengan enteng lapor pada Indra.
“Indra, itu Lian kan di kelasnya murid peringkat tiga puluh delapan! Sekelas kan cuma empat puluh satu orang!” kata Dian tertawa-tawa mengejek Indra.
“Kalau nyanyi suaranya jelek banget! Lagipula kata Dewi, dia suka tertidur di kelas. Ilernya itu lho!” lanjut Dian masih tertawa tawa. Indra sebal sekali sama Dian! Tapi mau apa, data Dian akurat sih!
“Memang kamu sendiri peringkat berapa?” balas Indra galak. Dian hanya memperkeras suara tawanya ketika melihat Indra sewot gadis incarannya dikatai Dian. Indra makin sebal!
“Aku? Belum tahu ya! Enam belas dari empat puluh! Lebih pintar dong! Murid tersayang Bu Syanni. Murid idola Pak Rustam!” kata Dian pamer. Bu Syanni adalah guru bahasa Inggeris di sekolah mereka. Sedang Pak Rustam adalah guru bahasa Jerman di sekolah mereka. Daripada jadi bahan ejekan Dian, Indra akhirnya tak jadi mendekati Lian.
Demikian juga Dian, selalu minta pendapat Indra kalau lagi naksir cowok. Mereka berbagi rahasia bersama. Dian lebih banyak gagal didekati teman prianya, karena Indra sangat sigap. Setiap dia tahu ada yang ingin mendekati Dian, Indra selalu kasih informasi macam-macam pada Dian. Terkadang dia mengarang sendiri, tentu saja hal-hal yang jelek tentang cowok yang lagi naksir Dian. Itu rahasia yang tak pernah dia bagi bersama Dian.
Hanya dua orang yang benar-benar pernah berpacaran dengan Dian. Pertama kali Dian pacaran dengan Anto, teman sekelas Indra di SMA. Hanya bertahan dua bulan! Anto cemburu melihat Dian lebih akrab dengan Indra dari pada dengannya. Kalau Anto datang ke rumah Dian, Indra selalu ada di sana. Sedang belajar bersama lah alasannya, padahal malam Minggu dan tak masuk akal karena Indra bukan sekelas dengan Dian. Atau Indra mengaku lagi numpang nonton video musik lah. Padahal Anto pernah ke rumah Indra, di kamarnya saja ada satu set video player, belum lagi di ruang keluarga juga ada. Kok bisa bisanya numpang nonton di rumah Dian!
Satu lagi, Dian pernah berpacaran dengan Franz, siswa SMA lain. Jago basket, keren, sulit untuk disingkirkan Indra! Semua gadis-gadis menyukai Franz, termasuk Dian. Agak bertahan lama, sekitar enam bulan. Indra sebagai pemimpin bandnya cari akal, membuat jadwal latihan lebih sering, meski Dian selalu protes. Indra tak peduli! Latihan nyanyi tiap hari, setelah pulang sekolah atau setelah les bahasa atau setelah latihan basket. Waktu Dian untuk bisa bersama-sama Franz sangat sedikit! Dian dan Franz frustasi, lalu dengan mudah karena ditambah sebab lain mereka putus.
Selain kompak, Indra dan Dian juga sering bertengkar. Biasanya karena Indra yang terlambat menjemput Dian untuk berlatih band. Atau karena Dian asyik main dengan teman-temannya, lupa kalau Indra sedang menunggu di rumahnya, padahal janjian untuk nonton video film musik. Mereka biasanya segera berbaikan lagi, karena nantinya akan mengadu kepada ibu masing-masing. Lalu Pak Hidayat dan Pak Irawan biasanya turut campur. Mereka kompak lagi. Main band lagi, main basket lagi. Keliling kota naik motor sama-sama lagi atau makan ke kantinnya Bang Amat, langganan mereka dekat lapangan basket atau beli es krim di sebuah toko kue.
Hanya satu kali Indra marah, ketika Dian menceritakan Franz, pacarnya sudah menciumnya. Ciuman pertama bagi Dian, di malam tahun baru, saat itu Dian sudah kelas satu SMA. Dua minggu Indra tak mau bertemu dengan Dian, itu pertama kali mereka bertengkar hebat.
“Dian, nggak boleh! Kamu masih kecil!”kata Indra waktu itu, sengit. Dian merajuk, tadinya berharap Indra gembira mendengar dia semakin akrab dengan Franz.
“Masih kecil? Gila apa! Aku kan sudah kelas satu SMA! Kuno amat!” kata Dian protes. Indra tak peduli, tetap ngotot ciuman itu buat orang dewasa. Dian masih kecil. Dian ngambek, sakit hati dikatai masih kecil. Kemudian buru buru pulang ke rumah tanpa mau diantar Indra. Pertengkaran soal itu yang paling lama, baru bisa berbaikan kembali. Kali itu orang tua mereka tidak ikut campur, mereka tidak tahu. Dua-duanya sama-sama tak berani lapor.
Selama dua minggu bertengkar itu, Dian tak pernah pergi ke kantin Bang Amat supaya tak bertemu Indra. Berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, supaya tidak bertemu Indra yang biasanya menjemputnya. Berdiam diri di kelas meski jam istirahat dan pulang cepat-cepat begitu bell berbunyi. Langsung pulang ke rumah agar dapat menghindari Indra. Dua minggu Dian tak ikut latihan basket dan band. Kalau les bahasa, Dian juga berusaha menghindari Indra. Padahal sebenarnya Dian sangat rindu pada Indra. Dian selalu gelisah, karena sudah biasa selalu bersama Indra. Dua minggu itulah Franz benar-benar bisa bersama Dian tanpa kekhadiran Indra. Tapi ternyata Dian merasa kehilangan Indra. Tanpa Indra tidak ada yang mendengarkan segala keluh kesahnya.
Waktu itu, ketika Indra tiba di rumah Dian seperti biasa untuk berangkat sekolah bersama, Indra hanya terdiam ketika mengetahui Dian tak menunggunya menjemput. Dia sudah berangkat sekolah duluan. Indra kecewa sekali dan menyadari Dian benar-benar marah padanya. Biasanya, meski mereka bertengkar, Dian akan tetap menunggunya. Indra juga melihat Dian mengurung diri di kelas. Ketika Indra menjemputnya untuk latihan basket sore hari, Dian ternyata sedang pergi dengan Franz. Ketika besoknya dijemput untuk latihan band, Dian juga pergi dengan Franz. Indra benar-benar kecewa, merasa kehilangan Dian. Indra mencoba menelpon Dian, tapi Dian bicara sangat singkat dan selalu bilang lagi ngantuk, jadi malas ngobrol.
Untungnya, di minggu kedua itu ulang tahun ibu Indra. Pak Irawan mengundang keluarga Hidayat untuk makan malam di rumah mereka. Dian tak bisa menghindar, harus datang. Bu Irawan sudah seperti ibunya sendiri, bahkan karena sangat menyukai Dian, Bu Irawan meminta Pak Hidayat menamai putri pertama mereka itu mirip dengan namanya, Diana.
Ketika berbaikan lagi dengan Dian, Indra memaksa Dian agar berjanji tidak lagi berciuman dengan Franz. Sebulan kemudian Indra memberitahu Dian bahwa dia sudah putus dengan pacarnya Rini.
“Kenapa putus sama Rini, In?”tanya Dian waktu itu. Indra hanya tersenyum, tidak mau menjawab. Mengambil gitarnya, menyuruh Dian latihan nyanyi saja. Berpuluh kali Dian mendesak Indra menjelaskan alasan dia memutuskan hubungannya dengan Rini, Indra tetap tak menjawab.
Dian berpisah dengan Franz ketika Franz tertarik pada Wanda. Dian sedih dan menangis ketika melihat Franz dan Wanda sedang berpacaran di mobil, di depan kantin Bang Amat. Waktu itu Dian bersama teman-temannya Ilma, Yuli dan Sinta kehausan setelah latihan basket. Sebenarnya Dian tahu, Franz sering kecewa karena Dian hampir selalu tak bisa diajak keluar bersamanya. Apalagi Dian sudah berbaikan lagi dengan Indra. Franz tak percaya kalau Dian mengatakan Indra itu adalah sahabatnya semata.
Dian langsung pergi meninggalkan teman-temannya, mencari Indra di rumahnya. Kebetulan waktu itu Indra tak ikut latihan basket, karena sedang mengerjakan tugas kelompok dengan teman sekelasnya. Dian duduk di ruang keluarga menunggu hingga teman-teman Indra pulang semua. Dian menceritakan pada Indra ulah Franz sambil menangis. Ibu Irawan sampai mengira mereka berdua sedang bertengkar. Indra terpaksa menceritakan pada ibunya masalah Dian. Akhirnya Bu Irawan turut menghibur Dian. Mengajak Dian tiduran di kamarnya, sambil ngobrol, hingga Dian tidak terlalu sedih lagi.

Dulu, ayah Indra, Pak Irawan sering menjemput Indra pulang sekolah. Selalu dia juga menjemput Dian dan mengantarkannya ke rumah Dian. Atau menelpon ke rumah Dian karena Dian dia bawa pulang ke rumahnya. Sore hari baru diantarkan kembali. Pak Irawan sangat suka dengan Dian, karena dia tak memiliki anak perempuan, demikian juga isterinya. Bahkan saking senangnya, dia pernah mengucapkan keinginannya agar suatu saat nanti, kalau sudah dewasa Indra dan Dian jadi suami isteri saja. Temannya, Pak Hidayat hanya tertawa, tapi juga merasa tidak keberatan. Demikian juga isteri mereka.
“Asal jangan dipaksakan, terserah anak-anak saja” kata Pak Hidayat.
Pak Irawan lah yang pertama memberi hadiah sepeda kecil untuk Dian. Sepeda roda tiga berwarna kuning dan biru dengan sebuah keranjang kecil berwarna putih di depan setangnya. Roda-rodanya berwarna merah. Sepeda hadiah itu diantarkan sore hari oleh Pak Irawan bersama Indra dan Ibunya. Dian sangat senang mendapatkan sepeda itu, dan tanpa malu malu memeluk Pak Irawan dan Isterinya. Indra dengan semangat memberi contoh cara menaiki sepeda itu pada adik kecilnya, Dian. Mereka berdua memiliki koleksi album foto foto ketika mereka kecil, hingga remaja, termasuk ketika berdiri dekat sepeda roda tiga itu.

Mereka berpisah, ketika Indra meneruskan sekolah di Fakultas Tehnik di Surabaya. Indra tinggal di rumah adik ibunya, Tante Yani. Setiap libur semester, pulang ke Banjar Baru, kembali berkumpul dengan Dian. Band mereka telah bubar, karena semuanya memang teman-teman sekelas Indra. Jadi begitu lulus SMA, masing masing meneruskan sekolah ke pulau Jawa. Pemain bas, Kikin, ke Jakarta kuliah di Fakultas Ekonomi. Rendy, pemain drum ke Malang, kuliah di Fakultas Tehnik sama-sama dengan Adit, keyboardist. Yang masih tinggal cuma Dian, sang vokalis yang tak punya band pengiring! Karir menyanyipun selesai, kecuali Indra dan teman-temannya pulang liburan.

Jadi kalau liburan semester Indra hanya main gitar mengiringi Dian menyanyi. Main basket dengan kawan-kawan Dian. Keluyuran sore-sore, cari makanan enak atau sewa film video nonton bersama di rumah. Film drama, action, musik atau basket. Kadang menghabiskan waktu dengan ikut ke rumah Om Dana, adik lelaki ibu Dian yang memiliki empang pemeliharaan ikan nila. Menangkap ikan atau memancingnya, kemudian makan ikan bakar dengan sambal yang dibuat isteri Om Dana, Tante Mia. Seharian di sana bersama Dian. Atau mengantar dan menjemput Dian ke sekolah.
Dian kemudian setelah lulus SMA melanjutkan kuliah di Jakarta. Hubungan persahabatan Dian dan Indra terus berjalan. Tetap janjian untuk pulang liburan bersama. Setiap pulang liburan, mereka selalu cerita tentang cowok atau cewek yang mereka taksir. Saling menunjukkan foto pacar mereka. Bersaing memamerkan kelebihan pacar masing masing. Terkadang pamer merayu pacar lewat telpon interlokal.
Kedua orang tua mereka terkadang geleng geleng kepala, bingung hubungan anak mereka seperti itu. Saling menyayangi, tidak berpacaran tapi suka cemburu, terutama Indra. Dian agaknya tidak terlalu peduli. Indra terkadang kelihatan tak suka, bahkan sewot kalau Dian terlalu banyak cerita soal pacarnya di Jakarta. Tapi dia juga tak menunjukkan rasa cinta, selain cuma sayang seorang sahabat saja atau seorang kakak.
Sedangkan Dian tidak peduli berapa banyak foto atau pacar yang diakui Indra. Selalu kasih komentar lucu, sinis atau cuma tertawa saja. Suatu kali Indra, menunjukkan foto Ayu. Gadis manis dengan potongan rambut pendek di foto yang dipamerkan Indra itu memang langsing.
“Indra, itu Ayu, anak siapa?” tanya Dian. Indra bingung mendapat pertanyaan seperti itu. Mau apa dia, tanya orang tua Ayu segala, pikir Indra.
“Kok tanya bapaknya?” sahut Indra. Dian tersenyum nakal.
“Oh…. Itu… kaya kurang gizi, kurus amat kaya tiang listrik! Bapaknya kasih makan nggak ya?” kata Dian tertawa. Indra hanya dapat pasang muka asam. Tapi Indra sudah termakan ucapan Dian, Ayu dalam pikirannya jadi terlihat sangat kurus. Melintas di benak Indra, Ayu berada diantara para penduduk Ethiopia yang sedang kelaparan. Ayah dan Ibu Indra yang mendengar ucapan Dian cuma tersenyum-senyum.
Ketika liburan semester berikutnya, Indra memperlihatkan foto si cantik Irma yang terlihat montok masih juga dapat komentar lucu dari Dian. Waktu itu mereka sedang menonton televisi bersama kedua orang tua Indra.
“Indra, ini pacar barumu ya? Namanya Irma ya? Montok ya, kaya sapi Australia!” kata Dian memandangi foto Irma ’full body’ yang bergaya dengan jeans ketat. Saat itu di televisi sedang ditayangkan iklan susu bubuk merk terkenal yang menampilkan sapi sangat montok. Tanpa sadar imajinasi Indra melihat kepala sapi berubah menjadi wajah Irma! Waduh! Mama Indra yang mendengar komentar Dian yang lucu, sampai sakit perut tertawa. Indra kesal setengah mati, tapi tak bisa membalas. Dian pamer senyum kemenangan. Indra makin kesal karena Papanya sendiri ikut ikutan tertawa. Indra jadi terkenang Irma, kalau mereka pergi kencan, pasti mereka ke restoran masakan Cina. Irma memang doyan makan, pikir Indra. Huuh! Dian, jelek lo! umpat Indra dalam hati. Tak benar-benar marah. Mana bisa aku marah! keluh Indra.

Kali ini lain lagi komentar Dian. “Indra, kok pacar lo yang ini kelihatannya jelek ya!” kata Dian, suatu ketika Dian pulang liburan semester, sementara Indra baru saja Wisuda sarjana. Dian, Indra serta ayah ibu Indra sedang duduk di teras setelah makan malam bersama. Indra memamerkan foto ukuran postcard Luna yang manis pada Dian yang duduk di sebelahnya.
Sebetulnya Luna malah cantik, khas gadis Indo, hidung mancung, kulit putih dengan mata besar. Tapi komentar Dian membuat wajah Luna dalam tiga detik terlihat jadi jelek dalam pandangan Indra. Selalu pendapat Dian bikin Indra terpengaruh. Karena tahu kelemahan Indra, Dian makin mengejek Indra.
“Kok dia nggak bisa senyum ya In! Siapa namanya? Looney , looneytoon ? Nggak bisa pose ya? Kaya foto untuk KTP aja. Curiga deh, jangan-jangan gigi Luna hitam semua, makanya dia nggak mau senyum!” kata Dian. Ucapan Dian membuat Pak Irawan dan isteri tertawa geli. Dian selalu dapat membuat mereka tertawa. Indra paling sering kalah bersilat lidah dengan Dian.
“Ngawur! Kamu kan belum lihat aslinya aja!” kata Indra, protes.
“Wah Indra, salah kamu! Sekarang teknologi maju, antara asli sama copy harusnya nggak beda dong!” balas Dian. Indra kehabisan kata-kata. Derai tawa Dian dan ibunya membuat Indra terpojok. Hanya bisa kesal, tak mampu membalas ucapan Dian. Mereka, ibunya dan Dian selalu kompak kalau menertawakan Indra.
“Oh..iya! Kapan ‘looneytoon’ mau di ajak kesini, In? Papa Mama mau bertemu kan? Apa belum ada yang mantap ya?” kata Dian tertawa-tawa. Indra sebal sekali, karena Papa dan Mamanya turut mentertawakannya lagi.
“Apa? Looneytoon! Sembarangan kalo ngomong ah!” jawab Indra. Dian makin berderai tertawa, tak terpengaruh ucapan Indra.
“Dian, coba lihat foto pacar kamu? Mana? Ayo kasih lihat Mama Papa kalau berani!” kata Indra, kali ini mencoba gigih melawan Dian.
“Papa sih terserah Indra aja!” jawab Pak Irawan tak menghiraukan ucapan Indra, Dian senang, bertepuk tangan.
“Tuh, sudah dapat izin Papa, In! Ayo In, cepetan! Ntar aku duluan nih mau kenalin sama Papa Mama juga!” kata Dian menggoda.
“Kamu? Memangnya mau kenalin siapa? Memang ada yang mau sama kamu?” ejek Indra. Kedua orang tua Indra mengamati mimik Indra. Dian pasang ancang-ancang mau membalas ucapan Indra.
“Memang kamu! Tiap liburan bawa foto cewek yang baru! Nggak pernah sukses! Aku dong sudah pasti mau kenalin Mas Iwan sama Papa Mama” kata Dian kalem. Wajah cantiknya terlihat ceria, wajah yang sedang jatuh cinta. Bahagia. Mereka, Indra dan kedua orang tuanya tak menyadarinya sebelum ini.
Indra ternganga, tadinya hanya ingin tahu apakah Dian punya pacar atau tidak, malah rencana nyata yang dia terima. Indra tak percaya ucapan Dian tadi. Pak Irawan dan isteri juga kaget, ternyata Dian sudah tak bercanda lagi. Pak Irawan kembali mengamati wajah Indra, ada tersirat kesan murung, tapi cepat menghilang. Indra cepat meraih pundak Dian, memeluknya hangat.
“Yang bener nih? Hati-hati, salah pilih nanti hidupmu sengsara!”kata Indra, serius.
“Jangan kuatir In, Mas Iwan kan baik! Dia juga sudah kerja. Aku juga sudah kenal sama keluarganya. Oke banget!” kata Dian ceria, seakan tak menyadari perubahan Indra. Atau dia malah tak peduli. Pak Irawan mulai khawatir pada Indra, dia menatap wajah putranya. ”Dasar, pintar pura-pura!” keluh Pak Irawan dalam hati.
“Lagian, kalau aku sampai sengsara, siap siap ya! Aku kabur ke rumah kamu aja! Eh…nyonyamu si Gigi Item mau nggak ya menampung aku?” kata Dian bercanda lagi. Pak Irawan terbahak mendengar ucapan Dian.

“Dian! Kok masa depan dibuat main-main! Check dulu, Iwan itu baik nggak! Bisa tanggung jawab nggak! Langsung kenalan sama Papa Mama aja! Emangnya kamu mau kawin cepat cepat?” kata Indra sewot. Dian mendorong bahu Indra, tertawa tawa, tak peduli dengan wajah Indra yang asam.
“Eh… aku pakai planning In! Dua semester lagi selesai kuliah. Calon yang qualified sudah siap. Selesai Wisuda, cari kerja. Kemudian aku mau Wisuda yang kedua dong! Ya nggak Ma?” kata Dian kalem, kali ini meraih tangan Bu Irawan, meminta dukungan. Indra berdiam diri, mati angin, tak menemukan kata yang tepat menjawab omongan Dian. Foto Luna ditangannya terjatuh ke bawah kursi yang dia duduki.
“In, punya planning nggak? Wisuda….. udah! Kerja tinggal masuk aja! Terus….?” ejek Dian, menjulurkan lidahnya dengan mimik lucu menggoda.
“Kenapa In? Nggak punya ya? Ah…. …payah! Udah….. ah! Besok pagi antar aku ke airport ya! Kita jemput Mas Iwan” kata Dian, memeluk Indra. Dada Indra berdegup kencang, rasanya dia ingin lari ke kamarnya. Mengunci pintunya dan menyalakan CD musiknya. Mengencangkan volumenya, hingga dia tak mendengar lagi gaung suara Dian tentang Iwan.
“Dian, soal Iwan ini tidak bercanda ya?” tanya Pak Irawan, ketika menyadari ucapan Dian. Bu Irawan juga menatap Dian, meminta penjelasan. Dian mengangguk, mengiyakan dengan wajah ceria. Indra menunduk, menghindari tatapan mata ayahnya.
”Dasar! Dari dulu sudah kuduga, anak ini mau tunggu apa!” umpat Pak Irawan dalam hati. Dian sekarang serius mau nikah! Terlambat sudah.

“Betul Pa! Besok Mas Iwan datang, dia minta dikenalkan dengan Papa Mama. Besok malam Papa dan Mama sama Indra datang ya. Makan malam bersama di rumah” kata Dian senyum senyum. Pak Irawan mengangguk angguk, isterinya mengembangkan senyum, mencium Dian.
“Wah…. selamat ya! Tak terasa ya Dian kecil kita yang nakal sudah mau nikah aja!” kata Bu Irawan terharu. Hatinya sebetulnya sedih dan kecewa.
“Mama, belum sampai situ lho! Baru mau kenalan aja. Kalau Papa dan Mama nggak suka Mas Iwan, ya….. aku mulai dari awal lagi” kata Dian enteng meski sedikit agak ragu dan cemas. Indra sama sekali tidak kasih komentar apa-apa lagi. Hanya setelah itu hampir semalaman dia main gitar di kamarnya.

Ketika pertemuan pertama dengan Indra, Iwan mengira mereka, Dian dan Indra punya hubungan keluarga yang sangat dekat. Setelah berkenalan, akhirnya Indra dan Iwan bisa cocok berkawan. Indra menyukai Iwan yang terlihat sangat sayang pada Dian. Indra juga bisa mempercayai Iwan sungguh sungguh berniat baik pada Dian. Indra juga melihat Dian sangat bahagia bersama Iwan. Indra ingin memastikan Iwan orang yang tepat untuk Dian. Bahkan agar dapat memastikan siapa Iwan, Indra juga datang ke Jakarta, berpura pura dapat tugas kantor. Lalu mengunjungi Iwan di kantornya, di rumahnya.
Demi masa depan sahabatnya, adiknya, orang yang paling dia sayangi setelah ayah ibunya
.

3. LIBUR SEMESTER

Sebulan lagi Indra akan berangkat ke Surabaya, kuliah di sana. Dia akan tinggal di rumah adik ibunya selama kuliah. Kemarin Indra dan ibunya baru pulang dari Surabaya untuk mempersiapkan semuanya. Sebulan lagi, sudah jadi mahasiswa! Seandainya Dian bisa ikut, pikir Indra. Dia akan berpisah dengan sahabatnya. Sangat berat, karena selama ini Indra selalu bersama Dian. Bertemu hampir setiap hari. Liburan juga selalu bersama. Nanti hanya liburan semester Indra baru bisa pulang, bertemu lagi dengan Dian. Hampir enam bulan! Huuh, lama sekali ya! keluh Indra pada diri sendiri.
Tante Yani mengizinkan Indra menepati paviliun di samping rumahnya. Sebelumnya, ruang itu sempat di pakai oleh Irul, keponakan Ifan, suaminya. Sekarang dia sudah selesai tugas belajarnya, kembali ke Balikpapan. Karena sempat kosong lebih dari setahun, jadi ruangan berukuran empat kali lima meter itu perlu perbaikan kecil, pengecatan ulang dan merenovasi kamar mandinya.
“Atur sesuai selera kamu aja In, biar betah disini!” kata Om Ifan.
“Tapi, kalau mau makan harus di rumah. Supaya kita bisa bertemu setiap hari. Nanti beli kulkas kecil buat taruh minuman aja” kata Tante Yani menambahkan. Indra kemudian mengatur kamar untuknya itu. Empat hari sudah selesai. Sebenarnya lebih banyak waktu untuk perbaikan kamar mandi dan toilet oleh dua orang tukang. Indra atur ruangan itu untuk multi fungsi. Untuk ruang tidur, belajar dan bersantai.
Minat Indra pada interior gaya Jepang di terapkannya pada ruang pribadinya itu. Indra membuatnya seperti shoji. Ruangan khas di rumah-rumah tradisional Jepang. Kebetulan pintu ruangan itu model geser, jadi pas betul dengan ide Indra. Dia melapisi lantai dengan kayu lapis dan memolesnya, sehingga urat kayu jelas terlihat. Lalu melengkapinya dengan rak kayu untuk buku dan lemari pendek dengan laci tarik untuk stereo dan TV. Lemari kayu yang memang sudah ada hanya dibersihkan dan di plitur ulang dengan warna lebih muda, natural. Untuk menulis sekaligus sebagai meja makan, Indra minta dibuatkan meja pendek dari kayu lapis. Tidak ada kursi, Indra hanya perlu dua bantal persegi ukuran empat puluh sentimeter dengan sarung dari bahan tekstil polos. Indra menyingkirkan divan kayu, hanya menggunakan kasur busanya saja, langsung menggelar di lantai. Menutupinya dengan sprei warna putih. Ibunya membelikan selimut dengan corak kotak-kotak berwarna coklat. Indra tak mau pakai tirai kain, sebagai gantinya, dia beli tirai dari bilah bambu kecil-kecil sebesar lidi, yang dibentuk seperti krei, warna asli bambu. Untuk penerangan Indra memasang lampu dengan penutup berbentuk persegi, lampu gaya Jepang, dari kain warna putih tulang. Semua dinding diminta Indra untuk dicat warna putih saja agar terkesan luas.
Sore hari, ketika pulang kerja, melihat karya Indra, Tante Yani sangat kagum. Tak menyangka ruangan yang sudah seperti gudang hampir setahun ini jadi begitu elegan.
“Indra, kamar ini jadi bagus banget! Nanti kalau Om Ifan lihat pasti dia senang sekali. Kamu memang pas kuliah di arsitektur itu! Belum kuliah aja hasilnya begini bagus!” puji Tante Yani. Indra hanya tersenyum mendapat pujian dari tantenya.
“Cuma kok dindingnya nggak ada apa-apa? Mau pasang foto Dian ya?” kata Tante Yan menggoda Indra. Kakaknya, Bu Irawan tersenyum mendengar ucapan adiknya. Indra hanya tersenyum, tak menjawab.
“Buat obat kangen In, kan nggak bisa ketemu tiap hari lagi! Ukuran poster deh” ganggu Tante Yani, karena dia tahu Indra hampir tak pernah berpisah dengan Dian. Meski Yani sebenarnya tahu mereka tidak berpacaran. Dia juga heran, hubungan Indra dan Dian ini, akrab, saling sayang dan perhatian tapi entah mengapa tak berkembang jadi sepasang kekasih. Padahal Yani tahu, kedua orang tua mereka sangat berharap. Mereka berdua juga terlihat suka saling mencemburui jika ada yang dekat dekat.
“Nanti aja!” kata Indra singkat. Yang diinginkan Indra sebenarnya bukan foto Dian disana. Jika dia mampu sebenarnya dia ingin Dian ikut saja pindah sekolah ke Surabaya ini.
“Indra, Tante punya beberapa keramik gaya Cina, mungkin bisa cocok untuk pelengkap kamar ini. Ambil aja di rumah” kata Tante Yani menawari. Indra mengangguk.
“Oh bagus! Aku perlu satu pot atau mangkok buat di meja. Untuk taruh barang-barang kecil dan alat tulis” kata Indra.

Jadi kini waktu Indra untuk bisa setiap hari bertemu Dian tinggal tersisa sebulan saja. Setelah itu Indra pasti akan selalu kangen pada Dian. Hari ini Indra menjemput Dian di sekolahnya, bekas sekolah Indra juga. Indra duduk di mobil yang di parkirnya di tepi jalan tak jauh dari gerbang sekolah. Sebagian murid SMU itu sudah keluar, Dian belum juga muncul. Indra akhirnya keluar dari mobil, bersandar di mobilnya. Dari jauh, Indra melihat Dian sedang berjalan dengan Fauziah, Lina, Faridah dan Susy. Asyik ngobrol dan tertawa-tawa.
Di belakang Dian dan teman-temannya, segerombolan murid laki-laki juga berjalan. Indra melihat seorang dari murid laki-laki berjalan lebih cepat, mendatangi Dian, dengan cepat menggandeng Dian. Indra melihat mulanya Dian kaget, tapi kemudian tertawa-tawa gembira. Indra gemas sekali melihat itu. Aku belum pergi aja Dian sudah gandengan sama Ari, keluh Indra kesal. Bergegas Indra berjalan menuju gerbang sekolah. Ari sangat gugup ketika menyadari Indra sedang berdiri dihadapannya. Ari tahu hubungan Dian dan Indra, kakak kelasnya. Dengan cepat Ari, melepaskan tangannya dari Dian. Sedang Dian, tanpa rasa bersalah langsung tersenyum pada Indra. Melambai pada Ari dan teman-temannya, menarik tangan Indra, meninggalkan gerbang sekolahnya. Itulah Dian, sering tak begitu peduli perasaan Indra.
Mereka berdua berjalan menuju mobil Indra tanpa bicara. Dian sebetulnya tahu Indra sedang marah. Tapi Dian selalu berhasil mengatasi kemarahan Indra. Tinggal tarik tangan Indra, senyum lebar-lebar, Indra akan baik lagi, pikir Dian. Rupanya kali ini Dian salah! Indra membiarkan Dian memegang tangannya, masuk ke mobilnya dan menjalankan mobil tanpa bicara hingga tiba di rumah Dian.
“Mampir dulu nggak?” tanya Dian ketika Indra tak sedikitpun bergerak dari duduknya di depan kemudi. Mesin mobil sama sekali tak dimatikan Indra. Indra menggeleng tanpa menoleh pada Dian. Dia marah, pikir Dian.
“Ya sudah, terima kasih ya!” kata Dian membuka pintu mobil, segera keluar dari mobil dan menutup pintu mobil Indra. Dian memasuki halaman rumahnya, mobil Indra menderu meninggalkan jalanan di depan rumah Dian.
Sore harinya, saat sessi kedua latihan basket dengan teman-temannya di sekolah, Dian melihat mobil Indra parkir tak jauh dari jalanan di depan sekolahnya. Dian tak peduli Indra ada disitu berapa lama. Dian tak akan mendatangi Indra meskipun sedang setelah sessi kedua latihan selesai.
“Fau, antar aku pulang ya!” pinta Dian pada temannya Fauziah yang sedang berganti pakaian bersamanya. Dian sedang mengeringkan keringatnya dan melaburi tubuhnya dengan bedak talk. Fauziah menatap Dian heran.
“Lho, nggak lihat ya, ada Indra kan di depan!” kata Fauziah. Dian hanya tertawa.
“Diam ah! Nggak mau ya? Pelit amat!” kata Dian kini dia sedang membereskan tasnya. Memasang topi putihnya. Hadiah dari Indra, oleh oleh dari Surabaya.
“Lagi marah sama Indra ya?” selidik Fauziah sambil tertawa. “Okay, tapi aku nggak mau ikut ikutan ya!” kata Fauziah, sambil menggandeng Dian menuju tempat dia memarkir motornya. Dian langsung duduk dibelakang Fauziah yang sudah menyalakan mesin motornya. Perlahan Fauziah mengarahkan motornya dari tempat parkir motor di belakang halaman sekolah ke gerbang utama. Fauziah terpaksa menghentikan motornya ketika melihat Indra berdiri di gerbang sekolah. Dian sudah tak mungkin menghindar, Indra berjalan mendekati mereka. Wajahnya sudah penuh senyum lagi. Terlihat segar, mengenakan T Shirt warna putih ketat dengan celana jeans dan bersepatu olah raga. Topi putihnya, persis milik Dian. Dasar kembar! pikir Fauziah sambil tersenyum pada Indra.
“Dian, pulang sama aku aja! Eh, Fau, makasih ya” kata Indra, kemudian mengambil tas ransel yang ada di pundak Dian. Menarik perlahan tangan Dian agar segera turun dari motor Fauziah. Fauziah hanya tertawa. Dia tahu Dian tak akan bisa menghindari Indra. Fauziah berteman dengan Dian sejak mereka kelas satu SMP. Dengan patuh Dian mengikuti Indra ke mobilnya, sebelumnya menepuk pundak Fauziah, yang segera memacu motornya.
“Sudah tahu aku jemput, kenapa masih ikut Fauziah?” kata Indra, begitu duduk di depan kemudi. Dian sudah duduk disamping Indra.
“Buat apa jemput aku kalau di mobil kamu aku cuma kaya bantal mobil. Nggak diajak ngomong!” kata Dian ketus. Indra belum menyalakan mesin mobilnya. Beberapa murid pria masih saja bermain basket di halaman sekolah meski sudah hampir jam enam sore. Udara agak lembab tetapi matahari sudah mulai menghilang di barat. Ada semburat merah di langit terlihat diantara pohon rindang.
“Iya aku minta maaf!” kata Indra, menarik ujung topi Dian sambil tersenyum. Dian diam saja, malah menundukkan wajahnya. Dari sudut matanya mengalir airmata. Indra tak menyangka Dian justru menangis mendengar ucapannya.
“Dian, aku benar-benar minta maaf! Dian, aku sebulan lagi sudah nggak disini. Lihat kamu siang tadi aku jadi khawatir, tahu! Jangan biarkan dong Ari se enaknya memeluk kamu kaya gitu! Memang kamu pacar dia? Siapa aja bisa dong nanti bertingkah kayak Ari!” kata Indra. Dian menggeleng. Indra menatap Dian yang masih saja menangis.
“Dian, sudah dong nangisnya. Kalau masih kesal sama aku ayo deh ngomong” bujuk Indra, mulai khawatir tangis Dian makin menjadi jadi. Mata merah Dian akan jadi perhatian ayah ibunya di rumah nanti. Mereka akan tahu Indra bertengkar lagi dengan Dian.
“Sudah tahu tinggal sebulan, masih suka marah marah! Kamu enak nanti pergi, aku disini kan sendirian!” jawab Dian diantara tangisannya. Indra baru menyadari kekhawatiran Dian ditinggalkan pergi olehnya. Indra mengira Dian tak peduli seperti yang dia tunjukkan selama ini. Ketika baru pulang dari Surabaya, Indra menceritakan soal kamar yang ditatanya, Dian tak berkomentar apa-apa. Diraihnya Dian ke pelukannya, Dian makin menangis. Bahunya berguncang. Indra bersusah payah membendung air matanya yang juga akan mengalir. Dia juga benar-benar sedih akan meninggalkan Dian. Diambilnya tissue, menghapus air mata Dian dengan lembut.
“Dian, aku juga sedih kita berjauhan. Tapi aku kan ke Surabaya bukan liburan, tapi kuliah kan? Aku juga sendirian, belum punya teman disana” kata Indra. “Nanti kalau libur semester aku pulang kok, janji!” bujuk Indra. “ Jangan nangis lagi. Kita pulang ke rumahku ya!” kata Indra. Dian menggeleng.
“Pulang dulu. Aku mau mandi!” jawab Dian.
“Mandi di rumahku aja. Ditunggu Papa Mama, makan malam di rumah” kata Indra. “Tadi aku sudah bilang Mama, kamu kuajak ke rumahku dulu. Malam baru pulang. Besok kan libur” lanjut Indra. Dian mengangguk, mandi dan makan di rumah Indra nggak masalah baginya, itu seperti di rumahnya sendiri. Dia punya handuk, bahkan menyimpan pakaian untuk ganti disana. Indra juga begitu di rumah Dian. Maklum mereka bersahabat sejak sangat kecil.
Sejak Dian tiba, Bu Irawan melihat wajah Dian yang tak begitu ceria, matanya sembab, bekas menangis. Pasti mereka bertengkar lagi, pikirnya menduga. Bu Irawan berbisik kepada suaminya, yang akhirnya memperhatikan wajah Dian ketika mereka makan malam bersama. Pak Irawan sebenarnya berencana malam ini ingin menanyai Dian dan Indra tentang arah hubungan mereka. Jika memungkinkan Pak Irawan ingin sebelum Indra pergi ke Surabaya, Dian dan Indra sudah memiliki ikatan pertunangan.
Ketika selesai makan malam, wajah murung Dian sudah sirna. Dian mengajak Indra duduk di teras, langsung membuka papan catur di atas meja kecil, menyusun bidak berwarna putih. Ciri khas Dian kalau main catur dengan Indra, Dian selalu mau bidak warna putih. Pak Irawan datang menyusul mereka di ikuti Bu Irawan yang membawa piring berisi jeruk.
“Aku nggak mau main, kamu lawan Papa aja” kata Indra. Dian melotot sebal. Dian tak pernah berhasil menang main catur melawan Pak Irawan. Saking senangnya dan ingin mengganggu Dian, Pak Irawan pernah menjanjikan kalau Dian bisa mengalahkannya, Dian akan dikasih hadiah jalan-jalan ke Singapura. Itu sebabnya Dian selalu didorong Indra untuk bertanding catur dengan ayahnya. Indra sudah lama berhasil mengalahkan ayahnya bermain catur. Kalau Dian menang, mereka bisa berangkat liburan sama-sama.
“Sekarang ganti cara dapat hadiahnya!” kata Pak Irawan sambil duduk menghadapi meja. “Dian nggak harus menang mutlak! Kalau bisa tahan langkah Papa setengah jam aja, hadiah boleh ambil!” kata Pak Irawan. Indra dan ibunya tertawa mendengar ucapan Pak Irawan. Dian menatap Pak Irawan, tersenyum menantang, nakal. Wajah Dian sangat optimis, poni di dahinya sebagian menutupi matanya yang indah. Indra sudah duduk di samping Dian, memberi semangat Dian dengan menepuk pundak Dian. Saat saat seperti ini sangat menggembirakan Pak Irawan, berkumpul dengan Indra dan Dian, serta isterinya, bercanda.
Sebenarnya Pak Irawan sangat ingin Dian dan Indra mendapat kesempatan untuk memahami hubungan mereka. Dia tahu putranya mencintai Dian. Hanya karena tumbuh bersama, selalu seperti kakak dan adik, terjadi kesulitan mereka membedakan hubungan sebagai pria dan wanita dan persahabatan biasa. Dia berharap dengan memberikan liburan bersama, muncul pemahaman yang dia harapkan. Dia sudah bicarakan dengan temannya, ayah Dian, yang tak keberatan. Dia dan isterinya akan mendampingi mereka.
“Siap Boss! Awas itu si Ratu Hitam siap-siap ngungsi ya Pa! Ini para menteri Dian lagi sidang kabinet untuk invasion” kata Dian sambil menggosok gosokkan kedua telapak tangannya, bergaya jagoan. Bu Irawan geli melihat tingkah Dian, dari dulu anak ini selalu membuat suasana riang keluargaku, pikirnya.
“Beres! Papa tunggu! Invasi apaan sih? Kayanya cuma nongkrong di warung kopi gitu! Kuda Papa bakal menghalau prajurit Dian, gimana dong? Indra jadi konsultan Dian ya?” sahut Pak Irawan tak kalah gayanya dengan Dian, menggosok-gosok tangannya juga. Indra mengangguk, Dian menatap Indra tertawa senang.
“Sebentar Pa! Urus paspor berapa lama? Aduh, koper Dian masih di pinjam Tante Iyan lagi! Dian pasti menang nih! Masa Dian liburan di rumah, iya kan In?” tantang Dian. Pak Irawan terbahak mendengar ucapan Dian.
“Semua Papa yang urus! Koper nggak perlu, beli baju di sana aja! Dian menang dulu deh!” sahut Pak Irawan. “Dian maju dulu!” lanjutnya. Dian bersiap siap, menarikan jari jemarinya diatas pion catur yang telah rapi tersusun. Gayanya bagai Grand Master Internasional saja! Kemudian dengan lincah telunjuknya menggeser salah satu pion paling depan, prajurit, maju dua langkah. Kemudian kembali menggosok gosok tangannya. Menatap wajah Pak Irawan, tersenyum mengejek, lagi-lagi menantang.
“Silahkan Papa jalan!” kata Dian, kemudian menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Mengawasi lawannya menempatkan pion caturnya.
“Waduh! Pembukaan gaya apa nih? Strategi baru?” tanya Pak Irawan mengejek Dian, sambil tersenyum. Indra menatap papan catur serius.
“Papa gentar nih? Mau menyerah sekarang nggak?” balas Dian mengejek.
“Ini main catur apa debat pengacara sih?” kata Bu Irawan tersenyum senyum.
“Mama, tenang aja! Ini main catur gaya eksekutif cari proyek! Kayak main golf!” jawab Dian membuat Pak Irawan lagi-lagi tertawa. Dasar Dian, catur disamakan dengan golf!
Suasana bertanding catur malam itu begitu ceria, entah sengaja atau memang benar-benar tak mampu melawan strategi baru Dian. Pak Irawan kalah bermain catur kali ini. Sang Ratu Hitam miliknya malam itu berhasil disandra para prajurit putih Dian. Penempatan bidak Dian membuat Pak Irawan harus menyerah. Dian bukan hanya berhasil menahan lebih dari setengah jam. Dian menang mutlak.
“Waduh, Dian kok rasanya gerah nih! Kok lampu blitz wartawan televisi ke arah muka Dian semua! Grand Master Dian Hidayat akan mewakili Indonesia ke Singapura menantang Karpov!” ucap Dian tertawa-tawa dengan bergaya seperti seorang presenter di TV. Indra dan kedua orang tuanya tertawa mendengarnya.
“Oke, tiga minggu lagi kita ke Singapura. Pulang dari sana kita ke Surabaya antar Indra” kata Pak Irawan berjanji. Pak Irawan melihat perubahan wajah Dian dari begitu ceria ketika mendapat kemenangan, kemudian murung ketika mendengar ucapannya tentang mengantar Indra ke Surabaya. Matanya terutama, tak mampu menutupi, meski senyum masih tersungging di bibirnya. Tuhanku, semoga mengabulkan permohonan kami. Niat baik kami, doa Pak Irawan dalam hati.
Perjalanan ke Singapura itu memang terlaksana. Mereka berempat berangkat setelah Dian libur sekolah. Indra dan Dian sangat menikmati perjalanan liburan itu. Selain bercanda juga masih bertengkar kecil-kecilan. Dian selalu terlihat kesal kau Indra mengungkit soal kuliah di Surabaya. Sampai suatu kali Dian pernah mengejek Indra saat mereka berada di meja makan hotel, sedang sarapan pagi bersama.
“Uh…. Apa hebatnya sekolah di Surabaya! Apa ayo?” kata Dian menjulurkan lidahnya. Indra balas menjawab tak kalah sengit.
“Makanya, ikut pindah aja biar tahu hebatnya!” sahut Indra, sebenarnya berharap sekali idenya termakan Dian. Dulu Indra pernah mengusulkan itu, hanya Dian menolak. Dia ingin selesai dulu SMAnya baru meneruskan kuliah ke P. Jawa.
“Ah… nggak usah dibahas lagi ah!” kata Dian meneruskan makan roti sarapan paginya. Ayah dan Ibu Indra memperhatikan debat keduanya. Indra masih penasaran.
“Nggak mau kan karena pengen bebas! Ari kan ganteng juga!” kata Indra. Dian melotot, menatap sengit.
“Siapa Ari?” tanya Pak Irawan, menatap Indra yang tak menjawab pertanyaannya. Indra tak menjawab.
“Ma, Dian mau ke kamar dulu ya! Ada yang ketinggalan” kata Dian tiba-tiba, menghentikan makannya, segera berdiri meninggalkan Indra dan orang tuanya. Mereka hanya bisa memandang punggung Dian yang berjalan cepat menuju lift.
“Indra! Kamu ini, keterlaluan! “ kata Bu Irawan memarahi Indra. “Kalau memang sayang bilang langsung aja! Pakai menuduh macam-macam, hatinya sakit nanti. Ayo susul ke kamar, minta maaf sana! Ini kunci kamar Mama, dia nggak bisa masuk kamar!” lanjut Bu Irawan.
“Ya, cepat susul!” kata Pak Irawan. Indra berdiri, segera berjalan menyusul Dian yang sudah menghilang, masuk lift.

Begitu keluar dari lift, di koridor, Indra melihat Dian yang sedang berdiri di depan pintu kamar yang ditempatinya bersama Ibunya. Dian bersandar pada dinding, menangis. Tentu saja Dian tak bisa masuk ke kamar, karena kuncinya ada pada Bu Irawan. Sekarang Indra sedang memegang kunci itu.
Indra benar-benar menyesali ucapannya yang menyakiti Dian. Indra berlari mendekati Dian, memeluknya. Dian berdiam diri. Indra membuka pintu kamar, mengajak Dian masuk, khawatir jadi perhatian para penghuni hotel yang mungkin berlalu lalang di koridor.
“Dian, maaf!” kata Indra begitu pintu tertutup, masih memeluk Dian. Dian masih menangis, malah makin keras.
“Indra jahat! Aku bukan mau bebas! Aku bukan pacar Ari!” kata Dian diantara tangisnya.
“Iya, aku yang jahat! Maaf!” kata Indra membujuk Dian. “Dian, aku sebenarnya sedih sekali kita pisah. Aku mau kamu juga sekolah disana” kata Indra pelan, kali ini Indra tak bisa menahan air matanya.

Air mata yang masih mengambang di mata Indra dan Dian itulah yang ditemui kedua orangtua Indra ketika mereka menyusul ke kamar. Mereka memahami sebenarnya keduanya saling menyayangi dan sangat sulit untuk berpisah. Itu saja sudah cukup bagi mereka. Perjalanan ini sudah berhasil membukakan mata dan hati kedua remaja itu. Hanya pada akhirnya Pak Irawan dan isterinya tidak ingin tergesa-gesa menggiring keduanya ke arah hubungan cinta. Mereka menyerahkan pada alur nasib saja.


4.KEMBANG GOYANG

Kesibukan di rumah orang tua Dian makin memuncak. Keluarga dekat sudah berdatangan dari berbagai kota. Sebagian menginap di rumah orang tua Dian, sebagian lagi menyebar di rumah kerabat lainnya. Tiga hari lagi adalah acara pernikahan dan sekaligus resepsi pernikahan Dian dan Iwan, tunangannya.
Sudah lebih seminggu Dian pulang ke rumah orang tuanya, untuk persiapan pernikahannya. Dulu Dian bercita-cita ingin bekerja terlebih dahulu baru kemudian menikah. Jadi setelah hampir setahun bekerja akhirnya Dian sepakat untuk menikah dengan Iwan.
Dian sedang ngobrol di sudut kamarnya dengan Fauziah yang sengaja datang sore itu setelah pulang kantor. Kamar tidur Dian sedang dipersiapkan untuk jadi kamar pengantin. Beberapa orang sedang mendekorasinya, petugas dari juru rias . Besok pagi diadakan upacara siraman calon pengantin atau yang di sebut Bamandi-mandi Panganten atau upacara memandikan calon penganten dan selanjutnya acara ‘Batamat Qur’an’ ,yaitu membaca surah atau bagian akhir dari Qur’an sebagai tradisi dan penanda pengantin telah mempelajari syariah Islam yang tercantum dalam Al Qur’an dan menjadi bekalnya dalam memasuki dunia perkawinan. Semuanya sudah siap, karena Bu Hidayat telah membentuk panitia kecil. Urusan pun lebih mudah karena keluarga Pak Irawan sangat banyak membantu. Bukan hanya karena Pak Irawan sahabat dan rekan bisnis ayah Dian, dan terus mengelola usaha mereka meski ayah Dian telah meninggal. Tapi lebih karena Dian adalah teman dan sahabat Indra, putra mereka. Dian bagaikan putri mereka sendiri. Sewa gedung dan catering diambil alih Pak Irawan sebagai tanda kasihnya pada Dian.
“Dian, Indra pulang nggak? Kok sampai sekarang belum juga datang” tanya Fauziah. Dian terdiam mendapat pertanyaan itu. Lama kemudian baru menjawab.
“Fau, jangan cerita sama yang lain ya! Mungkin dia nggak datang. Kemarin waktu aku telpon dia bilang lagi banyak kerjaan karena baru pindah kantor di Jakarta” kata Dian.
“Masa sih sahabat sejak kecil nikah dia nggak datang! Nggak sanggup datang kayanya!” kata Fauziah, menatap mata Dian. Fauziah tahu Indra sangat menyayangi Dian.
“Ah kamu ini! Tapi kalau dia nggak datang aku benar benar sedih sih!” kata Dian sendu. Entah mengapa seminggu menjelang pernikahannya dengan Iwan, pikirannya tertuju pada Indra saja. Ketidak hadiran Indra membuatnya merasa asing dan sedih. Pada acara lamaran dan pertunangannya, empat bulan lalu Indra juga tak bisa datang. Dian curiga, Indra juga tak bisa datang pula di upacara pernikahannya.
Dian teringat ucapan Indra ketika mengantarnya ke bandara Soekarno Hatta, sebelum Dian masuk ke ruang tunggu, dan bersalaman dengan Indra. Iwan tak bisa mengantarnya karena masih berada di Pekanbaru untuk tugas kantornya.
“Indra, pulang seminggu sebelum acara pernikahan ya! Bisa kan?” pinta Dian waktu itu, sambil mencium pipi Indra. Indra memeluk Dian, suaranya datar menjawab Dian.
“Yang pasti harus datang itu Iwan, karena dia yang mau nikah! Aku datang atau nggak jangan dihitung!” kata Indra, kaku sekali. Dian menatap wajah Indra lesu tak tahu harus mengucapkan apa.
Sejak itu sulit sekali Dian menghubungi Indra. Di rumah atau di kantornya, Indra selalu tak ada. Dian pernah menghubungi Indra di rumahnya tengah malam, berharap Indra sudah berada di rumah. Telepon memang diangkat, tetapi tak ada jawaban apapun, meski suara Dian sudah cukup keras. Dian yakin Indra yang mengangkat telponnya karena Dian tahu telepon itu ada di kamar tidur Indra. Indra juga tak pernah menerima jika Dian menghubungi telepon genggamnya.

Sore ini, Iwan dan keluarga akan tiba dari Surabaya. Mereka akan menginap di hotel tak jauh dari rumah Dian. Karena besok Iwan juga akan turut hadir pada upacara siraman itu. Permulaan rangkaian acara pernikahan mereka. Donny dan Dewi sudah berangkat menjemput ke bandara Syamsudin Noor. Dian berharap diantara penumpang ada Indra. Masih berharap Indra akan datang.

Saat Dian dirias oleh perias pengantin, Bu Intan untuk pernikahannya, Sabtu pagi ini, Bu Irawan sempat menemui Dian. Waktu itu perias pengantin sedang menorehkan pinsil untuk mempertebal alis Dian.
“Ma, Indra belum juga datang ya?” kata Dian. Bu Irawan mengangguk. Tadi malam suaminya menelpon Indra, menanyakan apakah dia akan datang pada pernikahan Dian.
“Dia bilang sama Papa tadi malam mau datang, kalau nggak sibuk kantor” kata Bu Irawan, khawatir membuat Dian kecewa. Dia duduk menemani Dian yang sedang di rias hingga selesai. Dipandangnya gadis cantik yang kini sudah siap menikah. Cantik dalam pakaian pengantin berwarna kuning gading. Kembang goyang, hiasan rambut dari emas di kepalanya bergoyang-goyang indah. Dian diminta berdiri oleh perias pengantin karena akan membetulkan letak ujung kain yang dipakainya. Entah mengapa, sebuah kembang goyang terlepas dari rambut Dian. Jatuh persis di atas pangkuan Bu Irawan yang masih duduk di karpet. Diambilnya kembang goyang itu, menatap juru rias yang nampak terkejut. Dian sendiri hanya tersenyum, tak menyadari juru rias yang mempercayai sebagai suatu pertanda buruk. Kejadian itu, meski tak membuat rusak tatanan rambut Dian membuat juru rias kawakan itu kaget. Dia segera memeriksa semua tatanan rambut Dian. Menusukkan kembali kembang goyang yang jatuh lebih kuat. Bu Irawan hanya berharap tak ada hal buruk yang akan terjadi selama upacara pernikahan Dian.
Bu Irawan sendiri tahu putranya Indra, pasti sekarang sedang sedih. Yang buruk adalah nasib anakku, pikirnya. Jadi sangat tak masuk akal memaksanya datang untuk melihat Dian menikah dan bersanding dengan orang lain. Ingin rasanya dia pergi ke Jakarta, menemani anaknya, menghiburnya. Tapi itu tak mungkin, Dian akan menikah, dia harus berada disini. Seandainya bukan Iwan yang jadi pengantin lelaki, tapi Indra, keluhnya , sedih. Dia juga masih heran mengapa Dian hingga detik terakhir menghadapi pernikahannya seperti ini masih teringat pada Indra. Tuhan mengatur jalan mereka seperti ini, aku pasrah saja, katanya dalam hati.
“Sudah selesai, jangan banyak bergerak ya Dian” pesan Bu Intan sekali lagi memeriksa hiasan rambut Dian, bunga melati dan kembang goyang.”Kalau tak ada yang dilakukan, berdoa saja terus ya Dian!” pesan Bu Intan lagi.
“Setengah jam lagi acara mulai. Saya mau bantu Bu Hidayat berdandan dulu” kata perias itu lagi, kemudian keluar. Persis saat dia membuka pintu kamar untuk keluar Donny yang sudah berpakaian rapi, yang akan bertindak sebagai wali nikah akan masuk karena ayah Dian sudah meninggal. Di belakang Donny, Indra berdiri di ambang pintu. Pakaiannya rapi, pantalon biru tua dengan baju gaya Melayu warna biru muda, sarung songket yang serasi melilit diatasnya dan berkopiah hitam. Kemudian mereka masuk ke kamar. Melihat Indra datang, Dian begitu gembira hingga tak mampu berkata kata.
“Mama!” sapa Indra, memasuki kamar dan memeluk serta menyalami ibunya yang menatapnya senang. Ibunya memeluk Indra, sudah empat bulan mereka tak bertemu.
“Hey Pengantin, Selamat ya!” sapa Indra, mencoba riang mendekati Dian yang duduk di kursi dekat meja rias.
“Indra, kenapa baru datang sekarang? Keterlaluan!” kata Dian akhirnya buka suara.
“Sibuk banget! Tapi aku datang kan!” jawab Indra tak peduli. Tangan Indra iseng menyentuh kembang goyang di rambut Dian membuat accessories itu bergerak-gerak.
“Indra, Dian cantik ya!” kata Bu Irawan memuji Dian.
“Aneh!” kata Indra sinis. Dian hanya diam, tak membalas ucapan Indra. Kalau seperti biasanya, pasti akan jadi pertengkaran diantara mereka. Dian tentu akan mendebat Indra. Memang bagi Indra, penampilan Dian dengan busana pengantin sangat asing. Tak pernah dibayangkannya Dian dengan make up tebal, bibir penuh lipstick dan accessories hampir di semua tangan. Bahkan memakai gelang di kaki!
“Indra! Kamu ini!” tegur Bu Irawan.
“Memang iya Ma! Lihat Kak Dian jadi aneh ya!” kata Donny yang sedari tadi diam saja, mendukung pendapat Indra. Memang, sejak kecil, Indra dan Donny selalu kompak untuk mengganggui Dian.
“Sudah, kalian keluar saja ah!” kata Bu Irawan. “Suka sekali sih ganggu Dian” katanya. Keduanya kemudian keluar, meninggalkan Dian dan Bu Irawan.
“Ma, Dian senang sekali Indra datang” kata Dian, suaranya serak menahan tangis.
“Ya, Mama juga senang. Dia pasti datang. Kalian kan sudah seperti saudara, mana mungkin dia tak datang” kata Bu Irawan.
“Ma, yang paling Dian khawatir adalah kalau Indra sudah tidak peduli lagi sama Dian. Dia tidak sayang aku lagi karena aku menikah dengan Mas Iwan” kata Dian, kali ini meneteskan airmatanya.
“Aduh Dian, jangan menangis! Make up mu rusak! Indra sudah datang itu artinya dia tetap sayang sama Dian. Kami semua tak berubah” kata Bu Irawan sambil menyeka airmata Dian dengan tissue.

Pernikahan Dian berjalan lancar, demikian juga resepsi yang diselenggarakan hari Minggu esoknya. Dian dan Iwan tampil ceria dengan busana tradisional pengantin Banjar berwarna biru muda. Para kerabat dekat keluarga Dian termasuk keluarga Irawan juga memakai busana tradisional. Indra mengenakan busana yang warnanya sama dengan para sepupu Dian, berwarna biru. Bertugas menerima tamu-tamu yang datang.
Tamu-tamu masih menikmati hidangan ketika Indra mendekati pelaminan tempat Dian dan Iwan bersanding.
“Dian, Iwan Selamat ya!” katanya menyalami Iwan. Iwan menyambut gembira jabat tangan Indra. Kemudian juga menyalami Dian dan mencium pipinya.
“Terima kasih In!” jawab Iwan dan Dian hampir bersamaan.
“Aku mau pulang ke Jakarta sekarang. Maaf nggak bisa hadir sampai selesai” kata Indra mengagetkan Dian.
“Kenapa cepat-cepat pulang?” kata Iwan.
“Aku harus ke Singapura ketemu calon client besok pagi, maaf banget” kata Indra menjelaskan.
“Okay In, kita ketemu di Jakarta ya!” kata Iwan. Indra mengangguk, sekali lagi menyalami kedua pengantin, kemudian menyalami Bu Hidayat dan Donny. Indra menolak untuk menunggu foto bersama pengantin karena harus mengejar pesawat yang berangkat jam 13.45 WITA.
Setelah pamit dengan orang tuanya, berganti pakaian di kamar ganti gedung tempat resepsi lalu Indra minta diantar supir ayahnya langsung ke bandara. Pulang ke Jakarta. Selama dalam pesawat Indra berusaha tidur atau setidaknya menutup matanya. Meski matanya tertutup, wajah cantik Dian yang tersenyum bahagia di samping Iwan selalu terlihat. Seperti pemutaran film saja.
Indra baru ke Singapura dua hari kemudian untuk urusan bisnis bersama Iskandar. Sejak pulang dari acara pernikahan Dian, Indra menghabiskan waktu dengan bekerja di kantornya hingga malam. Pulang ke rumah setelah jam dua belas. Di Singapura setelah usai menemui client, Indra mengisi waktu dengan keluar masuk mall. Tapi justru makin mengingatkan Indra pada Dian. Tanpa disadarinya, Indra mengunjungi semua tempat yang dulu pernah dia datangi ketika liburan dengan Dian dan orang tuanya. Saat saat paling bahagia bersama Dian.
Sulit bagi Indra menerima kenyataan, akhirnya Dian menikah dengan Iwan. Dulu Indra berusaha menutupi rasa kecewanya dengan berusaha menerima Iwan sebagai pacar dan tunangan Dian. Tapi sejak Iwan menikahi Dian, Indra merasakan kehilangan Dian. Rasa pedih yang tak pernah hilang, meski dia mencoba mengalihkan dengan bekerja, olah raga hingga menguras tenaganya, berharap dapat tidur dan melupakan kepedihan hatinya.
Di Singapura justru Indra terkenang masa indah sejak kecil hingga dewasa bersama Dian. Ketika di SD, punya tas dan botol minum yang sama dengan Dian. Berkeliling naik sepeda membonceng Dian. Ketika SMP, mengajari Dian naik sepeda motor. Lalu menemukan toko yang kemudian jadi langganan mereka untuk beli es cream setiap pulang sekolah. Acara memancing di kolam ikan, kemudian membakarnya bersama Dian. Acara liburan sekolah yang hampir selalu bersama Dian dan adik-adiknya. Saat mengajari Dian main catur serta ingat saat bertukar tali sepatu dengan Dian. Saat latihan atau pertandingan basket dan main band. Juga mengenang pertengkaran mereka yang konyol.
Kenangan itulah yang setiap hari menemani Indra, berbulan-bulan setelah Dian menikah, sampai kemudian Nadya muncul. Nadya mengobati hati Indra yang kehilangan Dian. Karakter Nadya sangat berbeda dengan Dian, meski secara fisik ada kemiripan dengan Dian. Nadya bukan pemberontak seperti Dian. Nadya gadis manis yang penurut. Indra menikahi Nadya enam bulan setelah Dian menikah.
Kalau Dian manja padanya, Nadya justru sebaliknya. Dia justru memanjakan Indra, tak pernah membantahnya. Nadya tak banyak menuntutnya. Tapi Nadya juga tak mandiri, selalu ragu. Nadya, untuk hal apapun selalu minta pendapat Indra, tak berani ambil keputusan sendiri. Karakter Nadya itu membuat Indra selalu khawatir pada keluarganya. Jika akan keluar kota saja, Indra harus menitipkan isterinya pada Dian, untuk ditemani.
Ketika diperkenalkan dengan Dian, Nadya juga tak banyak bertanya, menerima Dian sebagai sahabat Indra. Nadya, tak mempermasalahkan jika mertuanya begitu memperhatikan Dian. Tak menunjukkan rasa kecewa, ketika melihat mertuanya memperlakukan Dian bagai putri mereka sendiri, terlebih Bu Irawan.
Kalau Dian begitu berpengaruh pada pendapat Indra pada suatu hal, Nadya malah sama sekali tak berani berkomentar. Kalau Dian tanpa ragu mengkritik Indra, Nadya malah hanya berani tersenyum mendengarkan kritikan Dian pada suaminya.
Semula Indra mengira karakter Nadya yang lembut, santun dan penurut itu membuatnya nyaman. Memperkirakan pernikahannya dengan Nadya akan sangat damai. Tetapi semakin hari, perkawinannya terasa sulit. Gaya dan karakter Nadya seperti itu tak membuat Indra bersemangat, hidupnya datar tanpa riak. Indra terbiasa melalui hari-harinya dengan Dian yang mengajaknya berkawan, bertengkar, berdebat, saling mencoba menguasai bahkan melawannya dengan gigih. Jika Indra berhasil mengalahkan atau membujuk Dian, Indra merasa keberhasilan itu suatu hal yang indah. Mereka biasanya bergembira, menikmatinya bersama. Ada kesetaraan. Dengan isterinya, Nadya, tak ada pertengkaran, semuanya berjalan lancar. Tak ada yang harus dinegosiasikan dengan Nadya. Indra melakukannya tanpa meminta persetujuan pun, Nadya tak protes. Dian selalu punya pendapat, kadang Indra setuju. Terkadang juga tidak sependapat. Selalu ada dinamika untuk saling menyesuaikan diantara mereka.
Jika Indra melihat hubungan Dian dan Iwan yang dinamis, sering Indra merasa iri, tapi berusaha menutupinya. Dian dan Iwan seringkali terlibat debat seru dihadapan Indra, seperti yang dilakukan Dian terhadapnya. Banyak masalah yang Dian dan Iwan bicarakan berdua. Soal pekerjaan kantor, musik, film, issue hangat politik, ekonomi bahkan gossip artis. Terkadang lucu, diselingi Dian yang ngambek dan ejekan dari Iwan.
Pada akhirnya Indra tahu mengapa Dian memilih Iwan, karena sebenarnya sikap dan gaya Iwan mirip dengannya. Dian tak kehilangan sosok Indra, sosok Indra ada pada Iwan suaminya. Hidupnya bersemangat, Indra lah yang merasa pincang, kehilangan Dian. Indra juga harus menopang Nadya, membimbingnya, membuat dinamika di kehidupan keluarganya. Susah payah, karena Nadya begitu pasif.


5. SERAGAM TAMAN KANAK KANAK


Baru saja tamu-tamu pulang meninggalkan rumah Indra. Mbak Yun, pembantu rumah tangga sedang mengangkati gelas plastik kosong bekas air mineral, piring-piring kue dan tissue. Tadi baru saja diselenggarakan acara peringatan tiga hari meninggalnya Nadya. Pengajian dan tahlilan dengan mengundang tetangga dan keluarga. Sudah hampir jam sembilan malam. Indra dan Iwan duduk di teras rumah bersama ayahnya dan mertuanya, Pak Fikri. Di ruang keluarga, Bu Irawan duduk dekat Dian yang sedang memangku Alvin. Mbak Nana dan Mbak Maya kakak Nadya juga duduk dekat Dian. Besok mereka akan kembali ke rumah masing-masing, ke Samarinda dan Ujung Pandang. Ibu mereka masuk kamar tidur , ingin istirahat katanya.
“Alvin, sekarang sudah malam, besok kan Alvin sekolah. Tidur yuk!” bujuk Dian. Alvin menggeleng, merapatkan tubuh kecilnya ke dada Dian. Dua malam ini hanya Dian yang bisa mengantarkan Alvin tidur. Alvin sangat tergantung pada Dian. Mungkin cuma sementara, nanti juga akan normal kembali, pikir Dian. Tapi kehidupan normal macam apa untuk Alvin? Nadya tak akan kembali, setiap malam Alvin akan pergi tidur tanpa diantar Nadya lagi, keluh Dian dalam hati. Kalau begitu Indra harus lebih berperan! Menggantikan Nadya.
“Ayo Alvin, tidur sama nenek ya!” kata Bu Irawan, dia merasa kasihan pada Dian yang hampir tak bisa meninggalkan Alvin. Alvin menempel ketat pada Dian terus. Meski Dian tak mengeluh, tapi tentu tak selamanya bisa melayani Alvin, pikir Bu Irawan. Melihat Alvin, dia teringat pada Indra masih kecil yang selalu ingin bermain dan bersama dengan Dian.
“Nggak mau! Tidurnya sama Tante Dian aja!” kata Alvin, menyembunyikan wajahnya di bahu Dian. Iwan dan Indra kebetulan masuk ke ruang keluarga dan melihat ulah Alvin. Iwan tersenyum, membatalkan untuk mengajak Dian pulang ke rumah.
“ Alvin, sini sama Papa! Kita bobo yuk! ” panggil Indra. Alvin berbalik menghadap Indra. Menggeleng, kembali memeluk Dian.
“Nggak, sama Tante Dian aja” kata Alvin mengeratkan pelukan tangannya di leher Dian.
“Dian, antarkan Alvin tidur deh!” kata Iwan, menyuruh Dian. Tak tega melihat Alvin. Dian segera bangkit, menuntun Alvin ke kamarnya.
Alvin memang sudah sangat mengantuk. Setelah menyikat gigi dan mencuci kaki dan berganti baju, Alvin naik ke tempat tidur. Alvin tak rewel, hanya minta Dian berbaring di sebelahnya, dan memegangi tangan Dian. Tak lama kemudian tertidur lelap. Justru Dian yang jadi sentimental, teringat Nadya, karena melihat foto Nadya memeluk Alvin, masih dipasang di atas meja kecil di samping tempat tidur Alvin. Dian menyusut airmata yang deras mengalir. Dian duduk di tepi tempat tidur Alvin, menyusuti airmata dengan selendangnya, ketika Indra membuka pintu kamar Alvin. Dian kaget kepergok Indra sedang menangis. Bergegas berdiri, untuk meninggalkan kamar Alvin. Indra menggandeng Dian keluar kamar tanpa berbicara. Iwan yang sedang duduk dekat Bu Irawan melihat Dian menangis lagi, segera berdiri. Menyambut Dian, menggantikan Indra menggandengnya.
“Kita pulang ya” ajak Iwan, Dian mengangguk.
“Mama Irawan, saya pulang dulu ya” kata Dian, menyalami Bu Irawan yang segera memeluknya. Dian juga berpamitan dengan Mbak Nana dan Mbak Maya.
Juga pamit dengan Indra, yang mengantar Dian hingga ke mobilnya.
Bagi Indra, kehadiran Dian dan Iwan selama tiga hari ini begitu besar artinya. Iwan mengurusi segala macam urusan pemakaman Nadya. Sedang Dian mengatur urusan rumah tangga, persiapan menerima jenazah, menghubungi keluarga Nadya dan keluarganya, mempersiapkan makanan untuk keluarga, catering dan yang terutama mendampingi Alvin. Tanpa mereka berdua, aku tak akan mampu menanggungnya sendiri, kata Indra dalam hati penuh terima kasih.


Sudah tiga puluh tiga hari Nadya pergi. Bu Irawan masih berada di Jakarta menunggu hingga peringatan empat puluh hari baru akan pulang. Hingga hari kesepuluh, setiap sore, pulang kantor Dian harus ke rumah Indra, karena Alvin selalu mencarinya. Di hari ke empat, Alvin malah tak tidur hingga jam dua malam, karena menunggu Tante Dian yang tak juga datang. Indra tak ingin mengganggu dan merepotkan Dian. Besoknya Alvin demam, jadi Indra terpaksa meminta Dian datang.
Hari Sabtu ini Dian mampir ke rumah Indra, menengok Alvin. Indra sedang membersihkan mobil ketika Dian tiba.
“Kok sendirian, Iwan mana?” sapa Indra menghentikan kerjanya melap kaca mobilnya.
“Ke Medan, Senin baru pulang” sahut Dian.
“Nggak bawa mobil?” tanya Indra, Dian menggeleng.
“Malas, lagi capek. Naik angkot aja” kata Dian.
“Lagi capek bukannya tidur! Malah kesini” kata Indra. “Mama di dalam tuh, lagi masak” kata lagi Indra, sebenarnya dia senang sekali Dian datang. Dian masuk ke dalam rumah dari pintu garasi. Menemui Bu Irawan yang sedang berdiri di depan kompor di dapur.
“Mama, lagi masak apa? Baunya enak nih!” sapa Dian mengagetkan Bu Irawan.
“Dian! Mama masak ikan bakar! Makan siang disini kan?” jawab Bu Irawan, senang sekali Dian datang. “Mana Iwan?” tanya Bu Irawan.
“Mas Iwan ke Medan, Ma” jawab Dian sambil menunduk ke arah panci yang sedang menggelegak, menghirup wangi sayur yang sedang dimasak..
“Kalau gitu pulang malam saja. Ngapain di rumah, lebih baik temani Mama disini” kata Bu Irawan. Dian tak menjawab, tersenyum saja.
Indra masuk mencuci tangan di wastafel. Sudah selesai rupanya membersihkan mobilnya. Setiap Sabtu supirnya libur. Indra mengeringkan tangannya dengan lap. Kemudian memandang ke jam dinding.
“Aku pergi dulu jemput Alvin, ….. eh Dian, ikut nggak?”kata Indra, Dian menggeleng.
“Ah…. udah ikut aja, temani aku! Dian…ayo….. malas amat sih!” ajak Indra, menarik tangan Dian.
“Ma, pergi dulu ya jemput Alvin” kata Dian berjalan mengikuti Indra, Bu Irawan mengangguk. Masih saja mereka seperti dulu, suka saling memaksakan kehendak. Tapi juga saling dukung!pikirnya.
Sekolah Alvin tak terlalu jauh dari rumah Indra, sekitar tiga kilometer. Rupanya kelas belum usai. Alvin masih belajar. Anak-anak TK itu rupanya acara makan bersama. Indra dan Dian menunggu di dalam mobil sambil mengobrol macam macam. Ketika lonceng berbunyi, Dian menjemput Alvin di depan pintu kelas. Alvin senang sekali melihat Dian yang menjemputnya. Sudah seminggu dia tak berjumpa dengan Dian.
“Alvin, ini baju seragam kenapa kotor sekali? Alvin tadi jatuh ya?” tanya Dian karena melihat noda tanah pada bagian dada dan lengan Alvin.
Alvin mengangguk. Bu Rina , guru Alvin menemui dan mengajak Dian ngobrol sebentar. Dian menanyakan tentang Alvin.
“Alvin agak berubah Bu” kata Bu Rina menjelaskan. “Dia tak mau menjawab kalau kita bicara soal Mamanya. Itu tadi seragamnya sampai kotor sekali, main di lapangan sampai jatuh!” lanjut Bu Rina.
“Tapi tidak ada perubahan yang mengganggu kan Bu?” tanya Dian. Bu Rina menggeleng. Tapi kemudian Bu Rina mengangguk dan tersenyum. Rupanya Indra berada di belakang Dian, juga mendatangi Bu Rina.
“Selamat siang Pak Indra!” sapa Bu Rina pada Indra. Indra menyalaminya.
“In, aku tanya soal Alvin, menurut Bu Rina nggak ada masalah. Soal Nadya mudah mudahan nggak membuat Alvin sedih” kata Dian.
“Oh, begitu. Terima kasih Bu” kata Indra. “Ayo kita pulang” ajak Indra. Menuntun Alvin ke mobil, Dian menyusul dari belakang sambil menenteng tas sekolah Alvin. Murid lain juga sudah meninggalkan sekolah kecil ini.
“Kita mampir ke Supermarket dulu ya” kata Indra. Alvin senang sekali.
“Beli es krim ya Pa! Sama kue ya Pa!”kata Alvin, Indra mengangguk.
Mereka tiba di Supermarket, Indra dan Dian berkeliling mengambil keperluan untuk Alvin. Susu, cereal, es krim dan kue. Indra juga beli apple, jeruk dan kopi instant. Kemudian juga sekotak pewangi ruangan khusus untuk mobil.
Sebelum berangkat Indra memasang botol pewangi mobil, wangi jeruk terasa segar di dalam mobil. Dian merasa agak lelah dan mual, menutup mulutnya dengan tangan.
“Dian, kenapa? Sakit?” kata Indra melihat Dian menutupi hidungnya, Dian menggeleng. Mual segera hilang. Tapi dekat rumah Indra rasa mual muncul lagi.
Begitu Indra memarkir mobil di garasi, Dian bergegas keluar mobil, setengah berlari masuk ke toilet melalui pintu garasi. Indra heran melihat tingkah Dian. Kemudian bersama Alvin masuk ke rumah dan meyuruh Mbak Yun mengambil kantong belanjaan di mobil.
“Dian, Dian! Buka pintunya!” kata Indra sambil menggedor pintu toilet. Terdengar suara Dian sedang muntah. Bu Irawan muncul dari kamar tidur.
“Ada apa?” tanya Bu Irawan, melihat Indra dan Alvin berdiri di depan pintu toilet.
“Dian Ma! Muntah muntah” kata Indra cemas. Dian muncul membuka pintu toilet dengan wajah letih.
“Dian, kenapa? Mual ya?” sambut Indra, membimbing Dian duduk ke sofa. Bu Irawan datang dengan segelas air putih. Dian meminumnya, dan bersandar di sofa. Alvin mengikuti Dian sambil memegangi tangan Dian. Juga cemas.
“Aku merasa tiba-tiba mual cium bau pewangi mobil tadi! Baunya nggak enak banget!” kata Dian. Indra justru heran. Bukan sekali ini Dian naik mobilnya, dan parfum mobil itu yang selalu di beli Indra. Biasanya tidak apa-apa.
“Lho, kan dari dulu aku pakai itu!” kata Indra. “Kamu lagi nggak sehat aja” kata Indra.
Bu Irawan menatap Dian, ada yang berubah pada Dian, pikirnya.
“Alvin, Tante nggak apa-apa. Sekarang Alvin ganti baju ya, seragammu kotor sekali” kata Dian, tak menghiraukan tatapan heran Indra. Alvin menurut, berlari ke belakang mencari Mbak Yun minta berganti pakaian. Indra masih duduk di samping Dian.
“Dian, Mama minta maaf mau tahu urusanmu. Haidmu teratur nggak?” kata Bu Irawan. Dian terpana mendengar pertanyaan Bu Irawan. Menutup mulutnya dengan tangannya. Dian ingat haid terakhirnya dua bulan yang lalu. Mungkin aku?
“Ma,…….saya…….!” kata Dian tak dapat meneruskan ucapannya. Bu Irawan tersenyum lebar. Indra menepuk pundak Dian, merengkuhnya.
“Semoga benar dugaan kita, kau bukan sakit” kata Bu Irawan. “Dian, harus check ke dokter dulu untuk kepastiannya” kata Bu Irawan melanjutkan. Dian senang sekali, ingin Iwan segera pulang. Bersama-sama memeriksanya.
“Kita makan siang dulu yuk, biar nggak mual lagi” ajak Indra. Memang sudah waktu makan siang.
“Dian, kau harus hati-hati ya! Jaga kesehatan!” kata Indra, membimbing Dian ke meja makan. Indra bahagia sekali Dian bisa hamil lagi. Dia ingin Dian merasakan kebahagian memiliki anak, seperti dia dan Nadya memiliki Alvin.
Nadya! Indra menyebut namanya dalam hati. Tidak lagi hadir di meja makan. Di samping Alvin biasanya duduk Nadya. Siang ini Dian duduk di situ, di kursi yang dulu di tempati Nadya, di samping Alvin, di depannya. Dian sedang memisahkan tulang-tulang dari ikan bakar di piring Alvin. Dulu hal itu dilakukan Nadya, pemandangan biasa. Tapi sekarang hanya kenangan, keluh Indra. Alvin memperhatikan gerakan tangan Dian kemudian menatap wajah Dian.
“Nah, sudah nggak ada tulang lagi! Ayo, sebelum makan Alvin baca doa dulu!” kata Dian, menarik tangan Alvin, membuka telapak tangan menghadap ke atas. Alvin berdoa dengan lancar. Dian menatap Alvin dengan senyum manis. Kemudian Dian menyerahkan sendok dan garpu ke tangan Alvin.
“Makan deh” kata Dian, Alvin mulai menyendok makanannya. Dian kemudian mengalihkan perhatiannya pada piring kosong di hadapannya. Ketika itu Dian baru menyadari Indra dan Ibunya sedari tadi memperhatikan Dian ketika melayani Alvin. Tatapan Indra dan Bu Irawan yang sedih menyadarkan Dian, keluarga ini masih merasakan kehilangan Nadya.
Indra cepat mengalihkan perhatian dengan menyendokkan nasi untuk Dian. Tak terlalu banyak, Indra tahu Dian tidak suka makan nasi terlalu banyak. Dian lebih suka banyak sayur dan ikan.
Sejak dulu, kenang Indra, kalau mereka makan bersama, di kantin sekolah, di warung, di restoran, di rumah, setengah porsi nasi Dian pasti di pindahkannya ke piring Indra. Tugas Indra menghabiskannnya. Biarpun Indra protes karena nasinya juga banyak atau sudah kenyang, Dian tak peduli.
“Habiskan ya!” perintah Dian, selalu pada Indra. Kali ini Indra akan mengucapkan perintah itu untuk Dian. Sayang Indra sudah terlambat. Dian buka mulut duluan!
“Indra, nasinya kebanyakan! Ambil lagi, buat kamu!” kata Dian, tersenyum.
Biar Indra mencoba mempelototi Dian, Dian tetap tak bisa dilawannya. Aku selalu tidak punya kesempatan! keluh Indra. Apalagi kalau Dian sudah senyum tapi sambil mengancam dengan matanya.
Ibu Irawan tersenyum senyum. Dia ingat kejadian seperti ini sangat sering terjadi saat memulai makan bersama, sejak mereka berdua masih sangat kecil. Indra harus mengalah, mengambil sebagian nasi dari piring Dian. Selalu ada sebagian milik Dian untuk Indra. Bukan hanya nasi, kue, permen atau buah. Baca buku baru juga sama-sama, nonton video baru bersama sama. Mendengarkan lagu dari kaset atau CD yang baru beli juga harus sama-sama.
Dia sendiri dan suaminya selalu merasa apapun untuk Indra selalu teringat untuk Dian. Anak itu telah mematri hatinya, sejak dia lahir. Ada ruang di hatinya buat Dian. Dia terpukau pada bayi kecil Dian yang berselimut kain flannel warna merah muda itu. Ketika dia menggendongnya, mata Dian menatapnya, kemudian berkedip lucu. Bu Irawan waktu itu merasakan kontak batin dengan Dian. Karena itu dia meminta dinamai Dian, mirip dengan namanya sendiri, Diana. Suami isteri Hidayat tak keberatan.
Rasa sayang pada Dian itu mungkin muncul karena dia tahu dari dokternya, untuk hamil dan melahirkan lagi kemungkinannya sangat kecil baginya. Padahal dia sangat ingin punya anak perempuan. Dia dan suaminya selalu hadir dalam setiap tahap kehidupan Dian. Rasa sayang pada Dian tetap tak berubah meski Nadya kemudian mendampingi Indra. Kasihnya abadi dan tulus untuk Dian.
Orang tua Dian yang jadi sahabat mereka juga sangat toleran. Dian dapat bebas berteman dengan Indra. Dian seperti anak gadis mereka saja di rumah mereka. Setiap dia pergi keluar kota, Dian selalu mendapat oleh-oleh darinya. Apalagi kalau ulang tahun atau hari raya. Dian sendiri sangat sayang pada orang tua Indra. Pernah Bu Irawan sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit hampir dua minggu. Dian menungguinya setiap hari, sepulang sekolah hingga malam. Bahkan pada malam libur, menginap di rumah sakit bersama Indra. Melayaninya, menungguinya bahkan menyuapinya makan dengan tulus.



7. WANGI BUNGA BAKUNG


Dian bangun pagi ini dengan hati penuh harap suaminya Iwan segera pulang. Ada banyak hal yang ia ingin diceritakan pada Iwan. Dian bergegas bangun dan sholat subuh. Dian membuka pintu kamarnya, melihat Bik Atun sedang menyapu lantai. Bik Atun segera menghentikan pekerjaannya, berjalan ke meja dapur hendak membuatkan minuman untuk Dian.
“Bik Atun, susu untuk saya jangan dikasih kopi ya” kata Dian, teringat pesan Bu Irawan agar berhati hati dulu dengan makanan atau minuman. Termasuk minum kopi, siapa tahu dia memang benar-benar hamil. Dian juga ingat pesan Indra tadi malam, ketika mengantarkan Dian pulang ke rumah.
“Baik Bu!” sahut Bik Atun.
Dian duduk menghadapi piring berisi roti dan telur ceplok untuk sarapannya pagi ini. Susu hangat baru saja disajikan Bik Atun. Dian baru saja selesai mandi dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Supir kantornya belum datang, mungkin masih diperjalanan. Hari ini Dian sangat malas untuk sarapan pagi, tidak ada Mas Iwan, pikir Dian. Sudah hampir seminggu begini, sejak Iwan tugas ke Medan, setiap hari. Bosan, tidak ada teman buat ngobrol sambil makan.
Dian tiba di rumah hampir jam setengah tujuh malam. Sebelum keluar mobil, Dian berpesan pada supirnya Pak Heru untuk besok menjemput jam sembilan saja. Dian besok akan langsung pergi ke kantor kliennya untuk rapat jam sepuluh pagi.
Dengan santai Dian menenteng tas kerjanya di tangan kiri, memegang dengan tangan kanannya sekotak kue, kesukaan Mas Iwan, brownies. Tadi Dian membelinya di toko kue. Dengan pinggulnya Dian menutup pintu mobil. Meski terasa capek, Dian ingat hari ini Mas Iwan pasti sudah di rumah, Dian jadi bersemangat. Baru Dian akan masuk halaman rumah, dia sudah melihat Iwan berdiri di teras, menyambut Dian dengan senyum kangen. Iwan tadi melihat mobil Dian berhenti di depan rumah dari balik jendela kamar. Dari tadi sudah menunggu nunggu Dian sambil berbaring di kamar.
Dian ingin segera berlari, tapi kemudian ingat pesan Indra.
“Dian, kalau hamil jalan hati-hati, jangan lari!” kata Indra kemarin, karena tahu kebiasaan Dian yang masih saja suka berjalan cepat-cepat atau lari.
Dian berjalan dengan tenang mendekati Iwan, Iwan menyambut Dian dengan pelukkan dan ciuman di pipi. Menggandeng Dian masuk rumah.
“Mas Iwan, besok mau anter aku ke dokter nggak?” kata Dian, ketika mereka telah selesai makan malam dan duduk di depan televisi yang tidak dinyalakan, di ruang keluarga. Rumah terasa sepi, sudah jam delapan lewat. Bik Atun mungkin sudah masuk ke kamarnya, menonton televisi.
“Ada apa? Kamu sakit?” jawab Iwan, menatap Dian. Dia tak melihat tanda Dian sedang sakit. Dian memang jarang sakit. Biasanya hanya flu ringan, dia rajin berolah raga dan makan teratur. Dian menggeleng, tersenyum membuat Iwan penasaran.
“Nggak sakit kok. Ke Dokter Markus, tahu kan?”kata Dian. “Mas aku baru sadar kemarin, sudah dua bulan belum haid” lanjut Dian. Ucapan Dian membuat Iwan memeluk Dian kegirangan. Menciumi pipi Dian.
“Mas, tenang dulu! Jangan buru-buru senang! Belum pasti! Makanya harus periksa ke dokter” kata Dian. Iwan tetap tersenyum gembira.
“Dian, nggak usah nunggu besok. Ayo ke apotik aja” ajak Iwan semangat. Iwan ingat dulu mereka pernah membeli alat tes kehamilan sekali pakai. Betul juga pikir Dian, kenapa tak terpikir olehnya. Tapi Dian memang ingin membagi cerita bahagianya bersama Iwan.
Iwan segera mengeluarkan mobilnya, menunggu Dian sedang memberi tahu Bik Atun mereka akan pergi sebentar. Dian masuk ke dalam mobil, Iwan menyalakan AC dan mobil bergerak meninggalkan rumah mereka. Udara dingin segera mengalir sekaligus menebarkan wangi jeruk segar, parfum mobil. Dian merasakan lagi rasa tak nyaman di perutnya, berkembang jadi mual. Dian ingat kemarin, ketika naik mobil Indra. Dian segera mengambil dan menutup botol pewangi mobil, memasukkannya ke dalam laci dashboard mobil. Iwan mengamati heran.
“Kenapa?” tanya Iwan melihat tingkah Dian yang aneh.
“Nggak tahan baunya!” kata Dian “Aku mau muntah” kata Dian sambil membuka sedikit jendela mobil di sisi kirinya. Iwan tertawa senang, semoga benar dugaan mereka, kata Iwan dalam hati penuh harap. Dian kemudian menceritakan kejadian kemarin ketika naik mobil Indra.
Hasil test yang mereka lakukan di rumah membuat Dian dan Iwan benar benar bahagia. Positif. Dian hamil, garis penunjuk pada alat test sangat jelas. Dian menangis dalam pelukan Iwan saking gembira. Iwan memeluk Dian tanpa kata kata. Dia begitu gembira, setelah lima tahun pernikahan mereka.
“Besok pagi kita ke dokter” kata Iwan akhirnya. “Kita perlu tahu apa yang harus dilakukan. Apa yang boleh dan tidak” kata Iwan. Dian setuju, semua rencana besok untuk kantor akan dibatalkannya, hingga semua beres. Iwan akan antar Dian sampai pemeriksaan selesai. Malam itu Dian dan Iwan baru tertidur setelah jam sebelas malam. Tidur dengan hati penuh kebahagiaan.
“Selamat ya!” kata Dokter Markus, menyalami Dian dan Iwan ketika mereka berpamitan setelah Dian diperiksa dan dinyatakan hamil dua belas minggu. Mereka segera pulang ke rumah setelah ke apotik menebus resep obat dari dokter. Obat anti mual, vitamin dan lainnya. Juga membeli sekaleng susu untuk wanita hamil.
Mereka akan istrirahat di rumah hari ini. Masing masing menghubungi kantor, memberi tahu anak buah mereka, memberitahu tak akan datang ke kantor, ada masalah yang harus mereka selesaikan di rumah. Meminta agar jika ada hal yang penting baru menghubungi mereka. Iwan dan Dian benar-benar ingin menikmati kebahagiaan mereka.
Dian dan Iwan baru saja makan siang ketika telepon di ruang keluarga berdering. Iwan menerimanya, Dian tahu dari cara Iwan bicara, pasti dari Indra.
“Iya, In, sudah pasti. Oh… terima kasih ya! Bilang Mama juga. Dian bilang kemarin muntah di rumah kamu ya? Nggak , nggak sakit, Dian sehat! Cuma aku minta hari ini dia istirahat aja. Aku juga nggak ke kantor. Okay, mau ngomong sama Dian, In?” kata Iwan, ngobrol dengan Indra.
“Hallo, Indra! Eh… makasih ya! Okay… okay, pasti dong aku jaga baik baik! Nggak, aku pakai supir atau dianter Mas Iwan! Oh… beres, siapa lagi yang aku minta tolong kalau bukan kamu. Awas aja kalau nggak mau!” kata Dian ngobrol dengan Indra sambil tertawa tawa. Iwan mendengarkan dua sahabat itu bicara sambil duduk di samping Dian.
Sore hari Dian mengabari Mamanya yang menyambut dengan hangat berita gembira dari Dian. Dian juga mengawabri Bu Irawan. Malamnya dua adik perempuan Iwan datang berkunjung, Larasati dan suaminya Joko serta Saraswaty dan suaminya Syaiful. Mereka pulang dari kantor langsung ke rumah Iwan dan Dian. Mereka ingin memberikan ucapan selamat pada Iwan dan Dian, bahkan membawakan hadiah sekaleng susu, buah buahan dan cream pelembab khusus untuk daerah perut. Rupanya Iwan telah memberi tahu adik-adiknya. Menurut Saras, dia malah sudah telpon ibunya di Kediri, mereka sangat senang mendengar berita ini. Jadi Dian akhirnya menelpon mertuanya.
“Ibu, ini Dian! Ibu sudah tahu ya, maaf Dian baru sempat telpon Ibu sekarang. Iya Bu, kata dokter sudah dua belas minggu. Ya, cuma sedikit mual kalau cium baru parfum. Ini di rumah lagi ada Dik Laras dan dan Dik Saras. Makasih Bu! Tolong doa ya Bu, semua sehat. Oh….. Mama sudah saya beritahu, baru aja telpon! Iya Bu.. ya, terima kasih. Salam sama Bapak dan Eyang! Ini Mas Iwan mau bicara sama Ibu” kata Dian. Kemudian menyerahkan gagang telpon pada suaminya. Dia kemudian kembali ngobrol dengan kedua iparnya dan suami mereka.

Kehamilan Dian berjalan lancar. Dian sehat dan pertumbuhan janinnya juga baik. Hingga usia kehamilan mencapai dua puluh delapan minggu ini semua berjalan baik. Pertambahan berat badan Dian juga normal. Diawal kehamilan, Dian hanya tak tahan bau parfum mobil saja, yang lain tak masalah. Itupun hanya berlangsung sekitar sebulan. Tak ada makanan yang di tolaknya. Dian juga tidak manja atau bertingkah aneh. Pekerjaan kantornya berjalan lancar. Cuma dia memang berusaha untuk tidak tugas ke luar kota dan setir mobil.
Hari Sabtu ini Dian sedang menunggu Iwan yang menjemput Ibu dan Ayahnya di bandara Soekarno Hatta. Mamanya sudah tiba kemarin pagi, sekarang sedang di rumah Indra, ingin bertemu dengan Mama Indra, Bu Irawan. Indra menjemput Mamanya pagi tadi. Bu Irawan kini untuk sementara tinggal di Jakarta, menemani Indra mengurus Alvin, sejak Nadya meninggal. Papa Indra sebulan sekali datang ke Jakarta, karena dia masih harus mengurusi usahanya di Banjar Baru. Usaha yang dirintisnya bersama dengan almarhum ayah Dian, Pak Hidayat. Posisi ayah Dian sekarang diisi oleh Donny, meski masih harus dibimbing oleh Pak Irawan.
Minggu depan mereka berencana mengadakan upacara siraman tujuh bulan kehamilan Dian, makanya Mama dan kedua mertuanya datang. Dewi dan Donny juga akan datang. Untuk persiapan acara itu, Dian dibantu oleh adik-adik Iwan. Tugas Dian hanya mengundang tetangga dan kawan-kawannya serta keluarga. Makanan urusan Laras semua. Acara siraman, pengajian semua diatur Saras. Sedangkan Indra, tanpa diminta mengirimi seperangkat keranjang bayi dari rotan yang sangat indah berlapis kain flanel, satu set pakaian, selimut, cosmetic untuk bayi serta baju hamil untuk Dian berwarna pink. Sebuah kartu kecil berisi pesan Indra.
“Untuk Dian dan Iwan. Semoga selalu berbahagia menanti lahirnya keponakanku! Doa kami semua, Papa & Mama Irawan, Indra dan Alvin.
Iwan senang sekali dengan hadiah Indra. Dia merasa tak sabar untuk membawa bayinya yang akan lahir dengan keranjang bayi itu. Malah mencoba memasukkannya keranjang bayi itu dalam mobilnya. Pas dengan keinginannya. Dian dan Iwan pernah ke toko perlengkapan bayi di Kelapa Gading, melihat lihat barang yang nanti akan merekai beli. Salah satunya keranjang bayi ini. Ternyata Indra menghadiahkannya untuk mereka.
Setelah acara utama berlangsung, Dian dan keluarga masih berkumpul dengan keluarga dan berfoto bersama. Iwan sangat gembira, malah dia sempat meminta Donny memotret mereka berdua di kamar bayi dengan keranjang bayi hadiah dari Indra. Lebih konyol lagi, dia juga meminta Indra untuk berfoto bersama Dian, juga dengan keranjang bayi. Semula Indra menolak, sambil tertawa tawa.
“Nggak ah…. nanti yang nggak tahu mengira Dian hamil gara-gara gue!” kata Indra menolak, sambil tertawa. Iwan tetap memaksa Indra, sambil tertawa-tawa.
“Indra, masa gitu aja nggak mau! Kan nanti anak gue jadi tahu, sejak dalam perut Mamanya, Om Indra sudah sayang sama dia, betul nggak? Makanya, foto aja! Ayo…In, Nggak sakit kok!” desaknya sambil bercanda.
Seperti biasa, Indra langsung bersedia. Jadilah Dian dan Indra berfoto bersama.
“Awas, jangan salah pajang dan kasih caption fotonya ya!” pesan Indra bercanda. Iwan tetap tertawa-tawa, Dian akhirnya juga ikut tertawa. Indra merasa sedikit gundah, entah mengapa.

Sabtu ini Dian tak ada rencana pergi ke mana-mana. Janjian dengan Iwan untuk istirahat di rumah saja. Mama Dian sejak pagi tadi sudah di jemput Indra, bersama dengan Mama dan Papanya akan ke rumah kerabat di Bogor. Mereka mungkin akan sekalian menginap di Puncak. Sebenarnya Indra mengajak Dian dan Iwan untuk ikut juga. Tapi Dian menolak, ingin istirahat saja.

Iwan masih membersihkan mobilnya, Dian beberapa kali mengingatkan Iwan agar segera makan pagi, karena sejak bangun tidur dia hanya minum kopi susu. Sekarang sudah jam sepuluh. Roti bakar dan telur yang dibuatkan Dian belum juga di makan Iwan. Iwan memang paling suka mengutak atik mobilnya.
“Mas, kapan mau makan! Sudah jam sepuluh! Sakit nanti!” kata Dian, mengingatkan lagi. Iwan hanya tersenyum menatap Dian, melanjutkan lagi kegiatannya.
Hampir jam dua belas baru Iwan duduk di meja makan, langsung makan siang. Dia tak menanggapi Dian cemberut, kesal karena Iwan melewatkan makan paginya. Dian duduk berhadapan dengan Iwan di meja makan.
“Dian, senyum dong! Masa lagi makan cemberut!” goda Iwan.
“Iya, Mas Iwan kalau aku aja harus teratur! Dian ayo makan pagi! Dian ayo sudah makan siang belum? Dian cepat makan malam! Dian susu kamu belum dihabiskan! Mas Iwan sendiri nggak jaga kesehatan! ” omel Dian.
“Ih……. Marahnya serius! Maaf, maaf deh! Mas Iwan tadi kerjaannya lagi tanggung” jawab Iwan. Iwan tahu Dian sangat sayang padanya. Dulu, gara-gara mengabaikan makan siang, Iwan juga pernah sakit perut dan muntah muntah, Dian sampai menangis ketakutan.
Sore hari Iwan mengajak Dian jalan jalan ke Mall sekalian makan malam. Akhirnya Iwan tertarik dan membeli camera video disebuah toko elektronik.
“Dian, semua moment mulai sekarang harus kita rekam sampai bayi kita lahir dan besar. Jadi kita perlu camera ini” kata Iwan memberi alasan mengapa dia perlu beli camera itu. Masuk akal dan ide Iwan bagus juga, jadi bisa buat dokumentasi, pikir Dian. Hingga jam sebelas malam, setiba di rumah Iwan mempelajari dan mencoba menggunakannya. Tentu saja objeknya adalah Dian.
Semua kegiatan Dian di ikuti Iwan dengan kameranya. Dian protes juga tak di gubrisnya. Dia juga membuat rekaman mereka berdua.

Senin, sekitar jam empat subuh Dian terbangun karena Iwan mengeluh sakit perut. Meminta Dian untuk mengambilkan balsam. Dian bangkit menuju meja rias, mencari balsam yang biasanya dia letakkan disana. Dia agak heran dengan Iwan, biasanya dia kalau hanya untuk ambil balsam tak akan meminta Dian melakukannya. Apalagi membangunkan Dian yang sedang tidur nyenyak. Dian bangun perlahan, karena perutnya yang mulai merepotkan gerakkannya. Tidak lagi gesit.
“Ini Mas!” kata Dian, menyerahkan botol balsam sambil mendekati Iwan yang berbaring. Iwan diam saja tak menyambutnya. Dian melihat wajah Iwan, pucat dan menahan rasa sakit. Akhirnya Dian membuka baju Iwan dan mengoleskan balsam. Mencoba mengurutnya pelan pelan.
“Sakit disini?”tanya Dian ketika terasa perut Iwan yang agak mengeras. Iwan mengangguk. Dian mengolesi lagi bagian perut Iwan yang mengeras dengan balsam dan mengurutnya perlahan. Tak disangka, gerakan tangan Dian malah membuat Iwan meringis kesakitan. Aneh!
“Mas Iwan, sakit sekali ya?” kata Dian, melihat Iwan meringis dan memegangi tangan Dian.
“Rasanya mules mau ke belakang nggak?” desak Dian, Iwan menggeleng.
“Mau muntah?” tanya Dian lagi, Iwan juga menggeleng. Hanya memegangi tangan Dian yang sedang meraba perutnya.
“Kita ke rumah sakit!” kata Dian, bergerak bangkit. Iwan mempererat pegangannya pada tangan Dian.
“Besok aja” kata Iwan lemah.
“Sebentar, aku cari obat penahan sakit dulu” kata Dian, teringat pernah menyimpan di rak. Barangkali bisa berguna, menunggu pagi, pikir Dian. Betul saja, Iwan merasa lebih baik. Akhirnya dapat berangkat ke kantor.
“Mas, jangan lupa hari ini ke dokter, periksa itu perut kenapa tiba-tiba kok sakit” kata Dian, ketika berada di mobil menuju ke kantornya. Hari ini Iwan mengantarnya. Iwan hanya mengangguk.
“Ke dokter aku temani ya?” kata Dian. Iwan menggeleng.
“Dian aku ke dokter besok aja. Hari ini rapat sampai malam. Rasanya sudah baikan kok!” sahut Iwan. Dian pasang muka cemberut, Iwan hanya tertawa melihat ulah Dian. Mereka sudah tiba di depan kantor Dian. Setelah Dian turun dari mobil, Iwan memacu mobilnya ke arah barat. Ke sebuah rumah sakit.
Setelah hampir satu jam menunggu giliran diperiksa oleh Dokter Basri, kemudian pemeriksaan dengan alat scan, Iwan kemudian menunggu hasilnya dari Dokter Basri. Dokter Basri duduk di hadapan Iwan, membenahi berkas-berkasnya. Iwan memperhatikan, menunggu tak sabar.
“Apa Anda mengetahui penyakit ini sebelumnya, makanya langsung ke rumah sakit khusus seperti ini?” tanya Dokter Basri. Iwan menggeleng tampak ragu.
“Saya menduga saja Dok!” kata Iwan, mulai memahami arah pembicaraan Dokter Basri.
Iwan pernah beberapa kali mengeluarkan darah dari dubur. Dia mengabaikannya. Selain itu tak memberitahukan pada Dian, karena mengira hal biasa saja. Ketika sebulan lalu terjadi lagi, Iwan pernah membaca artikel di sebuah majalah, salah satu tanda penyakit ini adalah hal itu, pendarahan. Iwan sadar ada yang tak beres dengan tubuhnya.
“Langkah anda sudah tepat, datang ke sini. Semoga saya bisa membantu” kata Dokter Basri perlahan, sambil menatap Iwan. Sebenarnya tak ada yang bisa kulakukan lagi, keluh Dokter Basri menyesali dirinya sendiri.
Iwan mendengar ucapan Dokter Basri bagaikan kepalanya dipukul dengan palu. Lunglai! Mengapa disaat dia sedang menanti kelahiran anaknya? Sebulan lagi Dian melahirkan? Mengapa? Sejumlah pertanyaan muncul di benak Iwan. Dia menatap Dokter Basri, menunggu lagi penjelasannya.
“Pak Iwan, kita harus tetap berusaha! Anda jangan pesimis!” kata Dokter Basri, mencoba tersenyum, senyum professionalnya sebagai dokter agar pasien bersemangat.
“Dok, sebenarnya seberapa parah? Stadium berapa?” kata Iwan. Dokter Basri kembali membalik balik filenya.
“Empat! Tetap ada harapan sembuh!” kata Dokter Basri pelan sekali, berharap Iwan lebih mempercayai kalimat terakhirku, kata Dokter Basri dalam hati.
Dari file data Iwan, Dokter Basri tahu pria ini masih muda, belum empat puluh tahun. Dia sedang menunggu kelahiran anak pertamanya bulan depan. Semoga dia dapat bertahan lebih lama dari perhitunganku, harap Dokter Basri. Semoga dia sempat melihat anaknya memamerkan gigi susunya, harap Dokter Basri. Semoga dia sempat melihat anaknya berjalan. Aku malah berharap dia bisa mengajari anaknya naik sepeda roda tiga.
Akhirnya Iwan pamit dari kamar periksa Dokter Basri setelah berjanji akan bertemu lagi dengannya seminggu lagi. Kali ini dia hanya menerima resep untuk obat telan. Minggu depan Iwan harus memutuskan melakukan pengobatan lanjutan atau membiarkan penyakitnya berkembang terus. Yang dipikirkan Iwan adalah bagaimana menyampaikan berita ini pada Dian. Dirinya sendiri begitu terpukul, bagaimana Dian menghadapinya dengan kondisi menghadapi kelahiran anak mereka.
Iwan berjalan gontai menuju apotik yang menyatu dengan rumah sakit. Lalu menunggu obatnya disiapkan dengan memikirkan Dian dan anak yang sedang dikandungnya. Masa depan mereka tanpa dirinya. Bagaimana anaknya tumbuh tanpa Iwan, ayahnya. Bagaimana Dian mengurusi dirinya dan anaknya tanpa Iwan. Iwan merasa kehidupannya bersama Dian hampir enam tahun sangatlah bahagia. Hanya hari ini Iwan merasakan begitu sedih karena dia tahu kebahagian itu akan berakhir. Dia akan meninggalkan Dian, selamanya. Siapa yang dapat dia percayai untuk menjaga Dian dan anaknya?
Sudah waktunya makan siang ketika Iwan keluar dari rumah sakit. Dia menimbang-nimbang, ke kantor atau pulang? Akhirnya memutuskan ke kantor saja. Di kantor Iwan menyelesaikan beberapa masalah, menyuruh sekretarisnya mengatur agar dia bisa cuti pada saat Dian akan melahirkan dan seminggu sesudahnya. Iwan juga meminta diadakan rapat divisi yang di pimpinnya besok pagi, dengan pesan semua harus hadir. Sebelum jam empat sore, Iwan telah keluar kantor. Berpesan pada sekretarisnya bahwa dia akan pulang karena merasa kurang sehat. Ingin sekali bertemu Dian.
“Hallo Dian, aku lagi di jalan nih. Sebentar lagi sudah sampai kantormu” kata Iwan begitu Dian menjawab telpon Iwan.
“Hah… cepat sekali! Mas Iwan nggak enak badan ya? Perutnya sakit lagi? Coba pegang dahimu Mas, demam nggak? Sekalian ke dokter aja ya Mas?” kata Dian cerewet. Jika dulu, pasti Iwan akan mengejek Dian habis habisan sebagai ‘tante cerewet’. Sekarang Iwan merasa sangat sedih, Iwan tahu Dian sangat memperhatikannya! Sangat menyayanginya. Tanpa sadar airmata mengalir dari matanya. Cepat cepat Iwan menghapusnya dengan tangan kirinya.
“Nggak sakit! Cuma lagi nggak banyak kerjaan. Jadi pulang cepat, kita makan dirumah aja ya” jawab Iwan.
“Lho, tadi pagi Mas Iwan bilang rapat sampai malam, hari ini akan sibuk banget” kata Dian mengingatkan. Ups! Dia ingat apa yang kuucapkan pagi tadi, pikir Iwan.
“Ditunda, rapatnya besok” kata Iwan…. Ya besok , aku nggak bohong lagi.
“Oh…. Ya sudah! Tunggu aja ya Mas!” kata Dian kemudian menyudahi pembicaraannya dengan Iwan.
Selagi menunggu Dian, Iwan duduk di ruang tunggu kantor Dian. Masih jam empat lewat tiga puluh lima menit. Aku harus menyimpan berita buruk ini dari Dian, tekat Iwan. Aku ingin Dian tetap ceria dan bersemangat hingga saat melahirkan tiba. Bahkan aku ingin Dian tetap dapat berbahagia meski aku tidak bisa lagi bersamanya, pikir Iwan. Maka ketika Dian muncul, Iwan langsung memeluknya seperti biasa. Mencium pipi Dian serta menggandengnya ke mobil sambil mencandai Dian.
“Dian, sejak perutmu gendut, itu cowok yang godain kamu gimana?”kata Iwan. Iwan ingat, dulu Dian pernah di taksir oleh seorang karyawan yang juga berkantor di gedung yang sama dengan kantor Dian. Pria itu mengira Dian masih single. Maka dia mendekati Dian, dengan mengajak makan siang bersama, menawari Dian untuk diantar pulang. Mengirimi sekotak besar kue Black Forest ketika Dian tak muncul di kantin. Mendengar pertanyaan Iwan, Dian tertawa geli, mencubit pinggang Iwan.
“Oh Lukman itu! Masih suka senyum senyum sih! Mungkin kalau aku langsing lagi dia akan kirim kue lagi!” kata Dian, tertawa, membalas canda Iwan. Iwan tertawa, dulu Dian memang langsing.
Tapi bagi Iwan, Dian yang sedang hamil adalah yang paling cantik. Wajahnya selalu ceria. Dia tak pernah mengeluhkan kehamilannya. Padahal Iwan tahu, Dian sering pegal pada kaki dan pinggangnya. Sering merasakan gatal pada kulit perutnya. Karena itu setiap malam sebelum tidur, Iwan selalu memijati kaki Dian dan menguruti punggung Dian.
Dua hari sebelum menemui Dokter Basri, Iwan sudah berketetapan hati. Setelah berfikir keras, menimbang nimbang. Bila Iwan akan berterus terang pada keluarganya sendiri, lalu Bapak Ibunya akan datang ke Jakarta. Larasati dan Saraswati adik-adiknya akan menangis nangis! Semua bikin kondisi akan tak terkendali. Membuat Dian akan makin sedih. Bagaimana ini?pikir Iwan,
Indra! Hanya nama itu yang teringat oleh Iwan. Jadi berbagi saja dengan Indra. Indra harus diberi tahu kondisinya. Indra adalah sahabat Dian dan kini menjadi sahabatnya juga. Tak mungkin membicarakan masalahnya dengan Mr. Smith, atasannya. Juga tak mungkin minta Prastowo, teman karibnya sejak kuliah untuk menjaga Dian dan anaknya. Indra lah yang akan dapat membantu Dian menghadapi keadaan sulit seandainya dia nantinya harus berterus terang pada Dian. Jadi Indra harus tahu apa yang sedang dihadapinya. Penyakitnya, risiko yang dia hadapi.
“Dian, Mas Iwan ada urusan mau keluar sebentar ya. Ketemu relasi. Mungkin jam sepuluh sudah pulang. Tidur duluan ya” kata Iwan ketika mereka selesai makan malam. Dian mengangguk, kemudian mengikuti Iwan masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
“Sekarang mau di olesi punggung nggak?” tanya Iwan, teringat Dian mungkin pegal punggungnya. Dian menggeleng.
“Nanti aja , kalau Mas Iwan pulang” kata Dian.

Iwan menghentikan mobilnya di depan rumah Indra. Indra sudah menunggunya. Alvin menyambut Iwan dengan celotehannya tentang mobil-mobilan baru juga sepatu barunya. Juga menanyakan Dian.
“Mama mana?” Iwan menanyakan Bu Irawan, Mamanya Indra.
“Mama di kamar, sedang sholat Isya. Kok nggak ajak Dian?” sahut Indra.
“Dian lagi capek In, aku sengaja pengen kita ngomong berdua aja” kata Iwan. Indra menatap Iwan curiga. Mereka sedang bertengkar? pikir Indra, menebak.
“Oh…. Ada apa, kok kayanya serius!” kata Indra. Iwan mengangguk.
“Dian?” kata Indra menatap Iwan meminta penjelasan. Iwan menggeleng ragu. Menatap punggung Alvin yang sedang mendorong mobil-mobilannya di lantai dekat mereka duduk.
“Alvin, ini sudah malam. Alvin tidur ya diantar Mbak Yun. Sekarang salam dulu sama Om Iwan” kata Indra. Alvin segera menyalami Iwan dan mencium Papanya. Meninggalkan Indra dan Iwan, duduk di sofa. Indra mematikan televisi.
Iwan terlihat gelisah, menggenggam tangannya, kemudian menengadah.
“Indra, aku minta apa yang aku sampaikan ini hanya kita berdua yang tahu, sampai saat paling tepat semua keluargaku tahu. Aku mau minta tolong, aku sedang mempersiapkan suatu hal yang tak bisa kuhindari. Ada risiko terhadap hubunganku dengan Dian. Jadi aku minta bantuanmu supaya kita bisa mengurangi dampak buruknya. Terutama untuk Dian dan bayi kami” kata Iwan perlahan, berharap Indra menangkap dengan jelas.

“Iwan, aku akan bantu, tapi ada apa ini?” kata Indra, cemas, menatap Iwan yang tak biasanya begini. Iwan menunduk, tenggorokkannya terasa kering.
“Indra, Senin lalu aku ke Rumah Sakit Kanker, sekarang sudah stadium empat” kata Iwan yang diterima Indra bagaikan pukulan di kepalanya. Indra terhenyak di tempat duduknya, diam tanpa mampu mengatakan sesuatu.
“Yang kukhawatirkan adalah Dian, In! Aku ingin dia melahirkan dengan perasaan bahagia, agar kelahiran lebih mudah. Aku tidak tahu berapa lama waktuku. Tapi mengingat ini stadium lanjut, aku akan mempersiapkan Dian, jika sewaktu waktu itu terjadi”kata Iwan, dengan tabah menuturkan keinginannya.
“Dokter memintaku untuk kemoterapi, segera” kata Iwan. “Tapi dampaknya akan terlihat oleh Dian. Dia akan curiga, lalu jadi resah” lanjut Iwan.
“Tapi kamu harus tetap diobati, nggak boleh menyerah” kata Indra.
“In, aku sekarang minum obat telan. Dian mengira itu obat sakit perut biasa. Aku akan minta kemoterapi ditunda hingga Dian melahirkan. Setelah itu pelan pelan memberitahu Dian, bagaimana” tanya Iwan.
“Tapi In, pengobatan jangan ditunda, bahaya” bantah Indra.
“Indra, sebenarnya ini cuma soal waktu aja! Sudah pasti In! Aku cuma memikirkan Dian aja. Asal Dian aman, aku ikhlas!” kata Iwan pasrah.

Indra melamun, terbayang Dian yang ceria. Dulu ketika ayahnya meninggal, berhari-hari Dian menutup diri, meski tidak menangis-nangis, tapi sangat mengkhawatirkan. Dian tak bernafsu makan, tak banyak bicara, duduk di sudut rumah membaca buku. Indra ingat ia dan ayah ibunya menghibur Dian. Bagaimana kalau Iwan benar-benar pergi, keluh Indra, bingung.

“Begini, aku minta bantuan! Aku ada beberapa barang berharga. Rumah, mobil dan tanah. Aku mau itu semua untuk Dian dan anakku. Tolong kau jadi saksi, kita ke notaris besok. Rumah yang kutempati sekarang kan atas nama kami berdua, jadi tak masalah. Ada dua account di bank. Yang satu aku bersama Dian. Yang satunya atas namaku sendiri, dulu waktu buka rekening memang ada pernyataan bahwa kalau aku meninggal account akan jatuh pada ahli warisku. Waktu itu aku buka belum punya isteri. Jadi sekarang aku mau bikin baru, di depan Notaris. Itu tabunganku waktu kerja di perusahaan minyak. Aku ingin supaya tak ada masalah setelah aku nggak ada” kata Iwan dengan tabah, mengungkapkan keinginannya.
“Okay, besok kita pergi. Siapkan datanya aja ya Wan” kata Indra, berusaha tenang. Padahal dia sedang membayangkan bagaimana reaksi Dian nantinya.
“Indra, ada satu lagi. Ini berat sekali, tapi aku harus memintanya, mudah mudahan kamu nggak menolak” kata Iwan, memandang Indra.
“Setelah aku nggak ada, tolong jaga Dian dan anakku” kata Iwan pelan.
“Wan, jangan khawatir soal itu! Umur kan di tangan Tuhan” kata Indra.
“Indra, aku tahu itu! Tapi aku lebih percaya kamu dari pada laki-laki lain yang menjaga Dian!” kata Iwan. Ucapan Iwan sangat jelas maknanya bagi Indra, membuat Indra sangat terkejut.
“Wan, jangan sejauh itu!” kata Indra. “Aku akan jaga Dian, percaya deh! Dia kan sudah seperti adikku” kata Indra.
“Indra, aku benar-benar ikhlas. Usahakan ya In! Sayangi Dian” kata Iwan, kali ini airmatanya tak bisa ditahannya. Indra memeluk pundak Iwan, membiarkannya menangis. Biar lebih tenang pikir Indra. Dia sendiri menitikkan airmata. Saat itu Bu Irawan keluar kamar mendapati Iwan dan Indra yang sedang berpelukan. Menatap heran pada anaknya, yang terlihat juga bermata merah, menangis.
“Ada apa?” tanya Bu Irawan. Iwan kaget menyadari kekhadiran Bu Irawan, menggeleng ragu. Mungkinkah merahasiakan pada orang tua ini? pikir Iwan. bagaimanapun mereka sudah jadi bagian dari keluarga Dian. Minggu depan Mama Dian juga akan datang, untuk menemani Dian menghadapi saat melahirkan. Indra menatap mata Iwan, meminta izin. Iwan mengangguk, tak mungkin kalau mengatakan tidak ada apa-apa. Ibu Indra telah melihat airmata mereka berdua. Dua pria menangis, tentu aneh bila tak ada apa apa.
Indra menceritakan secara singkat apa yang mereka bicarakan. Bu Irawan terdiam.
“Mama, saya meminta Indra untuk menjaga dan melindungi Dian sepeninggal saya” kata Iwan. “Ma, saya minta maaf ini pasti membebani Papa, Mama dan Indra. Tapi saya hanya percaya pada Indra, Ma. Saya ingin Dian tetap bahagia! Mohon izin dan keikhlasan Papa Mama, saya titip isteri dan anak saya pada Indra! Sayangi mereka!” kata Iwan tabah memohon.
“Ya Allah Iwan! Anakku! Dian anak Mama juga. Nggak usah begitu! Kami akan selalu menyayangi Dian. Sudahlah jangan pikir macam-macam. Biar tenang ya, berdoa aja, semoga semua lancar” kata Bu Irawan menghibur Iwan. Hatinya perih, teringat Dian.
“Mama, tolong juga masalah ini dibicarakan dengan Mama Dian. Kalau di rumah saya nggak mungkin membicarakannya, karena takut ketahuan Dian” kata Iwan.
“Baik Wan! Sekarang sudah malam, sebaiknya pulang. Mungkin Dian juga lagi menunggu di rumah. Soal itu biar Mama yang bicara sama Bu Hidayat. Nanti biar dia menginap aja disini” kata Bu Irawan.
Iwan berpamitan dengan Indra dan Ibunya. Indra mengantarkan Iwan sampai di mobil. Ketika akan masuk mobil, kembali Iwan memeluk Indra.
“Indra, aku titip jaga Dian ya” bisiknya Iwan. Indra mengangguk pelan.

Dian melahirkan bayi perempuan ditunggui oleh Iwan dan Ibu Dian. Sedang di luar kamar bersalin, keluarga lainnya berkumpul. Ayah dan Ibu Iwan, adik-adik Iwan, Laras dan Saras serta suami mereka, orang tua Indra, Pak dan Bu Irawan dan Indra sendiri. Indra merasakan kekhawatiran yang sama besar dengan Iwan saat Dian berjuang melahirkan bayinya. Bedanya Iwan berada di dalam kamar bersalin. Indra duduk di kursi ruang tunggu, gelisah.
Bayi Dian perempuan, lucu sekali, sehat dan montok. Iwan kali ini melupakan penyakitnya. Gembira sekali, tampak dari wajahnya. Indra yang justru semakin cemas. Tahap pertama sudah berhasil mereka lalui.

Iwan dan Indra merencanakan, saat orang tua Iwan menginap di rumah salah seorang adiknya, mereka akan menceritakan kondisi Iwan. Iwan tetap minta Indra mendampinginya saat menceritakan itu, karena dia ingin keluarganya tahu peran yang diharapkannya dari Indra. Tahap kedua ini, Iwan mungkin akan memasuki program kemoterapi. Dian akan didampingi Ibunya dan Ibu Indra. Ada beberapa skenario, yaitu Iwan akan tinggal di rumah adiknya dan berlagak tugas keluar kota selama proses kemoterapi. Tapi mungkin juga akan berterus terang pada Dian, sambil mempersiapkan mentalnya, agar bila Iwan benar benar pergi Dian dapat lebih tabah. Iwan ingin skenario kedua, dengan demikian dia masih dapat berkumpul dengan Dian dan anaknya.
“Waktuku singkat sekali. Aku ingin bersama mereka” kata Iwan. Pemeriksaan terakhir oleh Dokter Basri dikatakan kondisi Iwan masih stabil. Meski begitu Dokter Basri mengkhawatirkan terjadi pendarahan mendadak. Iwan memang mulai merasa sering lemas, karena HB darahnya rendah. Nafsu makannya juga berkurang. Tapi Iwan sangat antusias karena kini di rumahnya setiap pagi sebelum ke kantor dia mendengarkan suara tangis bayinya, Adriana. Rasa lemas dapat di abaikannya. Setiap pagi, sebelum berangkat, Iwan selalu mengingatkan Dian agar merekam kegiatan Ana, putri mereka dengan video. Sore, pulang kantor Iwan akan melihatnya. Begitulah dia melalui hari-harinya.
Iwan bahkan telah membicarakan masalahnya dengan keluarganya. Mereka sangat terpukul. Tapi akhirnya menyerahkan keputusan pada Iwan. Karena itu Iwan yang menentukan kapan dia akan menjalani perawatan. Ada rasa sayang pada Iwan bila disaat kemoterapi nanti dia tak bisa menikmati kegiatan bersama Ana dan Dian.
Iwan meminta Indra datang ke rumah saat libur hari Sabtu dan merekam dengan video cameranya, menyuruh Indra menggendong atau memangku Ana. Indra dengan enggan menuruti keinginan Iwan, tapi demi Iwan, dia tak mampu menolaknya. Dian juga turut berpose tanpa curiga bahkan dia sambil memeluk Alvin. Persis bikin foto keluarga. Dian juga beberapa kali meminta Indra dan Iwan berfoto bersama Ana dan Alvin.
Indra sangat tersiksa, merasa seperti seekor binatang buas yang sedang mengendap-endap bersembunyi di semak belukar, mengintai mangsanya. Seakan mengharapkan kematian Iwan. Beberapa kali Indra protes pada Iwan, tapi Iwan hanya tertawa saja.
“Iwan, tolong jangan tempatkan aku pada posisi seperti ini. Aku merasa seperti singa yang siap menerkam mangsa! Menjijikkan sekali”” protes Indra suatu kali, saat janjian bertemu di sebuah kafe sambil makan siang. Iwan memandangi Indra.
“Indra, kamu tahu kan rasanya kehilangan isteri?” Iwan balik bertanya. Indra mengangguk. Lalu apa kaitannya dengan masalah ini? pikir Indra.
“Dian akan merasakan hal yang sama, In! Bahkan lebih berat!” kata Iwan perih.
“Aku tahu secara ekonomi Dian akan mandiri, dia bekerja. Tapi ada banyak hal yang akan dilakukannya sendirian. Seandainya, sekali lagi seandainya kau mau mempertimbangkan Dian, aku akan sangat tenang meninggalkan Dian. Indra aku yakin kalian bisa saling menyayangi seperti sebuah keluarga” kata Iwan, sangat jelas.
Indra menyadari Iwan semakin siap menghadapi kematiannya. Justru Indra yang gelisah. Apalagi Iwan selalu menunda kemoterapi. Alasan Iwan, karena seharusnya proses kemoterapi itu dilakukan pada stadium dini, baru berguna. Kalau sudah seperti dirinya sekarang, hanya membuat sisa hidupnya kurang berkualitas. Indra tak dapat memaksa Iwan.
Ketika Ana berusia empat bulan, Iwan mulai mempertimbangkan untuk berterus terang pada Dian. Dia sudah menelpon Indra, menceritakan rencananya akan bicara dengan Dian nanti malam. Indra mendengarnya agak gugup.
“In, nanti malam! Moga-moga Dian tabah. Tolong doa ya!” kata Iwan terdengar tabah. Indra tak berniat pergi kemanapun nanti malam. Menunggu telpon dari Iwan.
Telpon Indra berdering sekitar jam sembilan malam. Nama Dian berkelap kelip di monitor telepon genggam Indra. Indra mulai gugup. Tuhan semoga Dian tabah! Indra berdoa.
“Hallo Dian! Ada apa? Ana sudah tidur ya makanya telpon?” kata Indra menjawab telepon Dian, mencoba riang.
“Indra…. Indra cepetan kesini! Cepat ke rumah! Mas Iwan sakit” teriak Dian, bercampur tangis dari ujung telepon. Suara Dian ketakutan. Indra benar-benar kaget.
“Dian.. Dian tenang! Aku kesana sekarang. Tunggu ya! Jangan panik!” kata Indra menenangkan Dian. Indra ingat, tak ada lelaki dewasa di rumah Dian selain Iwan. Hanya ada Mama Dian, Bik Atun, Mbak Ani, pengasuh dan Ana, bayinya. Tentu saja Dian sangat panik. Indra memacu mobilnya, untung jalan sudah sepi, dan rumah Dian juga tak jauh dari rumahnya, hanya sekitar empat kilometer. Tapi rasanya jauh sekali.
Indra bergegas masuk rumah Dian, mendapati Iwan sedang berbaring di sofa dengan wajah sangat pucat. Dian duduk di samping Iwan, di sebelah Iwan duduk Mama Dian. Iwan membuka matanya, berusaha tersenyum pada Indra.
“Kita langsung ke rumah sakit aja!” kata Indra. Iwan mengangguk. Indra dan Dian memapah Iwan ke garasi. Indra sudah memarkir mobilnya di garasi. Sebelumnya mengeluarkan dulu mobil jeep Iwan. Iwan kemudian perlahan masuk ke jok belakang mobil sedan Indra. Iwan berbaring dengan bantal yang diletakkan dipangkuan Dian. Sebelum berangkat, Iwan meminta Ana yang sedang tidur dibawa kepadanya. Iwan ingin memberikan ciuman perpisahan untuk Ana. Indra tak tahan melihatnya. Dia ingat Nadya saat dicium Alvin. Kini gantian dia harus menyaksikan itu. Indra menjalankan mobilnya keluar garasi.

“Indra, kok lewat tol, ke rumah sakit mana?” kata Dian melihat Indra memacu mobil ke arah jalan tol.
“Biar cepat!” kata Indra. Dian tak protes. Tapi begitu melihat Indra memacu mobil ke arah barat, Dian mulai curiga. Di sana hanya ada tiga rumah sakit yang dianggap besar. Satu rumah sakit khusus untuk wanita dan anak-anak. Kedua, rumah sakit untuk penyakit jantung. Sedang yang ketiga adalah rumah sakit khusus penyakit kanker. Iwan bukan sakit jantung, jadi Iwan sakit……..? pikir Dian. Tapi kenapa Indra otomatis mengarahkan mobilnya ke sana? Meski sedang kacau pikirannya, Dian masih dapat menemukan kaitannya. Jadi Indra sudah tahu penyakit Iwan? Tuhanku! Sejak kapan?
“Indra kita ke rumah sakit…….?” tanya Dian memastikan dugaannya. Meski dalam gelap mobil Indra dan hanya diterangi lampu jalan, Dian melihat Indra mengangguk. Tanpa kata. Dian makin merasa lemas.
Indra menghentikan mobilnya persis di depan ruang emergency, lalu keluar mobil, berlari dan menghilang di balik pintu. Indra kembali dengan dua petugas yang mendorong kursi roda. Bersama sama mereka memindahkan Iwan ke kursi roda. Kemudian Indra menggandeng Dian mengiringi Iwan menuju ruang periksa .
Dian duduk menangis di samping Indra, saat Indra menceritakan semuanya. Indra memeluk Dian agar Dian lebih tenang dan dapat mendampingi Iwan. Indra kemudian menghubungi adik-adik Iwan. Dalam sejam, mereka sudah tiba di rumah sakit. Kondisi Iwan sangat megkhawatirkan karena pendarahan hebat. Kesadaran Iwan menurun drastis. Maka malam itu dilakukan transfusi darah juga infuse. Indra menunggui hingga hampir pagi.
Menjelang jam empat pagi, Iwan mulai membaik, sudah sadar dan mampu berkomunikasi dengan Dian, jadi Indra berniat pulang. Dia akan ke kantor sebentar dan mengantar Alvin sekolah. Saat berpamitan itulah Iwan memintanya untuk mendekat. Dian duduk disamping tempat tidur Iwan. Adik-adik Iwan berdiri di sekeliling Iwan. Seandainya bisa kabur, Indra ingin menghindari momen ini. Tak mampu rasanya kehilangan lagi, Nadya rasanya baru saja pergi, sekarang sahabat juga akan pergi. Iwan melambaikan tangannya menyuruh Indra mendekat.
“Dian, Mas Iwan minta maaf menutupi soal sakitku ini. Aku ingin Dian selalu bahagia saat melahirkan anak kita. Setelah ini, Indra akan menjaga Dian dan Ana. Mas Iwan percaya Indra pasti bisa menjaga Dian dan Ana, sama seperti Mas Iwan sendiri” kata Iwan perlahan , sangat tabah. Adik-adik Iwan mulai menangis. Justru Indra mengkhawatirkan Dian.
Dian mendengarkan ucapan Iwan, tanpa menangis. Tanpa airmata, matanya kosong. Hanya memegangi tangan Iwan, kemudian menciumnya. Sesaat kemudian Dian terkulai. Indra untungnya tak jauh dari Dian duduk, jadi masih sempat menangkap kepala Dian. Laras dan Saras bersama Indra mengangkat Dian keluar ruangan.
Hampir sepuluh menit Dian baru sadarkan diri lagi. Laras menyeka wajah Dian dengan sapu tangan lembab. Sedang Saras memegangi tangan Dian. Dia ujung kaki Dian, Indra berdiri disamping pembaringan Dian, hanya memandangi Dian. Indra benar-benar khawatir melihat sorot mata Dian. Tanpa ekpressi lagi. Sinar bahagia yang beberapa bulan ini membuat wajahnya sangat cantik telah hilang. Dian kuyu, lemah dan apatis. Seakan tak mengenal Indra, kawan karibnya yang dikenalnya hampir seumur hidupnya.
Indra meninggalkan rumah sakit dengan hati cemas. Mengkhawatirkan Dian yang sangat depressi. Juga mengkhawatirkan Iwan yang bisa saja setiap saat pergi. Setelah mengantar Alvin sekolah, dan juga mengantar Mamanya ke rumah Dian, agar bisa menemani Mama Dian, Indra ke kantor. Indra membuat beberapa instruksi untuk anak buahnya, Indra juga menghubungi Papanya. Juga meminta agar Dewi yang sedang ada urusan di Surabaya dan Donny berangkat ke Jakarta. Indra juga memberi tahu ke kantor Dian, karena Dian sudah bisa diperkirakannya tak sempat menghubungi kantornya.
Hari kedua Iwan di rawat, Dian mulai terlihat lebih tabah. Apalagi adiknya Dewi juga selalu mendampinginya. Donny dan Pak Irawan yang sudah seperti ayahnya sendiri juga datang. Iwan terlihat tenang, meski masih dalam perawatan intensif. Tetap sadar, meski masih ada pendarahan lanjutan, tapi tidak sehebat kemarin malam. Wajahnya masih pucat.
Indra sengaja pulang kantor lebih awal agar bisa mampir menjenguk Iwan. Mama dan Papanya sedang duduk mengobrol dengan kedua orang tua Iwan di ruang tunggu. Dian dan Donny sedang menunggui Iwan di dalam. Indra masuk menemui Iwan, yang begitu melihat Indra langsung mengembangkan senyumnya. Iwan lebih segar, menurut pengamatan Indra. Indra mendekati Iwan, memegang tangannya. Iwan meremas tangan Indra pelan, ketika Indra pamit keluar.
“Wan, aku keluar sebentar ya!” kata Indra. Iwan menatapnya, tanpa kata, mengiringi dengan matanya hingga Indra menghilang di balik tirai putih yang membatasi penglihatan dengan bagian lain ruangan ini.
Belum sepuluh menit Indra duduk di samping Mamanya, Donny muncul dari ruang perawatan. Memanggil mereka untuk segera masuk ruang tempat Iwan dirawat. Ketika mereka masuk, Iwan sedang ditangani oleh dua orang dokter, dua perawat. Mereka sibuk berjuang menyelamatkannya, Iwan kritis.
Dian berdiri mematung di samping Donny. Ibu Iwan berdiri di sebelah kanan Iwan, memegangi pipi Iwan, komat kamit berdoa. Indra mendekati Dian, menyuruhnya duduk di kursi, menyerahkan buku Surah Yasin kecil yang dibawanya. Dian menatap Indra, lalu mengangguk patuh. Akhirnya Dian dan semua keluarga Iwan membaca Surah Yasin dengan suara pelan.
Tanda tanda kehidupan Iwan satu satu makin menghilang dari layar monitor yang tersambung dengan alat di tubuh Iwan. Indra melihat wajah Iwan yang tenang, seakan pergi tidur, tepat saat Surah Yasin selesai mereka baca. Iwan telah menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Grafik yang terpantau pada monitor computer telah membentuk garis lurus berwarna hijau. Dian sangat tabah, dia tidak berteriak teriak menangisi Iwan. Hanya air mata mengalir dipipinya, menangis pelan sambil mencium pipi Iwan, menelungkupi dada Iwan yang masih hangat. Hanya punggungnya yang berguncang. Indra kali ini benar-benar tidak dapat menahan tangisnya. Kali ini Indra baru setuju pada permintaan Iwan, amanat Iwan padanya. Bisa menerima, mengapa Iwan begitu gigih memintanya untuk menjaga Dian. Dia tahu Dian sangat kehilangan Iwan.
Indra melihat, adik-adik Iwan sedang sibuk mengurusi Ibu mereka yang pingsan. Donny sedang memapah Ayah Iwan keluar ruangan, karena beliau jadi lemas. Hanya Indra, Papa dan Mamanya yang menjaga Dian. Bu Irawan mengelus elus kepala Dian, juga Pak Irawan menepuk nepuk pundak Dian.
“Dian, sabar ya Nak! Ikhlaskan Iwan pergi!”kata Pak Irawan menghibur. Mendengar ucapan Pak Irawan, Dian bangkit, berbalik dan memeluk Pak Irawan.
“Papa! Papa!” keluh Dian akhirnya dengan suara pelan, kemudian menangis dalam pelukan Pak Irawan. Bu Irawan juga memeluk Dian, sambil menyusut air matanya sendiri.
Pak Irawan masih ingat, sejak kecil Dian sering berlari ke pelukkannya dan berteriak Papa, Papa. Biasanya karena Indra mengejarnya, akan merebut mainan dari tangannya. Atau Indra mengganggunya. Tentu saja nada teriakkannya minta dilindungi tapi manja dan ceria. Sekarang Pak Irawan merasakan perbedaannya. Kesedihan yang mendalam, panggilan lirih menyayat hatinya. Putri kesayangannya , kehilangan pasangan hidupnya. Dipeluknya Dian, dia ingat persahabatannya dengan Hidayat, ayah Dian. Dia bertekat, meminta Indra bersedia menikahi Dian nanti. Dia tak ingin Dian sedih, dia sangat sayang pada Dian. Dia dan isterinya sudah jatuh cinta pada Dian sejak Dian baru saja lahir.

Jenazah Iwan di makamkan esok hari. Pemakaman yang mengharukan. Dian sangat tenang, tabah mengikuti semua proses pemakaman. Bayinyapun, Ana tidak rewel, meski tamu yang melayat memenuhi rumah. Dia tidur tak terganggu dalam boxnya. Jika dia bangun dan menjadi perhatian tamu, Ana juga tak menangis. Tubuhnya yang montok dan lucu menggemaskan. Ana selalu memamerkan tawanya.
Dian ingin Ana di bawa ke pemakaman Iwan, karena itu Ana di letakkan dalam keranjangnya yang indah, hadiah dari Indra. Donny dan Indra bergantian membawa keranjang Ana, kemudian meletakkannya di atas dua kursi, dibawah tenda, persis di samping Dian. Pemandangan yang sangat mengharukan. Bayi berusia empat bulan itu menghadiri pemakaman ayahnya di sore hari, dalam keranjang bayinya. Tangannya yang montok menggapai gapai, seakan melambai pada ayahnya. Selamat jalan Papa!
Di atas makam Iwan, Dian menanam bunga bakung putih. Jika berbunga, akan menebarkan wanginya, terutama sore hari. Bunganya yang putih sangat pas dengan hati Iwan yang tulus, ikhlas dan penyayang. Bunga yang diambil dari halaman rumah mereka, bunga kesayangan Dian. Bakung putih.




8. VASE BUNGA


Sudah hampir tiga bulan Iwan meninggal dunia, Dian masih dalam suasana duka. Hanya anaknya Ana yang membuatnya dapat tersenyum. Semua yang ada di rumah mengingatkannya pada Iwan, suaminya. Lima tahun mereka tinggal di rumah ini, kenangan bersama Iwan begitu banyak. Mengisi rumah mereka dengan kasih dan cinta. Dian sampai berpikir untuk menjual saja rumah dan isinya, agar dia dapat melupakan Iwan. Dian bagai menyiksa dirinya, selalu mengisi waktu dengan bekerja, menyibukkan diri agar dapat melupakan Iwan.
“Dian, kenangan pada orang yang kita sayangi bukan ada pada benda seperti rumah, perabot atau foto-foto. Dia ada dalam pikiran kita. Jadi percuma kau jual, pasti masih ingat juga” kata Indra, saat Dian bercerita pada Indra keinginannya menjual rumah.
“Mengenang Iwan kan nggak dosa! Aku dulu juga begitu, kucoba dengan memberikan semua baju-baju Nadya, menyimpan semua album foto kami. Pernah juga menginap di hotel supaya aku tak melihat benda kenangan. Nyatanya tak berhasil! Kenangan itu ada dalam pikiran dan hati. Mengikuti kita kemanapun kita pergi!” kata Indra.
Dian juga berkonsultasi dengan temannya, Anita yang suami pertamanya meninggal ketika pernikahannya menginjak tahun ke dua akibat kecelakaan mobil. Tanpa anak. Padahal usianya baru dua puluh tujuh tahun. Sekarang Anita telah menikah lagi dan hidupnya bahagia. Anita teman sekantornya, hanya berbeda bagian dengan Dian.
“Dian, aku tahu memang pedih sekali rasanya ditinggal mati suami. Rasanya kan seperti ingin ikut mati juga!” kata Anita memulai pembicaraannya ketika Dian dan Anita makan siang bersama di sebuah kantin dekat kantor mereka.
“ Perlahan akan berkurang kok, asal kita tabah. Jangan berusaha menyingkirkan kenangan apapun bersama orang yang kau kasihi. Makin kuat kita menyingkirkan, makin sulit untuk melupakannya” kata Anita.
“Jalani hidup normal, bekerja, ibadah, tetap bergaul, jangan takut dengan status mu sebagai janda. Jaga kesehatan karena kita harus menjaga diri kita sendiri, tidak bisa mengandalkan suami lagi” kata Anita. Dian mendengarkan saran Anita. Aku telah larut dalam kesedihanku, pikir Dian.
”Dian, kita berhak hidup normal lagi, menatanya lagi sesuai keinginan kita” lanjut Anita.
“Satu lagi, cari hobby yang asyik. Misalnya baca buku, olah raga, berkebun, menata rumah, main atau mendengarkan musik atau melukis bisa juga ikut kursus kursus untuk mengisi waktu. Campur antara kegiatan yang mengisi sisi spiritual kita dan sisi fisik. Hasilnya pasti bagus! Tetap mengenang Iwan sebagai suami yang baik tapi kau juga tetap menjalani hidup normal, tidak terbelenggu kesedihan” kata Anita.
Dian mencoba satu persatu memahami saran Anita. Berniat untuk memulai hidupnya, menatanya kembali. Sangat sulit, tapi Dian mencoba terus. Tahap pertama yang dilakukannya adalah menyingkirkan perasaan kesal pada Indra yang turut berkomplot menyembunyikan penyakit Iwan darinya. Dian berpikir, Iwan dan keluarga lainnya mengkhawatirkannya yang sedang menghadapi kelahiran bayinya. Mereka menyayangiku, termasuk Indra. Dia tak pantas dibenci. Indra saat itu pasti bersedia untuk kebaikkannya. Lalu memikirkan pesan Iwan padanya agar percaya pada Indra. Dian ingin semuanya dipikirkan bersama. Dia akan mendiskusikannya dengan Mama, kalau nanti ada waktu. Sekarang sebaiknya di simpan dulu.
Tahap kedua Dian mencoba mengatur rumahnya. Memberi suasana baru. Sejak Iwan meninggal, semua pengaturan perabot tak berubah. Karena itu, hari Sabtu ini, hampir seharian Dian mengatur rumahnya. Ganti posisi tempat tidur di kamarnya, ganti tirai jendela dengan warna ceria. Memasang bed-cover baru berwarna dasar putih dengan bunga-bunga kecil berwarna biru muda dan abu-abu. Menyimpan semua cosmetik milik Iwan ke sebuah dus, beberapa botol aftershave lotion , deodorant, parfume yang ada di meja riasnya. Menukar kap lampu duduk diatas meja samping tempat tidur dengan warna putih gading berbentuk kotak.
Di ruang tamu, Dian menyingkirkan dua ukiran kayu Rama dan Sinta yang terletak di meja sudut, diapit sofa. Ukiran kayu itu Dian beli bersama Iwan di Bali, ketika mereka liburan. Dian menggantinya dengan pot keramik putih polos bergaya minimalis dan mengisinya dengan pot berisi sebatang bunga anggrek bulan berwarna putih semburat kuning pada mahkota bunganya. Dian kemarin membelinya pada pedagang bunga dan tanaman hias, saat melintas di depan kantor TVRI, Senayan. Tangkai bunganya ramai dan meriah. Dian menurunkan lukisan abstrak yang menempel di dinding persis di atas sofa berwarna gading. Dian menggantinya dengan dua lukisan bunga bakung dan Irish, bergaya modern, karya pelukis amatir. Warna dasarnya putih natural dan lukisannya hanya dengan dua warna, cat hitam dan abu-abu. Lukisan itu di beli Dian ketika datang ke pameran mahasiswa sekolah seni rupa di Bandung. Ukuran sedang, 40 x 60 cm. Harga lukisannya murah saja, bingkainya yang agak lebih mahal, dari kayu berwarna coklat muda. Dua lukisan itu selama ini tersimpan di laci di lemari buku, belum sempat dipasang di dinding. Baru kemarin Dian meminta dipasang ke framenya. Dian menyingkirkan bantal-bantal kursi. Meja tamunya dibiarkannya tanpa taplak. Di atasnya Dian meletakkan mangkuk keramik putih. Kosong, tanpa isi apapun. Aku ingin mengosongkan pikiranku, mengisi dengan hal baru, pikir Dian. Tirainya telah digantinya dengan warna off white, putih gading. Tanpa vitrage, tirai tipisnya. Dian menatap ruang tamunya, modern, bersih, rapi dan minimalis.

“Bantal-bantal kursi ini mau dibawa kemana Bu?”tanya Bik Atun yang membantunya bekerja.
“Ganti sarungnya dengan yang baru saya beli, letakkan di kamar Ana, di atas karpet” jawab Dian, sambil mengangkati beberapa majalah lama. Dian telah membeli sarung bantal yang bergambar kelinci, bebek, burung dan kucing, jadi pas untuk kamar Ana.
Di ruang makan merangkap ruang keluarga, Dian mengganti tirai, menyingkirkan taplak meja batiknya, membiarkan meja makan tanpa penutup. Memperlihatkan warna coklat alami dan serat kayunya yang indah. Dian meletakkan lagi pot keramik putih dengan bunga anggrek segar seperti di ruang tamu. Rasanya seakan perubahan besar dalam rumahnya. Iwan masih terasa ada bersamanya, tapi tak lagi membuatnya menangis.
Benar kata Anita, ada rasa nyaman yang baru karena suasana murung menghilang di rumah. Juga rasa capek, jadi ingin untuk istirahat, tidur nyenyak. Setelah mandi pagi yang sudah hampir jam dua belas, kemudian menyusui Ana dan makan siang, Dian masuk kamarnya. Sudah lama Dian tak lagi bisa tidur nyenyak. Tidur siang di hari Sabtu.

Hari Minggu ini rumah Dian terasa sepi, meski suara tawa Ana di kamar yang sedang bermain dengan pengasuhnya, Mbak Ani terdengar hingga ke ruang keluarga. Mama Dian sudah pulang ke Banjar Baru minggu lalu karena rumah sudah terlalu lama ditinggalkan. Adiknya Dewi harus kembali ke Surabaya lagi untuk menyelesaikan kuliah S2nya.
Dian juga berpikir dia harus mampu menjalani hidupnya sendiri, mengurus Ana tanpa tergantung pada Mamanya. Dian melihat Indra juga yang ditinggal isteri sekarang tak lagi di dampingi Mamanya. Bu Irawan sudah pulang, karena Pak Irawan juga harus ditemani. Apalagi sudah menjelang bulan Ramadhan, Mamanya pasti lebih nyaman berada di sana, pikir Dian.
Sejak Iwan meninggal, Dian jarang keluar malam. Dian sesekali janjian untuk makan siang bersama Indra. Atau Indra menjemputnya di kantor untuk main tennis. Dian sempat berhenti main tennis sewaktu hamil. Indra meminta Dian latihan lagi bersamanya. Dulu, ketika Iwan dan Nadya masih hidup, mereka main tennis bersama, setiap Sabtu, di lapangan tennis milik perusahaan tempat Iwan kerja. Atau menyewa lapangan tennis di Senayan.
Sambil main tennis dengan Indra dia merasa bebas untuk menceritakan Ana, anaknya. Sering memperlihatkan foto terbaru Ana dari telpon genggamnya. Indra juga sering menelponnya, mereka mengobrol macam macam. Begitulah Dian mengisi hari-hari tanpa Iwan. Setiap malam menangis di kamarnya. Hanya tadi malam Dian merasa lebih nyaman. Tetap mengenang Iwan, tapi dengan hati lebih bersemangat hidup. Berjanji pada dirinya sendiri akan membesarkan Ana dengan suasana riang. Dian sangat berterima kasih atas saran Anita.

Dian sedang tiduran membaca majalah di kamarnya, sambil mendengarkan lagu-lagu lama ketika terdengar ada yang mengetuk kamarnya. Kemudian Dian juga mendengar ketukan keras dan suara Alvin memanggilnya.
“Tante Dian, Tante Dian, bangun dong!” teriak Alvin berdiri di depan pintu kamar Dian. Dian bangkit, sambil merapikan blusnya yang belum terkancing sehabis menyusui Ana. Begitu pintu dibukanya, Alvin menerobos masuk. Memeluk Dian. Indra berdiri di belakang Alvin, berpakaian olah raga, celana pendek dan baju kaos putih. Tersenyum ceria.
“Tante Dian bohong! Nggak jemput!” kata Alvin, protes pada Dian. Memang kemarin, ketika Alvin menelponnya, Dian janji kapan kapan akan jemput Alvin dan main dengan Ana. Tapi Dian Sabtu kemarin sibuk mengatur rumah, jadi lupa menjemput Alvin.
“Alvin kangen tuh! Mau ketemu kamu sama Ana. Ada mobil-mobilan baru, jadi mau pamer!” kata Indra, tertawa. Dian menggendong Alvin ke kamar Ana, Indra mengikuti dari belakang. Ana sedang bermain di atas kasur tipis dengan Mbak Ani. Dian menurunkan Alvin di dekat Ana. Dengan gemas Alvin mendekati Ana mencoba memeluknya. Ana menghindar dengan merangkak. Gerakkannya lucu, akhirnya Alvin berhasil memeluk Ana. Alvin terlihat sangat kangen pada Ana. Ana menolak ciuman Alvin dengan menggelengkan kepalanya.
“Sudah…. Sudah, adik jangan dicium terus! Nanti nangis!” kata Indra, karena dia tahu Alvin akan terus berusaha mencium Ana. Mbak Ani tertawa melihat ulah Alvin.
Dian dan Indra akhirnya duduk di dekat anak-anak. Memperhatikan mereka. Alvin memamerkan mobil mobilannya pada Ana. Berharap Ana menyukainya. Ana malah menyingkirkannya dengan tangan kecilnya.
“Indra, kamu mau main tennis atau sudah selesai?” kata Dian melihat pakaian Indra.
“Mau! Cuma tadi Alvin nangis pengen kesini, jadi batal deh!” kata Indra. Dian mengangguk.
“Masih sempat kan, pergi aja! Alvin tinggal, kalau sudah selesai jemput lagi, gimana?” kata Dian memberi usul.
“Oh boleh juga. Kamu nggak ikut?” tanya Indra. Dian menggeleng.
“Nggak ah! Jum’at sore sudah ikut senam di kantor” jawab Dian.
“Okay, Alvin, Papa pergi tennis dulu ya, Alvin disini aja, nanti Papa jemput “ kata Indra. Alvin cepat mengangguk, kembali lagi asyik bermain dengan Ana dan Mbak Ani.
Indra dan Dian keluar kamar, Dian mengantarkan hingga pintu pagar.
“Indra, biaya penitipan anak hari Minggu lebih mahal lho!” kata Dian bercanda. Indra melihat perubahan kecil pada Dian, sudah mulai bercanda. Tadi waktu masuk rumah Dian, Indra juga merasakan suasana baru. Wajah Dian ketika membuka pintu kamarnya tadi lebih segar, meski rambutnya berantakan dan kancing blusnya belum rapi terpasang.
“Oh… ya? Berapa perjam nya?”sahut Indra tertawa.
“Hitungannya per kilogram berat badan anak. Satu kilogram per jam hari biasa satu dolar, hari libur lima dollar”kata Dian tertawa.
“Gile! Kaya laundry mahasiswa, kiloan! Eh Dian, kok hari Minggu mahal? Kan biasanya demand menurun, yang nitip kan sedikit” kata Indra. Dian mulai seperti dulu lagi, pikir Indra. Kocak dan jahil.
“Karena yang jaga professional. Hari kerja dijaga pembantu, hari libur eksekutif kantor, S1, ada bonus hiburan dengan atraksi anak gue!” kata Dian.
“Waduh, Alvin berapa kilo ya? Tennis tiga jam kali misalnya dua puluh kilo kali lima dollar. Sedollar anggap deh sepuluh ribu, jadi tiga juta? Nggak salah tuh?” kata Indra tak tahan tertawa terbahak.
“Eh…. Dian, daripada gue bayar semahal itu, mendingan gue cari Mama baru aja buat Alvin! Nggak jam-jaman, seumur hidup!” kata Indra, diantara tawanya.
“Pelit! Emang sudah ada calon?” kata Dian cengar cengir mengejek Indra.
“Ada! Nanti ceritanya. Pergi dulu ah!” kata Indra, masuk ke mobilnya. Dian melambai ketika mobil Indra berlalu.
Dian masuk ke dalam rumah, tetap memikirkan ucapan Indra. Indra sudah punya calon? Pantes kelihatan ceria gitu! Dasar laki-laki, baru setahun isteri meninggal, sudah punya calon!pikir Dian.
Dian berpapasan dengan Bik Atun yang membawa baki berisi dua cangkir teh hangat.
“Pak Indra kemana Bu? Ini teh baru saya buatkan” kata Bik Atun menating baki berisi cangkir the hangat.
“Pergi main tennis! Nanti balik lagi kok jemput Alvin” kata Dian. Bik Atun meletakkan baki diatas meja makan.
“Bik, siapkan makan malam aja. Siapa tahu mereka makan disini. Ada lauk yang nggak pedas buat Alvin?’” kata Dian.
“Baik, Bu. Ada sosis, nanti saya goreng. Den Alvin suka kok!” kata Bik Atun.


Dian sedang menyuapi Alvin ketika Indra datang. Alvin makan malam sambil bermain di lantai dengan mendorong mobil-mobilannya. Jika mulutnya kosong, kembali mendekati Dian, lalu Dian menyuapinya. Indra menatap kegiatan mereka berdua dari balik kaca, dari teras. Mereka berdua tak menyadari kedatangan Indra. Dian selalu sayang pada Alvin, dari dulu Indra yakin hal itu. Bagi Indra menuruti pesan Iwan lebih mudah sekarang.
Tapi bagaimana menyampaikannya pada Dian, pikir Indra bingung. Mengingatkan amanah Iwan. Memberitahukan keinginan keluarga Iwan. Saras dan Laras bersama suami mereka menemui Indra minggu lalu. Indra bimbang, khawatir terlalu cepat dan membuat Dian jadi marah. Belum seratus hari Iwan meninggal! Indra memutuskan tidak sekarang. Nanti saja, saat Dian lebih siap.
“Hallo! Lagi makan rupanya!” sapa Indra begitu masuk ke rumah Dian. Alvin bangkit, menyambut Indra. Dian tersenyum.
“Haus In, mau teh hangat apa minum dingin?” kata Dian menawari Indra. Indra duduk di sofa dekat Dian. Dian masih memegang piring dan sendok berisi makanan untuk Alvin.
“Dingin aja” sahut Indra, Dian bangkit menuju ruang makan.
“Papa, lihat Ade yuk! Bobonya lucu, nungging” ajak Alvin, menarik tangan ayahnya ke kamar Ana. Indra mengikuti Alvin, memberi isyarat Alvin agar jangan ribut, khawatir membangunkan Ana. Indra mendekati tempat tidur Ana, melihat Ana tidur nyenyak dengan sebuah boneka menemaninya. Indra menyentuh kaki Ana perlahan, mengelusnya dengan sayang. Dian menyusul ke dalam kamar Ana, turut memandangi Ana. Dia teringat Iwan sering berdiri seperti Indra sekarang. Menatap Ana sambil memegang kaki kecilnya. Indra tahu apa yang dipikirkan Dian, jadi segera mengajak Alvin dan Dian meninggalkan kamar Ana.
“Indra, itu minummu!” kata Dian mengingatkan. Indra mendekati meja makan, minum air putihnya. Kemudian duduk di sofa di ruang keluarga bersama Alvin.
“In, mau makan disini nggak?” ajak Dian sambil menyorongkan sendok berisi nasi dan lauk pada Alvin. Alvin menolak. Sudah kenyang rupanya. Dian mengambil gelas di atas meja, memberikan pada Alvin. Kemudian menarik tangan Alvin menuju wastapel, mencuci tangan dan mulut Alvin. Menyeka mulut dan tangan Alvin dengan lap bersih. Indra mengikuti mereka dengan tatapan matanya.
“Boleh, tapi nanti dulu deh! Kamu sudah lapar ya?” sahut Indra.
“Iya! Aku kan baru menyusui Ana! Kosong banget nih!” kata Dian menepuk perutnya, tertawa. Indra tertawa, dia lupa hal itu.
“Ya sudah, sekarang aja. Abis itu pulang ah!” kata Indra, berjalan menuju meja makan. Memang sudah hampir jam delapan malam.

Alvin perlu dibujuk bujuk agar mau pulang ke rumah. Dia masih ingin bermain di rumah Dian. Sebentar-sebentar masuk ke kamar Ana. Berdiri di dekat tempat tidurnya, memandangi Ana. Bagi Alvin, Ana adalah miliknya.
“Alvin, sekarang kita pulang ya. Jum’at sore Papa pulang kantor Alvin Papa anter kesini lagi” kata Indra membujuk.
“Besok aja ya Pa, pulang sekolah kesini sama Mbak Yun” kata Alvin menawar. Dian tersenyum memperhatikan ayah anak sedang berunding.
“Tante Dian kan ke kantor, adik Ana juga bobo. Alvin sama siapa mainnya?” kata Indra.
“Nggak main! Mau bobo sama Ade aja” kata Alvin ngotot.
“Biar In, besok Alvin kesini aja pulang sekolah. Bilang sama Mbak Yun. Pulang kantor jemput dia!” kata Dian menengahi. Alvin senang sekali. Indra garuk-garuk kepala.
“Besok aku ada undangan makan malam. Paling cepat jam sepuluh baru bisa jemput” kata Indra memberi alasan.
“Ya sudah! Alvin nginap aja. Bawa seragam sekolah buat besoknya” kata Dian.
Alvin memang sering menginap di rumah Dian, apalagi sewaktu Iwan masih hidup.
“Oke, sekarang Alvin pamit sama Tante Dian. Besok kesini lagi” kata Indra menyerah.
“Dian, aku pulang dulu ya!” kata Indra. Alvin mencium Dian ketika pamit pulang. Indra menggandeng Dian seperti biasanya ketika berjalan mendampinginya menuju mobil. Dian mengunci pagar rumahnya. Melambai pada Indra dan Alvin.




9. PULANG

Selama menjelang puasa ini Dian sangat sibuk. Sebagai Account Manager sebuah biro iklan, jadwal Dian memang padat. Apalagi dari sekian klien yang ditanganinya ada lima perusahaan retail untuk berbagai produk yang justru sedang sangat aktif berpromosi menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Sebuah Departemen Store papan atas, yang pasti sibuk dengan program iklan dan sales promotion. Satunya lagi adalah perusahaan jasa, operator telepon selular. Perusahaan lain adalah, produsen syrop, pakaian jadi dan penerbangan swasta. Untung Dian dibantu oleh dua orang asistennya. Kedua asistennya adalah gadis gadis yang bersemangat tinggi. Mereka sangat rajin bekerja, sehingga tim kerja Dian jadi kebanggaan Pak Rudi, GM mereka. Kerja sama dengan bagian kreatif yang sangat baik juga membuat Dian dan timnya mudah melayani client mereka dengan baik. Sedikit sekali keluhan yang masuk. Bos Dian, Pak Rudi selalu senyum setiap rapat, padahal persaingan antar biro iklan sudah sangat ketat. Maka beban dan jam kerja yang panjang jadi lebih ringan. Sekarang tinggal monitoring program saja, semua materi iklan untuk televisi dan media cetak sudah siap dikirim ke client dan media.
Saking sibuknya, sering Dian baru tiba di rumah jam sembilan malam. Ana putrinya sudah tidur. Untungnya Ana tak rewel dan selalu sehat. Setiap pagi Dian menyempatkan bermain dengan Ana, menyuapinya dan memandikannya. Dian baru ke kantor sekitar jam delapan. Jam sembilan sudah sibuk di kantor. Indra beberapa kali mengajak Dian keluar untuk makan siang. Tapi Dian selalu tak bisa karena jadwalnya padat. Hari ini juga.
“Indra, aku nggak bisa keluar siang ini. Rapat dengan klien jam satu, nanti terlambat. Ini Big Client, In! Sorry deh, lain kali ya” kata Dian ketika Indra menelponnya.
“Dian, sibuk banget sih! Kamu kaya menyiksa diri. Sudah sebulan nggak ketemu lho” kata Indra mengingatkan. Sebenarnya aku memang sedang berusaha menyibukkan diri, pikir Dian. Aku sepi dalam kerumunan orang banyak disekelilingku.Teman sekantor, anak buah, tak semuanya harus kuperlihatkan pada mereka kesedihan dan kesendirianku, pikir Dian. Indra benar, aku seakan menyiksa diri, keluh Dian. Tapi bagaimana lagi?
“Masa sih! Rasanya kok baru aja ketemu!” sahut Dian, seakan tak percaya.
“Bik Atun bilang nggak kemarin malam aku ke rumah?” tanya Indra lagi.
“Nggak tuh! Dia lupa mungkin, aku pulang jam sebelas sih, dia sudah tidur” jawab Dian.
“Waduh, Ana sudah tidur dong pas kamu pulang!” kata Indra berkomentar.
“Iya dong! Masa Ana nonton TV? Emang ada apa In, kok ke rumah malam-malam?” tanya Dian ingin tahu.
“Habis, SMS, telponku nggak dijawab, lagi rapat melulu. Itu, Mama mau tahu kamu pulang nggak libur Lebaran ini?” kata Indra menjelaskan.
“Mama? Mama yang mana nih?” kata Dian bingung. Ibunya sendiri atau Ibu Indra.
“Dua-duanya! Papa juga tanya, pulang nggak?” kata Indra lagi.
“Indra, sebenarnya aku bingung nih! Cutiku sisa empat hari tambah cuti massal. Paling disana cuma seminggu, repot banget bawa Ana dengan barang keperluannya. Mbak Atun sama Mbak Ani sudah bilang mau mudik, jadi nggak ada yang bisa ikut aku” kata Dian menjelaskan.
Ini kesempatan untuk melaksanakan amanah Iwan! Tidak, ini keinginanku sendiri, pikir Indra. Ketika acara peringatan seratus hari meninggalnya Iwan, keluarga Iwan juga mengingatkan Indra hal ini. Semua masalah surat wasiat Iwan sudah diketahui Dian dan keluarga. Mereka semua ikhlas, karena Iwan sangat adil pada keluarganya. Dian hanya meminta mobil Iwan dijual saja, uangnya sebagian untuk biaya orang tua Iwan berangkat menunaikan ibadah haji. Dian memiliki mobil sendiri, jadi tak masalah.
Jadi cuma masalah ini yang belum terlaksana, pikir Indra. Keluarga Nadya yang diberitahu masalah ini juga sangat senang karena mereka mengenal Dian dengan baik. Mereka tahu Alvin aman bersama Dian. Nadya sendiri sudah sangat akrab dengan Dian, apalagi beberapa bulan terakhir, hampir setiap Sabtu pergi bersama Dian. Bahkan mereka memiliki gelang emas yang disain dan permata hiasannya yang sama. Sengaja pesan pada Bu Irawan untuk di buatkan di Martapura.
“Begini, aku juga pulang sama Alvin. Kita sama-sama aja. Aku sekarang mau pesan ticket pesawat untuk bolak balik. Kalau dekat Lebaran antri atau kehabisan, repot! Kamu bisa cuti kapan dan sampai kapan?” kata Indra.
“Nanti In, aku pikir dulu! Atur jadwal cuti” kata Dian.
“Oke, besok SMS ya, jangan nggak pulang! Kamu di Jakarta cuma berdua sama Ana lho! Mbak Laras sama Mbak Saras kan pulang ke Kediri” kata Indra.
“Hey…….. kok tahu sih! Aku aja ipar mereka belum tahu, hebat juga ya!” kata Dian, sambil tertawa. “Kalian suka telpon-telponan ya” usut Dian.
“Nggak telpon! Mereka mampir ke rumahku sama Mas Joko dan Mas Syaiful” kata Indra. Dian terbengong-bengong. ”Kok bisa ya, nggak mampir ke rumahku” katanya. Indra hanya tertawa.

Pagi sekitar jam lima pagi, tiga hari menjelang Lebaran, Dian bersama Ana sedang menunggu Indra menjemputnya. Mereka akan pulang bersama , seperti warga Jakarta lainnya. Ber Lebaran di kampung halaman. Seorang Satpam Pak Jupri sudah dimintai Dian untuk menjaga rumahnya dan menyirami tanaman. Ini adalah pengalaman pertama Dian membawa Ana pergi jauh dan naik pesawat. Bawaan Dian banyak sekali. Satu koper ukuran sedang berisi bajunya dan Ana. Satu tas kecil berisi beberapa kotak makanan dan dua kaleng susu serta perlengkapan makan untuk Ana serta baju ganti untuk di perjalanan, selimut, gendongan bayi, kereta dorong dan boneka teddy bear berwarna putih, hadiah dari Laras, adik Iwan. Juga kantong plastik berisi kotak roti sosis dan dua susu kotak untuk Alvin. Kaya mau pindah aja, pikir Dian, tersenyum.
Indra tiba dengan supirnya, Alvin girang sekali bisa pergi bersama Ana. Alvin keren dengan celana panjang jeans dan baju kaus serta topi putih, sama seperti Indra. Setelah memasukkan semua barang ke mobil, Indra sekali lagi memeriksa rumah Dian. Kemudian menguncinya. Pak Jupri hanya pegang kunci pagar. Dian segera masuk ke mobil duduk dengan Alvin di jok belakang. Dian memangku Ana yang duduk tenang. Alvin memegangi tangan Ana, menghitung jari jarinya.
“Dian, tadi Pak Jupri bilang, tetanggamu kiri kanan, muka belakang semua titip jaga rumah sama dia. Untung kamu ikut pulang, sepi sekali di komplek rumah kamu kan?” kata Indra. Dian tersenyum, memang benar. Tadi malam benar-benar sepi, dia hanya berdua dengan Ana di rumah. Tak terbayangkan jika di hari Lebaran nanti, perumahan itu akan sangat sepi. Untung Indra mendesaknya agar pulang saja.
“Aku nggak tenang, kamu bakal sendirian di rumah” kata Indra waktu itu. Sebenarnya, tadi malam dia merasa sangat sepi dan agak takut, hanya berdua Ana yang masih bayi. Sore kemarin kedua pembantunya sudah pulang mudik.
Jam enam pagi itu, bandara Soekarno Hatta sudah sangat sibuk. Penumpang berjejal antri di pintu masuk ruang check in . Indra mengambil trolley, menumpuk dua koper mereka, tas bekal Ana dan kereta dorong diatasnya. Dian sambil menggendong Ana yang tertidur, membimbing Alvin yang memegangi boneka milik Ana, mengikuti Indra antri ke counter check in dan menyerahkan bagasi mereka. Mereka persis keluarga muda lainnya yang sedang dalam perjalanan libur. Dulu aku memimpikan ini bersama Iwan, sekarang malah membebani Indra, keluh Dian.

Mereka bersama-sama menuju boarding room . Ana sekarang di gendong Indra, Alvin berjalan disamping ayahnya, masih menyeret teddy bear mikik Ana. Sementara tas bekal Ana dipegang Dian. Ana sekarang sudah bangun, pamer senyuman pada Dian yang berjalan di samping Indra. Dian membimbing Alvin menuju kursi di depan televisi, sementara Indra masih perlu ke counter informasi untuk lapor lagi dan asuransi.
“Alvin, ini ada roti sosis, Alvin sarapan dulu ya” kata Dian menawari Alvin. Alvin mengangguk. Dian tahu, kesukaan Alvin, roti sosis dan susu coklat. Dian menyeka tangan Alvin dengan tissue basah, kemudian Dian menyerahkan roti pada Alvin dan menyuruhnya duduk. Jadi dengan patuh Alvin duduk disampingnya, memakan rotinya sambil menggoyangkan kakinya. Dian duduk sambil menonton televisi yang menyiarkan liputan sebuah stasiun televisi tentang kondisi ramai para pemudik di pelabuhan Merak.
Di depan counter informasi, Indra bertemu dengan Sofyan, teman sekelasnya sewaktu di SMA. Dian melihat Indra berjalan bersama Sofyan menuju ke arahnya duduk.
“Dian, apa kabar! Sudah sepuluh tahun lebih nggak bertemu ya!” sapa Sofyan hangat. “Masih seperti dulu aja, padahal sudah anak dua” kata Sofyan memuji. Mungkin Sofyan mengira mereka berdua suami isteri dan kedua anak itu anak-anak mereka. Ya… semua orang, teman-teman sekolah mereka berpikir, Dian dan Indra akhirnya jadi suami isteri. Meski teman-teman mereka juga tahu hubungan mereka hanya persahabatan. Indra tertawa mendengar ucapan Sofyan, menatap Dian, mengedipkan matanya. Dian ingin menjelaskan pada Sofyan, tapi suasana di boarding room padat sekali.Tidak semua calon penumpang mendapat tempat duduk. Sebagian berdiri sambil ngobrol menanti panggilan masuk ke pesawat. Lagi pula pasti suara Sofyan yang menggelegar sesuai dengan tubuh besarnya bikin orang jadi malah ingin tahu. Jika dijelaskan dalam bahasa daerah juga susah, karena hampir semua para pemudik ke daerah yang sama dengannya, pasti mereka mengerti artinya.
Indra tetap berdiri sambil menggendong Ana, sementara Alvin berjalan hilir mudik disekitar ayahnya, mengajak Ana bercanda. Biar saja, nanti kalau ada waktu dijelaskan, pikir Dian. Jadi Dian hanya tertawa saja mendengar ucapan Sofyan dan mengajak Sofyan bicara hal hal lain.
“Kemana aja, Yan, nggak pernah pulang kampung ya?” sapa Dian menyalami Sofyan. Pria tinggi besar itu tertawa. Sofyan adalah pegawai Departemen Luarnegeri yang lebih sering bertugas di luar negeri.
“Wah itu! Sekarang aku tugas di Paris. Ini kebetulan aja bisa cuti pas Lebaran” jawab Sofyan.
“Kalian liburan kesana dong mumpung aku masih tugas disana. Nanti aku antar jalan-jalannya sekalian kenalan sama keluargaku” kata Sofyan lagi menawari. Dian tersenyum saja, Indra justru menanggapi.
“Oke, tunggu ya! Eh iya, isterimu asalnya dari mana sih?” tanya Indra.
“Angela, dulu kan kita pernah ketemu” jawab Sofyan.
“Oh….. yang Australia itu! Jadi toh sama dia?’ kata Indra tertawa. Indra ingat pertemuannya dengan Sofyan dan seorang wanita kulit putih kira-kira lima tahun lalu saat Indra bersama rekan bisnisnya Iskandar akan berangkat ke Singapura.
Wanita itu adalah seorang eksekutif perusahaan swasta, lumayan manis, rambut pirang dan bermata biru. Sangat berusaha berkomunikasi dengan Indra dalam bahasa Indonesia.


“Dian, sebelum take off Ana kasih dot ya, biar ada gerakan di mulutnya. Mengurangi tekanan di kuping” kata Indra mengingatkan Dian ketika mereka sudah duduk di pesawat. Alvin ingin duduk dekat jendela, jadi Indra duduk ditengah dan disampingnya Dian memangku Ana. Selama penerbangan yang hampir dua jam untungnya Ana tak rewel, minum susu, bercanda dengan Alvin dan Indra, kemudian tidur di pangkuan Indra. Dian bebas membaca majalah, malah sempat tertidur.
Sebenarnya Dian dan Indra sering bepergian bersama. Dulu ketika liburan sekolah, ke Samarinda, Jakarta, ke Bali, ke Surabaya, ke Jogya, bersama orang tua mereka. Bahkan hingga ke Singapura. Lalu sewaktu kuliah di Jakarta, setiap libur semester Dian ke Surabaya, menginap di rumah Tante Yani semalam dua malam untuk jalan-jalan di kota Surabaya. Kemudian bersama-sama pulang ke Banjar Baru dengan Indra. Tapi sekarang Dian dan Indra merasa suasana lain, mereka pulang bersama anak mereka masing-masing.
Mereka tiba di bandara Syamsudin Noor sekitar jam sepuluh siang WITA , meski Indra melihat jam tangannya baru jam sembilan WIB , ya beda sekitar satu jam dengan Jakarta. Dian dan Indra bersama anak-anak mereka turun dari bis menuju ruang tunggu pengambilan barang. Meski ruang tunggu penuh, tapi untungnya pengambilan barang cukup cepat.
Indra mendorong trolley berisi barang bawaan mereka menuju pintu keluar ruang kedatangan. Alvin berjalan di belakang bersama Dian dan Ana dalam gendongannya. Sambil berjalan Dian mengaktifkan telepon genggamnya. Dari tadi Dian tak melihat Donny yang berjanji akan menjemputnya. Begitu keluar pintu, Pak Irawan sudah berhadapan dengan Indra, mereka berpelukan. Alvin berlari mendekati kakeknya. Di belakang Pak Irawan berdiri tersenyum Bu Irawan. Dian menyalaminya.
“Mama apa kabar?” sambut Dian tersenyum gembira, meski masih memikirkan dimana Donny, adiknya. Bu Irawan mencoba menggendong Ana, sayang Ana tidak mau, malah memeluk Dian erat erat. Bu Irawan membatalkan niatnya, hanya mencium pipi Ana saja.
“Mama baik aja, Dian kok makin kurus, capek ya?” sahut Bu Irawan. Dian memang turun berat badannya sekitar enam kilogram, jadi memang terlihat kurus. Alvin kembali ke dekat Dian, kemudian berpelukan dengan neneknya. Pak Irawan juga memeluk Dian dan mencium Ana. Mereka berjalan menuju keluar arah lapangan parkir. Dari arah depan, Donny bersama Bu Hidayat, berjalan tergesa gesa ke arah mereka. Dian gembira sekali bertemu mereka.
“Dian, Ana nggak rewel di pesawat?“ tanya Bu Hidayat sambil berjalan bersama-sama menuju mobil. Ana masih belum mau digendong neneknya.
“Wah dia nggak rewel Ma! Itu anteng di pangku Indra” sahut Dian tertawa, melirik Indra yang sedang menyerahkan trolley pada Donny.
“Iya, Mamanya juga anteng! Tidur” kata Indra mulai bercanda, ayah Indra tertawa mendengarnya.
“Mulai ya, baru punya jasa sedikit sudah pamer!” kata Dian, membuat Indra dan yang lainnya tertawa. Mereka sudah tiba di lapangan parkir. Donny mengangkat koper Dian, kereta dorong dan tas bekal Ana ke mobilnya, sedangkan Indra memasukkan barang bawaannya ke mobil ayahnya yang tak jauh letaknya dari mobil Donny.
“Ayo, Alvin, salam sama Tante Dian. Kita pulang ke rumah kakek yuk!” kata Indra memegang tangan Alvin yang sedang memegangi kaki Ana yang di gendong Dian. Kedua anak itu sedang asyik bercanda. Ana tertawa tawa dipegang kakinya oleh Alvin. Alvin akhirnya melepaskan kaki Ana dan menyalami Dian, Ibu Dian dan Donny.
“Ayo Dian, sampai besok ya” kata Indra, sambil mencium Ana. Ternyata Ana mengira dia akan di gendong Indra. Ana jadi menangis ketika Indra justru pergi menjauh bersama Alvin. Indra menoleh, tertawa melihat Ana menangis, dan malah melambai lambai pada Ana. Ana melonjak lonjak di gendongan Dian. Ayah dan Ibu Indra tertawa melihat Ana menangisi Indra.
“Indra, itu Ana sudah lengket sama kamu ya!” kata Bu Irawan tertawa. Indra mengangguk.
“Iya Ma, seminggu sekali kami ke rumah Dian sama Alvin. Alvin ngambek kalau nggak ke sana. Biasanya Sabtu, kadang Alvin bermalam di rumah Dian sama Mbak Yun. Ya, Ana cuma kenal saya Ma, kan Iwan nggak punya adik laki-laki” kata Indra menjelaskan. Mereka masuk ke mobil, Alvin masih memperhatikan mobil Donny yang bergerak lebih dulu keluar kawasan bandara.
“Papa, cepat kejar mobil Tante Dian! Cepat Pa!” kata Alvin panik begitu dia melihat mobil Donny telah menghilang dari pandangannya. Alvin mulai menangis karena mobil Indra belum bisa keluar terhalang mobil lain yang juga akan keluar bandara. Alvin mulai gelisah, menempelkan wajahnya di jendela mobil.
“Papa! Ade hilang! Cepat Pa! Cepat!” kata Alvin mulai menangis. Ibu Indra membujuk Alvin.
“Vin, adik Ana nggak hilang! Dia ke rumah neneknya sama Tante Dian. Besok kita ketemu lagi ya!” bujuk neneknya sambil mengelus-elus pipi Alvin. Airmata mulai mengalir dari pipi Alvin.
“Vin, dengar Papa ya! Besok kita jemput adik, sekarang ke rumah Kakek dulu ya” kata Indra. Alvin biasanya penurut, tapi kali ini dia ngambek. Malah menangis keras. Mungkin awalnya Alvin mengira mereka akan terus bersama dengan Tante Dian dan Ana. Alvin sangat senang jika bersama mereka, terutama bermain dengan Ana.
“Nggak mau! Nggak mau! Ade…….Ade!” Alvin menjerit. Indra, ayahnya dan ibunya tak berhasil menghentikan tangis Alvin.
“Alvin, diam dulu, jangan nangis, Papa telpon Tante Dian nih!” kata Indra sambil memasang headset, segera menghubungi Dian.
“Hallo Dian! Anak gue nangis nih, ngamuk pengen sama Ana! Sudah sampai rumah? Dimana……? Oh… ya…. ya aku tahu toko itu! Aku kesana, tunggu ya” kata Indra.
“Vin, jangan nangis lagi, itu sebentar lagi ketemu adik” kata Indra, Alvin segera berhenti menangis, mulai tersenyum. Ayah dan ibu Indra sampai geleng-geleng kepala.
“Indra, ini kan sebenarnya tanda yang bagus! Alvin nggak susah kalau bergabung dengan Dian dan Ana” kata Pak Irawan, mengingatkan Indra.
“Betul Pa, soal itu! Tapi Dian harus didekati hati-hati. Jangan sampai dia mengira saya terpaksa karena pesan Iwan. Bisa kacau, tahu kan Dian” kata Indra menjelaskan.
“Pa, Ma, Dian sekarang sensitif banget!” lanjut Indra. “Hanya terima undangan resepsi pernikahan aja dia bisa nangis!” kata Indra.
“Kalau saya menawari dia untuk menemani pergi, dia juga nangis! Serba salah!” keluh Indra.
“Iya, tapi jangan terlalu lama. Bisa-bisa ada yang lamar dia. Kaya dulu lagi, keduluan orang!” kata Pak Irawan. Indra tersenyum, menunjuk ke kiri jalan gedung pertokoan. Indra melihat Dian berdiri dekat mobil Donny di depan sebuah toko kue. Ana mungkin sedang bersama Ibunya atau Donny di dalam toko.
Kalau melihat Dian berdiri sendirian seperti itu, Indra ingat, dulu mereka sering datang ke toko itu membeli kue atau ice cream sepulang sekolah. Kali ini, Dian berdiri di tempat yang sama, mengenakan celana panjang biru muda dan blus putih lengan pendek dengan tas putih berukuran sedang bergantung di bahunya. Persis gadis remaja, teman SMA nya dulu. Indra menghentikan mobilnya dekat Dian berdiri. Alvin bergegas keluar mobil.
“Alvin, kenapa menangis?” sapa Dian mendekati pintu mobil, melihat di wajah Alvin masih terlihat bekas airmata. Indra keluar dari mobil, mendekati Dian bersama Alvin.
“Nangis mau sama Ana, dia kira Ana hilang” kata Indra. “Ana mana? Sama Mama?” tanya Indra, Dian mengangguk. Saat itu Bu Hidayat keluar dari toko menggendong Ana, Alvin langsung berlari menyongsongnya. Melihat Alvin, Ana juga langsung memamerkan senyumnya yang menggemaskan.
“Ade….. Ana, ini abang Alvin” kata Alvin, sambil memegangi tangan Ana.
“Ma, ini Alvin ngamuk, pisah mobil sama Ana. Jadi menyusul kesini” kata Indra menjelaskan pada Bu Hidayat yang tersenyum mendengarnya. Donny muncul dengan dua kantong plastik besar berisi kotak-kotak kue. Persiapan untuk Lebaran.
“Kalau gitu, biar Alvin ikut ke rumah aja dulu. Kalian nanti sore buka puasa di rumah aja sekalian jemput Alvin” kata Bu Hidayat. Indra mengangguk.
“Alvin mau ikut mobil Tante Dian ya?” tanya Indra. Alvin mengangguk. Dian tertawa, menjulurkan lidahnya.
“Papa ke rumah Kakek dulu ya anter koper kita. Nanti sore baru jemput, mau?” tanya Indra, berharap Alvin menolak. Alvin sekali lagi mengangguk. Indra geleng-geleng kepala. Dian tertawa mengejek Indra.
“Yah, dicuekkin sama Alvin!” kata Dian. Indra hanya tertawa, mengelus kepala anaknya.
“Ya sudah nanti Alvin di jemput sore” kata Indra. Ayah dan Ibu Indra yang mendengarkan dari mobil pembicaraan mereka jadi tertawa. Bu Irawan malah menggoda Alvin.
“Alvin, mau menginap di sana? Nggak kasihan sama Nenek, Kakek, kan kangen sama Alvin nih?” kata Bu Irawan. Alvin terlihat bingung, ingin bersama nenek dan kakeknya, tapi juga ingin bersama Ana. Kakeknya tertawa.
“Sudah, Alvin boleh ke rumah nenek Hidayat dulu. Tapi nanti sore kakek jemput ya!” kata Pak Irawan. Alvin mengangguk. Akhirnya Indra bersama orang tuanya berangkat duluan, pulang ke rumah mereka. Sementara Alvin ikut dengan Dian.
Sekitar jam lima sore, Indra dan orang tuanya datang. Alvin sudah mandi dan bermain dengan Ana ditemani Bik Siah, pembantu Bu Hidayat. Dian sedang pergi dengan Donny beli kue untuk berbuka.
“Alvin rewel nggak Kak?” tanya Bu Irawan begitu dia bertemu Bu Hidayat yang sedang menata meja makan.
“Nggak tuh. Makan siang, tidur di kamar sama Dian dan Ana. Bangun, main lagi terus mandi sore” kata Bu Hidayat.
“Kemana Ana dibawa ikut terus, kaya takut hilang aja!” kata Bu Hidayat lagi tertawa.
“Kak, apa Dian ada omong soal hubungannya sama Indra nggak?” kata Bu Irawan berbisik.
“Tadi sudah kusinggung sedikit! Dia cuma senyum aja, susah tuh anak. Kalau kita bicarakan dihadapan mereka berdua gimana? Baru sampai rumah aja, si Franz bekas pacarnya dulu sudah telpon kesini. Indra cerita apa?” tanya Bu Hidayat.
“Indra mau meyakinkan Dian, menikahinya bukan karena pesan Iwan, tapi karena dia memang mencintai Dian. Bukan terpaksa” kata Bu Irawan.
“Indra mau sedikit waktu lagi mendekati Dian. Moga-moga perjalanan bersama ini membuka hati Dian katanya” lanjut Bu Irawan.
“Bagus kalau begitu. Moga-moga tercapai. Kita cuma bisa berdoa” kata Bu Hidayat.

Di teras, terdengar suara Alvin sedang bermain dengan Ana dan Indra serta kakeknya Pak Irawan. Ana duduk di pangkuan Indra, sementara Alvin berdiri di hadapan Indra, memeluk Ana, dengan gemas. Ana menjadi rewel dan mulai menangis. Indra menggoyang goyangkan tubuh mungil Ana sehingga kembali ceria. Mungkin sudah haus, Dian belum juga kembali.
Alvin akhirnya mau pulang bersama Indra setelah begitu banyak janji sehingga dia percaya besok akan bertemu Ana lagi. Alvin juga sudah tak bisa bermain dengan Ana, karena Ana sudah tidur. Dian melihat ulah Alvin hanya tersenyum saja. Ketika akan masuk mobil, Dian mengejek Indra.
“Indra, kamu banyak hutang nih! Hari ini seharian nitip anak. Eh besok mau nitip lagi! Mampu bayar nggak sih. Tarifnya belum naik!” kata Dian. Indra tertawa, menggandeng Dian.
“Eit…..Jangan lupa hutang sendiri! Tadi jadi aku jadi bodyguard di perjalanan. Mahal tuh, perjam lima ratus dollar per orang. Kita mulai jam lima sampai sini jam sebelas. Dua orang jadi enam jam kali lima ratus kali dua orang. Yah…. enam puluh juta aja!” sahut Indra tertawa-tawa.
“Gila apa! Mahal amat?” kata Dian geli. “Hitunganmu nggak masuk akal!” lanjutnya.
“Iyalah! Yang jaga kan Direktur perusahaan, selain bodyguard aku jadi pengasuh bayi merangkap kuli angkut barang” kata Indra tertawa.
“Mampu bayar nggak? Kalau nggak nikah aja sama bodyguardnya!” kata Indra, tertawa. Dian juga tertawa.
“Ih…. Mulai lagi deh! Nanti aja!” kata Dian. Indra kaget atas jawaban Dian.
Nanti , apa maksud Dian, pikir Indra. Indra tak mau mendesak Dian, dia ingin mendapat jawaban bukan dalam suasana bercanda. Kali ini Dian harus tahu isi hatinya yang sesungguhnya.


10. Botol Susu


Lebaran Idul Fitri ini Dian melaluinya dengan perasaan sedih. Ini Lebaran Idul Fitri pertamanya sejak Iwan, suaminya meninggal. Juga Lebaran pertama bersama Ana, putrinya. Dian telah mendandani Ana dengan baju barunya, blus merah muda dengan celana panjang sewarna, sepatu Ana berwarna putih, hadiah dari Dewi. Didudukkannya Ana dalam kereta dorongnya. Lalu mendorong kereta Ana ke teras samping rumah. Dian sendiri duduk di kursi rotan yang sedikit terlindungi oleh rambatan bunga nona makan sirih yang sedang berbunga. Hari ini Dian mengenakan celana panjang warna putih dan blus tunik juga berwarna dasar putih lengan panjang dengan bordiran motif bunga kecil kecil dibagian dada, berwarna merah muda. Baju Dian meriah, tapi hatinya sangat sedih, pilu, teringat saat seperti ini, dia dan Iwan biasanya sholat Ied bersama ke lapangan dekat rumah orang tua Iwan di Kediri. Hari kedua baru mereka pergi ke rumah orang tua Dian.
Dian juga sangat sedih karena menyadari Ana tak akan pernah berlebaran dengan ayahnya. Tak sekalipun! Juga ulang tahun pertamanya dan ulang tahun seterusnya, Iwan tak akan pernah ada. Ana tak akan pernah pergi sholat bersama dengan ayahnya, seperti anak lain. Tak ada imam sholat di rumahnya selain Dian. Dian menghapus airmatanya. Airmata yang tak terlalu deras mengalir, tapi dadanya terasa sesak. Iwan, kenapa pergi begitu cepat? Aku sendirian, keluh Dian.
Dian makin menerawang, Ana nanti akan pergi ke sekolah tanpa pernah diantar ayahnya seperti anak anak lain! Ketika belajar bersepeda, hanya Dian yang akan menjaga keseimbangan tubuhnya agar Ana bisa mengayuh sepedanya. Anak lain mungkin pergi ke sebuah lapangan bersama ayah mereka belajar pertama kali mengayuh pedal sepeda mereka.
Suara takbir dari televisi yang menyiarkan liputan langsung sholat Ied di Mesjid Istiqlal, Jakarta dari ruang keluarga terdengar sangat lirih. Saat ini Dian sendirian di rumah, Mama, Dewi, Donny dan Bik Siah sedang sholat Ied ke mesjid dekat rumah. Lingkungan rumah orang tuanya sangat sepi, hampir semua orang sedang pergi sholat. Dian jadi lebih merasa sangat sepi dan merasa sendirian dan terasing karena merasa jauh dari Jakarta, jauh dari makam Iwan. Perasaan terasing sering muncul sejak Iwan pergi. Terasing! Airmatanya muncul lagi. Dian membiarkannya mengalir, mengaburkan pandangannya pada Ana yang sedang menarik-narik saputangan handuk yang di letakkan Dian di dekat Ana. Dian tak mendengar suara langkah kaki mendekatinya.
“Dian!” suara Bu Irawan memanggilnya. Dian kaget ketika mendengar namanya di panggil. Dian melihat Bu Irawan berdiri di dekatnya, memperhatikan wajah Dian.
“Mama! Maaf nggak dengar Mama masuk” kata Dian, kemudian menyalami Bu Irawan.
“Maaf lahir bathin ya Ma” kata Dian, Bu Irawan memeluk Dian, dia tahu Dian sangat sedih, di hari lebaran ini dia tak bersama suaminya lagi. Suara Alvin memanggil Dian membuyarkan pelukan keduanya. Dian masih menyusut airmatanya ketika Alvin mendekat. Di belakangnya Pak Irawan dan Indra, berdiri dengan wajah resah. Ketika berpelukan dengan Pak Irawan, Dian masih menitikkan airmatanya. Tapi ketika bersalaman dan dipeluk Indra, Dian benar-benar menangis sesenggukan.
Indra hanya dapat menepuk nepuk pundak Dian. Indra sendiri sebenarnya ingin menangis. Apalagi dia melihat ibunya sendiri menyusut airmatanya dengan selendangnya. Alvin yang berdiri dekat kereta dorong Ana mulai khawatir. Dia mendekati Indra dan Dian yang berdiri, menarik-narik baju Dian. Ana yang akhirnya mulai menangis, mungkin merasa tak dihiraukan.
“Dian, jangan nangis lagi, itu anak-anak jadi takut” kata Indra. Dian melepaskan pelukan Indra, memegang tangan Alvin kemudian memeluknya. Indra menggendong Ana yang segera berhenti menangis. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah.
“Ana kenapa sayang, haus ya?” bujuk Indra. Ana dengan tangan kecilnya bergelayut dileher Indra.
“Dian, susui Ana dulu nih, haus kayanya. Pipinya juga sudah hangat dari tadi dijemur” kata Indra. Dian mengambil Ana dari gendongan Indra , masuk ke kamarnya diikuti Alvin. Alvin sangat suka melihat Ana menyusu pada Dian. Indra, serta kedua orang tuanya duduk di ruang keluarga, menunggu Bu Hidayat, Dewi dan Donny kembali dari sholat Ied.
Tiba-tiba Alvin keluar lagi dari kamar, meminta ayahnya mengambilkan cangkir. Indra menyerahkan pada Alvin cangkir yang dimintanya, kebetulan ada diatas meja makan dan mengajaknya ke dekat dispenser mengira Alvin haus, tapi Alvin menolak. Dia berlari kembali ke kamar Dian. Indra mengira Dian menyuruh Alvin ambil cangkir kosong. Tapi kemudian Indra pikir mungkin Dian haus, jadi dia membawakan segelas air. Indra berjalan mendekati pintu kamar Dian ketika mendengar suara Alvin protes. Ada apa, pikir Indra. Bu Irawan juga mendengar, jadi mendekat ke pintu kamar yang tak tertutup.
“Tante Dian bohong! Kan sekarang sudah Lebaran! Boleh ya?”kata Alvin dengan suara melengking bahkan seperti mau menangis.
“Alvin, Tante Dian nggak bohong. Tapi kan buat Ade nggak cukup. Ade masih haus, nanti dia nangis! Alvin sayang kan sama Ade?” kata Dian terdengar membujuk.
“Sedikit aja, ini cangkirnya!” kata Alvin masih ngotot. Terdengar Dian tertawa kecil. Indra penasaran, Alvin minta apa sih? Bu Irawan masuk ke kamar Dian, melihat Dian duduk di tempat tidur sedang menyusui Ana. Di sampingnya Alvin memegang cangkir kosong dengan wajah kesal. Dian masih memegangi pundak Alvin.
“Ada apa ini? Alvin minta apa?” tanya Bu Irawan. Dian tersenyum, membelai Alvin.
“Sebenarnya salah saya Ma! Kalau lihat saya menyusui Ana, Alvin selalu ingin tahu rasanya seperti apa. Selalu saya tolak, bilang nanti Lebaran. Sekarang nagih janji, makanya bawa cangkir!” kata Dian, tertawa. Bu Irawan tanpa sadar tertawa keras, sehingga mengundang keingin tahuan Indra juga Ayahnya. Mereka mendekati pintu kamar Dian. Saat itu Bu Hidayat, Dewi dan Donny tiba dari sholat Ied. Mereka juga bergabung, ingin tahu.
Dian akhirnya keluar kamar dengan Ana di gendongannya dan Alvin yang masih memegang cangkir dan berwajah cemberut, menuju ke ruang tengah. Pak Irawan duduk di sofa.
“Dian, Papa ingin tahu, selama ini Alvin pernah minum ASI kamu nggak? Walau cuma setetes?” kata Pak Irawan, sudah tak tertawa lagi, serius sekali. Dian heran, sementara Indra, Bu Irawan, Bu Hidayat serta Dewi dan Donny menunggu jawaban Dian. Dian menggeleng.
“Kenapa Pa?” kata Dian heran, karena melihat Pak Irawan terlihat lega.
“Begini Dian, Indra, anak kalian perempuan dan laki-laki. Ada kemungkinan nanti kalau sudah besar bisa saling tertarik dan ingin menikah. Makanya Papa tanya, bila Alvin pernah meminum ASI Dian walau cuma setetes, sudah tak mungkin lagi jadi suami isteri. Karena mereka saudara sesusu, menerima ASI dari ibu yang sama. Jadi seperti saudara kandung!” kata Pak Irawan menjelaskan.
“Oh… jadi nggak boleh sembarangan ya?” kata Dewi.
“Ah, Alvin ada-ada aja!” kata Indra tersenyum.
“Tapi bagus juga, kita jadi tahu aturan hukumnya” kata Donny.
“Kak Dian, kasih aja deh, kasihan tuh haus! Ntar juga jadi anak kamu kan?” kata Donny tertawa. “Cangkirnya gede amat, Vin!” kata Donny lagi menggoda. Dewi geli melihat wajah polos Alvin yang tak memahami situasi. Indra hanya diam.
Dian menatap Alvin, tak menghiraukan gurauan Donny. Indra melihat Dian mengalihkan perhatian dengan mengajak Alvin main bersama Ana. Orangtuanya dan Bu Hidayat meninggalkan Indra dan Dian, menuju ruang keluarga. Mereka bersalaman, bermaaf-maafan. Tadi terlupakan.

Lebaran Idul Fitri hari pertama itu begitu meriah di rumah orang tua Dian. Semua adik adik ayah Dian datang dengan keluarga mereka. Kakak dan adik ibunya juga datang. Ana selalu berpindah tangan, dari sepupu Dian ke yang lainnya. Indra pulang ke rumahnya karena tentu tamu-tamu orang tuanya juga datang. Apalagi ayah Indra anak sulung. Hanya Alvin yang tetap tinggal, ingin bersama Ana dan Dian saja.
Jadi sore hari, Dian dan Donny bersama Ana mengantar Alvin ke rumah Pak Irawan. Rupanya tamu masih sangat banyak disana. Indra sedang ngobrol di teras dengan beberapa sepupunya ketika Dian tiba. Donny berjalan sambil menggendong Ana, sementara Dian membimbing Alvin masuk ke halaman rumah Indra. Melihat Indra, Ana langsung minta digendong Indra. Para sepupu Indra yang memang sudah sangat mengenal Dian langsung tertawa. Helmi yang paling suka bercanda langsung komentar.
“Waduh….. anaknya aja sudah kangen berat gitu, bagaimana Mamanya!” kata Helmi. Indra cuma tertawa, langsung meraih Ana dari gendongan Donny. Sepupu Indra lainnya tertawa, juga Donny. Dian melotot, tapi tak marah.
“Hm…. Ayo ngomong apa! Indra, Helmi iri sama kamu, banyak yang kangen! “Soalnya yang kangen sama Helmi cuma Bu Rukmini!” ejek Dian menjulurkan lidahnya pada Helmi. Helmi adalah teman sekelas Dian sewaktu di SMP. Helmi terbahak mendengar jawaban Dian, karena yang dimaksud Dian dengan Bu Rukmini adalah guru matematika mereka yang dandanannya sangat kuno, orangnya galak dan suka merapikan pakaian murid-murid yang bertemu dengannya. Terutama mereka yang sengaja tidak memasukkan blus atau kemeja seragam mereka ke dalam rok atau celana panjang.
“Dari dulu aku nggak pernah kangen sama Helmi, heran!” lanjut Dian lagi mengejek Helmi. Helmi tertawa geli. Yang lain menyoraki Helmi.
“Waduh….. jangan buka rahasia dong Dian! Sekarang Lebaran, maaf lahir bathin ya! “ kata Helmi menyalami Dian.
Sore itu mereka ramai ngobrol di rumah orang tua Indra. Indra memperhatikan sikap Dian, meski tetap akrab padanya, Indra merasa Dian agak menghindari kontak mata, menghindari pembicaraan yang bersifat pribadi. Mereka hanya bicara soal Ana dan Alvin.
Ketika Dian mau pulang bersama Donny, Indra sambil mengantar ke mobil dan menggendong Ana sempat bertanya pada Dian.
“Dian, besok rencana pergi kemana?” kata Indra berbisik, sambil menyerahkan Ana. Dian hanya menatapnya tersenyum. Tidak menjawab, juga tidak menggeleng. Aneh, pikir Indra.

Pagi hari kedua Lebaran ini sebenarnya Indra tak berniat pergi kemana-mana. Indra tiduran di kamarnya membaca majalah, meski baru jam sepuluh. Sedang Alvin bermain dengan Pak Irawan di teras. Semoga tak banyak tamu yang datang, harap Indra. Indra sedang memikirkan mengapa Dian jadi menghindarinya. Mungkin Dian khawatir jadi gosip karena mereka sekarang tak punya pasangan? Menghindari anggapan bahwa mereka pacaran? Atau ada hal lain. Apa aku salah omong? pikir Indra. Mungkin soal Franz? Indra mendengar dari Ibunya, Franz sudah telpon dan datang ke rumah Dian. Apakah cinta lama yang bersemi kembali?
Indra mendengar suara dering telpon dari ruang keluarga, sehingga dia bangkit. Ternyata Ibunya telah lebih dulu mengangkat gagang telepon.
“Hallo! Oh… Bapak ada, dari mana? Sebentar ya!” kata Bu Irawan pada lawan bicaranya, ketika menyadari ada Indra, dia memberi kode agar memanggil ayahnya. Pak Irawan segera datang begitu diberitahu Indra, dibelakangnya Alvin menyusul dengan sebuah layang-layang ditangannya.
“Hallo, ini aku Irawan! Eh ….Salman, ada apa…? Oh Ibunya Fikar? Innalillahi wa innalillahi rojiun! Bilang nanti aku ke sana. Tolong kamu bantu dia, juga kasih kabar orang kantor lainnya” kata Pak Irawan. “Ya.. terima kasih” katanya kemudian meletakkan gagang telpon.
“Ada yang meninggal, Ma! Ibunya Zulfikar, karyawan kita” kata Pak Irawan menjelaskan pada isteri dan anaknya.
“Ma, kita melayat ke Banjarmasin sekarang, pemakaman setelah sholat Zuhur. Indra, telpon Mama Dian sama Donny, ajak sama-sama” kata Pak Irawan.

Indra memarkir mobil di depan rumah orangtua Dian, menunggu ibunya masuk ke rumah. Ayahnya dan Alvin juga tidak keluar dari mobil, karena mereka akan segera berangkat. Ibunya kembali ke mobil diikuti Bu Hidayat yang menggendong Ana yang sedang tertidur. Di belakangnya Donny menyusul.
“Kak, saya terpaksa nggak ikut melayat. Bik Siah sedang ke rumah orang tuanya, Dian baru aja pergi sama Fauziah, nggak bilang mau kemana. HPnya malah nggak bisa dihubungi. Nggak ada yang jaga Ana! Dewi ke calon mertuanya, ke Amuntai” kata Bu Hidayat bingung.
“Ana dibawa aja deh!” kata Pak Irawan. Bu Irawan menggeleng.
“Jangan Pak, mungkin Dian nggak lama. Kalau dibawa anaknya nanti marah dia, kan masih minum ASI. Lagipula kita mau melayat orang meninggal” kata Bu Irawan mengingatkan. Pak Irawan diam berpikir.
“Bu Hidayat ikut aja, nggak enak kalau nggak melayat. Ayahnya Fikar itu kan bekas supir Pak Hidayat” katanya. “ Indra, kamu yang jaga Ana! Donny harus ikut, dia yang tahu rumah Fikar! Bagaimana, bisa kan?” kata Pak Irawan menatap Indra. Indra mengangguk setuju, sebenarnya memang tidak ada pilihan lain. Indra keluar dari mobil digantikan Donny, sementara Alvin tetap ingin pergi ikut kakeknya. Ingin jalan-jalan. Indra perlahan mengambil alih Ana dari gendongan Bu Hidayat.

Indra masuk ke dalam rumah sambil menggendong Ana, mencoba menghubungi telepon genggam Dian. Tidak aktif. Indra agak gamang, dengan Ana dalam gendongannya, sendirian di rumah Dian. Kalau Ana menangis bagaimana? Kalau Ana haus, dimana Dian meletakkan kaleng susu formula dan botol susunya. Karena itu, Indra ke dapur untuk survey. Indra melihat di atas meja kecil dekat dispenser air mineral ada susu untuk Ana berjejer, dua kaleng. Juga ada 2 kotak makanan siap saji. Indra tersenyum, beres, pikirnya.
Indra kembali ke ruang tamu. Menutup pintu depan dan kembali ke ruang keluarga, masih dengan Ana dalam dekapannya. Lama lama terasa pegal, akhirnya Indra masuk ke kamar Dian, untuk membaringkan Ana. Kamar Dian masih seperti dulu. Sebuah ranjang besar, lemari dan meja rias yang sama saat menikah dengan Iwan serta meja tulis.
Indra perlahan-lahan membaringkan Ana ke tengah tempat tidur. Menepuk-nepuk Ana sebentar. Indra ingat, lima bulan lalu hal seperti ini pernah dilakukannya, di hari pemakaman Iwan. Sepulang dari pemakaman Iwan, Ana tertidur di dalam keranjang bayinya. Indra yang membawanya, karena Dian pingsan, dibopong Donny. Sudah lima bulan Ana tanpa sentuhan seorang ayah. Indra berpaling ke arah meja rias, beberapa kosmetik Dian, bedak talc untuk Ana, hairdryer dan botol obat nyamuk semprot. Satu kaleng biscuit wafer coklat. Indra tahu itu biasanya untuk Alvin, Dian sengaja menyediakannya. Karena Indra tahu, Dian tak suka biscuit wafer.
Di sudut kamar, pada meja tulis masih ada foto Dian dan keluarganya, foto pernikahan Dian dan Iwan serta foto Dian dan Indra ketika masih SMP. Semuanya dalam bingkai keramik berbentuk piring. Indra mendekat, mengamati foto-foto itu. Rambut Dian dipotong sangat pendek, tersenyum ceria ketika berfoto dengannya. Indra masih dengan seragam biru putih, celana pendek. Masa yang indah bersama Dian.
Indra meninggalkan kamar Dian, membiarkan pintunya terbuka agar dapat memantau Ana. Indra duduk di sofa depan televisi, mencoba sekali lagi menghubungi telepon Dian. Tetap tidak aktif. Sudah hampir sejam lebih Ana tidur, Indra khawatir Ana sudah bangun sementara Dian belum juga pulang. Indra mencoba mencari nomor telepon Fauziah di buku catatan telepon, tak ada nama Fauziah di sana. Buku baru, kelihatannya, jadi teman-teman lama Dian tidak tercantum. Buku yang lama entah ada dimana. Indra ingat buku telponnya berwarna hijau.
Ketika Indra menonton siaran liputan mudik Lebaran di televisi, dia mendengar Ana menangis. Memang sudah jam dua belas, mungkin Ana sudah haus atau lapar. Indra bergegas mendatangi Ana, menggendongnya keluar kamar. Ana masih juga menangis, jadi Indra sambil menggendong Ana pergi ke ruang makan untuk membuatkan susu. Tangisan Ana membuat Indra agak panik karena tak menemukan botol susu. Daripada Ana makin keras menangis, akhirnya Indra memutuskan meminumi Ana susu dengan menyendokinya saja.
Didudukkannya Ana di kereta dorongnya di depan televisi, kemudian dengan sendok demi sendok menyuapi Ana dengan susu yang ada di gelas. Ana terlihat tidak sabar, karena sangat haus. Indra sendiri juga merasa sudah lapar. Kemana Dian sih? pikir Indra. Tepat saat itu telepon diatas meja sudut di dekatnya duduk berdering. Indra mengangkatnya. Suara Dian.
“Mama, Ana rewel nggak?” kata Dian, langsung bicara, mengira Ibunya yang menjawab telponnya.
“Dian, Mama sama Papa Mamaku dan Donny lagi ke Banjarmasin ada orangtuanya karyawan yang meninggal. Aku dirumah jaga Ana. Kamu lagi dimana?” jawab Indra. Ana mulai menangis lagi.
“Hah…. Ya ampun! Aku pulang sekarang deh! Ini lagi di rumah Faridah, nengok dia baru melahirkan. Indra, itu Ana nangis ya?” kata Dian khawatir.
“Iya, lagi aku kasih susu. Botolnya dimana sih? Cari dimana-mana nggak ketemu!” kata Indra.
“Di dalam panci diatas kompor. Sudah dulu, aku pulang, cepat kok” kata Dian, buru-buru. Indra kembali menyendoki susu untuk Ana.
Dian tiba sekitar lima belas menit kemudian diantar Fauziah dengan sepeda motornya. Begitu masuk rumah, Fauziah langsung mentertawakan Indra yang sedang menyuapi Ana dengan makanannya. Bubur susu. Ana duduk di kereta dorong dengan mulut penuh bubur susu, sedang Indra memegang piring berisi bubur duduk dekat kereta dorong Ana. Ana masih lapar, jadi Indra kasih bubur lagi.
“Hallo Pak Direktur! Kerja sambilan ya, mumpung libur?” kata Fauziah, tertawa. Indra hanya dapat tertawa. Fauziah makin geli ketika melihat baju Indra banyak bercak bubur yang dimakan Ana. Dian bergegas mendekati Indra dan Ana.
“Indra, maaf bikin kamu repot! Aku nggak bisa dihubungi ya, lupa charge battery HP!” kata Dian mengambil piring dari tangan Indra.
“Sudah, tenang aja! Biar aku teruskan suapi Ana. Cari makanan dong, aku sudah lapar nih” kata Indra. Fauziah makin geli tertawa. Dian mengangguk, masuk ke ruang makan.
“Fau, aku kerja sambilan kan bayarannya gede lho!” kata Indra, mengedipkan matanya, Fauziah tersenyum. Dian sedang menata meja makan, menyiapkan makan siang untuk Indra.
“Masih bertahan dia?” kata Fauziah bicara perlahan. Indra mengangguk, ragu.
“Cepat In, si Franz kan masih mau!” kata Fauziah berbisik.
“Tadi dia ketemu kami di rumah Faridah. Suaminya Faridah kan sekantor sama Franz, kebetulan ketemu disana” kata Fauziah.
“Buat Franz, Jakarta nggak jauh. Hati-hati!” kata Fauziah lagi mengingatkan Indra. Betul dugaan Indra, Franz lagi.
“Indra, ayo makan deh! Sendirian ya, aku tadi makan di rumah Faridah” kata Dian mendekati Indra. Kemudian Dian mengangkat Ana dari kereta dorongnya, menciumnya.
“Ana bau susu ya! Tadi nggak nakal kan?” kata Dian mengajak Ana bicara, memeluk Ana.
“Fau, aku makan dulu ya!” kata Indra menuju ruang makan. Dian mengikuti dari belakang. Dian memperhatikan Indra makan, sambil berdiri disisi meja, menggendong Ana.
“Indra, aku benar-benar minta maaf! Kamu tadi pasti bingung dan repot sekali jaga Ana” kata Dian. Indra menggeleng, tersenyum saja.
“Dian, aku cuma nggak ketemu cari botol susu aja. Ana nggak rewel kok. Kamu kenapa sih, kaya aku orang lain aja!” kata Indra tulus.
“Indra, terima kasih banyak!” kata Dian, matanya berkaca-kaca, menahan airmata. Mungkin teringat Iwan lagi. Indra akhirnya berdiri, mendekati Dian. Menepuk nepuk pundak Dian.
“Dian, jangan menangis dong! Ingat, kita tidak boleh membesarkan anak dengan tangis sedih, nanti mereka jadi pemurung!” kata Indra. Dian malah jadi tak dapat menahan airmatanya, menangis. Dian sedih, karena seharusnya Iwan yang menjaga Ana, sekarang malah Indra. Indra menghapus airmata Dian dengan tangannya.
“Sudah ya! Keluar deh, temani Fauziah” kata Indra. Indra meneruskan makan siangnya. Indra masih berfikir apa yang bisa dilakukannya agar Dian bahagia saat ini.

Hari ketiga setelah lebaran Idul Fitri, malam sekitar jam tujuh Dian dan Indra menghadiri acara reuni Dian dengan teman-temannya kelas tiga SMA. Acara rutin Dian dan teman-temannya, karena sebagian besar mereka yang merantau pulang kampung saat Lebaran, jadi sekalian reuni kelas. Reuni diadakan di rumah Anwar, sekalian mau memperkenalkan isterinya. Dia baru menikah dengan wanita asal Palembang.
Dian mengajak Indra karena hampir semua temannya mengenal Indra juga. Kebetulan Kikin anggota band mereka dulu menikah dengan Fauziah, teman sekelas Dian juga khadir. Adit juga akan datang bersama adiknya Lita, teman sekelas Dian. Mereka toh juga dari SMA yang sama. Reuni sangat ramai dengan kisah kisah ketika mereka masa SMA. Zakiah, salah seorang teman Dian yang memang terkenal lucu dan suka usil menggoda Dian dan Indra.
“Teman-teman, tercium nggak bau calon pengantin?” kata Zakiah disambut tepukan tangan teman lainnya. ” Sebelum bubar mari kita berdoa semoga Dian dan Indra cepat menikah!” katanya. Indra terkejut, menatap Dian yang cuma tersenyum, tak protes olok-olok teman-temannya.
“Sekarang doa kita harus serius, soalnya doa yang dulu belum dikabulkan Tuhan!” lanjut Zakiah tertawa. Yang lain berseru , Amien… Amien! Dian tertawa-tawa ceria, Indra hanya senyum senyum saja. Tiba tiba Dian mengangkat tangannya. Fauziah yang juga khadir mengedipkan mata pada Indra yang duduk berseberangan dengannya.
“Waduh makasih doanya ya! Aku sama Indra belum punya tanggal, jadi nanti undangan di SMS ya!” kata Dian sambil tertawa, melirik Indra yang menatapnya tak percaya. Semua teman Dian bertepuk tangan. Kikin memeluk Indra, sedangkan Adit langsung menyalaminya. Indra salah tingkah, tak tahu harus melakukan apa.

Ketika menuju arah pulang, di dalam mobil Indra berpikir keras. Haruskah malam ini atau tunda bicara dengan Dian? Tapi tadi Dian bercanda atau serius bicara soal undangan pada teman-temannya? Semua pertanyaan membuat Indra jadi diam sepanjang jalan. Sementara itu, Dian juga heran mengapa Indra jadi pendiam. Mereka tiba di rumah Dian sekitar jam setengah sepuluh malam. Setelah Dian berganti pakaian dan menyusui Ana, dia kembali menemui Indra yang sedang ngobrol dengan Donny dan ibunya.
“Kak Dian, Mama nggak bisa ikut ke Jakarta, belum dapat ticket. Mungkin dua minggu setelah lebaran baru bisa berangkat. Semua sudah dipesan orang” kata Donny. Dian terlihat bingung, semoga Mbak Atun dan Mbak Ani datang tepat pada waktu dia sudah harus masuk kantor. Memperhatikan liputan mudik Lebaran di televisi, Dian ragu.
“Ya sudah. Tapi aku tetap pulang. Banyak kerjaan kantor” kata Dian.
“Bagaimana kalau pembantumu belum datang, Ana sama siapa kalo kamu kerja?” kata Bu Hidayat. “Lebih baik Ana tinggal disini, nanti ke Jakarta sama Mama aja” kata Bu Hidayat lagi. Dian menggeleng.
“Ma, Ana kan masih minum ASI, nggak mungkin pisah sama aku” kata Dian. “Bagaimana nanti deh, kubawa ke kantor aja mungkin” kata Dian, enteng. Bu Hidayat menggeleng.
“Ya, nanti coba Donny usahakan lagi cari ticket buat Mama” kata Bu Hidayat.
“Indra, Mama masuk kamar dulu ya, sudah ngantuk” kata Bu Hidayat bangkit meninggalkan mereka. Donny juga meninggalkan mereka karena menerima telepon dari relasinya.

Dian dan Indra pindah ngobrol ke teras samping, Tempat yang mereka sukai sejak mereka masih kecil. Ada satu set kursi rotan, meja kecil dan rak kayu, tempat segala macam keperluan berkebun. Mama Dian sangat suka tanaman bunga. Dari teras terhampar halaman rumput cukup luas dengan pagar bunga kacapiring. Halaman jadi wangi karena bau bunganya yang berwarna putih memang sedang bermekaran. Dian penasaran ingin tahu apa yang membuat Indra jadi pendiam sejak reuni tadi.
“Indra, dari tadi kok bengong aja sih! Kenapa?” tanya Dian begitu mereka duduk di kursi. Indra tetap bungkam, masih mengatur pikirannya. Banyak yang ingin diucapkannya, tak satupun yang berhasil keluar. Dian menatap Indra.
“Aku salah omong ya? Maaf” kata Dian, menebak nebak. Dian tahu kebiasaan Indra, kalau marah padanya suka berdiam diri.

“Dian!” kata Indra, kemudian meraih Dian ke pelukannya. “Lebih baik kita bicara sekarang aja. Kita bukan anak SMA lagi kan! Soal hubungan kita, aku ingin kamu tahu. Aku serius ingin menikahimu, bukan karena Iwan. Sejak dulu sebenarnya” kata Indra. Dian menatap Indra, tanpa berkata apapun. Kali ini Dian sudah tak bisa menghindari topik ini lagi.
”Jadi, aku mau tahu, tadi kamu bercanda sama teman-teman atau serius?” kata Indra menatapi wajah Dian. Dian bergerak sedikit, Indra melonggarkan pelukannya.
“Dian, jawab dong!” kata Indra dengan suara pelan, menatap mata Dian dalam remang lampu teras, memegang tangan Dian yang terasa dingin.
“Indra, mungkin ini cuma soal waktu aja. Makanya aku bilang belum ada tanggal sama teman-teman tadi” kata Dian. Indra masih menunggu kelanjutan ucapan Dian.
“Indra, aku sudah berpikir bolak balik, berbulan bulan, terutama setelah kita pulang bersama dengan anak-anak kesini. Mungkin takdir kita harus menikah dengan orang lain dulu baru bisa bersatu” kata Dian, menunduk, tangannya makin terasa dingin dalam genggaman Indra.
“Dulu, aku merasa pasangan kita adalah cinta terakhir kita. Padahal kita justru saling cinta sejak kecil. Cinta pertama kita. Makanya, Nadya dipanggil Tuhan, kemudian Mas Iwan menyusul. Kita diuji Tuhan, benar-benar cinta atau cuma karena sayang sebagai sahabat” kata Dian. Indra benar-benar bahagia mendengar ucapan Dian. Ya… hanya soal waktu.
“Sekarang aku hanya sedih, seakan akan mereka berkorban untuk kita. Mas Iwan dan Nadya” kata Dian, menengadahkan wajahnya, menahan air matanya yang akan mengalir.
“Mungkin itu rencana Tuhan. Dian aku bersedia tunggu sampai saat kamu siap, jadi jangan pikirkan tanggalnya. Cuma kita harus beritahu Mama, Papa. Mereka semua mengkhawatirkan kita. Aku juga harus kasih kabar Bapak Ibu di Kediri” kata Indra, memeluk Dian. Dian melongo menatap Indra, heran. ”Indra, ada apa dengan keluarga di Kediri?” tanya Dian. Indra mengangguk, pasti.
”Mereka sudah berkali-kali menanyakan masalah ini?” kata Indra.
Dian membiarkan Indra memeluknya, malah membenamkan wajahnya di dada Indra. Membasahi baju Indra dengan airmatanya. Dian tak berhasil menahan tangisnya lagi. Indra membiarkan Dian menangis, agar Dian lebih tenang. Sekarang Dian akan bersamanya. Mereka telah menemukan cinta mereka. Sebuah keputusan yang seharusnya mereka buat, sepuluh atau malah lima belas tahun bahkan dua puluh tahun yang lalu. Mereka saling mencintai!
“Dian, ingat nggak kamu pernah tanya alasan aku putus sama Rini?” kata Indra ketika Dian sudah tak menangis lagi. Dian menggeleng.
“Sekarang masih mau tahu nggak?” kata Indra menatap mata Dian. Dian tentu saja mengangguk. Pertanyaan yang sudah dia lupakan sebenarnya, tapi sekarang diingatkan lagi oleh Indra membuatnya jadi penasaran.
“Karena aku marah kamu cerita berciuman sama Franz, aku cemburu banget. Padahal aku sama Rini cuma dekat aja, aku nggak pernah cium dia. Aku mau, aku orang yang pertama mencium kamu! Makanya marah sama kamu” kata Indra buka rahasia. Dian tak tahan tertawa geli, agar tak terlalu keras Dian menutup mulutnya dengan tangan.
“Indra, aku juga menyesal waktu itu. Kenapa bohong sama kamu ya?” kata Dian masih tertawa. Indra jadi heran.
“Jadi……. kamu bohong ya! Aduh Dian…. Kok gila banget sih! Aku sedih setengah mati waktu itu” kata Indra. “Kenapa begitu sih?” kata Indra.
“Sebal aja lihat kamu pergi sama Rini terus! Aku kan baru pertama kali ciuman sama Mas Iwan, tahu!” kata Dian akhirnya.
“Tapi itu nggak seberapa! Lebih sedih lagi waktu kamu nikah sama Iwan” kata Indra.
“In, waktu itu kamu benar mau pergi ke Singapura?” usut Dian. Indra mengangguk.
“Aku memang berangkat ke Singapura dua hari kemudian, ada kerjaan disana sama temanku. Tapi memang bawa hati sakit sih!” kata Indra.
“Dari dulu kenapa nggak mau terus terang sama aku In? Aku pikir kamu memang menganggap aku adik aja” kata Dian mengungkit.
“Eh iya, aku bego ya!” kata Indra tertawa.
“Oke , sekarang sudah jelas kan! Kita menikah nanti bukan karena terpaksa memenuhi permintaan Iwan. Kita memang sejak kecil sudah saling sayang” kata Indra.
Dian bersandar di dada Indra, dia memahami perasaannya pada Indra sejak lama. Dulu mereka hanya tak mampu membedakan antara persahabatan dan rasa cinta. Dian terutama mengira dia sayang pada Indra karena menganggapnya sebagai abang yang tak dimilikinya. Sedangkan Indra tak berani mengungkapkan cintanya pada Dian, khawatir kehilangan seorang adik jika ternyata Dian menolaknya. Jalan yang mereka tempuh sangat panjang, untuk memahami perasaan mereka. Setelah mereka dewasa baru menyadari cinta telah tumbuh diantara mereka sejak lama.
“Dian, aku mau tunggu, tapi jangan terlalu lama. Aku mau pada saat Ana bisa bicara, dia sudah panggil aku Papa!” kata Indra. Dian tertawa, mengkalkulasi dalam kepalanya. Artinya paling lama enam bulan lagi Ana sudah bisa memanggil Indra Papa. Sekarang Ana sudah mengoceh meski belum jelas, kadang terdengar ma, la, ta, ka tapi tak pernah pa.
“Beres! Asal hutangku lunas ya In! Itu, honor waktu kamu jadi bodyguardku” kata Dian, memeluk Indra. Indra tertawa mendengar olok-olok Dian.
“Dian , selamanya aku akan melindungi kalian! Kamu, Alvin, Ana dan lain lain” kata Indra, serius.
“Kok dan lain-lain?” kata Dian heran.
“Yah…. Siapa tahu Ana bisa punya adik lagi” kata Indra, memeluk Dian, yang mencoba menghindari bibir Indra yang menciumi wajahnya.

Indra ingat ketika hari kedua mereka tiba di rumah ini, Dian sama sekali tak mau membicarakan urusan mereka. Dia selalu menghindari Indra. Mereka tidak pernah punya acara bersama. Hampir tiap hari Dian pergi dengan teman-temannya. Kadang Ana dibawanya atau kadang di tinggal di rumah. Kalau Indra menelpon, Dian hanya bercanda saja, selalu mengatakan dia ada janji dengan teman-temannya. Indra sempat merasa putus asa. Entah apa yang membuatnya kini justru memutuskan lain. Mungkin selama ini Dian berpikir, mencoba membuat jarak dengan Indra. Merentang ruang sejauh mungkin. Kini jarak itu sudah mereka hapus, ternyata Dian dan Indra tak mampu berpisah.




11. PERHIASAN KUNO

Sehari sebelum kembali ke Jakarta, Indra dan keluarganya, Pak Irawan, isterinya, beserta adik-adik Pak Irawan datang ke rumah keluarga Dian. Indra secara resmi akan melamar Dian. Meski acara dibuat secara mendadak, karena ayah Indra ingin lamaran dilakukan sebelum Dian dan Indra kembali ke Jakarta, tapi Bu Hidayat tidak keberatan. Dengan semangat dia mempersiapkan acara itu dengan dibantu Bu Irawan. Dian sendiri malah sibuk dengan silaturahmi ke teman-temannya sewaktu SMP. Serta ke Martapura untuk beli oleh oleh accessories di Pasar Permata yang terkenal di kota itu.
Siang itu, Dian mengenakan setelan tunik berwarna putih gading dengan riasan tipis, menyambut kedatangan Indra dan keluarganya. Dian berdiri di teras ketika Indra keluar dari mobil. Indra mengenakan celana hitam dengan baju koko warna putih dengan bordiran warna coklat muda di bagian dada, tersenyum ceria melihat Dian. Entah mengapa Dian menjadi terharu, padahal sudah ratusan bahkan ribuan kali dia melihat Indra tersenyum seperti itu, bila menjemputnya atau datang ke rumah. Dian hanya dapat membalasnya dengan senyuman. Dian menoleh ketika bahunya disentuh Donny. Dian tak menyadari ibunya juga telah berada di sampingnya. Bersama sama mereka menyambut kedatangan keluarga Indra.
“Mama Dian, sebagai sahabat almarhum Pak Hidayat, hari ini aku datang kesini untuk mempererat persahabatan kita menjadi ikatan keluarga” kata Pak Irawan memulai pembicaraan ketika mereka sudah duduk bersama diatas tikar lampit , bersimpuh di ruang tengah rumah. Sofa telah dipinggirkan agar ruang lebih lapang. Bu Hidayat memandangi wajah Indra dan Dian berganti ganti. Merasa hampir tak percaya saat seperti ini tiba juga akhirnya. Matanya kepergok tatapan Bu Irawan yang tersenyum bahagia.
“Begini, waktu aku dan ibunya Indra pertama kali melihat Dian yang baru dilahirkan di Rumah Sakit, aku sebenarnya sudah berangan-angan dia jadi menantuku. Malah aku sudah memintanya pada Hidayat, sahabatku. Almarhum waktu itu tak keberatan jika anak-anak memang berjodoh. Jadi tak ada paksaan, sampai akhirnya mereka Indra dan Dian memilih pasangannya sendiri. Hanya karena perkenan Tuhan hari ini, kami bisa datang atas permintaan Indra untuk melamar Dian jadi isterinya, jadi menantu kami. Semoga saja niat baik ini dapat diterima” kata Pak Hidayat. Dian menunduk mendengarkan suara Pak Irawan bicara. Indra menatap wajah Dian yang duduk berhadapan dengan ibunya.
“Kak Irawan sekeluarga, saya berterima kasih kalian datang kesini. Persahabatan almarhum dan kakak dimulai dengan usaha bersama lalu menjadi persahabatan dengan anak dan isteri selama bertahun tahun. Dian sudah bicara soal hubungannya dengan Indra. Jadi saya mendukung saja keputusan baik mereka. Asal mereka bahagia, kita juga akan senang” jawab Bu Hidayat, airmatanya mulai mengambang di matanya. Dia teringat suaminya, Pak Hidayat. Tentu dia akan sangat senang melihat Indra dan Dian akhirnya menjadi suami isteri. Dengan selembar tissue di susutnya airmatanya. Melihat Bu Hidayat yang terharu, Bu Irawan juga turut menangis, dia menundukkan wajahnya, sambil mengelus tangannya sendiri. Indra yang duduk disamping ibunya, terdiam.
“Nah Dian, sekarang sudah tahu kan, bahwa sejak lama kami mengharapkan kamu jadi anak kami. Mamamu menyerahkan putusan sepenuhnya padamu. Jadi Papa ingin mendengar langsung dari Dian, apa tanggapan Dian soal ini. Bukan hanya karena amanah almarhum Iwan” kata Pak Irawan, menatap Dian yang sedari tadi duduk diapit Donny dan ibunya sambil menunduk. Meski tahu keputusan Dian, Indra masih tetap khawatir pada saat terakhir Dian berubah pikiran. Indra tegang, menatap Dian yang secara perlahan mengangkat wajahnya. Indra melihat awal sinar sendu pada wajah Dian, lalu matanya memerah dan muncul gemerlap air mata.
“Papa, saya sudah bicara dengan Indra. Kami akan bersama-sama” kata Dian pelan. Kalimatnya singkat, tapi sudah mewakili perasaannya. Indra menangkap maksud Dian dengan nafas lega. Kedua keluarga mendengarkan dengan tenang. Begitu Dian selesai bicara, suara riang terdengar memenuhi ruangan. Indra bernapas lega.
Ketika suasana kembali tenang, Pak Irawan kemudian bicara kembali.
“Terima kasih, Dian, Papa senang sekali mendengar jawabanmu. Supaya pembicaraan ini bermakna, sesuai tradisi kita, maka kami akan memberikan kenang-kenangan untuk Dian. Mama, silahkan diserahkan sama Dian” katanya, wajahnya tampak ceria. Bu Irawan mengangkat kotak kecil yang berada di pangkuannya. Kotak berlapis kain beludru warna merah.
“Dian, Mama mau cerita soal hadiah ini. Sudah lama sekali Mama persiapkan, ketika kamu dan Indra masih SMA. Kami waktu itu berharap bisa melamar Dian sebelum Indra berangkat kuliah ke Surabaya. Sayang niat itu tidak terlaksana, melihat perkembangan hubungan kalian waktu itu. Lalu hadiah ini kami simpan terus, berharap nantinya bisa diberikan untuk calon isteri Indra” kata Bu Irawan. Semua yang hadir sangat tertarik akan ceritanya.

“Ternyata Indra tidak mau memberikan ini pada Nadya. Dia bilang, kalau rencananya untuk Dian ya sudah, harus kasih saja buat Dian. Kami tak berani memberikan padamu karena khawatir membuat salah faham. Jadi, berpuluh tahun disimpan. Perhiasan ini agak kuno tapi Mama berharap Dian bersedia menerimanya dan memakainya sebagai tanda kasih sayang kami” lanjut Bu Irawan, menyerahkan kotak perhiasan itu pada Indra.
“Indra, berikan ini untuk calon isterimu” kata Bu Irawan. Dengan sigap Indra menerima kotak perhiasan yang diangsurkan ibunya. Beringsut maju mendekati Dian. Ketika Indra sudah duduk berhadapan dengan Dian, Indra membuka kotak perhiasan itu. Dian menatap kotak di tangan Indra. Di atas kain beludru merah, terletak satu set perhiasan emas dengan permata berlian. Sebingkai cincin berhiaskan sebiji berlian kecil, sepasang anting, kalung dan sebuah gelang dengan tujuh berlian. Tidak terkesan kuno seperti yang disebutkan Bu Irawan tadi. Sangat mewah, indah dan pasti mahal. Bagaimanapun Pak Irawan seorang pengusaha sukses, tentu untuk putra tunggalnya pasti tak akan sembarangan. Dian tak menyangka betapa harapan mereka pernah pudar ketika ia menikah dengan Iwan.
Indra meraih tangan kiri Dian, memasukkan cincin. Tanpa kesulitan cincin dengan manis menghiasi jari manis kiri Dian. Sinar berliannya berkilau.
“Terima kasih In!” bisik Dian, menatap Indra di hadapannya. Indra kemudian membuka kaitan gelang, memasangkannya ke pergelangan tangan Dian. Disainnya yang sederhana membuat susunan tujuh berlian yang menghiasi gelang itu jadi sangat menonjol. Cantik di pergelangan Dian yang langsing. Indra memakaikan kalung ke leher Dian. Hanya ketika anting, Indra meminta Dian memasangnya sendiri. Indra memandangi Dian, tersenyum. Semua keluarga mereka bertepuk tangan, gembira. Alvin yang sedari tadi duduk tenang di sebelah Arman, adik sepupu Indra tiba-tiba berdiri, langsung berjalan mendekati Dian dan Indra yang kini duduk berdampingan. Dengan gesit Alvin sudah sampai di depan Dian duduk. Alvin tanpa basa basi duduk di pangkuan Dian.
“Tante Dian, Ade mana?” kata Alvin bertanya, sejak datang Alvin sudah mencari Ana dengan matanya. Hanya karena ditahan untuk duduk diam, maka dia baru bisa leluasa setelah acara selesai.
“Ade lagi bobo. Sebentar lagi sudah bangun” jawab Dian sambil merapikan rambut Alvin yang hampir menutup matanya. Tingkah Alvin itu membuat yang hadir, keluarga Indra dan Dian jadi tertawa.
“Dian, itu satu lagi mahar dari Indra!” kata Arman melucu yang disambut tertawa riuh.
“Nah acara inti sudah selesai, mari kita berdoa” kata Pak Irawan langsung memimpin doa bersama.
“Mari kita makan! Sudah siang nih! Ayo silahkan ke dalam” kata Bu Hidayat. Kedua keluarga itu secara beriringan menuju ruang makan, tempat makanan disajikan di atas meja.
“Vin, itu Ade nangis! Kita ambil Ade yuk” ajak Dian ketika mendengar suara Ana menangis dari kamarnya. Dian masuk ke kamarnya bersama Alvin. Indra mengikuti dari belakang. Sebentar kemudian Dian muncul menggendong Ana yang sudah ceria begitu melihat Alvin. Dian kemudian duduk di sofa dekat pintu kamarnya, memberikan susu botol untuk Ana. Indra melihat Alvin selalu antusias bila melihat Ana minum susu. Indra teringat kejadian ketika hari Lebaran beberapa hari lalu. Keinginan Alvin minta susu ASI dari Dian itu. Tinggal selangkah lagi, pikir Indra. Perlahan Indra duduk dekat Dian yang sedang memangku Ana dan Alvin yang duduk di sampingnya. Keluarga kecilku, pikir Indra, tersenyum.


12. BUNGA UNTUK IWAN


“Apa ini?” kata Indra menunjuk bungkusan daun pisang di lapisi plastik bening berbentuk gulungan sepanjang kurang lebih empat puluh sentimeter. Benda itu berada di atas tas bekal milik Ana ketika Indra akan memasukkan semua barang bawaan Dian ke bagasi mobil. Dian berdiri dekat pintu mobil ayah Indra menggendong Ana.
“Oh… itu, untuk ziarah, kambang barenteng ” jawab Dian pelan. Indra mengangguk faham. Dia ingat Iwan, juga Nadya. Indra mengingatkan dirinya agar tidak memaksa Dian untuk segera melupakan Iwan. Sama seperti dirinya, meski saat ini dia sangat bahagia, kenangan pada Nadya memang belum sepenuhnya pudar. Terutama saat menatap Alvin. Mungkin hal yang sama juga terjadi pada Dian, pikir Indra.
“Sama sama nanti kita ke makam mereka” kata Indra. Dian mengangguk sambil masuk ke mobil.
Orang tua Indra sudah berada di dalam mobil untuk mengantar mereka ke bandara. Sementara Alvin sudah berada di dalam mobil Donny bersama ibu Dian, juga sudah siap untuk berangkat ke bandara. Hari ini mereka, Dian dan Indra berserta anak-anak mereka akan kembali ke Jakarta dengan pesawat yang berangkat . jam 13.30 WITA dari bandara Syamsudin Noor
Mereka tiba di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta sekitar 14.30 WIB, masih siang. Supir Indra sudah menunggu. Jalanan Jakarta masih terasa lengang, nyaman untuk dilalui, khas suasana setelah Idul Fitri. Para pemudik masih belum semuanya kembali ke Jakarta.
Dari bandara, mereka mampir dulu ke makam Iwan dan Nadya. Di Makam Nadya, Dian meletakkan sebagian bunga yang dibawanya. Bersama Indra dia berdoa untuk Nadya. Berusaha untuk tidak menangis, agar tak membuat khawatir Alvin. Kemudian menziarahi makam Iwan, tampak bunga mengering bertaburan di tanah, di makam Iwan, mungkin sudah ada yang datang sebelumnya. Dian mengelus papan penanda makam yang masih terlihat baru. Dian meletakkan bunga di makam Iwan, menatap gundukan tanah yang masih merah dan belum rata. Tanpa terasa, air mata Dian mengalir meskipun sejak tadi bertekad untuk tidak menangis. Pelan, Dian berbisik, berharap Iwan mendengarkannya.
“Mas Iwan, maafkan Dian! Mas, aku minta keihlasanmu dan izinmu! Aku akan menikah dengan Indra. Kami akan bersama sama merawat Alvin dan Ana, anak kita” bisik Dian sambil menghapus air matanya dengan tissue.
Indra menatap Dian yang sedang duduk berjongkok berdoa di pusara Iwan. Indra sendiri menggendong Ana yang kembali tertidur. Alvin ikut duduk dekat Dian, dan merasa khawatir ketika Dian menangis. Gelisah dan memandang ayahnya dengan mata bertanya-tanya.
“Papa, Tante Dian nangis!” kata Alvin akhirnya karena Indra tak memberikan reaksi. Dian mendengar nada khawatir dari suara Alvin, jadi dia berusaha menghentikan tangisnya. Segera berdiri dan meraih tangan Alvin.
“ Tante Dian nggak apa-apa! Cuma kangen sama Om Iwan. Alvin ingat kan sama Om Iwan?” tanya Dian. Alvin mengangguk.
“Yuk, kita pulang, sudah sore” kata Dian. Indra mengantarkan Dian ke rumahnya, membantu Dian membukai beberapa jendela rumah agar udara segar masuk. Indra mendengar dari Pak Jupri bahwa para tetangga Dian juga belum kembali. Indra sedikit ragu meninggalkan Dian hanya berdua Ana di rumahnya.
“Aku nggak apa-apa kok! Tenang aja In!” kata Dian ketika Indra mengungkapkan kekhawatirannya. Dian mengantarkan Indra ke mobilnya sambil menggendong Ana.
“Oke, kalau gitu aku pulang dulu ya!” kata Indra, mendekati Dian, mencium pipi Ana. Ana tertawa senang.
“Sudah cepat masuk mobil. Ana keburu nangis nih!” kata Dian melihat gelagat tangan Ana yang melambai-lambai minta digendong Indra. Tadi selama di perjalanan, Ana selalu bersama Indra. Indra tertawa, masuk ke mobilnya, menutup pintunya. Ketika mobil bergerak meninggalkan halaman rumah Dian, tangis Ana meledak. Indra melihat dari kaca mobilnya, Ana melonjak-lonjak di gendongan Dian.


13  PENGUNGSIAN


Cukup lama Dian baru bisa membuat Ana berhenti menangis. Dian merasa heran pengaruh Indra sangat kuat pada Ana, putri kecilnya. Dian ingat, sejak pertamakali menyadari dirinya hamil, Indra lah orang yang pertama memberinya selamat. Indra dan ibunya yang pertama kali menyadari perubahan Dian. Perhatian Indra padanya saat dia hamil juga membuat Dian sangat bahagia. Ada saja hadiah dari Indra. Kiriman susu, buah, kue hampir setiap minggu. Mungkin itu menyebabkan Ana begitu suka pada Indra, pikir Dian. Mungkin juga sebenarnya Indra ingin punya anak perempuan seperti Nadya pernah cerita padanya.
Dian memeriksa kunci pintu dan jendela rumahnya. Menarik tirai tirai sehingga suasana lengang jalan di depan rumahnya tak tampak lagi. Rumah tetangga di depannya yang tertutup rapat tak berpenghuni juga tak terlihat lagi. Sebenarnya baru jam delapan malam, tapi suasana di lingkungan rumahnya begitu sepi, seakan sudah tengah malam. Dian mematikan lampu ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan. Dibiarkannya lampu meja yang menyala di atas rak di sudut dekat kulkas.
Saat ini, sendirian di rumahnya, benar-benar membuat Dian sepi dan sedih. Lengang, tak ada yang bisa diajaknya bicara. Ana sudah tidur sejak magrib, baru akan bangun untuk minum susu sekitar jam sepuluh nanti. Dian duduk di ruang keluarga, menyalakan televisi tapi akhirnya tak tertarik menontonnya. Bosan! Program semua stasiun televisi hampir sama semua, hanya berita arus balik para pemudik, acara lawak, dan berita halal bihalal di kantor instansi pemerintah. Dian mematikan televisi. Lalu berjalan ke arah dapur, memeriksa regulator kompor gasnya, akhirnya melepaskannya kembali. Mencuci tangannya di kran air pada meja cuci. Dian merasa rumahnya begitu sunyi, kemudian masuk ke kamarnya. Di sudut kamar, dekat lemari pakaian, kopernya berdiri, masih belum dibongkar isinya. Tak masalah, pikir Dian, toh semua pakaian bersih. Tas bekal untuk Ana juga tergeletak di samping koper, belum dibukainya, kecuali mengeluarkan kaleng susu saja. Meski tak merasa lelah, Dian malas melakukan sesuatu. Duduk saja melamun di tepi tempat tidur.

Akhirnya Dian berganti pakaian dengan baju tidur kemudian berbaring di samping Ana yang tertidur lelap. Dipandanginya Ana, tanpa terasa airmata Dian mengalir. Tangisan malam seperti ini hampir selalu tak terhindarkan setiap Dian menatapi Ana. Malam ini begitu sepi, pikir Dian. Dian menelungkup, menangis tanpa suara. Dian mengangkat wajahnya ketika mendengar suara bell berbunyi. Sekali lagi suara yang sama. Ada orang datang! pikir Dian. Siapa yang datang malam-malam begini? Dian bangkit kemudian berjalan ke jendela kamar. Dari tirai jendela kamar yang disingkapnya sedikit Dian dapat terlihat orang menekan bel di depan pagar. Dari cahaya lampu jalanan dan lampu teras rumahnya, Dian melihat Indra berdiri. Mengenakan jaket warna gelap. Sekarang sedang mendekatkan telepon genggamnya ke telinganya. Dian terlonjak kaget ketika telepon genggamnya yang terletak di atas meja rias berdering, dari Indra.
“Indra, tunggu ya aku buka pintunya!” kata Dian menjawab telepon Indra sambil berjalan keluar kamar. Sebelah tangannya repot menghapus airmata. Khawatir Indra mengetahuinya. Tapi Indra telah mendengar suara sengau Dian.
“Eh…. Kok sudah tahu!” kata Indra, terdengar Dian tertawa. Kemudian pintu rumah terbuka. Dian muncul dan mendatangi Indra, membukakan pintu pagar.
“Sudah tidur ya? Ana sudah bobo? Kamu sudah makan? Ini aku bawa nasi goreng!” kata Indra menyerahkan bungkusan ke tangan Dian sambil berjalan memasuki rumah. Indra menyalakan lampu ruang tamu, ketika lampu menerangi wajah Dian, Indra melihat mata Dian yang masih sembab bekas menangis. Dian mencoba menghindari tatapan bertanya mata Indra dengan meninggalkannya berjalan ke ruang makan. Menyibukkan diri dengan membuka bungkusan nasi goreng dan memindahkannya ke piring. Dian berusaha keras agar airmatanya tak lagi mengalir. Dian merasa kedatangan Indra malam ini makin membuatnya ingin menangis terus. Makin menyadari Iwan benar-benar meninggalkannya. Indra lah yang harus menggantikan tugas Iwan, membebaninya. Dian menata meja makan. Indra mengamati Dian dari sofa di depan televisi.
“In, sudah siap nih! Ayo makan!” kata Dian mengajak Indra. Dian sedang mengisi gelas dengan air dari dispenser yang berada dekat meja makan. Indra berjalan mendekati, berdiri di belakang Dian. Ketika Dian selesai mengisi air dan berbalik punggung, Indra berhasil menatap mata Dian.
“Dian, kenapa menangis? Kamu takut sendirian di rumah? Sepi sekali ya?” kata Indra, membuat Dian terpana. Dia tak berhasil menyembunyikan mata sembabnya. Indra sangat tahu kalau Dian sedih, dia akan selalu menghindari kontak mata dengannya. Tapi kalau sedang gembira, Dian selalu mempertahankan kontak mata dengan Indra. Karena seumur hidup mereka hampir selalu bersama, Indra malam ini juga menangkap tanda yang sama. Dian sedang sedih. Indra mengambil gelas dari tangan Dian, meletakkannya di meja makan. Perlahan di peluknya Dian. Tangisan Dian langsung pecah ketika Indra mengelus rambutnya. Dian tak pernah punya rahasia dengan Indra. Bagi Dian, Indra adalah buku catatan hariannya. Selalu ada tempat untuk menuliskan perasaannya, rasa marah, kecewa, kesal, senang, bahagia, bangga, gemas, sedih dan pilu.
“Makanya aku kesini. Dari tadi sudah ragu pasti kamu begini. Sekarang kita makan dulu baru, nanti cari solusi” kata Indra. Dian mengangguk.

“Dian, karena status kita, aku nggak mungkin menemani di sini. Juga nggak mungkin menyuruh kamu menginap di rumah. Di rumah cuma ada Pak Jaja, supirku dan Unih isterinya. Biar di lingkungan rumahku orangnya tak peduli urusan tetangga, tapi aku khawatir mulut usil. Kalau Mbak Yun ada, nggak masalah, dia tahu siapa kamu. Pembantumu mungkin baru kembali dua hari lagi. Untuk sementara kita mengungsi ke hotel atau cottage sambil istirahat, bagaimana? Kalau kamu di sini cuma bersama Ana, aku juga nggak tenang” kata Indra. Dian menatap Indra ragu,. Indra faham apa yang dipikirkan Dian. Tapi Indra dengan cepat melihat Dian segera berubah. Dian sangat percaya pada Indra.
Indra dengan cepat menghubungi beberapa buah hotel, ternyata tak ada kamar kosong, apalagi perlu dua kamar. Hotel-hotel dipenuhi para keluarga yang ditinggal pergi mudik para pembantu. Indra ingat relasinya, Iskandar, seorang pengusaha muda. Jadi dia menghubunginya.
“Iskandar, ini aku Indra! Oh….aku baru aja sampai Jakarta. Aku mau tanya nih, tawaran untuk villa masih berlaku nggak?” kata Indra.
“Masih dong! Mau sekarang juga boleh. Mau ngungsi ya?” jawab Iskandar tertawa.
“Iya, yang mudik belum balik! Aku kesana malam ini ya. Thanks Is bantuannya” kata Indra.
“Pakai aja, lama juga nggak apa-apa. Aku besok ke Singapura, sekalian urus proyek. Isteriku juga mau ke dokter. Oh iya, kantormu lagi sibuk nggak? Ada kerjaan baru In, mau jadi sub contractor ku nggak? Nggak gede banget. Cuma enam lantai untuk interiornya. Ok kalau gitu, untuk detail kita ketemu dua minggu lagi ya!”kata Iskandar.
“Oke, aku tunggu deh, Is! Salam dulu buat Nina” jawab Indra. Tawaran proyek dari Iskandar menarik juga, pikir Indra. Dulu Indra dan Iskandar pernah menangani proyek bersama dan hubungan mereka menyenangkan.
“Indra, nanti aku telpon penjaga villa. Namanya Pak Usep, isterinya bisa masak enak. Nggak usah belanja, stock makanan di sana masih banyak lho!” kata Iskandar menambahkan. Indra senang mendengarnya.
“Thanks Is! Sukses ya di Singapura!” kata Indra, kemudian memutuskan sambungan teleponnya dengan Iskandar.
“Dian, ayo siap-siap, kita ke Cipanas aja. Pakai villa temanku sampai pembantu kembali” kata Indra, segera berdiri dari duduknya.
“Indra, aku jadi nyusahin kamu begini” kata Dian, hampir pada diri sendiri. Indra mendekati Dian yang masih berdiri.
“Dian, mulai sekarang jangan pikir macam-macam. Kita sudah janji untuk mengatasi masalah bersama-sama. Jadi susah senang harus kita hadapi. Ini kan cuma usaha supaya orang jangan bergosip tentang kita. Di villa temanku itu tak ada yang kenal kita. Paling tidak aku bisa jaga kalian” kata Indra. Tanpa canggung Indra masuk ke kamar Dian mengeluarkan lagi koper yang belum sempat dibuka Dian, mengangkatnya dan memasukkan ke dalam mobilnya.
Dian segera berganti pakaian dengan celana panjang dan mengenakan jaketnya. Kemudian perlahan mengangkat Ana dari tempat tidur, membungkus dengan selimut dan meraih tas tangan dan telepon genggamnya. Indra menutup pintu dan menguncinya, sambil menenteng tas bekal Ana, sebelumnya memasukkan kembali kaleng susu Ana dari atas kulkas ke dalam tas itu.
Setelah menjemput Alvin mereka menuju Cipanas. Alvin dan Ana tertidur di perjalanan. Karena melawan arus balik mudik, perjalanan lancar. Sekitar jam sepuluh lebih sedikit Dian dan Indra sudah duduk duduk di teras villa. Anak-anak mereka sudah tertidur lelap.
Suasana di sekitar villa sangat sepi. Lokasinya menjorok ke sebuah tebing. Di atas tebing itulah villa ini kokoh berdiri. Villa berkamar tiga ini bercat warna biru dengan bingkai jendela dicat warna putih. Namanya Villa Biru, merupakan hadiah ayah Iskandar untuk istrinya, kemudian menjadi milik Iskandar ketika kedua orang tuanya meninggal. Villa ini dirawat dengan baik, karena hampir setiap minggu Iskandar dan isterinya menginap disini. Mereka belum memiliki anak. Jika mereka tak menggunakannya, sering dipinjamkan kepada relasinya.
Di bawah tebing, mengalir sungai berbatu-batu, suara gemericik air terdengar hingga ke kamar tidur. Lahan kemudian melandai, di tanah landai itu rumput terhampar dengan beberapa gerumbul bunga sejenis bakung berwarna biru, spider lily. Di tengah lahan berumput itu sebuah kursi kayu terletak menghadap gunung yang di malam ini tertutup kabut embun malam. Pasti sangat nyaman duduk di sana sambil melamun, pikir Dian.
Lahan luas ini dipagari bilah-bilah besi di cat putih yang di rambati oleh bunga stefanut berwarna oranye. Di dua sisi gerbang masuk ke villa lampu menyala terang. Villa ini memang tertutup pandangan dari jalan di depannya. Hanya puncak atap villa bergenteng biru yang terlihat dari jalan. Di samping gerbang itulah dibangun pondok untuk Pak Usep, penjaga villa ini. Bangunannya artistik, tak tampak seperti rumah jaga, atapnya dirambati bunga thumbergia berwarna ungu muda kebiruan. Warna putih dindingnya kontras dengan daun bunga yang hijau tua merambat di atap dan sebagian menjulur, berayun ditiup angin malam. Lampu pondok itu masih menyala. Jendela kacanya tertutup tirai berwarna biru terang. Mungkin dia masih menonton televisi. Ada intercom untuk memanggil Pak Usep bila diperlukan penghuni villa.
Udara dingin terasa membuat Dian merapatkan jaketnya, menarik ritsluiting jaketnya hingga ke kelepak di lehernya. Indra bergeser mendekati Dian. Indra melihat wajah Dian dari samping, makin hari dia melihat Dian makin kurus. Indra meraih Dian ke pelukkannya, terdengar Dian menarik nafas. Terasa berat.
“Dian, kenapa lagi? Sudah dong, jangan sedih terus. Ayo senyum dong, dari tadi diam aja” kata Indra. Indra memang telah lama kehilangan keceriaan dan kemanjaan Dian. Terutama sejak Iwan meninggal. Dian bergerak dalam pelukan Indra, tangannya menyentuh jam tangan di lengan kiri Indra. Indra menunggu sampai Dian bicara. Indra hapal, setiap Dian ingin bicara serius dengannya, selalu Dian memegang tangan Indra. Mau minta tolong, mau buka rahasia, mau minta dukungan atau mau mengaku salah padanya , selalu hal itu yang dilakukan Dian.
“Indra, aku tidak pernah merasa seperti ini sejak kecil hingga kita dewasa. Berusaha menghindari anggapan buruk hubungan kita. Menjaga jangan jadi bahan gossip. Rasanya berat sekali, aku jadi canggung. Dari dulu aku selalu merasa kamu selalu baik sama aku. Jadi rasanya sedih kalau kita harus seperti ini. Pergi kesini juga jadi terasa aneh. Padahal kita dulu tidak seperti ini. Aku biasa bebas datang dan pergi ke rumahmu. Di rumahku juga kamu bisa tidur seharian. Gampang minta kamu datang ke rumahku. Sekarang aku jadi bingung dan kaku” kata Dian resah.
“Oh… soal itu! Ya, kita kan tinggal di lingkungan yang beragam orang dan latar belakangnya. Mereka tidak tahu latar belakang hubungan kita yang dibesarkan sejak kecil bersama-sama” kata Indra, menatap Dian, mengharap ucapannya membuat Dian lebih bersemangat untuk melanjutkan pembicaraan. Dian masih berdiam diri, jadi Indra melanjutkan ucapannya.
“ Tindakan ini untuk menjaga saja, karena kalau nggak ada orang di rumahmu, aku datang tetanggamu bisa salah faham, akan menduga yang macam-macam. Kamu tinggal sendirian juga aku khawatir. Keadaan seperti ini baru beres kalau kita sudah resmi menikah. Makanya aku kan lebih suka datang ke rumahmu kalau sama Alvin, siang hari dan pembantumu sedang berada di rumah. Jaga nama aja, ya kan?” kata Indra. Dian termangu, memang dia memahami maksud baik Indra.
“Indra, rasanya aku nggak bisa begini terus. Kalau pembantuku nggak pulang apa kita akan terus begini. Kita kan nggak tergantung pembantu. Kalau kita percepat nikah juga bukan karena kita lagi nggak ada pembantu kan?” kata Dian pelan.
“Dian aku nggak memaksa kita cepat menikah. Hanya saja sekarang yang jadi pertanyaanku adalah, kita, terutama kamu, menunggu apa? Sampai kamu lupa sama Iwan? Kalau itu, aku jamin pasti sangat lama” kata Indra mencoba menggugah Dian. Dian menggeleng, dia tak punya alasan apapun. Iwan tak mungkin kembali!
“Dian, sekarang aku tahu, kita mungkin hanya perlu satu menit bahkan mungkin satu detik untuk jatuh cinta. Tapi untuk melupakannya perlu waktu seumur hidup kita” kata Indra. Dian menatap Indra mencoba memahami ucapan Indra. Indra dan Dian berdiam diri, sementara suara gemericik air sungai terdengar. Juga suara sepeda motor mungkin tukang ojek yang lewat di jalan terdengar dengan knalpot yang meledak-ledak, atau mungkin remaja ABG yang sedang pamer pada temannya, mengganggu suasana hening pengunungan itu.
“Indra, kalau kita menikah dua bulan lagi bagaimana?” tanya Dian tiba-tiba, memegangi tangan Indra makin kuat. Suara Dian pelan namun mengagetkan Indra, kaget bercampur senang tentu saja. Indra menunduk, mengamati wajah Dian, serius. Indra tahu, Dian telah mengambil keputusan untuk masa depan mereka. Senyum Dian memastikannya. Indra mengangguk, memeluk Dian rapat ke tubuhnya, tersenyum bahagia.
“Dian, kamu tenang aja. Aku akan persiapkan semuanya. Besok aku telpon Papa Mama kasih tahu mereka, pasti sangat gembira. Papa terutama sudah nggak sabar, tahu kan?” kata Indra. Dian mengangguk.
“In, bagaimana menyampaikan hal ini sama Alvin? Dia pasti mempertanyakan hubungan kita” tanya Dian. Indra tertawa mendengar kekhawatiran Dian. Selama ini Dian tak tahu kalau Alvin sudah ingin sekali memanggilnya Mama. Alvin ingin punya Mama lagi, seperti temannya.
“Beres soal itu, soal tempat tinggal yang perlu kita pikirkan. Sebaiknya setelah menikah pindah ke rumahku saja. Rumahmu dikontrakkan, uangnya ditabung untuk Ana, bagaimana?” usul Indra. Saat itu terdengar dering telepon milik Indra yang di letakkannya di meja makan. Indra melepaskan pelukannya, bergegas masuk ke dalam. Dian mengiringi Indra dengan pandangannya melalui kaca jendela yang lebar. Khawatir ada kabar buruk, karena telepon sudah malam sekali, hampir jam dua belas. Dian melihat Indra tersenyum ketika bicara di telepon, Dian lega. Indra keluar masih sambil bicara di telepon, mendekati Dian.
“Pa, ini Dian sama aku, kami sedang di Cipanas. Pembantu belum pulang, Dian takut di rumah sendirian. Biasalah, nangis gitu. Tetangganya juga belum pulang semua. Jadi kami mengungsi dulu. Ini Dian nih” Indra menjelaskan pada Pak Irawan di telepon. Indra menyerahkan telepon pada Dian.
“Papa? Ini Dian” kata Dian di telepon. Terdengar suara Pak Irawan.
“Dian, kami khawatir, tadi telpon ke rumahmu tak ada yang jawab. HP kamu juga nggak jawab. Telpon ke rumah Indra juga begitu. Papa sudah tenang kalian baik-baik aja. Anak2 sudah tidur ya? Nanti Papa telpon Mamamu, biar dia tenang” kata Pak Irawan.
“Iya Pa! Papa, sebentar, Indra ada yang mau dibicarakan” kata Dian, karena Indra memberi isyarat ingin berbicara lagi dengan ayahnya. Dian kemudian menyerahkan telepon pada Indra. Dian memperhatikan Indra berbicara dengan ayahnya sambil bersandar di teras.
“Pa, tadinya besok mau telpon Papa. Tapi sekarang aja deh dibicarakannya. Kami rencana mau nikah dua bulan lagi, setelah Idul Adha, bagaimana pendapat Papa?” kata Indra membuat Pak Irawan berseru gembira.
“Alhamdulillah! Bagus, bagus! Kalian tenang aja, Papa persiapkan disini sama Mamamu dan Mama Dian, ya!” kata Pak Irawan bersemangat. Indra bengong, menatap Dian. Dian mendekati Indra, yang segera menekan tombol speaker sehingga Dian dapat mendengarkan pembicaraannya dengan ayahnya.
“Papa, aku belum bicara detail sama Dian, mau nikah di Jakarta atau di Banjar Baru” sanggah Indra, meraih Dian agar lebih dekat dengannya.
“Indra, sebaiknya nikah di sini. Dulu kamu menikah di Jakarta, Papa nggak punya peran apa-apa. Sekarang kasih kesempatan Papa menikahkan anak. Apalagi ini cita-cita Papa bermenantu Dian. Keluarga kita di sini semua, teman kalian di sini semua. Relasi Papa dan Papanya Dian juga di sini. Di Jakarta nanti kalian bikin syukuran sendiri aja untuk tetangga dan relasi”kata Pak Irawan. Indra menoleh pada Dian. Dian mengangguk.
“Oke Pa! Dian juga setuju. Sederhana saja ya!” kata Indra mengingatkan ayahnya. Indra teringat cita-cita ayahnya dulu ingin menikahkan Indra dengan acara adat lengkap. Indra tidak berharap ayahnya akan melaksanakannya. Indra ingin pernikahan yang sederhana saja. Tapi dia tahu, ayahnya sangat gigih.
“Indra, bilang Dian ya, kalian punya tugas siapkan surat-surat aja dan datang pada waktunya. Semua urusan Papa yang atur. Oke? Sudah dulu ya. Nanti besok Papa telpon lagi. Jaga Dian baik-baik” kata Pak Irawan mengakhiri pembicaraannya dengan Indra. Indra memasukkan telepon kesaku celananya.
“Dian, sudah dengar kan omongan Papa?” kata Indra, Dian mengangguk. “Tidak ada yang perlu kita lakukan. Mereka cuma perlu pengantinnya!” kata Indra. Dian tertawa mendengar ucapan Indra. Udara terasa makin dingin, Indra membimbing Dian masuk ke dalam, menutup pintu dan menarik tirai berwarna biru menutupi bidang jendela. Pemandangan gunung telah menghilang. Dian duduk di sofa besar berwarna putih kusam.
Indra pergi ke pantry, mengambil dua mug dan sendok lalu membuat bandrek . Indra menemukannya pada toples di atas rak dekat dispenser air mineral sekotak bandrek bubuk instant. Indra membawa kedua mug yang masih mengeluarkan uap panasnya ke ruang depan, meletakkannya di meja dekat Dian duduk sedang asyik menekan tombol remote control, berganti ganti saluran televisi.
“Dian, minum tuh, masih hangat. Biar nggak kedinginan” kata Indra, sambil duduk disamping Dian. Dian hanya bergumam, tak jelas. Menatap televisi yang menayangkan liputan berita luar negeri. Indra meniupi uap panas dari mugnya, menyeruput minumannya perlahan. Terasa hangat , manis dan wangi jahe serta buah pala menyeruak di tenggorokkannya. Tiba tiba Dian menoleh pada Indra, perlahan mengambil mug yang sedang dipegang Indra, meminumnya pelan, beberapa teguk. Kemudian menyerahkan kembali pada Indra, tersenyum senyum.
Indra tersenyum memperhatikan tingkah Dian, berharap situasi seperti ini akan terus terulang sepanjang hidupnya. Indra selalu ingat, Dian akan minta minumannya, meski miliknya sendiri juga sudah tersedia. Kalau minumannya masih panas, Dian akan menunggu Indra meniup-niup agar uap panas menghilang. Lalu Dian akan meminumnya tanpa rasa salah. Indra tak pernah marah soal seperti itu. Kemanjaan Dian padanya seperti itu sudah diketahui tidak hanya keluarga Dian dan Indra, tapi teman teman sekolah mereka. Itu sebabnya mereka heran ketika mendengar Dian menikah dengan Iwan, sedangkan Indra akhirnya menikah dengan Nadya.
Tapi Dian juga sangat perhatian dan setia pada Indra. Sewaktu kecil, Dian selalu minta bekal dua porsi. Misalnya dua tangkap roti isi. Satunya pasti untuk Indra. Dian akan betah duduk diam berjam-jam menunggui Indra latihan basket meski teman-temannya mengajaknya menonton film, padahal Dian sangat ingin ikut mereka. Dian akan patuh untuk berlatih dengan grup band mereka, kalau Indra bilang hari itu mereka harus latihan. Padahal, Franz, pacar Dian dengan motornya mondar mandir di depan rumah tempat mereka berlatih, untuk mengajak Dian pergi. Kalau Indra bilang baju Dian terlalu terbuka, nggak pantes untuknya, meski Dian baru beli dan akan dipakainya pamer dengan teman-teman, Dian tanpa protes akan berganti baju yang lain. Dian juga tanpa bertanya akan patuh kalau Indra melarang Dian pergi dengan teman-temannya ke kota Banjarmasin untuk sekedar jalan-jalan dan main.
Jadi ketika melihat tingkah Dian kali ini, Indra sudah tahu mereka berdua memang berjodoh. Sejak kecil mereka selalu ingin bersama, merawat kasih sayang mereka dengan tulus, tanpa janji, tak pernah saling menyakiti, tanpa tahu arah dan akhir. Kemudian ketika kebahagian rumah tangga mereka masing-masing menghilang dengan kematian pasangan masing-masing, Tuhan masih memberikan lagi kesempatan kedua mereka menemukan kebahagian yang lain. Bersama-sama menghadapi masa depan bersama anak-anak mereka.
Indra meraih Dian ke pelukkannya. Dian membalas pelukkannya, meletakkan remote control di atas meja. Televisi masih memberitakan perang antar etnis di Irak dan usaha Amerika dan sekutunya untuk bertahan di sana, Indra dan Dian tak lagi peduli lagi. Hanya tangisan Ana yang terdengar dari kamar membuat pasangan itu menghentikan ciuman mesra mereka.
Dian bergegas meninggalkan Indra, masuk ke kamar. Ana sudah duduk di tempat tidur, sedang menangis. Dian segera memeluk Ana, memberikan botol susunya yang sudah disiapkan Dian sejak datang ke villa. Dian membaringkan kembali Ana ke tempat tidur, menyelimutinya dan menepuk nepuknya agar tertidur kembali. Indra masuk , duduk di sebelah Dian, memperhatikan Ana yang mengisap dotnya dengan mata terpejam. Mereka berdua berdiam diri, hingga Ana benar-benar tertidur. Dian merapikan menyelimut Ana, kemudian mengambil botol susu yang sudah kosong dan meletakkannya di meja samping. Indra bangkit, mendekati Dian memeluk dan mencium pipi Dian.
“Tidur deh, sudah tengah malam. Besok kita jalan-jalan dengan anak-anak” kata Indra, bergerak meninggalkan Dian menuju pintu, keluar, menutup pintunya kembali. Dian duduk di meja rias, menatap wajahnya. Perlahan membuka jaketnya, gerakan tangannya memantulkan gelang yang dipasangkan Indra di lengan kirinya saat acara lamaran itu. Ketika jaketnya sudah dilepas, Dian melihat kalung yang menghiasi lehernya. Perhiasan pemberian keluarga Indra itu belum dilepaskannya. Indra meminta Dian memakainya dulu hingga mereka pulang ke Jakarta.
“Biar Mama Papa senang dulu, pakai selagi di sini aja” kata Indra memberi alasan.
“Indra, di Jakarta aku cuma mau pakai cincinnya aja ya. Ngeri ah pakai berlian wara-wiri di jalanan Jakarta. Bisa-bisa aku jadi inceran rampok si kapak merah !” kata Dian. Indra mengangguk maklum.
Dian berganti dengan pakaian tidur, mematikan lampu kamar, lalu berbaring di samping Ana. Berusaha memejamkan matanya meski tak begitu mengantuk. Ada muncul perasaan tenang pada Dian ketika menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia akan tidur nyenyak malam ini karena dia yakin Indra menjaganya di luar sana. Indra akan membiarkan Dian mengisi tidurnya dengan mimpi-mimpi indah.





14. VILLA BIRU

Indra membuka tirai jendela kamarnya, kabut embun pagi masih menutupi gunung yang menjulang jauh di depan jendela. Masih jam lima pagi, Alvin masih tidur nyenyak, berselimut. Padahal sudah terdengar suara motor menggerung di jalan depan villa. Indra melipat sajadahnya, meletakkannya di ujung tempat tidur.
Kamar yang di tempati Indra diisi dengan dua tempat tidur tunggal yang diletakkan berjajar disela oleh rak setinggi tempat tidur. Ada lampu tidur berwarna putih kusam, masih menyala. Rupanya kamar ini dirancang untuk tamu menginap. Dindingnya bercat biru muda dengan perabot kamar, tempat tidur, rak dan lemari kecil berwarna putih serta meja rias diletakkan sejajar di sudut kamar. Kamar mandinya berupa pancuran semuanya kombinasi warna biru dan putih. Selimut dan bedcover juga berwarna biru dengan motif bunga bunga kecil berwarna putih. Bahkan keranjang untuk pakaian kotor juga dengan balutan warna dan motif yang sama. Nyaman sekali tidur di sini, pikir Indra.
Indra keluar kamar mengenakan training suit warna putih dengan T-shirt yang tadi malam dipakainya untuk tidur. Indra membuka tirai jendela ruang tamu, kemudian menuju ke arah belakang ke ruang makan merangkap pantry, berniat untuk membuat kopi susu. Indra melirik pintu kamar Dian, masih tertutup rapat. Dian masih tidur, pikir Indra. Ketika sampai di ruang makan, Indra melihat Dian sedang berdiri di meja pantry mengaduk-aduk mug berisi kopi susu.
“In, ini kopimu! Mau sarapan roti nggak? Ada selai nanas:” kata Dian tanpa menoleh. Dian tahu Indra sudah bangun, tadi mendengar gesekan tirai yang ditarik dan langkah kakinya mendekati pantry.
“Rotinya nanti aja. Aku kira kamu belum bangun! Kita duduk di teras yuk! Sebentar lagi matahari terbit” ajak Indra. Dian berbalik menghadap Indra, membawa dua mug kopi susu, menuju ke ruang depan. Indra mengikuti dari belakang, membukakan kunci pintu depan. Sudah hampir jam setengah enam, mereka duduk di kursi teras, menikmati kopi hangat dan suasana pagi yang tenang. Lampu di pondok Pak Usep masih menyala, tirainya belum dibuka. Dian bersandar pada Indra, yang kemudian memeluk Dian. Saat itu terdengar suara langkah Alvin mendekat ke teras.
“Papa, Papa ini rumah siapa? Ade mana?” tanya Alvin begitu dia berdiri di depan Indra dan Dian duduk. Alvin sama sekali tak kaget atau bersikap bingung atau merasa aneh melihat ayahnya sedang memeluk Dian. Indra tersenyum mendengar ucapan Alvin. Alvin rupanya tak menyadari tadi malam tiba disini karena ketika itu diangkat Indra ke tempat tidur dalam keadaan tertidur. Dia hanya ingat Ana, adiknya yang tak ada diantara mereka. Dian melepaskan diri dari pelukan Indra, menarik tangan Alvin, mengajaknya duduk diantara mereka.
“Vin, kita di rumah Om Iskandar teman Papa. Ini di Puncak, tadi malam Alvin tidur sih di mobil jadi nggak ingat kita sampai sini” kata Indra menjelaskan. Alvin mengangguk.
“Ade mana?” katanya lagi. Dia masih memikirkan Ana.
“Ade masih bobo, di kamar” kata Dian, Alvin segera berlari masuk kembali ke kamar yang tadi dia keluar. Tak lama kemudian keluar lagi, dengan wajah bingung. Dian mengikuti dari belakang.
“Itu Ade tidur di kamar itu, kita bangunkan yuk!” kata Dian menunjuk kamar yang pintunya masih tertutup persis di depan Alvin sedang berdiri. Alvin membuka pintunya kemudian masuk diikuti Dian. Indra juga kemudian menyusul. Bersama-sama mereka sudah di kamar yang ditempati Dian, mengelilingi tempat tidur besar dengan sprei warna biru muda. Di atas kasur empuk itu, Ana masih tidur, selimutnya tersingkap, memeluk boneka teddy bearnya, sama sekali tak terganggu kehadiran mereka bertiga.
Kamar yang ditempati Dian ini juga berwarna biru muda dengan sentuhan warna putih pada tirai, bedcover, bantal-bantal, kap lampu-lampu, meja rias, bantalan pada sofa untuk dua orang. Karpet yang terhampar di lantai juga berwarna biru, sangat lembut dan halus. Jendela besarnya belum dibuka, tirainya masih tertutup. Sinar matahari mulai terlihat dari sela sela tirai yang sedikit tersingkap.
Alvin naik ke tempat tidur, langsung memeluk Ana dan menciumnya dengan gemas. Indra dan Dian memperhatikan keduanya. Pelan Ana bergerak dan membuka matanya, Dian melambaikan tangannya pada Ana yang masih belum begitu menyadari kehadiran mereka bertiga. Wajahnya yang terlihat menggemaskan, bergerak akan bangun. Alvin segera membantunya, Dian juga duduk di tepi tempat tidur.
“Halo! Selamat pagi Ana! Bangun yuk sayang! Itu Abang Alvin ajak main” sapa Dian membuat Ana mengembangkan senyumnya kemudian Ana mengangkat tangannya minta di gendong. Indra langsung menjulurkan tangannya. Dian membiarkan Indra menggendong Ana keluar kamar, mengikutinya bersama Alvin. Indra membawa Ana ke teras, Dian berbalik ke dalam kamar, mengambil handuk kecil, membasahinya dengan air hangat, kemudian bergabung dengan Indra dan anak-anak di teras. Dian menyeka wajah Ana kemudian menyerahkan pada Indra susu botol untuk Ana. Dengan tenang, Ana duduk dalam pangkuan Indra menghisap dot botol susunya. Dian menarik tangan Alvin, mengajaknya ke wastafel untuk mencuci muka. Kemudian membuatkan Alvin se mug susu coklat lalu mengajaknya kembali ke teras. Mereka duduk duduk sambil menerima sinar matahari yang mulai muncul menyinari lapangan rumput dan teras villa.
“Alvin, hari ini mau berenang nggak?” tanya Indra. Alvin mengangguk.
“Kolamnya mana Pa?” tanya Alvin. Indra tertawa mendengar pertanyaan Alvin.
“Nanti, kita pergi ya, agak siang. Papa mau ajarin Ade berenang” kata Indra. Dian ingat, hingga kini Ana belum sekalipun ke kolam renang. Alvin sudah sangat pandai berenang, karena sejak bayi Alvin sudah sering diajak Indra dan Nadya berenang. Mendengar rencana akan berenang Alvin senang sekali.
“Alvin, dengerin Papa ya, Ade Ana boleh panggil Papa juga nggak sama Papa Alvin?” kata Indra hati-hati. Dian tak menyangka Indra begitu cepat ingin memberi tahu Alvin rencana mereka. Ada rasa khawatir, bukan karena takut ditolak Alvin, tapi takut justru melukai perasaan Alvin. Alvin menatap Indra, mungkin sedang mencerna arti ucapan Indra. Indra memahami kesulitan putranya.
“Ade Ana jadi anaknya Papa, jadi panggil Papa juga seperti Alvin. Boleh Vin?” kata Indra. Ucapan terakhir rupanya lebih dimengerti Alvin. Dengan cepat dia mengangguk.
“Boleh!” kata Alvin mantap, wajahnya ceria. Indra tersenyum, mengelus kepala Alvin.
“Tapi nanti Tante Dian jadi nggak punya Ade lagi!” kata Alvin, menatap Dian, khawatir. Dian tersenyum dengan ucapan polos Alvin.
“Vin, begini, Ade tetap jadi anak Tante Dian. Tante Dian juga mau Alvin jadi anaknya Tante. Jadi Alvin boleh panggil aku Mama. Mau nggak?” kata Dian. Indra menatap wajah Alvin, kulitnya yang putih dan rambut lurusnya milik Nadya, sedang matanya yang besar dan postur tubuhnya adalah Indra saat masih kecil. Tak ada yang bisa menyangkal bila Dian mengakui Alvin anak kandungnya. Kulit mereka sama putih. Ana pun sangat mirip dengan Alvin.
Bocah kecil itu tanpa ragu langsung mengangguk. Wajahnya ceria sekali.
“Papa, kalau gitu sekarang Alvin sudah punya Mama lagi. Nanti kalau sekolah Alvin mau tonjok Dimas sama Iyang!” kata Alvin. Indra dan Dian heran pada ucapan Alvin. Apa hubungan punya Mama dengan memukul teman-temannya?”pikir Indra juga Dian.
“Hey kenapa, kok mau pukul teman?” usut Dian.
“Abis Dimas sama Iyang kan ngeledekin terus! Alvin nggak punya Mama. Sorakin Alvin Mamanya mati, Mamanya mati! Alvin kan nggak mau Mama yang mati!” Alvin menceritakan, terlihat tertekan. Indra kaget mendengar ucapan Alvin. Hal ini, sekalipun Indra tak pernah mengetahui, apalagi Dian. Kasihan, bocah kecil ini, rupanya selama ini dia menyimpan kesedihannya, kehilangan ibunya, mendapat ejekan teman-temannya. Dian segera meraih Alvin kedalam pelukannya, airmata Dian tanpa dapat ditahan mengalir. Seandainya aku tahu, dari dulu aku akan melindunginya, pikir Dian. Indra tak mampu mengucapkan apapun. Shock atas pengakuan Alvin. Kematian ibu bukan suatu cacat! Bukan aib! Bukan kriminal! Kenapa Alvin harus menerima perlakuan semacam itu dari teman-temannya, keluh Indra.
“Vin, dengar ya! Mulai sekarang Alvin sudah punya Mama. Alvin nggak usah pukul temanmu. Nanti Mama antar Alvin ke sekolah ya, biar Alvin kasih tahu Dimas sama Iyang, Alvin juga punya Mama seperti mereka. Gimana?” tanya Dian, menatap Alvin. Alvin mengangguk ragu. Dian melihat masih ada kabut di mata Alvin.
“Kenapa Vin?” tanya Dian, memegangi bahu Alvin.
“Alvin kan pernah bilang begitu, Tante Dian itu Mamanya Alvin. Dimas bilang bukan! Alvin malah dibilangin tukang bohong. Kata Iyang, kan kalo jadi Mama rumahnya sama” kata Alvin. Dian benar-benar kasihan melihat Alvin, belum lima tahun usianya, dia harus menangggung beban begitu berat kehilangan ibunya. Mendapat ejekan teman-temannya. Mencoba bertahanpun sulit sekali. Sifat Alvin yang tak mudah bercerita kepada Indra kejadian di sekolah membuat hal ini terjadi. Indra mungkin hanya sempat mengajukan pertanyaan standard, misalnya ”Di sekolah melakukan apa? Belajar apa?’” atau semacam itulah, pikir Dian.
Dian jadi teringat Ana, nanti juga akan mendapat masalah seperti Alvin. Kini Dian makin yakin akan keputusannya. Dia akan bersama-sama Indra melindungi Alvin dan Ana, anak-anak mereka dari hal semacam ini.
“Vin, Mama sama Ade nanti juga akan tinggal di rumah Alvin. Tapi nggak sekarang ya. Mama mau cari orang untuk jaga rumah, baru pindah. Nanti kita bisa tiap hari sama sama. Yang penting Alvin sayang Mama, Papa, Ade” kata Dian. Alvin mengangguk tersenyum ceria. Indra melihat kabut di wajah Alvin menghilang. Alvin melepaskan diri dari pelukkan Dian, mendekati Indra dan Ana. Dengan sayang Alvin mencium Ana yang berada di pangkuan Indra. Ana yang segera menghentikan mengisap dot dari botol susunya, tangan kecilnya merabai wajah Alvin. Senyumannya manis dengan memamerkan gigi susunya yang kecil-kecil.
“Vin, kita ke halaman situ yuk! Ade mau belajar jalan nih!” kata Indra, segera berdiri sambil mengangkat Ana dan mendudukkannya di bahu. Alvin berlari menuruni tangga, mendahului ayahnya.
“Vin, pakai sepatu dulu! Kotor! Vin!” panggil Dian, sementara Alvin sudah ditengah halaman. Indra tertawa melihat Dian seperti orang panik. Indra tahu Dian paling teliti soal kebersihan. Tapi kali ini Indra ingin menggoda Dian, jadi dia menjulurkan lidahnya.
“Itu, anak kamu nakal ya!” ejek Indra menunjuk Alvin yang sedang berlarian di halaman rumput. Dian hanya bisa tertawa.
“Iya, itu yang di gendonganmu juga bakal nakal tuh, kaya Abangnya!” sahut Dian, ketika dia melihat tangan Ana sedang menarik-narik rambut Indra. Melonjak-lonjak ingin segera menyusul Alvin.
“Iya, mungkin kita nggak bisa honeymoon! Langsung sibuk urus dua anak nakal ini” kata Indra bercanda. Dian mendorong bahu Indra, bersama sama menuruni tangga bergabung dengan Alvin di halaman. Rumput masih basah oleh embun. Kabut masih sedikit menghalangi pemandangan gunung Gede.


“Vin, berenangnya yang di kolam sini aja ya! Nggak boleh ke kolam yang dalam situ” kata Indra, memperingati Alvin yang sudah siap berenang. Dian duduk di bawah payung taman, di pinggir kolam sedang memakaikan baju renang untuk Ana. Indra sedang menunggu untuk membawa Ana masuk kolam, mengajari Ana berenang.
“Nggak boleh jauh dari Papa ya!” kata Dian lagi, khawatir. Dian sendiri tak ingin berenang karena merasa tak nyaman sedang haid. Kebetulan dia juga tak membawa baju renang karena kemarin malam berangkat terburu-buru. Sedang Indra, Alvin dan Ana beli pakaian renang di toko yang tersedia dekat kolam renang yang merupakan bagian dari hotel ini.
“Mama kenapa nggak berenang?” kata Alvin heran, karena dia sering berenang dengan Dian dan ibunya.
“Mama lagi malas, dingin sih!” kata Dian. “Nanti Mama tunggu di sini aja ya” kata Dian. Alvin mengangguk. Indra mendekati Dian untuk mengambil Ana sambil berbisik.
“Bukan malas kan? Kenapa?” bisik Indra, khawatir Dian kurang sehat, karena sejak berangkat terlihat lebih banyak berdiam diri. Dian menggeleng.
“Aku sakit perut!” jawab Dian juga berbisik. Indra menatap Dian, lega karena dia tahu maksud Dian.
Ketika Indra masuk ke kolam sambil mendukung Ana yang memeluknya ketat, Dian berdiri di pinggir kolam mengamati. Sebagian tubuh Ana mulai terendam, Ana terlihat panik. Dian sendiri sebenarnya juga sangat khawatir.
“Indra, hati-hati ya!” kata Dian dari pinggir kolam. Indra menoleh pada Dian, memahami perasaan Dian yang mengkhawatirkan Ana. Indra mendekati Dian sambil mengangkat Ana.
“Dian, jangan khawatir begitu! Percaya sama aku kan! Ana aman, aku kan ayahnya!” kata Indra mengingatkan.
“Indra, maaf, bukan itu maksudku!” kata Dian menyadari dan takut jadi salah faham.
”Sudah, berenang lagi deh!” kata Dian. Aku harus mempercayai Indra, termasuk dalam menjaga dan mendidik Ana, pikir Dian.
Indra kembali masuk ke air, Ana mulai lagi panik, tetapi Indra membujuk Ana dan mendekapnya, kemudian mengalihkan perhatian Ana dari ketakutannya pada air dengan menepukkan tangan kecil Ana yang menimbulkan cipratan dan bunyi. Ana semakin tenang dan kemudian mulai merasa nyaman berada dalam air, meski tetap memeluk ketat Indra. Dian tertawa melihatnya, Alvin berenang bolak balik di sekitar Indra dan Ana.
Setelah hampir setengah jam berendam di air, Indra mengajak Alvin keluar kolam, beristirahat di bawah payung. Dian menyerahkan susu kotak pada Alvin dan botol susu untuk Ana sambil membungkusnya dengan handuk.
“Lho. Papanya nggak dikasih minum?” kata Indra sambil tertawa sambil menghanduki tubuhnya.
“Sebentar lagi datang kok, sudah pesan jeruk hangat” kata Dian, sambil mengeringkan rambut Ana dengan handuk. Alvin cepat menyedot susunya, kemudian berlari kembali ke kolam.
“Indra, Indra! Itu kabur tuh!” kata Dian melihat gerakan Alvin yang begitu cepat, tak terduga. Indra hanya tertawa, melempar handuk ke kursi, kemudian berjalan kembali ke kolam untuk menyusul Alvin. Melihat Indra pergi, Ana melepaskan botol susunya, melonjak-lonjak di pangkuan Dian, kemudian dia menangis ingin ikut Indra. Akhirnya Dian menyusul ke kolam, untuk menyerahkan kembali Ana pada Indra.
“Indra, ini nangis nih!” kata Dian ketika Indra berenang mendekati pinggir kolam. Indra mengulurkan tangannya mengambil Ana dari tangan Dian. Ana sudah tak menangis lagi, malah sudah tertawa-tawa gembira. Ana terlihat begitu nyaman dan gembira bersama Indra.
Dian melamun di pinggir kolam. Kegembiraan Ana seperti yang dilihatnya sekarang tak mungkin diberikan Iwan, ayah kandungnya, pikir Dian. Tanpa sadar, airmata Dian menetes. Dengan sudut matanya Indra melihat perubahan suasana hati Dian. Indra tak ingin Dian melalui hari ini dengan murung. Dengan sengaja Indra mencipratkan air kolam ke arah Dian, sehingga Dian akhirnya kembali tersenyum. Alvin juga ikut-ikutan menciprati Dian dengan air, sehingga akhirnya Dian berlari ke arah payung. Gembira menyaksikan orang-orang yang disayanginya sedang berenang.




15 TELEPON INTERLOKAL


Indra sedang duduk di bangku di halaman Villa Biru saat sore menjelang senja memangku Ana. Alvin berlarian dengan layangan berbentuk ikan pari berbuntut panjang warna warni yang tadi dibelikan Indra di perjalanan pulang dari berenang. Sore ini berangin dingin, kabut sudah menutupi sebagian puncak gunung. Ana duduk dipangkuan Indra tak bisa diam, kepalanya bergerak mengikuti arah Alvin berlari. Dian masih di dalam villa, sedang mandi.
Ketika sedang merapikan blusnya di depan cermin, Dian mendengar telepon genggamnya berdering. Dian tadi meletakkan handphonenya di meja tamu. Jadi dia bergegas keluar kamar, menjawab telponnya. Sambil berdiri Dian melihat dari jendela lebar yang tirainya terbuka, Indra dan anak-anak sedang berada di halaman.
“Hallo!” jawab Dian sambil mendekatkan telepon ke telinganya. Terdengar suara berat seorang pria. Franz! Aduh.... Franz lagi! Pikir Dian. Dian melihat Indra berdiri dari duduknya, berpaling ke arah jendela. Mungkin mendengar dering telepon juga.
“Dian! Apa kabar? Tadi aku telpon ke rumahmu! Lagi dimana sekarang?” jawab Franz gembira sekali terdengar. Dian melambai ke arah Indra yang sedang menatapnya dari halaman.
“Oh, aku baik kok! Lagi jalan-jalan ke Puncak nih!” sahut Dian. Dian mulai khawatir karena dari balik kaca jendela yang besar dari tempatnya berdiri, Indra terlihat bangkit dari duduknya berjalan mendekat. Kalau Indra tahu Franz telpon lagi, bisa bikin masalah, pikir Dian. Sejak dulu, reaksi Indra selalu jelek terhadap Franz. Untung Indra rupanya hanya pegal terlalu lama duduk atau mungkin Ana ingin mendekati Alvin. Karena Dian melihat Indra kemudian mendekati Alvin. Syukurlah, Dian lega. Dian meneruskan pembicaraannya dengan Franz.
“Dian, minggu depan aku ke Jakarta. Bisa ketemu kan?” kata Franz mengagetkan Dian. Sejak seminggu ini, hampir setiap hari Franz menelpon Dian. Satu kali Indra tahu Franz menelponnya, Indra langsung mengungkapkan ketidak sukaannya.
“Ada tugas ke Jakarta ya? Bisa aja sih, kalau aku kebetulan nggak sibuk di kantor” jawab Dian berdalih, tak enak hati langsung menolak Franz.
“Yah…, bisa dibilang tugas kantor sih! Kalau sibuk siang, malam juga boleh! Yang penting ketemu. Nanti aku jemput!” kata Franz. Dian mulai khawatir karena Indra terlihat kembali berjalan mendekati pintu villa. Alvin membuntutinya dari belakang masih menarik-narik layangannya.
“Franz aku nggak bisa janji! Malam waktunya buat anakku” jawab Dian berusaha menghindar. Indra sudah melangkah masuk, menangkap pembicaraan Dian di telpon.
“Siapa?” kata Indra bertanya. Dian bimbang untuk mengatakan, Indra menatap Dian. Dian benar-benar kaget ketika dengan cepat Indra merebut telepon di tangan Dian.
“Hallo Franz! Apa kabar? Ini aku, Indra, masih ingat kan?’ kata Indra. Dian mengambil Ana dari gendongan Indra. Tetap berdiri di hadapan Indra mendengarkan dia bicara dengan Franz. Dengan sengaja Indra menekan speaker di telepon, jadi suara Franz sangat jelas terdengar oleh Dian.
“Oh.. Indra! Aku baik-baik aja. Lagi sama Dian rupanya!” sahut Franz tak kalah gagah. Sejak lama Franz merasa tak nyaman Indra selalu berada disisi Dian. Sekarang juga, padahal dia tahu Dian kini sedang sendiri.
“Sejak dulu kan! Aku sama Dian nggak pernah pisah kok!” sahut Indra mantap. Terdengar suara Franz tertawa, entah mengejek atau apa. Wajah Indra terlihat menahan marah.
“Franz, sebelum lupa, dua bulan lagi aku mau nikah sama Dian di Banjar Baru. Datang ya! Undangan resmi menyusul” kata Indra. Suara tawa Franz terhenti mendadak..
“Oh.... oh .... gitu! Selamat ya In!” sahut Franz setelah beberapa saat jeda, seakan sambungan komunikasi terputus..
“Okay… terima kasih! Ini Dian lagi nih mau teruskan bicara kan?” kata Indra, kemudian mengangsurkan handphone ke tangan Dian. Indra menatap Dian, tanpa senyuman.
“Hallo Franz!” kata Dian, Indra mengawasi Dian bicara.
“Dian, Selamat ya, akhirnya nikah juga dengan Indra. Tadinya kupikir ada kesempatan lagi untukku” sahut Franz terdengar murung. Sama sekali tak menyadari ucapannya akan terdengar Indra. Atau Franz memang ingin Indra mendengarnya, entahlah!pikir Dian.
“Maaf Franz! Itu kan masa lalu. Mungkin waktu itu cuma cinta monyet” jawab Dian mencoba menghibur Franz.
“Salah Dian! Kamu cinta pertamaku” jawab Franz. Indra terlihat tersenyum sinis.
“Franz, maafkan. Cinta pertamaku Indra, Cinta terakhirku juga Indra” sahut Dian kalem.
“Okay Dian, sampai jumpa! Daag!” jawab Franz mengakhiri pembicaraan.
Dian meletakkan handphonenya di atas meja, berniat meninggalkan Indra. Indra tahu Dian akan masuk ke kamarnya, jadi dengan sigap ditariknya Dian.
“Dian, dengar aku! Aku bukan menghalangi kebebasanmu. Aku mau melindungi keluargaku, keluarga kita dari gangguan. Termasuk dari Franz” kata Indra. Ana yang berada di gendongan Dian sedang menarik-narik kerah baju Indra. Tangan Indra yang masih memeluk pinggang Dian. Dian menatap lantai, sedangkan Alvin terlihat memperhatikan keduanya, merasa ada ketegangan antara Dian dan Indra.
“Indra, aku tahu! Kenapa masih meragukan aku? Franz itu cuma masa lalu. Saat ini yang ada dalam pikiranku cuma kamu dan anak-anak” jawab Dian sedikit meninggi suaranya. Alvin menangkap suara Dian dengan rasa khawatir.
“Papa! Mama marah ya?” kata Alvin menatap Dian dengan wajah kecut. Indra menggeleng.
“Mama, Alvin nggak nakal Ma! Mama jangan marah” kata Alvin berdiri dihadapan Dian. Dian kaget, Alvin begitu sensitive, dia menyesal.
“Vin, Mama nggak marah sama Alvin! Juga nggak marah sama Papa kok” kata Dian menenangkan Alvin. “Itu tadi ada orang telpon salah sambung. Suaranya jelek!” kata Dian lagi sambil tertawa.
“Ayo, sekarang cuci kaki sama tanganmu! Abis main kan kotor” kata Dian menarik Alvin ke kamarnya. Indra mengambil Ana dari gendongan Dian.
“Di depan anak-anak jangan bertengkar!” bisik Dian ke telinga Indra. Indra mengangguk, tersenyum.
“Di depan Papanya jangan coba-coba melirik orang lain!” balas Indra. Dian tertawa kecil, masuk ke kamar mandi bersama Alvin untuk mencuci kaki dan tangannya. Indra merebahkan Ana di tempat tidur, yang segera berguling bangun kembali. Alvin berlari menaiki tempat tidur, bergabung dengan Ana, bergulingan di atas tempat tidur.
Dian dan Indra berdiri di sudut kamar memperhatikan kedua anak mereka bermain di tempat tidur. Senja tiba di Villa Biru, dari jendela terlihat semburat warna sinar matahari orange meredup. Hari telah berganti malam.



15 RUANG GAWAT DARURAT

Kesibukan Dian meningkat tajam karena ada dua client baru yang akan melakukan kampanye promosi menyeluruh untuk produk mereka. Sebuah perusahaan property dan satu lagi sebuah toko serba ada. Rata-rata Dian baru pulang ke rumah jam sepuluh malam. Ana selalu sudah tidur. Untungnya pagi hari Dian masih dapat bermain dengan Ana. Membawanya berjalan-jalan pagi hari, menyuapi Ana makan, menyusuinya. Jam sembilan Dian sudah harus ke kantor.
Sudah seminggu lebih Dian tak bertemu Indra dan Alvin. Hari Minggu lalu Dian terpaksa lembur karena harus mengawasi pemotretan di toko yang akan dibuka itu. Pak Yap sang fotografer dan Pak Asep, bagian produksi dari kantornya minta Dian hadir agar langsung memberikan persetujuan pada foto yang diambilnya hari itu juga. Proses produksi materi promosi akan dipersingkat karena rencana pembukaan dimajukan. Semuanya, akibat kompetisi dengan toko lain yang juga akan segera buka, padahal lokasi berdekatan, maka perencanaan awal semua di rubah. Maju satu bulan lebih awal. Benar benar menguras tenaga Dian dan menghabiskan waktunya. Hanya tersisa sedikit untuk Ana, keluh Dian. Aku Ibu yang lalai, keluh Dian merasa bersalah.
Sedangkan hari Sabtu ini Dian juga harus hadir pada rapat dengan Client untuk presentasi scenario film dari kawasan property itu. Selain sebagai dokumentasi, film itu juga akan dipakai sebagai alat untuk promosi dan menggaet calon pembeli, sales kit bagi petugas penjualan..
Kemudian sore ini, Dian masih di lokasi shooting bersama clientnya dan pihak production house, untuk riset awal dan mendiskusikan angle yang di kehendakinya, baik untuk iklan televisi, iklan cetak atau untuk poster dan billboard juga sebagai materi visual di website clientnya.. Bersama-sama, Dian dan mitra kerjanya mencocokkan scenario, story board dan segala macam lay-out iklan cetak dengan lokasi. Beberapa penyesuaian dilakukan karena faktor kondisi lokasi dan pertimbangan artistik.

Indra datang ke rumah Dian menjemput Ana, kemudian bersama Mbak Yun dan Mbak Ani mengajak Ana dan Alvin pergi berenang. Bagi Indra, anak-anak harus punya waktu bersamanya di akhir pekan, karena Dian sedang sibuk sekali. Tak mungkin menunggu Dian pulang kerja baru mengajak Ana dan Alvin berenang. Terutama Ana, jangan sampai dia takut lagi sama air, lalu akhirnya tak bisa berenang.
Saat beristirahat di pinggir kolam renang, Indra mengirimi Dian SMS, sengaja menggoda Dian, berharap segera bergabung dengannya dan anak-anak.
“Ana sudah bisa mengapung dan menggerakkan kakinya” tulis Indra dan mengirimkan SMS nya. Dian yang sedang mengitari lokasi pemotretan bersama clientnya tersenyum membacanya. Enak sekali mereka, pikirnya iri.
“Bagus dong! Alvin lagi apa? Kangen sama dia deh?” tulis Dian mengirimkan balasannya untuk Indra. Tak lama balasan dari Indra muncul lagi di telepon Dian.
“Lagi sama Mbak Yun, makan roti. Sama Papanya nggak kangen?” tulis Indra membalas SMS Dian.
“Kangen berat. Tapi sibuk sih! Daag” tulis Dian kemudian mengirimkannya pada Indra, memasukkan HPnya ke dalam tas. Kalau aku terus menjawab nya, bisa-bisa aku tak tahan, langsung menyusul mereka, pikir Dian. Lalu melanjutkan kembali pekerjaannya. Malam hampir jam sebelas baru Dian tiba di rumah. Indra sudah pulang sejak jam delapan, Anapun sudah tidur ditemani Mbak Ani. Dian baru bisa tidur setelah membereskan laporan-laporan pekerjaannnya hari ini. Setelah hampir jam dua malam. Hari-hari sibuk seperti ini telah dilalui Dian berbulan-bulan. Letih sekali, menguras tenaga, tapi mau apalagi, pikir Dian. Tak ada waktu untuk diri sendiri.

Akhirnya persiapan semua materi promosi kedua client barunya selesai juga. Client lainnya juga masih memerlukan perhatian Dian. Tapi asistennya, Riyanti dan Agnes sudah menangani dengan baik, jadi Dian lebih tenang. Dua client baru ini nantinya akan dia limpahkan juga kepada mereka. Hanya untuk pelayanan awal Dian harus terjun langsung. Apalagi Dian akan cuti untuk menikah tiga minggu lagi.
Pak Songky, atasan Dian sudah diberi tahu rencana pernikahannya dengan Indra. Dia sangat senang mendengarnya. Malah dia berjanji akan datang bersama isterinya, meski Dian mengatakan pernikahannya akan dilaksanakan secara sederhana saja. Riyanti dan Agnes juga berniat datang, sekalian jalan jalan. Keduanya mengaku belum pernah ke Kalimantan dan sangat tertarik dengan cerita Dian tentang kota Martapura dengan Pasar Permata nya. Juga ingin pergi melihat danau dengan kerbau airnya di dekat kota Amuntai.
Anita dan suaminya juga berjanji akan hadir. Mereka berdua sangat ingin mencicipi itik panggang dan dendeng itik. Dulu Dian pernah membawakan oleh oleh makanan khas itu, Anita dan suaminya menyukainya. Anita juga mau beli kain Sasirangan , kain yang motifnya beragam.
Creative Director , Mbak Ken, juga berniat datang sekalian ambil gambar bagus tentang alam, katanya. Dia akan bikin trip untuk memotret Pasar Terapung di muara sungai Barito. Juga mau ambil foto-foto orang mendulang intan, tempat eksotik di daerah hulu sungai. Ke Pagat, satu lokasi wisata di dekat kota Barabai. Mau mengabadikan sungai sungai dengan kehidupan masyarakat, terutama rumah lanting . Lukman, staf bagian media bahkan punya catatan yang harus dibelinya, butah, tas seperti ransel, terbuat dari anyaman rotan. Satu set permata untuk isterinya, bed cover motif Sasirangan, serta kue dodol dan ikan asin gabus. Wuih! Sungguh daftar yang panjang. Mereka seperti akan tour saja, Dian sampai geli melihat tingkah teman-teman sekantornya yang antusias menanti pernikahan Dian.
Indra sangat senang mendengar teman-teman Dian akan hadir pada pernikahan mereka. Malah telah memesan kamar hotel untuk mereka menginap. Beberapa staf kantor Indra juga akan datang. Termasuk relasinya, Iskandar. Malah Sabtu nanti Dian dan Indra diundang makan malam di rumah Iskandar.

Keluarga Iskandar sangat ramah ketika menyambut Dian dan Indra di rumah mereka yang besar. Mereka makan malam di taman belakang rumah yang menyatu dengan kolam renang. Karena acaranya tidak terlalu formal, Dian mengenakan celana panjang lebar, palazzo berwarna hitam kelam dengan blus lengan pendek model Sabrina juga warna hitam. Kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Dian mengenakan perhiasan hadiah dari Indra. Sedangkan rambutnya yang kini sudah panjang sebahu, dia biarkan tergerai saja. Indra sendiri mengenakan celana hitam dan kemeja warna biru.
Nyonya Nana Iskandar yang ternyata sangat cantik mengenakan rok midi warna ungu tua dengan blus putih gading dengan accessories setelan mutiara serasi sekali dengan Iskandar, suaminya.
“Selamat datang! Silahkan masuk” sambut Ny. Iskandar sambil menyalami Dian dan Indra. “Silahkan In!” sambut Iskandar.
“Teteh Nana, kenalkan ini Dian” kata Indra memperkenalkan Dian. “Is, ini Dian, sudah pernah ketemu kan?” kata Indra. Kedua suami isteri itu menyambut Dian ramah. Dian ingat pernah bertemu Iskandar saat Nadya meninggal. Pria berkulit coklat dengan mata besar ini terlihat ramah, tersenyum menyambut uluran tangan Dian.
“Iya, tapi waktu itu kami nggak sempat ngobrol” sahut Iskandar. “Ayo, kita duduk di kebun aja, biar santai. Nana siapkan barbeque untuk kita” lanjutnya.
”Indra, ternyata Dian cantik ya!” puji Nina menyalami Dian, membuat Dian tersipu. Indra tersenyum senang. ”Ayo, Dian” ajak Nana. Dian berjalan bersama Nana menuju kebun, halaman belakang rumah, mengikuti Iskandar dan Indra. Mereka duduk di sofa rotan dengan bantal-bantal dibalut kain berwarna putih di pinggir kolam renang, mengelilingi meja persegi. Seorang pembantu rumah tangga terlihat sedang mempersiapkan arang pada pemanggang di sisi kolam yang lain.
“Indra, aku senang sekali kalian akhirnya menikah lagi, biar ada yang urus, makanya aku undang kesini. Ini, isteriku ingin berkenalan dengan Dian” kata Iskandar. Nana mengangguk, tersenyum pada Dian.
“Iya In, kalian berdua kan bukan hanya teman bisnis saja, tapi juga teman akrab. Jadi sepantasnya aku juga mengenal isterimu. Jangan sampai seperti dulu, menyesal sekali, hingga Nadya meninggal aku belum pernah bertemu. Malah tak bisa datang waktu dia pergi” kata Nana.
“Panggil Nana saja ya Dian! Mungkin usia kita tak berapa jauh berbeda” kata Nana
“Iya, terima kasih lho kami diundang ke sini. Rumah kalian bagus sekali” jawab Dian memuji rumah yang memang indah dan artistic penataannya.
“Aku dengar Indra mau renovasi rumah, ya kan In?” kata Iskandar. Dian menatap Indra, memang dia belum tahu rencana Indra.
“Maunya gitu. Perlu nambah kamar untuk anak. Nanti kalau nyonya baruku setuju. Sekarang sih urusan nikah dulu” sahut Indra tertawa, disambut gelak tawa Iskandar.
“Dian kerja dimana?” kata Nana. “Aku dengar kau sibuk sekali, makanya baru bisa kesini sekarang” lanjut Nana lagi.
“Biro Iklan. Sekarang sudah agak tenang sih. Persiapan cuti, jadi kerjaan dikebut. Kaya Sangkuriang !” jawab Dian tertawa. “Nana kerja dimana?” lanjut Dian bertanya.
“Oh… aku, kerja paruh waktu. Jadi trainer aja buat satu studio lukis dan keramik” jawab Nana.
“Jadi yang sekarang dipajang di rumah ini hasil karyamu dong! Bagus sekali ya!” kata Dian. Nana mengangguk.
“Rumahku sekaligus art gallery kok!” jawab Nina.
“Mau lihat lihat? Ayo, biar Indra sama Mas Is ngobrol” kata Nana, segera bangkit berdiri. Dian juga berdiri, berjalan mengikuti Nana ke arah sudut lain teras. Di dinding teras beberapa lukisan Nana terpaku di sana. Selain memang sangat artistic, penempatan lampu focus pada lukisan itu membuatnya semakin indah.
“Nana, satu clientku, bank swasta mau bikin kalender dinding dan management diary untuk tahun baru. Kami sudah ada rencana illustrasinya pakai foto lukisan-lukisan. Bersedia nggak lukisanmu masuk juga bersama dua pelukis lain. Maaf lho, mereka memang belum terkenal, jadi aku nggak bermaksud merendahkanmu”kata Dian hati-hati. Nana terbelalak. Kemudian spontan memeluk Dian. Dian tentu saja kaget.
“Aduh Dian, aku senang sekali!” kata Nana. Dian lega, tadinya khawatir Nana tersinggung pada ucapannya.
“Ok, bagus! Nanti Creative Director kami kuminta menghubungimu ya! Namanya Ken” kata Dian. Nana mengangguk senang.
“Dian, aku kan sebagai pelukis memang belum terkenal. Jadi trainer karena secara teori memang aku mempelajarinya di sekolah seni” kata Nana.
“Ayo, kita ke atas, di sana juga ada lukisan dan keramik” ajak Nana. Mereka berdua menaiki tangga. Dian melihat, di setiap sudut, beberapa keramik karya Nana. Semuanya bagus.

“Aku dengar dari Indra, kalian berdua sebenarnya teman sejak kecil ya?” kata Iskandar ketika mereka berkumpul kembali sambil menikmati makan malam. Dian dan Indra tertawa.
“Oh…kalian teman sejak kecil, tapi kenapa baru sekarang terpikir mau menikah?” kata Nana spontan, menatap Indra dan Dian.
“Iya, aku dan Indra memang berteman sejak kecil. Sejak bayi malah” kata Dian, lalu menceritakan hubungan mereka.
“In, memangnya dulu kamu hanya anggap dia adik? Nggak pengen dia jadi pacar atau isteri? Atau dulu Dian kelihatan jelek makanya kamu nggak tertarik?” kata Iskandar bercanda.
“Kalau aku jadi kamu, bisa-bisa tamat SMA sudah aku kawini Dian” kata Iskandar melanjutkan. Dian dan Nana tertawa terbahak mendengar canda Iskandar.
“Aku sih mau! Aku ditinggal kawin sama dia!” jawab Indra, tertawa. “Makanya, setelah puluhan tahun baru kesampaian” lanjut Indra.
“Beda banget sama kita ya Na!”kata Iskandar. “ Tahu nggak! Aku cuma dua minggu kenal Nana, langsung kulamar. Dua bulan kemudian kami menikah” kata Iskandar tertawa.
“Yah… apapun cerita dan hambatan sebelumnya, sekarang selamat ya! Semoga sukses!” kata Nana. Iskandar menyetujuinya.
”Enaknya kalian ya! Begitu menikah sudah punya anak” kata Nana, pelan. Nana dan Iskandar memang belum memiliki anak.
”Semoga kalian juga bahagia, segera dapat momongan” kata Indra. Dian memegang tangan Nana, memberi semangat.
”Nana, dulu aku juga setelah lima tahun menikah baru punya anak. Jadi sabar aja ya” kata Dian. Pembicaraan akrab mereka berlangsung hingga jam sebelas malam. Dian mendapat teman yang cocok.

Indra langsung pulang ke rumahnya setelah mengantar Dian karena sudah malam, tak enak untuk masuk dan mengobrol. Indra juga melihat Dian kelihatan sudah capek. Indra berjanji akan menjemput Dian besok untuk mempersiapkan keperluan mereka. Beli pakaian untuk Alvin, Ana dan para pembantu yang mau ikut, Mbak Yun dan Mbak Ani. Mbak Atun tak mau ikut, karena tak berani naik pesawat terbang juga kapal laut, meski sudah di bujuk oleh Dian maupun oleh Indra. Mbak Yun sudah pernah ikut Dian jadi bersemangat sekali. Sedangkan Mbak Ani yang belum pernah naik pesawat terbang juga tak sabar menunggu hari keberangkatan. Jadi hari ini keduanya bersama anak-anak diajak berbelanja ke mall, memilih sendiri pakaian yang mereka maui. Bukan seragam baby sitter seperti selama ini mereka kenakan.
Dian merasa sangat lesu, sehingga setelah makan malam, meminta Indra mengantarnya pulang. Malam itu Dian merasa badannya demam dan kepalanya pusing. Tadi Dian minta Mbak Atun menguruti punggungnya dengan balsam, tapi tetap merasa tak mengurangi sakit kepalanya. Sekarang justru merasa mual. Dian mencoba tidur setelah berpesan pada Mbak Ani untuk menemani Ana tidur.
Sudah empat kali Dian bolak balik ke kamar mandi untuk muntah. Lambungnya sudah terasa perih tapi Dian mencoba kembali tidur. Dian juga merasa sangat demam, kepalanya terasa sakit. Di lihatnya jam pada handphonenya, sudah jam sebelas. Di luar kamarnya sudah hening, mungkin para pembantu sudah masuk kamar, pikir Dian.
Dian kehabisan air minum, sedangkan mulutnya terasa kering sehabis muntah yang ke lima kalinya ini. Dengan menahan rasa pusing Dian berjalan keluar kamar menuju ruang makan sambil membawa gelas kosong. Rasa pusing tak tertahankan membuat Dian oleng ketika hampir sampai di depan dispenser air mineral. Gelas terlepas dan pecah menimbulkan bunyi keras di keheningan malam. Dian tertelungkup tak jauh dari dispenser.
Suara denting gelas jatuh membuat Mbak Ani yang tidur di kamar Ana terbangun dari tidurnya. Mbak Atun juga keluar dari kamarnya, dan berteriak kaget melihat Dian tertelungkup. Kedua pembantu itu segera mengangkat tubuh Dian, membaringkannya di kamar. Dian tak bergerak meski tangan dan kakinya dipijati Atun.
“Ani, cepat telepon Pak Indra!” kata Mbak Atun panik, teringat ketika Iwan dulu sakit juga menghubungi Indra. Dengan gugup Mbak Ani mencari buku telepon dan menghubungi Indra. Mungkin karena sudah malam dan tertidur nyenyak, agak lama baru Indra menjawab telepon. Tanpa rasa curiga, mengira Dian ingin mengobrol dengannya Indra menjawab sambil tetap berbaring di tempat tidurnya.
“Hallo Dian, belum tidur ya?” jawab Indra. Terdengar suara gugup Mbak Ani. Indra merasa heran, bukan suara Dian.
“Bapak! Ibu sakit, ke sini Pak cepat! Ibu pingsan!” kata Ani terdengar panik, tak sabar. “Tolong Pak! Tolong!” kata Ani mulai menangis. Indra merasa seakan kejadian Nadya pingsan terulang kembali. Hampir jam dua belas, Indra menatap jam dinding.
“Apa? Pingsan! Mbak, tenang ya! Aku kesana, sekarang jaga Ibu!” kata Indra memberi petunjuk. “Kasih parfum atau minyak kayu putih di hidungnya, cepat ya!”kata Indra. Indra tak lagi mendengarkan jawaban Mbak Ani. Bergegas mengenakan jeans dan menyambar jaketnya. Memasukkan dompet dan handphone ke sakunya, kemudian bergegas ke garasi. Tak sempat lagi memberi tahu pembantunya.

Indra memacu mobilnya ke rumah Dian, rasanya perjalanan malam itu begitu jauh. Dengan susah payah Indra berkonsentrasi melalui jalanan yang sepi menuju rumah Dian. Rumah Dian terlihat sepi, Indra menelpon rumah Dian minta dibukakan pintu pagar. Mbak Ani keluar dengan segera.
“Ibu sudah sadar Pak! Maaf merepotkan Bapak” kata Mbak Ani. Indra masuk bergegas, langsung ke kamar Dian. Indra kaget melihat Dian begitu pucat dan lemah berbaring ditunggui Mbak Atun. Terlihat mencoba tersenyum padanya. Indra mendekat, meraba dahi Dian yang terasa demam.
“Dian, kita ke rumah sakit sekarang” kata Indra. Dian menggeleng.
“Dian, sudahlah! Nanti makin parah! Ayo Mbak Atun ikut, siapkan baju Ibu. Mbak Ani di rumah jaga Ana ya” kata Indra memberi instruksi. Mbak Atun bergegas mengambil jaket Dian dan mencarikannya sandal. Dian menunjuk tasnya, jadi Mbak Atun mengambilnya. Indra berdiri disisi ranjang, membantu Dian bangkit dari tempat tidurnya. Dian menjulurkan kakinya untuk memakai sandal dan berdiri. Rupanya dia tak menyadari tubuhnya masih begitu lemah, sehingga hampir saja terjatuh lagi. Untungnya Indra cepat menangkapnya. Kembali Mbak Ani dan Mbak Atun panik. Indra juga tak kalah gugupnya.
Melihat kondisi Dian seperti itu, Indra segera menggendong Dian ke mobil, membawanya ke rumah sakit. Malam itu, setelah serangkaian pemeriksaan darah dan urine, Dian ternyata sakit typhus dan harus dirawat inap di rumah sakit. Selain anemia, tekanan darahnya juga sangat rendah, menyebabkan dia begitu lemah. Selang infuse terpasang di lengan kirinya. Dian tergolek lemah ditunggui Indra. Malam itu Dian demam tinggi dan agak mengigau. Indra sangat khawatir dan sedih. Selama ini, Dian tak pernah sakit separah ini sampai perlu di rawat. Indra juga merasa tertekan, karena teringat peristiwa Nadya sakit dan meninggal yang mirip kejadian malam ini.
Untungnya Dokter Gunawan yang merawat Dian memberitahu bahwa Indra tak perlu khawatir berlebihan. Asal Dian beristirahat dan makan teratur serta tak banyak pikiran, penyakitnya akan segera sembuh.
“Pak Indra, Ibu harus istirahat total. Lambungnya sedikit terganggu juga, mungkin makannya tak teratur. Apa akhir-akhir ini sibuk sekali atau sedang banyak tekanan kerja?” kata Dokter Gunawan ketika menyerahkan resep obat pada Indra.
”Benar Dok, dia sibuk sekali” kata Indra membenarkan ucapan Dokter Gunawan. Indra yakin, selama ini, meski Dian tak mengeluh, tapi dia tahu Dian memang lelah sekali. Dian sedang sibuk sekali di kantornya, client yang dilayani tim kerjanya banyak dan program mereka selalu dengan tekanan waktu. Mungkin setelah tiba di rumahpun, malam Dian kurang tidur, karena masih harus memberi ASI pada Ana. Ditambah rencana pernikahan mereka serta tentu saja masih sedih kehilangan Iwan. Indra beberapa kali memperingatkan Dian agar memperhatikan kesehatannya. Sayangnya sulit bagi Indra karena Dian begitu sibuk. Dian makin kurus saja.
Hingga pagi Indra berjaga di samping tempat tidur Dian. Memegangi tangan Dian sambil berdoa agar Dian segera pulih. Indra benar-benar dihantui rasa khawatir, karena kehilangan Nadya kemudian Iwan sangat membekas di hatinya. Jika Dian juga pergi… ah! Indra mengusir perasaan itu. Tapi selalu pikiran buruk itu muncul lagi. Karena Dian berbaring diam, sering Indra memeriksa apakah Dian masih bernafas dengan mendekatkan tangannya di atas hidung Dian. Merasakan hembusan hangat nafas Dian, baru merasa lega. Dian masih hidup!
Hingga pagi hari, setiap dua jam sekali, dokter jaga memeriksa Dian. Demam sudah turun, tapi Dian masih muntah dan sakit kepala. Juga merasakan sakit pada payudaranya, karena semalaman tidak menyusui. Mbak Atun bersama seorang perawat sekarang sedang membantunya berganti pakaian setelah menyeka tubuhnya. Indra keluar kamar untuk menelpon ayahnya, di Banjar Baru. Tadi malam Indra tak berani mengabari mereka.
“Papa, Dian sakit typhus, tadi malam masuk rumah sakit” kata Indra. Pak Irawan sangat kaget mendengarnya.
“Parah sekali In? Hari ini Papa ke Jakarta deh, tunggu aja!” kata Pak Irawan. Selain Dian calon mantunya, sejak kecil Dian adalah putri tersayangnya. Tentu saja dia ingin segera menjenguk Dian.
“Pa, menurut dokter Dian perlu istirahat aja. Bagaimana kasih tahu Mama, takut dia kaget” kata Indra.
“Indra, biar nanti Papa yang kesana. Kamu jaga Dian aja. Anak2 sama siapa?” tanya Pak Irawan.
“Anak-anak di rumah sama pembantu Pa” kata Indra, teringat tadi malam tak memberi tahu Alvin sewaktu pergi. Setelah selesai berbicara dengan ayahnya, Indra menelpon ke rumahnya, juga rumah Dian, ingin tahu keadaan Ana. Indra tak perlu ke kantor hari ini, juga Dian, karena Sabtu kantor mereka libur.
Sore hari Pak Irawan sudah tiba. Bersama isterinya dan Bu Hidayat, ibu Dian. Mereka berebut memeluk Dian yang masih tampak pucat dan lemah. Saat mereka memasuki kamar Dian dirawat, Indra sedang mengantar Mbak Atun pulang sekaligus untuk menjemput Ana. Indra ingin Ana dibawa ke rumahnya saja agar lebih mudah untuk memantau mereka. Mbak Atun akan menjaga rumah. Setelah memberi instruksi pada pembantunya, Indra kembali lagi ke rumah sakit.
“Dari mana kamu In, kok Dian sendirian nggak ada yang jaga” kata Pak Irawan ketika bertemu Indra.
“Ngatur anak-anak Pa. Jemput Ana sama Mbaknya, saya bawa ke rumah aja. Susah kalau anak-anak di dua rumah untuk memantau” jawab Indra. Ayahnya mengangguk, faham. Indra masuk ke dalam kamar, menemui ibunya dan Bu Hidayat. Dian mengawasi dari pembaringannya. Wajahnya mulai segar. Indra mendekati. Terlihat gembira dikelilingi orang-orang yang disayanginya.
“In, anak-anak gimana?” kata Dian khawatir.
“Baik kok. Ana sama Mbak Ani aku bawa ke rumah. Nggak rewel kok. Tadi lagi main sama Alvin” kata Indra, membuat Dian tersenyum senang.
“Dian, sebaiknya setelah boleh keluar rumah sakit, ikut Papa pulang aja. Istirahat di rumah” kata Pak Irawan.
“Iya Dian, Mama minta kamu pulang duluan aja. Kumpulkan tenaga sambil istirahat. Papamu ingin acara adat lengkap, jadi jangan sampai sakit lagi” kata Bu Irawan.
“Papa, kan acaranya sederhana aja! Kami kan sudah pernah menikah. Acara apa aja sih?” kata Indra, Dian juga jadi ingin tahu.
“Lalu kalau kalian janda dan duda, apa kalian dan keluarga tidak berhak gembira menyambut pernikahan itu? Kamu urus Dian dan anak-anakmu aja! Pernikahan sama pesta itu urusanku dan Mama Mama kamu ini. Ini kerja orang tua mengawinkan anaknya!” kata Pak Irawan tertawa. “Iya kan Ma?” katanya lagi. Istrinya dan calon besannya menyambut dengan senyum ucapannya. Tak ada yang bisa diucapkan Indra dan Dian. Sekali Papanya bicara, memang sulit membantahnya.
“Sekarang, Dian berusaha cepat sembuh ya! Kamu ini bikin Papa panik” kata Pak Irawan. Tangan Pak Irawan mengacak-acak rambut Dian, persis seperti sering dilakukannya ketika Dian masih anak-anak. Gadis kecilnya yang suka menyergapnya dan memeluk lehernya dari belakang ketika dia duduk. Gadis kecil ini sering datang mengendap-endap berdiri dibalik punggungnya, lalu memintanya menebak siapa dirinya. Pak Irawan ingat ucapan Dian, selalu.
“Jangan nengok ke belakang Pa! Tebak ini siapa? Ayo!” kata Dian waktu itu. Tentu saja dia tahu itu Dian. Tak seorangpun gadis kecil yang memanggilnya Papa, kecuali Dian. Lucu sekali anak ini! Pak Irawan suka menggoda Dian dengan menyebut nama anak anak lain, berpura pura tak ingat Dian. Dia menyebut nama Tuti, Mira, Ayu, Indah, Tasya bahkan nama Syafri, Dedi, Rendy, anak laki-laki teman-teman Indra, berlagak benar-benar tak ingat Dian. Dian tak akan melepaskan rangkulan tangan kecilnya di leher Pak Irawan, kalau Pak Irawan belum menyebut namanya. Malah Dian pernah ngambek karena setelah sekian lama merangkulnya, nama Dian tak disebutnya. Dian menangis, terlebih karena Indra mentertawakannya.
“Papa nggak sayang! Lupa sama Dian!” kata Dian sedih, tentu saja Pak Irawan segera merangkul Dian. Membujuknya, juga Indra dan Ibunya, hingga Dian kembali ceria. Waktu itu Pak Irawan dan isterinya merasakan kegembiraan bersama Dian dan Indra. Masa masa sangat indah. Karena itu, demi kebahagiaan Dian dan Indra apapun akan dilakukannya.

Sore itu Iskandar dan Nana datang mengunjungi Dian di rumah sakit. Nana duduk dekat Dian berbaring, Indra dan Iskandar berdiri di ujung kaki Dian. Tak ada tamu yang datang, jadi mereka bebas mengobrol.
”Dian, musti istirahat lho! Nanti saat resepsi pucat gitu nggak seru! Kurang cantik” kata Nana.
”Iya Na, selain memang kena sakit typhus, aku memang capek sekali akhir-akhir ini” kata Dian membenarkan.
”Stress juga barangkali, mau nikah kan suka gitu” kata Iskandar menambahkan. Indra hanya tersenyum menatap Dian.
”Acara nikah, aku sama Indra nggak sibuk kok! Papa semua yang atur. Gara-gara kerjaan kantor. Biro iklan kan memang kerjanya stress gitu. Deadline melulu” kata Dian.
”Aku sarankan ya! Kurangi kegiatanmu, kan sudah ada Indra disampingmu” kata Iskandar. Indra menatap mata Dian, tersenyum.
”Memang sih aku terpikir begitu! Sudah bicara sama bosku, dia keberatan kalau aku berhenti. Billing ku gede juga sih. Tapi kalau nggak ada kegiatan sama sekali aku juga pasti stress” kata Dian. Indra baru tahu Dian ada rencana meninggalkan pekerjaannya.
”Bagus juga lho kalau kamu berhenti. Bantu aku dong Dian, aku sama teman sedang ada rencana bikin pameran, macam-macam kegiatan seni, tapi belum tahu mau pakai Event Organizer mana. Kamu jadi konsultan dan pelaksananya, mau nggak? Kan nggak perlu keluar rumah tiap hari, kerjaan kita yang atur sendiri, ya kan? Kontak kamu dengan biro iklan dan media bisa dimanfaatkan!” kata Nana begitu lancar. Indra dan Iskandar jadi tertawa mendengar Nana begitu bersemangat.
”Eh, maaf! Aku malah bikin kamu jadi tambah sakit ya!” kata Nana, memegang tangan Dian. Dian justru senang sekali.
”Nggak apa-apa kok! Na, aku senang sekali! Aku memang ingin waktuku bersama anak-anakku lebih leluasa. Mereka masih kecil-kecil sekali, masih perlu Mama Papanya” kata Dian.
”Indra, boleh kan?” kata Dian, menatap Indra. Indra mengangguk. Tak pernah terlintas dalam pikiran Indra untuk menyuruh Dian tinggal di rumah saja tanpa melakukan aktivitas apapun. Indra tahu, Dian tak akan sanggup, dia akan tertekan. Meskipun Indra mampu memenuhi kebutuhan hidup Dian, berlebih malah, Indra tak akan menahan langkah Dian. Indra ingin Dian yang bahagia menjalani hidup bersamanya. Jadi ide Nana untuk bekerja sama dengan Dian memulai suatu usaha sangat bagus.
”Nah, kalau gitu, aku sama Indra boleh jadi investor kan?” kata Iskandar. Semua tertawa. Dian merasa sakitnya banyak berkurang.


16
HADIAH PERNIKAHAN


Hari Minggu, Indra mengajak Alvin dan Ana menengok Dian. Berharap bisa mengobati kangen Dian pada Ana dan Alvin. Tak disangka pertemuan Alvin justru membuat masalah. Ketika diberi tahu akan menjenguk Dian, Alvin sangat antusias. Tetapi ketika mobil yang dikendarai Indra memasuki halaman rumah sakit, Alvin mulai gelisah. Meski bukan rumah sakit tempat Nadya dulu dirawat, Alvin merasakan suasana yang sama. Apalagi ketika memasuki kamar Dian.
Alvin melihat selang infuse di tangan Dian. Tabung oksigen yang terbungkus kain warna putih di dekat kepala tempat tidur. Tempat tidur yang lengkap dengan beberapa peralatan emergency terletak di kepala tempat tidur. Seperti waktu Mama sakit, pikir Alvin. Waktu Alvin melangkah masuk, Dian sedang di ambil darah untuk pemeriksaan rutin. Alvin sempat melihatnya.
“Itu Mama!” kata Indra menunjuk Dian pada Ana yang di gendongannya. Ana tersenyum senang, begitu kangen pada ibunya. Indra mendekat. Tanpa menyadari Alvin sedang ketakutan menatap Dian.
“Alvin, sini! “ kata Dian melambai Alvin agar mendekat dengan tangannya yang masih melekat jarum dan selang infuse. Wajah Alvin kecut.
“Nggak mau sama Mama! Pulang Pa, pulang! Bawa Mama pulang aja Pa!” kata Alvin begitu panik. Indra di tarik tarik oleh Alvin. Terpaksa Bu Irawan mengambil Ana dari gendongan Indra. Dian sendiri tak dapat berbuat apa-apa. Perawat yang baru menyelesaikan tugasnya heran dengan ulah Alvin. Dian menyadari Alvin merasakan ketakutan karena melihat kondisinya. Mirip Nadya sewaktu sakit dan sedang koma. Terekam dalam benak Alvin. Trauma psikis, mengira kejadian yang lalu akan terulang kembali. Ibunya akan meninggalkannya. Sekarang dia senang punya ibu lagi! Tapi sekarang seperti dulu, sakit lagi, mungkin juga akan pergi lagi.
Indra menggendong Alvin, menenangkannya di luar kamar. Kemudian perlahan mengajaknya kembali menemui Dian. Indra tak menyangka Alvin sangat takut melihat Dian sakit.
”Vin, Mama cuma istirahat. Minum vitamin kaya Alvin, jadi pasti Mama nanti pulang” bujuk Indra. Alvin menatapnya, masih ragu.
”Alvin ingat Mama ya? Nggak apa apa. Mama Dian nanti pulang ke rumah kita” lanjut Indra. Alvin mulai tampak senang.
Melihat Ana sedang duduk dekat Dian, Alvin menjadi lebih berani mendekati Dian. Perlahan memegang tangan Dian. Dian mencoba mengajak Alvin bicara, agar dia tenang. Anak ini begitu sensitive sejak Nadya tak ada, pikir Dian. Karena masih sangat kecil, dampak itu tak nampak pada Ana, meski bernasib sama dengan Alvin.
“Mama, jangan mati ya!” kata Alvin tiba-tiba, membuat yang mendengar kaget. Tangan Alvin memegangi lengan Dian. Indra tak dapat berkata-kata mendengar ucapan Alvin. Dian mencoba cepat menjawab agar Alvin tak khawatir.
“Alvin, Mama cuma sakit perut. Jangan takut ya! Kata dokter besok boleh pulang” ujar Dian. “Alvin sayang kan sama Mama?” lanjut Dian, Alvin mengangguk, sudah berani memegang selang infuse yang bergelantungan dekat Dian berbaring.
“Alvin boleh cium pipi Mama sekarang” kata Dian. Alvin segera mencium pipi Dian, malah meletakkan tangan kecilnya di dada Dian. Masih ada rasa takut kehilangan. Indra memperhatikan dan tahu, Alvin lebih membutuhkan Dian dibandingkan dirinya. Terutama untuk traumanya. Untunglah Dian akan mendampinginya, menyayangi Alvin layaknya ibunya sendiri. Tuhan , semoga Dian segera sembuh dan selalu diberi kesehatan yang baik, doa Indra dalam hati.

Pernikahan Dian dan Indra sangat meriah, sesuai harapan ayah Indra. Dian dan Indra benar-benar capek mengikuti rangkaian kegiatan upacara pernikahan. Saat resepsipun tamu begitu banyak. Mereka kembali ke Jakarta tiga hari kemudian.
”Kita langsung pulang ke rumahku ya!” kata Indra ketika mereka bersama anak-anak dan pembantu tiba di airport, hari masih pagi di Jakarta. Indra telah mengatur agar begitu mereka kembali, Dian sudah bisa tinggal bersamanya. Kamar tidurnya sudah di renovasi, semua baru. Indra tak ingin ada hal yang mengingatkannya pada Nadya jika berada di kamar bersama Dian. Sudah mempersiapkan kamar tamu jadi kamar Ana. Beberapa barang Ana, tempat tidur, kursi goyang sudah dipindahkan ke rumah Indra. Dua orang staf interior dari kantornya bekerja selagi mereka pergi. Tadi Indra sudah mendapat kabar dari keduanya, semua beres. Malah mereka sudah pesan bunga untuk di kamar dan ruang makan.
Pak Jaja, supir Indra menghentikan mobil tepat di depan pagar, jalan masuk menuju garasi mobil rumah Indra. Perlahan Dian keluar dari mobil sambil menuntun Alvin. Indra menggendong Ana berjalan di samping Dian, menapaki halaman rumah. Garasi rumah secara perlahan terbuka, Dian melihat sebuah mobil buatan Eropa warna biru metalic parkir di dalamnya. Mobil yang sama dengan milik Indra, hanya berbeda warna. Indra ganti mobil, nomornya masih dengan dasar warna putih, pikir Dian. Alvin berlari mendekati mobil baru itu. Indra menarik tangan Dian menuju mobil di garasi. Perlahan Indra membuka pintu mobil di bagian kemudi dengan remote control.
”Masuk, coba nyalakan mesinnya!” kata Indra mendorong Dian yang masih menatapi cat mobil yang mulus mengkilap itu. Dian menatap Indra, bingung.
”Iya, masuk! Ini hadiah perkawinan!” kata Indra membuat Dian terbelalak. Seperti robot Dian masuk ke mobil, duduk di depan kemudi. Kemudi mobil ini dihiasi dengan rangkaian bunga mawar merah muda dan pita warna merah muda. Sebuah kartu dengan tulisan tangan Indra. ”Untuk isteriku, Ibu anak-anakku. Indrakesuma Irawan”. Benar-benar kejutan bagi Dian, membuatnya sangat terharu sampai menitikkan airmata. Dian bergegas keluar dari mobil, memeluk Indra.
”Indra, terima kasih” kata Dian terharu dan senang.
”Dian, terima kasih bersedia mendampingiku. Cita citaku sejak remaja sudah tercapai” jawab Indra. Menepuk pipi Dian. Tiba tiba klakson mobil berbunyi, mengagetkan Indra dan Dian. Rupanya Alvin sedang bermain di dalam mobil baru itu, di depan kemudi. Indra dan Dian tertawa.
”Mama, nanti Alvin dianterin ke sekolah pakai mobil ini ya!” pinta Alvin, menjulurkan kepalanya di jendela mobil. Indra tertawa mendengar permintaan Alvin.
”Wah.... Papa bebas dong, pagi bisa tidur lagi!”kata Indra bercanda.
”Enak aja! Aku anter Alvin, kamu mandikan Ana dong!” kata Dian balas bercanda. Pembicaraan mereka terhenti ketika Mbak Yun menyerahkan telepon set memberitahu seseorang dari perusahaan catering ingin bicara dengan Indra untuk acara hari Minggu nanti. Syukuran pernikahan mereka. Dian dan Indra memasuki rumah mereka.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar