Terima Kasih , Anda telah mengunjungi blog saya.

Thank you so much to have you here.
It is about my novels, notes, comments of something, features, short stories and pictures.

Also my products, Furoshiki and Yukata (summer kimono).

Please leave your comments.... thank you
Enjoy it....



Rabu, 14 Juli 2010

FOTO KOLASE



This Novel dedicated to my dear family, especially Mrs. Rahayu Rai'in Syahranie, my auntie who lost her father when Japan invasion to Indonesia long time ago. Hoping the dear Grandpa rest in peace or live somewhere in happily.

Toilet wanita


Sabtu pagi bulan Juni ini masih juga hujan, seharusnya kan sudah musim kemarau. Entah mengapa sekarang musim tak lagi teratur. Dulu musim hujan selalu pada bulan dengan akhiran ber, September, Oktober, November dan Desember.
Ade membuka jendela kamarnya, sedikit tampias air hujan menerpa wajahnya yang cantik. Rambutnya yang sebahu telah diikatnya dengan jepit rambut berwarna kuning. Dasternya yang berwarna biru laut agak kusut bekas tidur. Masih jam setengah enam pagi lewat sedikit, tapi dia sudah harus bersiap untuk kerja.
”Uuh... menyebalkan, hujan begini, harus kerja hari Sabtu begini!” keluhnya terdengar suaranya masih mengantuk.
Ade tetap berdiri di ambang jendela kamarnya, menatap rumpun mawar di ujung halaman, bergoyang-goyang diterpa air hujan. Sebetulnya nyaman sekali jika bisa tinggal di rumah hari ini. Seandainya bisa, bergelung di tempat tidur sambil menonton televisi atau baca novel. Ada tiga novel yang belum dibacanya, pasti enak sekali, pikir Ade menatap langit mendung sambil bersandar di kusen jendela kamarnya. Kegiatan baca novel seperti itu sudah terlalu mewah baginya. Sebab, sejak enam bulan lalu ia menjadi Manajer Promosi sebuah perusahaan pakaian jadi untuk wanita yang memasok produknya ke seluruh toko terkemuka. Produk dengan merk Women’s Diary ini sangat terkenal dan diminati para wanita. Sehingga outletnya cukup banyak. Resminya Ade bekerja lima hari kerja seminggu, Sabtu dan Minggu libur.
Tapi bagi Ade, libur Sabtu belum bisa dia nikmati. Ada saja kegiatan yang membuatnya harus ke kantor atau mengunjungi outlet. Bahkan hari Minggu pun harus hadir. Benar benar kegiatan usaha retail ini sangat membutuhkan perhatian serius kalau ingin sukses. Persaingan yang kuat, dinamika trend mode dan bahan tekstil, accessoriesnya, perebutan lokasi outlet , display , aktivitas promosi, segala macam masalah. Ade telah belajar cepat untuk memahami bisnis retail ini. Kemudian mulai menikmati pekerjaannya yang begitu sibuk, meski kadang-kadang merasa sangat sebal juga. Kurang istirahat, hampir tak punya waktu untuk kegiatan pribadi.
Ade berpikir, setelah Desember aku pasti bisa cuti, karena biasanya setelah tahun baru, penjualan sedikit menurun. Moment untuk berpesta dengan baju baru agak mengendur. Lagi pula, Ade telah menyusun perencanaan bagian promosinya untuk enam bulan ke depan. Jadi dia merasa tenang. Pasti aku bisa istirahat, pikirnya menyenangkan diri. ”Tak apa kalau sekarang mesti ke kantor!” gumamnya bersemangat. Lagi pula, libur di rumah mau apa, Ade melamun.
Papa dan Mama nya sedang mengunjungi abangnya, Lucky di Belanda. Isteri abangnya itu baru melahirkan anak kedua. Orang tuanya juga berencana mengunjungi beberapa keluarga yang tinggal di Belanda dan Jerman. Mereka sekalian liburan, jadi agak lama. Ini adalah perjalanan pertama orangtuanya setelah ayahnya pensiun sebagai militer.
Seandainya hubungannya masih baik dengan Alan, dia pasti banyak acara. Alan paling suka olahraga, jadi ada saja alasan untuk pergi keluar. Aah... lupakan saja! Pikirnya marah pada dirinya sendiri. Alan kini sudah masa laluku! Untuk apa mengingat dia. Sekarang harus kerja!
Ade berbalik badan, berniat merapikan tempat tidurnya ketika telepon genggamnya berbunyi. Ade mengambil telepon genggamnya yang terletak di atas meja rias persis di samping jendela, dekat dia berdiri. Sebuah pesan singkat dari Jun, stafnya bagian desain counter yang sedang lembur di kantor. Isinya ”Mbak Ade selamat pagi, gambar counter untuk Senayan sudah selesai. Saya perlu tunggu atau tidak. Rapatnya jam 10 kan?” Selesai membacanya, Ade langsung menghubungi Jun.
”Jun, tunggu aku dulu di kantor ya, mungkin masih ada yang perlu di koreksi. Setelah itu kau boleh pulang, nggak usah ikut rapat. OK, tunggu ya, kira-kira sejam lagi. Sarapan aja dulu!” katanya memberi perintah pada Jun. Menutup telponnya.
Ade bergegas merapikan tempat tidurnya, masuk kamar mandi. Masih dengan bath-robe, baju mandi, ke dapur meminta Mbok Piah menyiapkan sarapan untuknya.
”Roti isi aja sama kopi susu Mbok, aku mau cepat-cepat ke kantor” pintanya. Mbok Piah meskipun mengiyakan masih juga bertanya.
”Memangnya Non Ade nggak libur hari ini?” tanya Mbok Piah.
”Nggak Mbok, nanti nggak usah siapkan aku makan siang ya” jawab Ade.
Ade berniat makan siang di luar saja kemudian ingin ke salon merapikan rambutnya, jadi mungkin malam baru pulang. Atau ke rumah Mbak Lola aja pikirnya, merencanakan kegiatannya hari ini. Lalu bergegas kembali ke kamarnya.
Untunglah jalan ke arah kantor lancar, pikir Ade sambil membelokkan mobilnya ke pintu masuk gedung perkantoran tempatnya bekerja. Jadi belum satu jam Ade sudah berada di kantornya. Hari Sabtu ini, komplek perkantoran ini sepi, hanya beberapa kantor saja yang terlihat ada kegiatan. Sebuah kantor pengacara terkenal dua blok dari kantornya dan sebuah kantor expedisi barang. Ade masuk ke kantornya, hanya ada Pak Bandono, petugas keamanan dan Lindu si office boy . Jun menunggunya sambil bermain game di komputer.
”Selamat pagi Mbak!” sapa Jun begitu melihat Ade masuk ruang kerjanya.
“Hey Jun, Selamat pagi! Maaf bikin kamu lembur ya!” balas Ade. Jun adalah staf perencana disain counter dan display. Pemuda yang rajin bekerja, bersemangat dan sangat kreatif. Ade mudah bekerja sama dengannya. Jadi lembur semalaman tak masalah bagi Jun.
Ade mendekati meja gambar Jun, disana masih terbentang hasil kerja Jun untuk desain baru counter di Senayan yang akan direnovasi. Counter ini sekaligus diperluas, jadi perlu gambar baru. Kemarin sebenarnya sudah selesai di perlihatkan Ade pada pihak toko, Pak Trisna dari bagian interior planning , tapi dia meminta beberapa perubahan, sehingga tadi malam Jun harus mengerjakannya. Hari ini, Sabtu, Pak Trisna meminta Ade untuk kembali membawa gambar tersebut. Pak Trisna meminta gambar itu harus bisa disetujui olehnya hari Sabtu ini juga, agar bisa dikirim untuk minta persetujuan konsultan mereka di kantor pusat di Singapura hari Senin. Karena bila counter produk Women’s Diary sudah disetujui luasnya dan disainnya, Pak Trisna berencana untuk meminta counter lainnya di kiri kanan untuk juga melakukan renovasi. Ini trik toko agar penampilan toko selalu prima. Ade tahu, tapi karena bargaining power produknya cukup besar, dia mendapat kesempatan pertama. Dapat memilih lebih leluasa.
Ade juga minta Jun membuat gambar kerja untuk disainnya itu, menyiapkan contoh bahan yang dipakai, contoh warna dan contoh alat display, sehingga mempercepat persetujuan. Ade juga telah menyiapkan perencanaan kerja, sehingga sebelum bulan Desember, counter baru sudah siap.
”Jun, okay. Ini sudah bagus. Sudah bikin fotocopynya?” kata Ade menunjuk gambar counter.
”Belum, sebentar saya buat. Tiga copy cukup Mbak?” Jawab Jun. Ade mengangguk, lalu berpindah ke meja kerjanya. Di atas mejanya sudah siap semua permintaannya pada Jun kemarin sore. Selembar daftar barang contoh sudah tersedia. Ade memeriksa satu persatu. Jun menyerahkan fotocopy disain, Ade memasukkannya ke dalam tas khusus untuk gambar. Tas dari kulit berwarna hitam, tipis tapi lebar. Memasukkan contoh-contoh bahan dan warna display untuk disain counter ke sebuah kotak plastik transparan berbentuk persegi, biasanya untuk menyimpan dokumen atau peralatan gambar.
”Jun, semuanya beres, terima kasih ya. Kau pulang deh, istrirahat aja, nggak usah ikut rapat!” kata Ade. Jun meraih jaketnya. Pemuda yang senang berdandan gaya Harajuku style ini ini pamit pada Ade dan keluar ruang kerja.
Ade melihat jam tangannya, sudah hampir jam sembilan. “Wow… cepat amat waktu berlalu” gumam Ade, membatalkan niatnya untuk menyalakan komputernya. Bergegas membawa tas dan kotak itu ke luar, lalu memasukkannya ke dalam mobilnya. Kembali lagi ke dalam kantor, mengambil tas tangannya, notesnya dan segelas air mineral. Sudah jam sembilan, Ade meninggalkan kantor ke arah Senayan, ke sebuah toko serba ada terkemuka di Jakarta.
Tak ada hambatan, mobil yang dikendarainya melalui di jalan toll, tetapi begitu menuruni jembatan Semanggi jalan mobilnya tersendat, macet. Hampir seperempat jam, ternyata ada kesibukan dinas kebersihan dari pemerintah daerah. Membersihkan beberapa dahan pohon yang patah akibat hujan angin tadi malam. Tiba di mall, lokasi toko yang dituju Ade, ternyata tempat parkir sudah penuh. Oh... Ade baru ingat, ini kan liburan sekolah, jadi mall pasti lebih padat dari biasanya. Ade berputar-putar mencari tempat parkir. Tepat jam sepuluh kurang lima menit, Ade sudah berdiri di depan resepsionis, tersenyum dan menyapanya. Mbak Ita, resepsionis itu, yang sudah mengenalinya, memintanya menunggu dan menyilahkannya duduk di sebuah ruang tamu dengan partisi dari kaca tembus pandang persis di sebelah ruang resepsionis.
Mbak Ita kemudian mendekati Ade, ”Bu Alexandra, Pak Trisna minta pertemuan di tunda hingga jam 11.30, karena dia masih ada di bandara. Bisa Bu?” katanya memberitahukan. Ade yang dipanggil nama resminya kaget, karena tak punya pilihan lain, akhirnya terpaksa mengiyakan.
”Okay, kalau gitu saya keluar dulu, nanti kembali lagi” katanya pada Ita. Masih ada waktu satu setengah jam, pikir Ade, berjalan menyusuri mall.
Pengunjung mall sudah ramai, anak-anak remaja berkelompok dengan dandanan model terbaru, ceria berceloteh. Keluarga-keluarga muda dengan ayah-ibu dan anak-anak. Bahkan beberapa pasangan suami isteri usia lanjut beserta cucu-cucu mereka. Para baby sitter berseragam biru atau merah muda mendorong kereta-kereta bayi. Suasana mall meriah, banyak kegiatan promosi. Banyak tulisan diskon dan hadiah pada setiap toko. Dekorasi mal dan toko-toko di dalamnya juga sangat meriah.
Tampilanku paling aneh di hari Sabtu di mall ini, pikir Ade. Tas yang dibawanya memberi kesan dia sedang kerja, bukan sedang santai. Pakaiannya, blus katun putih lengan pendek, celana panjang warna abu-abu muda, bersepatu kulit warna putih dengan tumit sedang. Ade memakai bros dan gelang perak yang dibelinya di sebuah artshop di Kotagede, Jogya. Meski sederhana, masih terkesan resmi. Di gantungkannya tas tangannya, menenteng tas desain dan box nya, menyusuri lantai dua mall tanpa tujuan.
Terpikir oleh Ade untuk merapikan riasan wajahnya. Lalu Ade menuju toilet wanita yang berada di kiri koridor. Begitu tiba di depan pintu toilet, Ade terhalang seorang pria muda yang sedang berjongkok membujuk anak perempuan kecilnya, mungkin usia empat tahun. Ade sempat mendengar pembicaraan keduanya.
”Sheila masuk sendiri ya, Papa kan nggak boleh masuk!” katanya. Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya.
”Nggak mau! Ayo Pa, ayo! Sheila nggak tahan nih!” jawab gadis kecil itu merengek. Ade sudah dekat mereka, untuk membuka pintu toilet. Tiba-tiba pria itu berdiri, melihat Ade yang akan masuk ke toilet.
”Mbak, maaf bisa minta tolong? Anak saya ini ingin ke toilet, bisa anda menemaninya? Saya nggak boleh masuk, kan ini untuk wanita” katanya memohon pada Ade.
Ade menghentikan langkahnya, memandang pria itu, kemudian melihat ke gadis kecilnya yang menarik-narik tangan ayahnya. Kasihan, dia seperti Ima, pikir Ade.
”Bisa?” tanya pria itu lagi, kali ini sambil tersenyum, memamerkan giginya yang rapi dan putih. Seperti bintang iklan pasta gigi di televisi, pikir Ade. Ade kasihan melihat masalah pria itu, ingin menolak tapi juga tak tega. Apalagi gadis kecil itu kelihatan sudah sangat gelisah. Ade mengangguk. Senyum mengembang dari wajah pria itu.
”Terima kasih banyak, Mbak!” kata pria itu pada Ade lalu berbicara pada anaknya.
”Sheila, ayo dianter Tante ini ke dalam toilet, Papa tunggu di luar ya!” katanya. Gadis kecil itu mengangguk, mungkin sudah tak tahan ingin buang air kecil.
”Mbak, Sheila bisa membersihkan sendiri, cuma minta ditunggu di depan pintu saja” katanya pada Ade. Sheila langsung menarik tangan Ade yang masih memegang tas besarnya.
”Titip!” kata Ade lugas, tanpa basa-basi lagi Ade menyerahkan tas disainnya serta box plastik pada pria itu. Ade bergegas mendorong pintu toilet, membimbing tangan kecil Sheila memasuki toilet.
Rizal, pria itu menerima tas disain dan kotak plastik itu lalu berdiri agak menjauh sedikit dari pintu toilet. Dia memperhatikan tas hitam besar itu. Kok seperti tas milikku, pikirnya. Terbaca tulisan nama sebuah perusahaan serta alamatnya pada kartu kecil yang diselipkan pada plastik transparan pada tas itu. Mungkin dia arsitek, pikir Rizal. Sama dong denganku, pikirnya lagi. Tapi mau apa di hari libur ini keluyuran di mall dengan tas ini? Dia cantik, baik hati lagi, Rizal melamun. Teringat Prisilla, almarhum isterinya. Bulan depan, genap tiga tahun Prisilla pergi meninggalkan Rizal dan Sheila yang saat itu masih berusia setahun. Masih menyusu pada ibunya. Sulit sekali melupakan Pris, pikir Rizal. Malah makin memerlukannya, semakin Sheila besar. Seperti hari ini, dia tak bisa masuk ke toilet membantu Sheila.
”Sheila, ayo buka celananya ya!” kata Ade ketika sudah di depan pintu toilet. Gadis kecil itu langsung mengangkat roknya yang berwarna pink. Ade menurunkan celana dalam Sheila, membimbingnya masuk, mengangkatnya duduk di kloset. Seperti Ima, pikir Ade teringat anak perempuan kakaknya Lola.
Ternyata Sheila sudah mandiri, dia langsung membersihkan diri dengan tissue yang memang tersedia di toilet itu. Hanya waktu turun dari toilet perlu di bantu.
Ade berpikir, kok nggak sama ibunya ya jalan-jalan di mall, lagipula kenapa sebelum berangkat nggak disuruh kencing dulu, gerutunya dalam hati.
Sambil membantu Sheila mengenakan celana dalamnya, Ade mengajak Sheila bicara.
”Sheila kenapa nggak sama Mama?” tanyanya. Sheila menatap wajah Ade, lalu menggeleng, malu.
”Okay, sekarang cuci tangan yuk!” kata Ade, lalu mengangkat Sheila mendekati wastafel yang terlalu tinggi bagi gadis sekecil Sheila.
”Berat juga ini anak” kata Ade pada diri sendiri.
”Sekarang Sheila tunggu sebentar ya! Tante mau sisir rambut” katanya melanjutkan. Didudukkannya Sheila di meja wastafel yang lebar itu. Sheila dengan patuh menunggu Ade sambil mengayunkan kakinya. Sheila mengawasinya berdandan, Sheila terlihat sangat tertarik sewaktu Ade memoleskan lipstick ke bibirnya.
”Ayo kita keluar, Papamu sudah menunggu!” ajaknya pada Sheila sambil menurunkannya ke lantai dan membimbing tangan anak itu keluar. Persis di depan pintu, saat itu akan masuk seorang wanita berkerudung.
”Ade ya?” tanya wanita itu begitu bertatapan dengan Ade.
“Aku Titi Baskoro, SMA kita sekelas. Lama banget ya kita nggak bertemu!” katanya gembira sambil mengulurkan tangan pada Ade. Ade tergagap, baru ingat Titi temannya, karena penampilannya jauh berbeda dari semasa sekolah, lalu merekahkan senyumnya, menyambut uluran tangan Titi. Titi melirik kepada Sheila.
”Hey, ini anakmu ya! Cantik kaya ibunya!” katanya. Saat itu Sheila melepaskan diri dari bimbingan Ade dan berlari ke arah Rizal yang juga mendekati mereka. Titi berpaling ke arah datangnya Rizal.
Ade belum sempat menjawab, Titi sudah meneruskan bicaranya lagi, tanpa Ade punya kesempatan menjelaskan apa-apa.
”Ini pasti suamimu ya!” katanya lalu menyalami Rizal yang terlihat heran.
”Saya Titi, teman Ade waktu SMA dulu” katanya memperkenalkan diri pada Rizal. Tak punya pilihan lain, Rizal menyambut jabat tangan Titi. Oh...nama dia Ade, pikir Rizal. Ade dan Rizal jadi berpandangan, tak mampu mencegah Titi bicara. Rizal sebenarnya mendekati Ade dan Sheila karena akan menyerahkan tas dan kotaknya pada Ade. Rizal menyalami Titi sambil tersenyum. Geli, tentu saja.
Agar Titi tidak berkelanjutan bicara, Ade mengajaknya bicara hal lain, tentang sekolah dulu, teman-teman mereka. Akhirnya Titi pamit mau ke toilet setelah bertukar nomor telepon, agar nanti bisa mengobrol kembali.
Setelah Titi masuk ke toilet, Ade baru sadar tasnya masih ada pada Rizal, yang masih berdiri di dekatnya. Sheila berdiri di samping Rizal sambil mempermainkan gantungan kunci di tas disain yang dipegang Rizal.
”Maafkan saya, Anda jadi menunggu” kata Ade pada Rizal lalu mengambil tas disain dan kotaknya yang berada di tangan Rizal. Pria itu tersenyum.
”Terima kasih banyak sudah menolong kami” kata Rizal mengangguk hormat.
”Ok. Dia nggak merepotkan kok” jawab Ade, kemudian Ade teringat ucapan Titi tadi.
”Oh iya! Maaf teman saya tadi salah faham” kata Ade, malu.
”Tidak apa. Saya malah sudah merepotkan Anda” kata Rizal sopan. Lalu bicara pada Sheila.
”Sheila, ayo kasih salam sama Tante, bilang terima kasih” katanya menyuruh Sheila. Ade melihat Sheila memandangnya malu-malu. Ade teringat lagi pada Ima, sudah sebulan lebih tak berjumpa. Ade menunduk, mendekati Sheila .
”Sheila kasih cium pipi aja ya” ujar Ade. Sheila langsung mencium pipi Ade, kemudian berbalik memeluk paha ayahnya yang sedang memperhatikannya.
”Ok, saya jalan dulu ya!” kata Ade pamit pada keduanya. Rizal mengangguk, Sheila membalas lambaian tangan Ade.
Ade meninggalkan mereka, kembali berkeliling mall. Masuk dan keluar toko, tanpa membeli apapun. Saat berada di sebuah toko cosmetik, telepon genggam Ade bergetar. Ade menekan tombol bicara pada telepon, terdengar suara Pak Trisna bicara.
”Bu Alexandra, saya benar-benar minta maaf. Masih bisa tunggu saya hingga jam dua? Saya masih di bandara, pesawat tamu saya tertunda datangnya” katanya. Ade setuju, karena itu Ade terpaksa harus menunggu lagi. Ya sudah, jalan-jalan aja atau cari tempat duduk sekalian minum, pikirnya.
Cafe yang menyajikan makanan kecil dan sup ala Perancis favoritnya itu penuh pengunjung, tapi Ade tetap masuk, berharap dan berusaha mencari tempat kosong. Ade memutar pandangannya, namun kecewa karena tak satupun meja yang kosong. Ade berbalik hendak meninggalkan cafe ketika seseorang memanggil namanya. Ade menoleh mencari-cari. Di pojok, di samping sebuah meja, terlihat Rizal berdiri, melambaikan tangannya. Kemudian berjalan mendekati Ade.
”Duduk di tempat kami aja yuk” kata Rizal mengajak Ade.
”Wow, ketemu lagi!”kata Ade kaget. ”Terima kasih, saya cari tempat lain saja” jawab Ade. Rizal terlihat kecewa, lalu terlihat Sheila menyusul. Sheila langsung mendekati Ade, menarik tangannya. Ade tak enak menolak ajakan gadis kecil itu.
Sebenarnya dia juga tak tertarik untuk ke restoran lain, karena kebanyakan makanan fastfood , juga merasa kakinya sudah pegal berkeliling mall. Akhirnya Ade duduk bersama mereka. Meletakkan tas-tasnya pada kursi kosong di sebelahnya.
”Mau makan apa, boleh saya pesankan” Rizal menawari.
”Terima kasih! Biar saya sendiri saja. Maaf ya, semoga tak mengganggu acara makan kalian. Silahkan makannya dilanjutkan!” Ade langsung menjawab.
Ade kemudian berdiri, memesan croissant keju dengan almond dan secangkir teh hangat. Ketika dia kembali ke meja, Rizal sedang memotong-motong kue buah agar Sheila mudah mengambilnya dengan garpunya. Telaten juga nih orang, pikir Ade. Baru saja meletakkan nampannya di meja, telpon genggam Ade bergetar lagi.
”Hallo Alan, ada apa telpon aku?” tanya Ade ketika mendengar suara Alan diujung telepon.
”Tumben telpon aku, salah makan obat ya?” ejek Ade sambil tertawa. Ade mendengarkan Alan bicara.
”Alan, sorry, aku lagi sibuk nih! Sebentar lagi mau rapat soal disain counter!”katanya. Rizal menoleh, tersenyum mendengar Ade berbohong. Ade menangkap senyum Rizal. Setan, dia curi dengar ya!
”Minggu juga nggak bisa, Al!” kata Ade menolak tawaran Alan. Ade masih mendengarkan omongan Alan membujuknya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk berterus terang pada Alan. Malas kalau Alan nanti masih akan menelponnya lagi.
”Al, sorry, sebenarnya aku nggak ingin pergi sama kamu. Nggak mau dilihat orang kita bersama-sama lagi. Aku sudah capek!” kata Ade, sangat lugas. Alan terdengar kecewa, lalu mereka memutuskan pembicaraan. Rizal sambil menunduk, memotong kuenya mau tak mau mendengar. Mereka bertengkar, pikirnya. Galak amat! Mungkin gadis Indo memang begitu, pikirnya lagi memaklumi.
Ade tadi melupakan adanya Rizal dan Sheila di depannya, saat ia bicara dengan Alan. Rizal mungkin mendengarkan pembicaraannya, tapi terlihat asyik bercanda dengan Sheila, pikir Ade.
”Huuh... Alan, ada apa dengan Devy pacarnya, maka ingin berbaikan denganku! Sudah dicampakkan Devy? Susah payah melupakan Alan, eh sekarang orang ini malah telpon aku” pikirnya. Menatap ke dinding kaca tembus pandang, yang memperlihatkan pandangan kemacetan dan antrian mobil memasuki kawasan mall.
Ade menghirup tehnya yang mulai mendingin, dan memotong croissant kejunya. Masih memikirkan ucapan Alan.
”Benarkah pengakuan Alan, dia tak bisa melupakan Ade? Bohong!” Umpatnya dalam hati. ”Semoga kau merasakan sakitnya dihianati! Aku tak mau percaya lagi!” Ade larut dalam pikirannya. ”Semoga masih ada pria lain untukku!” doa Ade dalam hati.
”Maaf, nama Anda Ade kan, tadi kita lupa berkenalan? Nama saya Rizal” kata Rizal memecah lamunan Ade.
”Oh, iya!” Ade mengiyakan, tersenyum.
”Sekarang sedang kerja ya!” lanjut Rizal. ” Anda arsitek?” tanya Rizal ingin tahu sambil menatap Ade. ”Cantik amat! Apalagi kalau senyum begitu” pikir Rizal. ”Rasanya sering melihat, tapi dimana ya” pikirnya mengingat-ingat. ”Majalah? Televisi? Atau seminar?”
”Oh...bukan! Saya bukan arsitek, saya kerja di bidang Marketing” jawab Ade menjelaskan.
” Karena tas itu ya? Tas itu, memang untuk gambar counter. Bahan negosiasi dengan bagian Interior Planning di departemen store itu” lanjut Ade sambil menunjuk logo sebuah department store yang jelas terlihat dari tempat mereka duduk.
”Ada rapat siang hari ini. Rapat ditunda sampai jam dua, makanya saya jadi keluyuran!” lanjutnya lagi tersenyum. Orang yang melihatnya membawa tas itu memang mengira dia arsitek. Biasanya tas seperti itu untuk menyimpan disain karya mereka sih.
”Oh... saya kira kita satu professi” kata Rizal.
”Papa, Sheila mau kue yang kaya Tante boleh nggak?” tiba-tiba Sheila bicara.
”Boleh, tapi kue itu kenapa, nggak enak?” Rizal menjawab, sambil menunjuk piring berisi kue di depan Sheila. Sheila menggeleng lalu dengan senyumnya yang manis dan matanya yang bulat, menjawab ayahnya.
”Enak, tapi Sheila mau yang seperti Tante juga!” katanya, rupanya dari tadi Sheila memperhatikan kue milik Ade dan tertarik.
”Tunggu ya! Papa pesan dulu” kata Rizal dan segera berdiri berjalan menuju counter, memesan untuk Sheila. Rizal membawanya untuk Sheila, memotong motongnya dan menyuruh Sheila memakannya. Ade mengawasi keduanya bicara. Rizal terlihat sabar dan telaten.
Ade melihat arlojinya, sudah jam satu, masih satu jam lagi, pikirnya. Rizal melihat hal itu.
”Sudah mau pergi? Ini kartu nama saya” kata Rizal bertanya, buru-buru mengeluarkan kartu namanya dan menyerahkannya pada Ade dengan kedua belah tangannya, sangat formal. Ade menyambut kartu nama yang diangsurkan Rizal padanya.
”Belum, rapatku jam dua, terima kasih” sahut Ade menggeleng kemudian Ade mengamati kartu itu, membacanya.
”Rizal Setyanto. Ooh.. dia arsitek, kerja di kantor konsultan. Lho.... kantornya tak jauh dari kantorku!” pikir Ade.
”Anda punya kartu nama?” tanya Rizal, rupanya dia menunggu Ade memberikan.
”Oh...iya maaf! Ada, ada.....sebentar ya!” jawab Ade tergagap merasa tidak sopan. Ade membuka tasnya, mengambil kartu namanya dari dompetnya. Menyerahkannya pada Rizal, sama formalnya.
”Nama anda Alexandra Lusiana, bukan Ade?” Rizal bertanya bingung. Ade tertawa kecil. ”Aduh.... dia makin cantik aja tertawa begitu!” Pikir Rizal.
”Saya anak bungsu, jadi di panggil Ade” kata Ade menjelaskan.
”Ternyata kantor kita berdekatan ya” kata Rizal. Ade mengangguk. ”Boleh saya panggil Mbak Ade juga?” pinta Rizal. Ade sekali lagi mengangguk.
”Panggil saya Rizal aja, pakai Mas, Abang atau tidak, juga boleh!” lanjutnya.
”Huuh! Kaya bakal ketemu aja!” pikir Ade, tersenyum sopan.
Ade melihat Sheila asyik dengan kuenya. Ade mencoba mengalihkan perhatian Rizal padanya dengan mengajak Sheila bicara.
”Sheila sudah sekolah?” tanya Ade, Sheila menoleh padanya, menatap Ade dengan matanya yang bulat.
”Sudah, kelas nol kecil!” jawab Sheila, kini tersenyum.
”Sudah bisa nyanyi?” tanya Ade lagi.
”Sudah” jawab Sheila, matanya berbinar ceria, menganggguk.
”Mau nyanyi nggak buat Tante?” pinta Ade, coba-coba, menyentuh pipi montok Sheila. Ade gemas pada pipi montok Sheila. Sheila terlihat riang. ”Lebih baik mendengarkan nyanyian Sheila, daripada aku ditanya-tanya Bapaknya” pikir Ade.
Sementara itu Rizal berdiam diri, membiarkan anaknya bicara dengan Ade. ”Gadis ini, selain cantik dan pintar, rupanya penakluk anak kecil ya!” pikir Rizal, Dia melihat Sheila begitu senang diajak bicara oleh Ade, padahal Sheila biasanya agak pemalu bila bertemu orang yang baru dikenalnya.
Kini Rizal mendengar Sheila menyanyikan lagu Bintang Kecil, Ade menggoyangkan kepalanya persis guru taman kanak-kanak. Beberapa pengunjung melihat ke arah mereka. Rizal berpikir, ”Mungkin mereka mengira kami sekeluarga, seperti teman Ade yang salah faham tadi”
Begitu selesai Ade masih meminta Sheila menyayikan lagu Cicak. Itu lagu kesukaan Sheila. Di akhir lagu Ade turut bernyanyi dengan Sheila. Mereka berdua bertepuk tangan, gembira. Begitu asyik, seakan tak menyadari ada yang memperhatikan mereka.
Rizal merasa senang melihat keakraban keduanya. Melihat Sheila begitu riang. ”Seandainya Pris masih ada, mungkin kami seperti ini” lamun Rizal. Sehari-hari, sejak Pris tiada, Sheila dirawat baby sitter, Mbak Purnama. Memang Sheila sangat akrab dengan Mbak Pur, tapi Rizal melihat tidak seperti pemandangan Sheila bersama Ade, layak anak dan ibu saat ini. Rizal tahu, figur ibu tak diingat Sheila. Rizal tak punya kakak perempuan, sementara Pris adalah anak tunggal. Hanya nenek yang ia tahu. Baru dua hari lalu Sheila menanyakan lagi Mamanya pada Rizal.
”Mama Sheila mana Pa?” katanya. Rizal selalu berbohong tentang keberadaan Pris.
”Mama Sheila sedang pergi jauh” jawab Rizal.
”Kapan pulangnya Pa?” desak Sheila, bergelayut di leher Rizal.
”Pa, Mamanya Kayla baru pulang dari Hongkong. Hongkong itu jauh ya Pa? Bawa baju bagus buat Kayla. Nanti Mama bawa baju juga nggak Pa?” tanya Sheila polos sekali. Rizal tentu saja gelagapan, tapi berusaha menjawab.
”Mama masih lama baru pulang, sayang!” Sulit bagi Rizal menjelaskan tentang kematian ibunya pada anak seusia Sheila. Mungkin nanti kalau dia sudah sekolah dasar, pikir Rizal sedih, teringat Pris. Konsep waktu pun bagi anak seusia Sheila belum cukup jelas, apalagi tentang kematian!
Sesekali Mama Rizal, Ny.Reiko Setyanto datang dari Semarang. Untung Mbak Pur, pengasuh Sheila sangat telaten, jadi hingga saat ini tak ada masalah berarti yang di hadapi Rizal untuk membesarkan Sheila. Biasanya Rizal mengajak Mbak Pur bila bepergian dengan Sheila. Berenang, ke ulang tahun teman Sheila, ke dokter. Karena ada kegiatan yang tidak memungkinkan Rizal terlibat langsung, jadi selalu harus dengan Mbak Pur. Misalnya sehabis berenang, untuk memandikan Sheila, Rizal tak mungkin masuk ke kamar ganti wanita. Atau ke toilet umum. Kecuali hari ini, Mbak Pur cuti menengok orang tuanya di Cianjur. Itupun tadi sewaktu di depan toilet, dia sempat minta beberapa wanita untuk menolongnya, tapi tak berhasil. Ade lah yang bersedia menolongnya.
Ade melirik arlojinya, tinggal seperempat jam lagi. Dia menyudahi bercengkerama dengan Sheila, menghabiskan tehnya.
”Sheila, Tante mau pergi dulu ya!” katanya sambil menyentuh pipi Sheila. Lalu meneruskan bicara pada Rizal.
”Saya duluan ya! Terima kasih lho boleh pakai meja sama-sama!” kata Ade sambil berdiri dan mengemasi tasnya.
“Oh, iya kami juga mau pulang, sudah siang juga!” turut berdiri, dan membimbing Sheila. Akhirnya mereka berjalan keluar cafĂ© bersama-sama.
“Saya kesana ya” kata Ade pamit pada Rizal dan Sheila, menunjuk ke pintu masuk sebuah departemen store.
Rizal mengangguk hormat, “Sampai jumpa!” katanya. Tepat saat itu, telpon genggam Ade berbunyi.
“Halo Pak Trisna, saya sedang menuju ke kantor Anda sekarang nih” Ade menyapa penelponnya.
Rupanya dia sudah ditunggu. Ade melambaikan tangannya meninggalkan Rizal dan Sheila. Mereka balas melambainya. Mereka mengambil arah yang sama, berjalan mengikutinya dari belakang. Ade bergegas, tidak saja agar cepat tiba di kantor Pak Trisna, tapi juga untuk menghindar dari pandangan ayah dan gadis kecilnya itu. Ade menghilang diantara pengunjung toko.

KAWAN LAMA

Jum’at sore hampir jam enam ini, minggu ketiga Juni, Ade masih berada di jalanan menuju ke kantornya. Masih ada yang harus di checknya di kantor. Besok Sabtu ada promosi pakaian santai dengan thema unik ”Hang-out’s Uniforms” untuk remaja di departemen store paling besar di Jakarta. Thema ini usulan Ade sendiri kepada bagian perencanaan dan produksi untuk session promosi kali ini. Didasari hasil pengamatannya terhadap gaya hidup anak muda kota besar saat ini. Mereka suka berkumpul, berpakaian unik, gaya dan modern.
Lanny dan Nur, staf promosinya dan Jun sedang menunggunya di kantor. Sedang Mbak Kiki yang bertindak sebagai MC juga minta bertemu dengannya jam tujuh, sekalian makan malam dengan Event Organizer dan Model Agency . Untuk mengevaluasi persiapan acara besok.
Kantor sudah sepi, tinggal petugas Satpam, Pak Bandono, staff promosinya, Lanny, Nur dan Jun serta sekretarisnya Wiwik. Dia masuk ke ruang kerjanya. Stafnya mengikutinya, ada beberapa laporan yang akan mereka sampaikan. Ade duduk menghadapi meja kerjanya, menyalakan komputernya. Lalu berbalik menghadap anak buahnya yang sudah menunggu duduk di kursi di depannya.
”Okay, rapat kita mulai. Laporan dari Lanny dulu deh!” ujar Ade. Lanny langsung bicara. “Iklan sudah keluar semua media yg dipilih, Mbak. Nomor bukti sudah saya terima dari agency ” katanya. Direct mail sudah dikirim pihak toko ke customer list mereka, kerja sama dengan bank yang mengeluarkan kartu kredit. Poster sudah di tempel pada tempat-tempat yang dikunjungi remaja” lapor Lanny. ”Malam ini ada acara interaktif di radio favorit remaja, nara sumbernya Bu Christin sama Mas Irun, pengajar sekolah fashion & design. Dia bahas acara kita besok, petugas monitor kita sudah siap, volunter Mbak Wike, dia bilang lagi santai, jadi bisa bantu kita rekam juga” lanjutnya.
”Lalu Sales promotion gift gimana Nur?” tanya Ade. Nur melaporkan, hadiah promosi sudah dikirim ke counter, sudah siap di display dengan POPnya” katanya. Yang dimaksud Nur dengan POP adalah istilah untuk pemberitahuan pada customer tentang kegiatan sales promotion , seperti discount atau hadiah. Biasanya dicetak di atas karton atau vinyl dengan berbagai bentuk. Bisa ditempel atau digantung, sekaligus sebagai bagian dekorasi toko.
”Produk untuk dipakai para peragawati sudah dikirim ke Agency, Mbak” kata Nur menyelesaikan laporannya.
”Ok, Nur. Tadi pakai surat jalan sebagai barang pinjaman ya? Kasih tahu ya, produk yg bekas mereka pakai itu boleh dibeli kok sama mereka dengan diskon 40%. Kamu atur ya, itu keluar sbg barang untuk promosi. Bon keluarnya atas nama saya, nanti sebelum diserahkan aku paraf dulu. Lalu minta bagian distribusi keluarkan surat jadi barang retur dan dibeli oleh karyawan. Uang serahkan ke Bagian Sales Area satu, Ibu Mia.” kata Ade menanggapi laporan Nur.
“Kau Jun, ada masalah apa?” tanya Ade, menatap kearah Jun yang duduk disebelah kirinya.
“Untuk besok sudah beres, Mbak!” kata Jun mantap. ”Untuk event promosi di Surabaya, semua barang sudah di kirim, titip bagian Distribusi. Besok sore saya berangkat naik kereta. Yang belum, camera Mbak!” lanjutnya.
”Ok, besok aku bawakan punyaku aja. Punya kantor belum kembali, masih dipinjam pabrik, buat potret sample” kata Ade, sambil mencatat di blocknotesnya.
”Lalu kau Wik, ada apa?” tanya Ade pada sekretarisnya.
“Ini Mbak, yang telpon selama Mbak pergi hari ini. Semua ngaku penting Mbak!” katanya sambil menyorongkan sebuah buku catatan telpon masuk. Ade meneliti, beberapa nama sudah di kenalnya, dari pengelola toko terkemuka, dari bos besar yang sedang ke Jepang, lalu dari Alan dua kali, dari Rizal juga dua kali. Rizal, Ade mengingat ingat ”… oh yang itu! Mau apa dia” pikir Ade.
”Wik, nggak tanya bos, kenapa nggak telpon ke HPku?” tanya Ade.
”Sudah Mbak, dia bilang mungkin Mbak lagi rapat. Nanti dia mau kirim email saja” jawab Wiwik. Ade mengangguk-angguk. ”Pasti bos punya ide gila lagi makanya kirim email, pikir Ade karena sudah tahu kebiasaan bosnya. ”Bakal repot aku!”
Wiwik mengangsurkan amplop ”Mbak ini ticket pesawat ke Surabaya untuk hari Senin, check in jam lima pagi. Pak Yono akan jemput Mbak Ade di rumah jam empat” katanya. Ade menerimanya, menyelipkan ticket di buku agendanya.
”Mbak, tolong tanda tangan slip, ini kata Cik Tati untuk jaga-jaga, takut Mbak perlu dana tunai” kata Wiwik mengangsurkan selembar kertas dan amplop coklat. Ade menanda tanganinya, menyimpan amplop coklat berisi uang tunai itu ke dalam tasnya.
Ade memberikan instruksi pada stafnya.
”Nah sekarang catat ya. Besok kalian sudah siap di lokasi jam delapan. Ketemu sama Bu Ocha, supervisor ladies section. Jun sama Iman dan Warno, check persiapan lokasi dan counter, terutama logo box , display, fitting room dan lampunya paling penting. Orang EO juga datang” kata Ade
”Nur tolong tunggu bagian distribusi ya, mau bawa masuk barang tambahan lagi. Ini permintaan toko, jadi ada dispensasi terima barang hari Sabtu. Setelah inspeksi delivery order , jam sembilan barang boleh masuk ke lokasi counter. SPG langsung display sesuai panduan ya. Check semua perlengkapan” katanya pada Nur, yang mengangguk patuh.
Setelah berhenti sejenak, Ade meneruskan.
”Lanny, sekali lagi check umbul-umbul sudah terpasang apa tidak, dan kamar ganti untuk peragawati. Mereka nggak boleh pakai fitting room untuk customer” katanya pada Lanny, yang mencatat di notesnya.
”Baik Mbak!” sahut Lanny.
Ade beralih pada sekretarisnya.
” Wiwik bawa draft surat untuk kegiatan promosi jaket, masukkan flash disk kasih saya besok. Lampiran tata caranya sama dengan promosi payung waktu itu. Nilai pembeliannya aja yang berubah. Saya kirim email persetujuannya Senin sore, Lanny tanda-tangani aja, atas nama saya, langsung fax ke semua toko, kepala cabang dan agen-agen! Surat aslinya untuk store manager titip sama SPG ” katanya.
”Baik Mbak, nanti saya kirim surat-surat masuk ke email Mbak Ade setiap pagi”jawab Wiwik.
”Saya besok datang jam setengah sepuluh. Rapat dulu dengan Pak Tanto untuk renovasi counter di Kelapa Gading. Kalau ada hambatan, langsung minta bantuan Bu Christin ya atau telpon saya. Okay?” kata Ade melanjutkan.
Semua mengangguk, sudah terlihat capek, sudah jam tujuh lebih.
“Beres semua! Ayo, sekarang kita pergi sama-sama, makan malam sambil evaluasi persiapan kita dengan Mbak Kiki dan Event Organizer dan Agency” Ade mengakhiri rapat.
Masing-masing bersiap. Ade mematikan komputernya, membatalkan niatnya mengetik email untuk Pak Sis, store manager sebuah toko fashion di Bandung. Terdengar dering telpon, diterima oleh Wiwik. Wiwik memberitahu Ade, pada telepon saluran satu Alan ingin bicara. Ade memberi isyarat agar Wiwik mengatakan dia tak ada, sedang rapat diluar kantor. Tadi dia melihat telepon genggamnya yang dia atur pada posisi silent menyala lampu monitornya beberapa kali. Karena tahu itu dari Alan, Ade tak mau menerimanya. Alan tahu Ade masih di kantor.
Baru dia bersiap keluar ruangan, Wiwik memberitahu ada telpon lagi untuknya. Ade heran, kok tahu dia ada di kantor.
”Dari Pak Rizal, mau diterima Mbak? Maaf Mbak, tadi memang saya bilang Mbak ada di kantor sampai malam” kata Wiwik menjelaskan. Tapi tersenyum senyum menggoda dan matanya berkedip.
Ade agak bingung, mau apa Rizal telpon? Tapi penasaran juga jika tidak menerima, lalu Ade mengangkat telpon di mejanya.
”Hallo!” jawab Ade.
”Hallo Mbak Ade, selamat malam, saya Rizal, masih ingat nggak, saya papanya Sheila. Apa kabar?” Terdengar suara pria, Rizal ramah. Suaranya menyenangkan, tak terdengar genit, jadi Ade merasa tak terganggu.
”Oh, selamat malam Mas! Saya baik baik aja kok” jawab Ade lalu melanjutkan ”Ada apa menelpon saya?” tanya Ade.
”Begini, Sheila besok ulang tahun yang ke empat. Kami merayakannya di mall tempat kita ketemu dulu. Hanya undang teman-teman sekolahnya saja. Seandainya Mbak Ade nggak sibuk, silahkan datang ya. Jam makan siang gitu!” kata Rizal. Dia menambahkan, ”Sheila meminta Anda datang lho!”
”Oh, terima kasih. Bagaimana ya, besok saya ada promosi produk di Senayan, kalau sempat saya akan datang. Salam dulu untuk Sheila ya!” kata Ade. Rizal mengucapkan terima kasih. Tapi kemudian buru-buru bicara lagi
”Mbak Ade, boleh tahu nomor HP Anda? Seandainya Anda tak datang, mungkin Sheila bisa bicara dengan Anda. Maaf merepotkan!” kata Rizal. Memang di kartu namanya Ade tidak mencantumkan nomor telpon genggamnya.
”Okay, catat deh nomor saya. Nggak apa-apa, saya juga suka anak kecil!” kata Ade. Rizal mencatat nomor yang disebutkan Ade, kemudian juga memberikan nomornya. Ade mencatatnya pada kertas di atas mejanya, memasukkannya ke tas. Kemudian Rizal dan Ade memutuskan pembicaraan.
Sabtu siang ini, peragawati sedang berlenggang lenggok di cat-walk yang sengaja di bangun dekat counter Women’s Diary di department store mewah itu. Pengunjung banyak sekali. Para remaja dan juga ibu-ibu muda antusias dan berdesakan menyaksikan koleksi terbaru itu. Ade berada diantara mereka bersama Bu Christin, Merchandising Manager department store itu. Sebentar lagi acara usai. Ade merasakan telpon genggamnya yang berada di saku celana panjangnya bergetar, dia melihat tanda telepon masuk. Tapi nomornya tak dikenalinya. Dibiarkannya saja hingga berhenti sendiri. Tapi kembali telpon kembali bergetar, dan nomor yang sama memanggil. Ade mengangguk minta maaf, pamit meninggalkan Bu Christin, untuk menerima telpon. Menjauh dari keramaian.
”Hallo Selamat siang!” jawab Ade. Ade mendengar suara Rizal.
”Mbak Ade, saya Rizal, ini Sheila ingin bicara” kata Rizal. Lalu terdengar suara kecil Sheila.
”Tante Ade, Sheila lagi ulang tahun! Kata Papa, Tante nggak bisa datang ya?” katanya. Suara Sheila bercampur dengan suara nyanyian anak-anak dan beberapa suara canda anak kecil.
”Sheila, Selamat ulang tahun ya! Tante Ade sekarang lagi kerja. Kalau sempat Tante Ade mau kok datang!” jawab Ade, merasa kasihan pada Sheila. Juga merasa bersalah pada Rizal, telah salah sangka menganggapnya mencari cari alasan saja.
”Iya! Tante lagi dimana? Kerjanya kaya Papa Sheila bikin gambar ya?” kata Sheila, terdengar lucu.
”Sheila, kantor Tante jauh. Tante kerjanya mengetik di komputer” jawab Ade, sulit menjelaskan jenis pekerjaannya pada Sheila.
”Sudah dulu ya, Sheila kan lagi ulang tahun, nanti kalau ditinggal ngobrol dengan Tante, teman-temannya pulang deh!” kata Ade. Kemudian Rizal melanjutkan pembicaraan dengan Ade.
”Mbak Ade, maaf merepotkan lagi, Sheila dari tadi ingin telpon Mbak Ade”
”Ok, nggak apa-apa kok! Saya juga nggak sibuk sekali, cuma mengawasi acara saja” kata Ade.
”Terima kasih banyak, sampai ketemu ya. Kalau bisa datang ya!” kata Rizal, memutuskan sambungan telpon.
Acara peragaan busana telah usai tepat jam dua belas. Ade memberi instruksi pada anak buahnya dan kemudian bergegas ke sebuah toko mainan, beli kado untuk Sheila. Boneka beruang, berwarna putih dengan pita merah di lehernya. Tak apa menyenangkan anak-anak, pikirnya. Pulang ke rumah juga sendirian, melihat anak-anak kan seru, mereka lucu-lucu. Lumayan menghibur diri pikir Ade.
Untung jalanan tidak macet, tapi mencari tempat parkir di mall tempat Sheila ulang tahun pada siang Sabtu ini susah sekali. Khawatir acara sudah selesai, Ade mencoba menghubungi Rizal.
”Hallo, Mas Rizal, ini saya Ade, sedang cari tempat parkir. Acaranya sudah bubar ya?” tanyanya. Terdengar suara Rizal gembira,
“Masih. Masih nyanyi-nyanyi. Ke lantai satu ya, nanti saya tunggu di depan eskalator!” katanya.
Ade menaiki eskalator ke lantai satu, menyandang tas kerjanya di bahu kanan dan memeluk bungkusan kado untuk Sheila dengan tangan kirinya. Ade memandang ke bawah memperhatikan pameran mobil di lantai dasar. SPG stand mobil itu bergaun mini dengan stocking sewarna kulit, rok warna merah dengan blus lengan pendek biru. Topi kecilnya yang berwarna merah membuat gadis SPG itu makin menarik. ”Gadis penjaga stand mobil itu sexy amat ya!”pikir Ade.
Begitu tiba di lantai satu, dia melihat Rizal telah menanti persis di sisi eskalator. Rizal tersenyum ceria, mengulurkan tangannya. Ade menjabat tangan Rizal. Kali ini Ade memperhatikan pria ini lebih teliti. Usianya mungkin tiga puluhan. Tinggi, mungkin sekitar 180 cm, langsing, pakai jeans dengan baju kaos biru tua, bersepatu olahraga. Ade menyambut jabat tangannya, tersenyum. Wajahnya seperti pria Jepang, meski matanya tak bisa dikatakan sipit. Rambut hitam lurus dipotong pendek rapi. Kulitnya putih, bersih. Ufs...keren, kaya bintang iklan! kata Ade dalam hati. Seandainya ada Yuriko dan Tania, pasti seru kenang Ade pada dua sahabatnya. Ade kangen komentar mereka yang lucu dan konyol.
”Terima kasih mau datang. Maaf, merepotkan lagi!” kata Rizal. Ade terbangun dari lamunan pada temannya.
”Kebetulan saya punya waktu, baru aja dari daerah selatan juga jadi nggak jauh dari sini” jawab Ade.
Rizal lalu mengajak Ade menuju restoran tempat Sheila ulang tahun. Mereka berjalan berdampingan, sambil ngobrol tentang hal-hal ringan.
Kali ini, aku juga salah kostum, pikir Ade. Pakaian Ade sangat formal untuk kerja, celana panjang berpipa lurus, biru tua, blus putih berkerah dan blazer pendek warna beige dengan bros perak dengan batu biru tua kiriman dari Yuriko disematkan dada kiri. Sepatu hitam dengan tumit setinggi tujuh centimeter. Tasnya juga hitam ukuran besar, berisi laptop dan barang lainnya. Rasanya ke ulang tahun anak kecil jadi nggak pas, apa boleh buat! pikir Ade.
Saat Ade dan Rizal memasuki lokasi, acara menyanyi dan bermain telah selesai. Ade melihat Sheila yang sedang berada di tengah teman-temannya. Memakai rok warna pink, dengan bando di rambutnya berwarna putih dengan hiasan boneka kecil. Sepatu boot Sheila berwarna pink dengan pita putih sebagai hiasannya. Cantik dan lucu. Ade mengangguk dan tersenyum kepada beberapa ibu yang duduk di ruang pesta kecil itu, mereka rupanya mendampingi anak mereka hadir. Mereka membalas dengan senyuman dan wajah bertanya tanya. Ade dan Rizal terus berjalan masuk, mendekati seorang pria yang wajah dan posturnya mirip Rizal dan seorang wanita paroh baya yang mengenakan rok warna hijau muda dengan cardigan putih susu.
”Ma, kenalkan ini temanku, Ade!” Rizal memperkenalkan Ade pada Mamanya, Ny. Reiko Setyanto. Ade menyalami wanita yang terlihat cantik itu. Kulitnya halus dan putih dengan rambut hitam lurus, tubuhnya langsing meski tidak terlalu tinggi.
”Halo, Tante, apa kabar!” sapa Ade. Wanita itu menyambut tangan Ade hangat, membungkuk hormat.
”Ini Ade toch? Wah cantik sekali! Saya neneknya Sheila” sambut Ny. Reiko Setyanto, memuji dengan tulus.
”Mbak Ade ini adikku, Harry” kata Rizal memperkenalkan adiknya. Ade mengangguk tersenyum. Harry yang sejak Ade melangkah masuk memandangi Ade terus kini tergagap. Buru-buru mengulurkan tangannya. Sudah lama kejadian seperti ini dia harapkan.
”Harry!” katanya gugup, menjabat tangan Ade. ”Aku pegang tangannya sekarang!” kata Harry dalam hati, serasa ingin berteriak.
”Senyum itu! Diakah? Ya! Aku yakin pasti dia!” tanya Harry pada dirinya sendiri. Jantungnya berdebar kencang.
”Biar sudah delapan tahun lebih, aku masih ingat!” Harry merasakan degup jantungnya yang bergetar hebat. Sulit baginya untuk membuka mulut. Benar-benar pertemuan ini kejadian yang mengagetkannya.
Ketika menatap Harry saat bersalaman, entah dimana, rasanya Ade pernah bertemu dengan Harry. Seperti kembaran Rizal, dia ramah, mungkin sebaya dengan Ade. Senyumnya pun sama seperti Rizal. Harry juga mengenakan jeans dengan baju kaos biru muda dengan sepatu olah raga warna putih. Sebuah kacamata hitam bergantung di saku bajunya.
Acara meniup lilin dan potong kue ulang tahun akan segera dimulai. MC meminta keluarga Sheila untuk berkumpul. Rizal mendekati Sheila, bicara padanya. Rupanya dia memberitahu Sheila, kedatangan Ade. Sheila langsung menyeruak kerumunan teman-temannya, mendekati Ade.
”Tante Ade!” kata Sheila melonjak senang. Ade menyambutnya, membungkukkan tubuhnya.
”Sheila, selamat Ulang Tahun!” sambut Ade, menyalami tangan kecil Sheila serta memberi ciuman pada pipi Sheila dan menyerahkan kadonya. Semua yang hadir jadi memperhatikan mereka berdua. Sheila menarik-narik Ade memintanya menemani meniup lilin. Lagi-lagi tak enak menolak, Ade mendekat, berdiri di sebelah Harry. Wangi parfum Ade yang lembut mengingatkan Harry saat malam delapan tahun lalu dia bertemu seorang gadis di kampusnya. Ya, aku masih ingat wanginya, masih bisa merasakannya, kata Harry pada diri sendiri. Seperti ini.
Setelah mereka semua bernyanyi, Sheila kemudian meniup lilinnya. Seorang fotografer dari pengelola restoran meminta berfoto bersama. Ade berusaha menyingkir agar mereka dapat berfoto sekeluarga. Tapi sekali lagi gadis kecil Sheila itu menarik tangannya. Rizal serta ibunya juga meminta.
Ade tersenyum saat fotografer bersiap2 memotret mereka, seperti keluarga dekat saja, pikirnya, padahal baru dua kali ini bertemu. Lucu! Akhirnya Ade berfoto bersama, berdiri di samping kiri Sheila, sedang nenek Sheila di samping kanan. Harry di samping ibunya dan Rizal disamping Ade. Ade tertawa dalam hati, aku anak adopsi, pikirnya geli. Lalu Rizal juga mengambil gambar dengan cameranya.
Acara selanjutnya Sheila berfoto dengan teman-temannya, kemudian anak-anak kecil itu didampingi pengantarnya antri mengambil makanan. Ade mencari tempat duduk di pojok. Rizal pun datang menemaninya.
”Hingga kini kok aku belum tahu, yang mana ibu Sheila, tadi tidak ikut berfoto” pikir Ade. Karena ingin tahu, akhirnya Ade bertanya.
”Mas Rizal, Mamanya Sheila yang mana?” Mendengar pertanyaan Ade, Rizal terlihat berubah raut mukanya.
”Oh... itu. Mama Sheila sudah....... meninggal!” kata Rizal pelan. Ade tentu saja kaget mendengar jawaban Rizal.
”Aduh, saya minta maaf! Omong sembarangan!” kata Ade tak enak hati, menangkupkan kedua tangannya ke dekat hidungnya, memohon maaf. Benar-benar merasa bersalah atas pertanyaan lancangnya.
”Tak apa-apa. Sudah hampir tiga tahun!” kata Rizal menjelaskan, kembali dengan wajah biasa.
”Waktu itu Sheila masih satu tahun. Jadi dia nggak ingat wajah ibunya” kata Rizal lagi.
Ade jadi ingat, dua minggu lalu ia bertemu Rizal dan Sheila di mall ini. Mengira ibu Sheila tak ikut karena sedang sibuk saja. Pantas waktu itu Sheila hanya menggeleng ketika Ade malah menanyakan mana Mamanya. Uuh.. waktu itu aku asal bicara, umpat Ade pada diri sendiri.
Teman-teman Sheila telah selesai makan. Sebagian telah berpamitan pulang. Pengasuh Sheila, Mbak Pur sedang memasukkan kado-kado ke dalam sebuah kantong plastik besar, dibantu petugas restoran. Rizal menawari Ade makan. Ade menolak, karena berencana segera pergi. Dia ingin ke salon, merapikan rambutnya. Ade berpamitan pada Sheila, mencium pipinya. Sheila bahkan memeluknya. Lalu pamit pada Ny. Reiko Setyanto, Rizal dan Harry.
”Rasanya kita pernah bertemu sebelumnya, betul tidak?” tanya Harry ketika Ade berpamitan padanya. Tangan Ade masih dalam genggaman Harry. Harry sangat berharap Ade menjawab harapannya.
”Iya.... dari tadi saya juga pikir begitu” kata Ade mengangguk, mengiyakan. Sedikit tak yakin.
”Pernah ikut acara kunjungan ke kampus ku di Semarang barangkali?” kata Harry, sangat berharap Ade mengiyakan. Wow.... Harry lega. Akhirnya!
”Ah... iya! Benar, benar! Mas panitia ya?” jawab Ade gembira mengguncang tangannya yang masih dipegang Harry. Senyum lebar Ade membuat Harry sangat gembira. Persis seperti dulu senyumnya.
”Aku ketua” kata Harry senang, rasanya dia mau berteriak saja karena begitu gembira. Tuhan mengabulkan permohonanku, kata Harry dalam hati.
”Ya.. pantes rasanya kok pernah lihat, tapi lupa bertemu di mana! Aku kan team advance , yang datang duluan!” kata Ade melonjak senang, kemudian menyadari tangan mereka masih bersalaman. Pelan Ade menarik tangannya.
”Oh, betul, kalian pakai mobil VW itu kan? Imam kan Ketua Senat waktu itu?” kata Harry senang.
”Ya ...ya...betul Mas! Ih… Mas masih ingat ya! Sudah lama sekali kan!” seru Ade bersemangat. Jadi akhirnya mereka ngobrol, seakan bertemu teman lama. Sementara itu Rizal telah berada di samping Ade, mendengarkan mereka bicara. Ade dan Harry bertukar kartu nama masing masing dan nomor telepon genggam. Ade sempat meminta maaf pada Harry karena harus menerima telpon dari Alan. Telah dua kali dia mengabaikan telpon dari Alan selama dia ngobrol dengan Harry dan Rizal. Merasa harus menghentikan gangguan telpon ini dengan menjawabnya.
Mereka berdua, Harry dan Rizal menunggu Ade bicara di telpon, berdiri tak jauh dari mereka. Suara Ade masih terdengar, matanya yang indah memandangi balon ulang tahun yang masih bergelantungan di plafond restoran, mendengarkan lawan bicaranya. Kemudian terdengar Ade berbicara dalam bahasa Inggeris.
”Alan, I told you a hundred times, do not call me anymore, okay! I mean it. Bye !” kata Ade, sangat lugas meminta Alan tidak menelpon lagi. Lalu memutuskan sambungan telponnya. Memasukkan telponnya ke dalam saku celana panjangnya.
Rizal dan Harry berpandangan, tak menyangka gadis yang begitu lembut dan cantik ini dapat bertindak sangat tegas. Mereka berdua besar di sebuah kota dengan budaya Jawa Tengah yang lembut, santun memang sedikit kaget. Mereka juga heran, Ade dengan mudah dan cepat kembali menjadi gadis cantik nan lembut ketika kembali memamerkan senyumnya setelah selesai menerima telpon dan ngobrol lagi dengan mereka.
Ade akhirnya benar-benar ingin pamit. Rizal mengundang Ade makan malam bersama di rumahnya. Dia bilang, ibunya menyiapkan makanan khusus di rumah untuk ulang tahun Sheila. Ade mengatakan, mungkin dia tak bisa datang. Selain ingin ke salon, dia juga agak capek menyetir malam ini. Ny.Reiko Setyanto juga mengundangnya, dan tentu saja Harry. Keluarga ini ramah sekali, pikir Ade.
Sepulang dari salon, Ade tiduran di kamar. Tidak ngantuk, hanya ingin bersantai. Rumahnya sepi sekali, pembantu rumah tangga, Mbok Piah minta izin pergi menginap di rumah keponakannya di Bekasi. Minggu sore dia baru pulang. Jadi malam ini dia akan sendirian di rumah. Tadi Ade menelpon kakaknya Lola, ternyata sedang di Bandung. Lalu telponnya berdering, di monitor terlihat nama Alan. Ade mendiamkannya hingga akhirnya deringnya berhenti.
”Alan, kau orang terakhir yang akan kuhubungi, biarpun aku sendirian di dunia ini!” umpat Ade. Terkenang saat Alan meninggalkannya. Berpaling pada Devy. Devy yang lincah bahkan genit. Berhari-hari Ade sedih dan menangis. Mengurung diri di kamarnya, tak nafsu makan, tidak tidur, bolos kerja dua hari. Padahal Alan dan Ade berpacaran hampir empat tahun. Ade terus melamun, mengutuki Alan. Masih merasakan kepedihan hatinya. Tak terasa sudah jam enam lebih lima belas menit. Senja yang begitu tenang.
Ade menyalakan lampu taman dan teras, bergegas mandi. Berniat makan malam dengan sebutir apel dan jeruk saja, lalu ingin tidur. Ade menonton siaran berita televisi di kamarnya ketika telponnya kembali berdering. Kali ini nomor yang tak dikenalnya. Ternyata dari Harry.
”Mbak Ade, sorry ini aku Harry, mengganggu nggak?” kata Harry.
”Tidak, aku lagi nonton TV, santai kok” kata Ade, gembira ada yang bisa diajak bicara.
”Nonton acara apa?” kata Harry.
”Oh....zapping nih! Nggak serius nonton sih!” jawab Ade.
”Zapping? Acara apa tuh? ”kata Harry, terdengar bingung.
”Oh... sorry itu istilah periklanan, maksudku, aku pindah-pindah saluran televisi aja” kata Ade menjelaskan.
”Kukira ada acara baru namanya zapping atau savings !” kata Harry tertawa.
”Mau kujemput nggak?” tanya Harry. Ade sebenarnya malas di rumah sendirian, tapi untuk pergi malas berdandan. Apalagi harus mencari pakaian yang pas untuk pesta.
”Mas Harry, sebenarnya aku mau aja, tapi lagi malas dandan untuk pesta nih!” katanya berterus terang.
”Ah... ini bukan pesta besar, nggak perlu dandan. Sudah cantik kok!” jawab Harry membujuk. Sangat berharap.
”Mau kan.. kujemput ya, biar ngobrol puas tentang masa lalu!” katanya melanjutkan. “Atau mau dijemput Mas Rizal aja?” kata Harry lagi.
“Hah… siapa aja yang jemput nggak masalah!” kata Ade, tak ingin terjadi salah faham lagi.
“Jadi alamatmu dimana, di kartu tadi kan nggak ada alamat rumah. Aku mau catat dulu” kata Harry.
Sekitar jam setengah delapan, bel rumah Ade berbunyi. Ade mengintip lewat gordijn. Sebuah sedan biru berhenti di depan pagar rumahnya. Harry berdiri di depan pintu pagar bersama Rizal. Ade membuka pintu, melambai dan menghampiri mereka. Mempersilahkan mereka masuk.
”Kok rumahmu sepi Mbak?” tanya Harry begitu mereka di dalam ruang tamu rumah Ade.
”Aku sendirian, Mama dan Papa lagi ke Belanda. Pembantu libur malam ini, sedang menginap ke tempat keluarganya” jawab Ade.
”Tunggu sebentar ya. Silahkan duduk!” kata Ade lagi, lalu masuk ke kamar berganti pakaian. Ade mengenakan jaket cardigannya dari bahan rajut berwarna coklat gading, di dalamnya blus putih katun. Ade mengenakan celana panjang dari bahan jeans berwarna biru. Mengenakan sepatu santainya yang berwarna gading. Mengikat rambutnya dengan jepitan rambut warna gading. Merias wajahnya tipis dengan bedak compact, serta seulas lipstick warna merah muda lembut.
”Okay, saya sudah siap” kata Ade begitu menemui Rizal dan Harry di ruang tamu.
”Hey, kok jadi kaya mahasiswa gitu sih! Tadi siang sangat professional!” kata Harry berkomentar.
”Oh iya, makan malamnya resmi ya, aku salah kostum nggak?” tanya Ade khawatir.
”Oh...jangan khawatir! Gitu okay kok! Santai saja, yang datang keluarga dekat, nggak sampai sepuluh orang! Kakak Mama dan sepupu-sepupuku” kata Rizal.
”Nggak ada orang luar?” tanya Ade heran. Keduanya mengangguk.
”Woow, aku alien ya!” kata Ade, sambil tertawa. Dia sebenarnya heran, mengapa dia begitu mudah akrab dengan dua bersaudara ini. Mereka baru dikenalnya. Apa karena mereka terlihat tulus. Ade bingung, mungkin karena aku butuh teman, pikirnya. Aku kesepian.

Rupanya, rumah Rizal berada di daerah selatan Jakarta, tak terlalu jauh dari rumah Ade. Rumah bertingkat, bercat putih itu tidak terlalu besar tapi terang. Disainnya modern dan minimalis. Dari luar sudah sangat menarik. Tampilannya sederhana, banyak bidang dengan bukaan kaca. Ade suka sekali melihatnya. Halamannya cukup luas dengan rumput terpotong rapi dan jalur untuk berjalan kaki dari hamparan batu alam. Tampak di rumah itu beberapa orang berkumpul.
Bersama Harry dan Rizal, Ade memasuki rumah itu. Rizal memperkenalkan Ade pada Om dan tantenya, Pak Suryo, kakak ibunya dan isterinya, Lien serta empat sepupunya, hampir sebaya dengannya dan Harry. Semuanya pria, Tommy, Rudy, Dino anak-anak Om Sanjoyo adik ayahnya dan Daniel anak tunggal Tante Fumiko, adik ibunya. Rizal juga memperkenalkannya pada isteri Tommy, Sinta dan pacar Rudy, Amelia. Rupanya keluarga Rizal ramah, mereka senang bercanda. Ade jadi cepat akrab.
”Sheila mana?” tanya Ade, karena tak melihat Sheila di antara mereka.
”Waduh, Jeng Ade, Sheila sudah tidur. Mungkin terlalu capek siang tadi” jawab Ny. Reiko Setyanto. Rizal menawari Ade untuk menjenguk Sheila di kamarnya.
”Kita lihat Sheila yuk!” ajaknya. Ade mengangguk kikuk, tapi tadi dia menanyakan Sheila, jadi ajakan itu rasanya tak pantas dia tolak. Salahku sendiri, pikir Ade merasa konyol. Tapi hanya pertanyaan itulah yang muncul di benaknya saat itu. Bukankah link dia ke rumah keluarga itu karena gadis kecil itu. Aku terjebak dalam etika, jadi harus begini, pikir Ade.
Ade bersama Rizal menaiki tangga kayu ke lantai atas rumah itu. Harry menatap Ade yang berjalan menaiki tangga ke lantai atas bersama kakaknya, mereka akrab, pikir Harry. Meski kakaknya mengakui dia baru mengenal Ade, Harry menangkap tanda-tanda Rizal menyukai gadis itu. Sikap perhatian seperti itu jarang muncul pada Rizal, terutama sejak isterinya meninggal. Harry gelisah, tentu saja tak bisa bergabung dengan kakaknya.
”Itu kamar Sheila” kata Rizal menunjuk sebuah pintu bercat putih. Di pintu bergantung sebuah wreath , rangkaian bunga berbentuk melingkar dari ranting kering imitasi dengan hiasan daun daun dari kain sutera, bunga2 berwarna kuning pucat, beberapa boneka kecil, burung biru dari bahan velt dan beruang dan pita berwarna merah muda sebagai penghias pintu. Rizal membukanya perlahan. Penerangan di dalam kamar temaram, berasal dari sebuah lampu meja ber kap putih disisi tempat tidur. Ade melihat Sheila tergolek di atas tempat tidurnya, mengenakan piyama berwarna terang. Sheila memeluk boneka beruang putih, hadiah yang diberikannya tadi siang. Sheila suka rupanya, pikir Ade.
”Mau masuk?” tanya Rizal berbisik menawari Ade. Ade menggeleng, hanya memandangi Sheila. Membayangkan jika tengah malam terbangun dia tidak menemukan siapapun di kamarnya.
”Aku tak pernah tidur sendirian seperti Sheila” pikir Ade. Rizal melihat Ade seperti melamun.
”Sheila berani ya tidur sendiri!” kata Ade tiba tiba, hampir pada dirinya sendiri. Rizal tersenyum mendengarnya.
”Ada pintu penghubung ke kamarku” kata Rizal menunjuk pintu penghubung yang berada di sudut kamar Sheila. Ucapan Rizal membuat wajah Ade terlihat lega.
”Kenapa?” tanya Rizal jadi ingin tahu.
”Nggak apa-apa” kata Ade merasa berlebihan.
Tak lama disana, mereka berdua turun, Rizal membimbing Ade menuruni tangga, untuk bergabung dengan keluarga Rizal lainnya yang sedang berkumpul di ruang duduk. Mereka menatap keduanya menuruni tangga dengan berbagai ekspresi.
Melihat Rizal dan Ade menuruni tangga, Ny. Suryo yang dipanggil Tante Lien berbisik pada Ny. Reiko Setyanto.
”Mbak Reiko, Jeng Ade itu pacar Mas Rizal? Cantik dan serasi banget kayanya!”
“Baru kenal kok Mbak Lien, itu lho minggu lalu dia nolong Sheila di toilet katanya” jawab Ny. Reiko Setyanto.
“Itu Rizal bawa Sheila ke mall, waktu Sheila mau pipis, Rizal tidak bisa masuk ke toilet menemani, jadi Jeng Ade yang tolong” jelasnya.
“O … begitu!” kata Tante Lien, lalu meneruskan ucapannya pelan “Moga-moga berjodoh, wong dia kok gayanya mirip Pris ya!” Mereka berdua tersenyum.

”Mari kita makan, ayo kumpul dulu, berdoa!” kata Ny.Reiko Setyanto. Mereka berkumpul dekat meja makan yang sudah penuh dengan makanan. ”Sayang ya, Sheila sudah tidur!” kata Ny. Reiko Setyanto. Setelah berdoa, mereka dipersilahkan makan. Makan malam bersama dilakukan secara prasmanan. Ny. Reiko Setyanto cerita, beberapa lauk dia bawa dari Semarang.
”Silahkan Jeng Ade dulu ambil makanan, kan tamu istimewa kami!”kata Ny. Reiko Setyanto ramah. Ade mengambil makanan kemudian bersama Harry, Rizal, Dino dan Daniel memilih duduk dan makan di halaman belakang yang luas. Kemudian Tommy dan isterinya bergabung. Rudy dan Amelia masih di dalam. Mereka makan sambil ngobrol, santai.
Sinta duduk dekat Ade, dan mengajaknya ngobrol sambil makan.
”Mbak Ade teman sekantornya Mas Harry?” tanya Sinta. Ade menggeleng.
”Oh.. teman Mas Rizal?” desak Sinta, rupanya dia penasaran ingin tahu. Ade sambil tersenyum juga menggeleng. Rizal menengahi pembicaraan Sinta dan Ade.
“Mbak Sinta, Mbak Ade itu sebenarnya teman Sheila!” kata Rizal tertawa. Mendengar ucapan Rizal, yang lain jadi tertarik.
”Mas Rizal, maksudmu apa sih? Bercanda ya, masa teman Sheila?” usik Dino ingin tahu. Rizal dan Ade jadi tertawa. Teringat kejadian unik yang membuat mereka berkenalan.
”Betul. Aku sama Sheila minggu lalu ke mall, mau booking tempat ulang tahun. Mbak Ade bantu Sheila ke toilet wanita. Sheila mau pipis, tapi nggak berani sendirian masuk toilet. Aku kan nggak boleh masuk, karena itu toilet khusus wanita. Jadi aku minta tolong dia!” kata Rizal menjelaskan.
”Agak maksa juga sih kenalannya!” kata Rizal geli. Ade hanya tersenyum, teringat kejadian itu. Yang mendengar jadi tersenyum.
Dino malah kasih komentar lucu.
”Wah... pinter juga ya Mas Rizal cari kenalan. Besok aku pinjam Sheila ya, mau cari kenalan juga ah!”
“Tapi hati-hati lho, nggak semua gadis mau seperti Mbak Ade!” kata Daniel menimpali, Tommy yang dari tadi hanya mendengarkan juga turut bicara
“Iya, benar! Bisa-bisa dianggap menghina cewek! Masa baru kenalan sudah nyuruh mengasuh anak!” kata Tommy tertawa terbahak. Yang lain juga ikut tertawa.
“Iya, kok mau sih Mbak, apa nggak kesal?” tanya Sinta.
”Waktu itu saya cuma lihat Sheila memang sudah meringis-ringis, jadi kasihan!” Ade menjawab. Semua tersenyum maklum. Harry menambahi.
”Tau nggak, Mbak Ade dan aku dulu juga pernah bertemu. Waktu mahasiswa, dia bersama teman-teman ke kampusku di Semarang. Aku yang dampingi mereka selama acara. Eh.....baru bertemu lagi hari ini” kata Harry.
”Wah! Pasti dulu matamu rabun ya Har ?” ejek Tommy tertawa.
”Kenapa?” tanya Harry bingung tak mengerti arah pembicaraan Tommy. Sinta, Daniel dan Dino langsung terbahak. Rizal hanya tersenyum, kini dia ingat sebuah foto kolase yang berada di kamar Harry di Semarang.
”Apakah dia?” pikir Rizal. Sementara Ade yang duduk di sampingnya berdiam diri di depannya. Akhirnya Harry faham canda saudara-saudaranya.
”Ngawur! Nggak, mataku melek ! Cuma bodyguard nya banyak!” jawab Harry, membuat para sepupunya makin tertawa ramai. Harry melihat Ade tersenyum, mengerti pembicaraan mereka. Senyum itu! kata Harry dalam hati, aku sudah menemukan orangnya.
”Payah, kenapa nggak minta bantuan kita?” Dino menimpali ucapan Harry.
”Aku tahu, maunya Mas Harry!” kata Daniel tertawa lepas. Mereka bercanda terus hingga Amelia dan Rudy muncul.
”Ini kue ulang tahunnya!” seru Amelia datang bergabung sambil meletakkan baki berisi kue tart di atas meja.
”Tante bilang, Sheila pulas banget tidurnya, nggak mungkin bangun lagi, jadi Mas Rizal aja yang suruh potong kue dan tiup lilin!”kata Amelia melanjutkan. Rizal berdiri, menyalakan lilin berbentuk angka empat berwarna merah tertancap diatas kue tart.
”Ayo semua, kita nyanyi deh” kata Rizal. Semua berdiri mengitari meja.
”Mas Rizal, pidato dong dikit!” ujar Daniel. Yang lain juga mendesak. Akhirnya Rizal pidato.
“Atas nama Sheila aku menghaturkan terima kasih pada kalian semua sudah bersedia datang, mendoakannya dan memberi hadiah di ulang tahun Sheila yang ke empat ini” Lalu melanjutkan “Hari ini Sheila senang sekali. Sejak bertemu Mbak Ade minggu lalu, dia sudah ingin Mbak Ade datang ke ulang tahunnya. Dia bilang Mbak Ade itu temannya, penolongnya. Semoga selalu menjadi teman Sheila dan jadi teman kita juga! Terima kasih” katanya mengakhiri pidato singkatnya. Semua bertepuk tangan, Ade merasa sungkan, karena jasa kecilnya di ungkit lagi.
Harry memulai menyanyi Selamat ulang tahun, diikuti yang lainnya. Rizal meniup lilin, sementara Daniel mengabadikan melalui camera videonya. Kemudian Rizal memotong kue, memberikan potongan pertama pada Ade yang berdiri dekat Harry dan Sinta. Ade tersipu, merasa makin sungkan.
”Mbak Ade, ini rasa terima kasih dan permohonan maaf kami telah merendahkan Anda waktu itu” kata Rizal resmi. Ade menerima piring kue yang diangsurkan Rizal, merasa makin risi.
”Aduh Mas Rizal, itu kan cuma hal kecil, orang lain juga mau melakukannya. Jadi jangan diungkit lagi, saya jadi nggak enak” jawab Ade.
Daniel yang sedang menyorotkan camera videonya ke arah Ade dan Rizal menyeletuk.
”Mas, nggak cium pipi ya?” katanya menggoda. Ade dan Rizal jadi bertatapan, mereka berdua terbahak mendengar lelucon Daniel.
”Mas Rizal, abis makan kue kita pergi nonton film yuk rame-rame!” usul Tommy.
”Eh.. midnite show di Plaza Indonesia aja” tambah Rudi. Yang lain juga setuju. Sebenarnya Ade tadinya berniat pulang selesai makan malam.
”Ayo, sudah lama kita nggak nonton sama-sama ya!” kata Harry.
”Kami semua bersepupu sebenarnya ada delapan. Tadi Anton sama Andre anak Om Suryo, nggak bisa datang. Semua lelaki, sangat kompak. Suka pergi bersama, camping , nonton, apa aja, terutama waktu kami masih di Semarang” kata Rizal menjelaskan pada Ade.
”Mereka menggoda cewek juga bareng!” kata Sinta menambahi, sambil tertawa.
”Wow... berhasil kan!” balas Tommy. Yang lain tertawa. Ade merasakan kekompakan mereka sekeluarga. Saling bercanda.
Ade teringat, keluarganya sendiri. Tak ada suasana seperti keluarga Rizal ini. Ibunya tak punya kakak atau adik, jadi dia tak punya sepupu. Ayahnya tiga bersaudara, adik perempuan ayahnya tak punya anak. Sedangkan adik lelaki ayahnya tinggal di Malang. Kedua orang anak pamannya, wanita semua dan sudah menikah. Mereka tidak pernah tinggal sekota. Dia hanya punya sepupu jauh, Richard, tetapi lebih sebagai pengawal daripada kakak. Dengan abangnya Lucky jarak usianya jauh. Dengan Lola saja Ade bisa dekat.
Mereka pamit pada Ny. Reiko Setyanto, Om Suryo dan Tante Lien yang sedang ngobrol di depan televisi. Ade bersalaman dengan mereka.
”Jeng Ade, sering main kesini ya!” kata Ny. Reiko Setyanto. Ade mengangguk.
”Kalau ke Semarang, mampir ya!” undangnya. Ade sekali lagi mengangguk.
”Silahkan orang-orang muda bersenang-senang” kata Om Suryo.
Berdelapan mereka berangkat dengan tiga mobil. Menonton film barat kemudian makan roti bakar sebelum pulang ke rumah. Ade merasa gembira malam ini, karena mereka ramai bercanda, seakan sudah kenal lama. Alan sudah hampir terlupakan, setidaknya untuk malam ini!pikirnya.
Sambil ngobrol makan roti bakar, Tommy mengundang Ade dan saudara-saudara sepupunya ke rumahnya.
”Malam Minggu depan kumpul di rumahku yuk!” katanya.
”Ya.. nanti kita bakar ikan” tambah Sinta bersemangat. Yang lain setuju, hanya Ade yang tidak bisa.
”Mbak Ade datang ya, nanti di jemput!” ajak Sinta.
”Maaf Mbak Sinta, Senin subuh saya ke Surabaya terus ke Ujung Pandang. Ada tugas kantor” kata Ade menjelaskan.
”Mbak Ade kapan pulang?” tanya Harry.
”Mungkin Minggu pagi, soalnya Rabu harus ke Medan sih” kata Ade menjawab. ”Wow....wow sibuk banget ya ibu kita ini!” kata Harry.
Mereka bubar, pulang ke rumah masing-masing. Hampir jam tiga subuh Ade baru tiba di rumah diantar Rizal dan Harry. Malam minggu ini dilalui Ade dengan gembira. Dia tak menyesal menghabiskan waktu bersama mereka dan lebih tak menyangka, tanpa Alan pun dia bisa tertawa ceria.


PERJALANAN


Sabtu malam ini Ade baru saja merebahkan diri di tempat tidurnya di kamar hotel tempatnya menginap, ketika bunyi tanda SMS masuk dari Rizal di telpon genggamnya. Isinya, ”Masih di Makassar atau sudah di Jakarta? Kalau di Jakarta, mau di jemput? Bakar ikan di Tommy” Ade tersenyum, teringat betapa menyenangkan berkumpul dengan keluarga Rizal malam Minggu lalu. Ade berniat membalas SMS Rizal setelah mandi saja.
Sekarang aku di hotel sendirian, pikir Ade. Merasa sebal tak berhasil menyelesaikan pekerjaannya sebelum hari Minggu. Ada penundaan pemasangan counter oleh kontraktor, jadi Ade terpaksa baru bisa pulang Senin siang.
Baru mau masuk ke kamar mandi, bunyi SMS masuk lagi, kali ini ada dua pesan. Ade membacanya. Satu dari Harry, isinya sama dengan SMS Rizal, menanyakan bisa tidak dia ikut acara mereka. Satu lagi dari Sinta, juga sama mengundangnya datang. Baru selesai membacanya, telponnya malah berdering.
”Mbak Ade, selamat sore, ini Rizal” terdengar suara Rizal, terdengar juga suara kendaraan , mungkin sedang di jalanan.
”Hey, aku baru baca SMS mu. Aku di Makassar nih, maaf nggak bisa ikut ke Mas Tommy!” jawab Ade.
”Wah sayang ya!” kata Rizal lalu meneruskan ”Sekarang sedang apa Mbak disana?” tanya Rizal lagi.
”Baru selesai rapat dengan kantor cabang. Lagi di hotel, mau mandi, terus tidur!” kata Ade tertawa, sambil berjalan mendekati jendela kamar tidurnya. Di bawah sana, lampu-lampu jalan sudah menyala menerangi kendaraan yang berlalu lalang. Terdengar Rizal juga tertawa mendengar rencana Ade tidur saja.
”Kasihan deh! Kau nggak punya teman disana?” tanya Rizal.
”Punya sih. Lupa bawa address book , lagian aku juga capek” jawab Ade.
”Okay, mandi deh. Selamat tidur!” kata Rizal.
”Salam buat semua ya, juga buat Sheila!” kata Ade berniat mengakhiri pembicaraan dengan Rizal.
”Oh...iya, Sheila lihat video kita malam itu, dia senang sekali lihat kau ada. Terus minta diputar tiap hari” kata Rizal.
”Oh... masa sih! Ya sudah, salam ya buat Sheila!” balas Ade.
”Daag ... hati-hati ya!” kata Rizal, menutup telpon.
Hati hati? pikir Ade, emang aku siapanya dia? Aaah.... sok perhatian segala! Gombal ! Sambil bersungut Ade menutup teleponnya, meletakkannya diatas meja samping tempat tidur. Lalu masuk ke kamar mandi.
Memang, sejak berpisah dengan Alan, Ade selalu melihat pria dari segi negatif. Tak percaya dan curiga pada setiap perhatian. Meski hanya seperti ucapan hati-hati ya itu! Sebenarnya hati Ade saat ini sangat terluka, tapi terlihat tegar. Tak banyak yang tahu bahwa Ade sebenarnya sedang patah hati. Dia mampu menutupi hatinya yang perih dengan tampilannya riang, bersemangat dan optimis. Apalagi jika di kantor, aktivitasnya sangat padat.
Sahabatnya Tania dan Yuriko yang tahu betapa Ade sangat kecewa, sedih dan marah ketika pacarnya Alan diam-diam mempunyai hubungan khusus dengan Devy. Malah Tania pernah bertengkar dengan Alan, demi membela Ade. Ade ingat cerita Tania tentang sumpah serapah Tania ketika mereka berdua bertemu Alan dan Devy. Waktu itu Ade dan Tania makan malam bersama sepulang kantor di sebuah restoran Itali di daerah Menteng. Restoran itu memang cocok untuk rendevouz , tempatnya indah, makanannya enak.
Ade tidak memperdulikan Alan lagi yang duduk di pojok ruang bersama Devy. Tania yang justru kesal sekali. Tania sengaja mendatangi Alan yang kebetulan kembali ke mobilnya, untuk mengambil rokoknya yang tertinggal. Di tempat parkir itulah Tania memaki Alan. Meski tak berteriak-teriak, tapi wajah Tania yang masih marah terlihat ketika dia kembali ke tempat Ade duduk menunggu. Dia menceritakannya dengan sangat emosi.
Tania menghampiri Alan yang sedang membuka mobilnya.
”Alan, ingat dan catet omongan gue ya! Elo bakal menyesal meninggalkan Ade! Elo juga bakal memohon-mohon balik ke dia! Tapi elo nggak akan dapat kesempatan lagi!” kata Tania. Waktu itu Alan masih tertawa tawa, malah menjawab seenaknya.
”Tan, jangan gitu dong! Masa elo sumpahin gue ! Boleh dong gue milih yang terbaik!” jawab Alan. Waktu itu Tania begitu marah.
”Apa kata lo?Yang terbaik? Enak aja elo pilih pilih! Elo kira cewek itu mangga! Nanti elo yang kami pilih pilih, tauk ! Paling elo dipilih Devy karena duit dan mobil!” umpat Tania.

Ade mematikan televisi, membuka tirai kamarnya. Terbentang pemandangan laut di waktu malam. ”Indah, tapi aku sendirian ” pikirnya. Di bawah sana, orang sedang ramai menikmati malam Minggu. Hilir mudik berjalan jalan dengan pasangan atau nongkrong, ngobrol sambil makan minum.
”Enaknya mereka!” pikir Ade menerawang. ”Huuh... aku terjebak oleh pekerjaan disini! Orang lain mengira perjalanan tugas keluar kota itu menyenangkan selalu, padahal begini!” keluhnya. Sendirian, sepi! Ade duduk di kursi, membalasi SMS Sinta dan Harry. Tak lama muncul balasan dari Harry.
”Jam begini jangan tidur, sayang lho, jalan-jalan aja! Mau dianterin jalan-jalan sama temanku nggak? Teman kuliah dulu, orangnya baik! Irwanto, mungkin kau juga pernah bertemu. Dia kerja di sana, isterinya Mbak Wati, asli Bugis”
Ade tersenyum membaca SMS Harry yang begitu panjang hingga jadi dua kali pengiriman. Sama saja kakak adik ini! Pikir Ade. Ade membalas SMS Harry
”Terimakasih. Mau tidur aja, capek sekali. Daag!” Ade baru bersiap menutup tirai ketika telponnya berdering. Ade heran, nomor yang memanggil adalah nomor lokal yang tak dikenalnya.
”Hallo, Selamat Malam!” jawab Ade. Dari ujung telpon terdengar sapaan ramah.
”Selamat malam Mbak Ade, saya Irwanto, temannya Harry Setyanto!” katanya.
”O... dasar si Harry!” Umpat Ade tak benar-benar kesal, tapi juga merasa tak ada salahnya berkenalan dengan Irwanto.
”Mbak, Harry pesan, kalau mau jalan-jalan harus aku yang anter! Nanti saya sama isteriku jemput Mbak Ade, mau kan?” kata Irwanto menawarkan diri untuk mengajak jalan-jalan bersama isterinya.
”Begini, saya sebenarnya capek, soalnya seharian kerja. Kalau Mas Irwan bersedia, kita ngobrol-ngobrol di sini gimana?” ucap Ade menolak karena memang merasa capek. Ade merasa sepantasnya dia menghargai usaha Harry untuk membuatnya tidak kesepian.
”Oh....begitu juga boleh, setengah jam lagi kami sampai. Terima kasih!” jawab Irwanto.
”Oke, saya tunggu di lobby. Saya pakai blus biru!” kata Ade.
Ade lalu bergegas mengenakan celana jeans berwarna off white dan blus sportif berwarna biru sesuai janjinya tadi pada Irwanto agar mudah di kenali. Ade mengenakan make-up tipis tipis kemudian mengikat rambutnya dengan jepitan. Dipakainya sepatu dengan tumit pendeknya yang berwarna putih, dimasukkannya dompet di saku celananya, juga telpon genggamnya. Dia sudah siap untuk bertemu teman Harry dan isterinya.
Belum setengahnya jam, telpon di kamarnya berdering. Ade mengangkatnya. ”Saya sudah di lobby! ” terdengar suara Irwanto.
”Okay, sebentar lagi saya turun!” jawab Ade.
”Hallo! Mbak Ade!” terdengar panggilan seorang pria ketika Ade baru saja keluar dari lift.
”Hallo! Saya Ade!” kata Ade segera bersalaman dengan suami isteri itu.
”Mbak Ade, meski nggak dikasih tahu cirinya pakai baju biru saya juga masih ingat!” kata Irwanto. Lalu dia bicara sama isterinya.
”Ma, ini Mbak Ade sama mahasiswa FISIP dulu ke datang kampusku. Wah... dia bikin heboh! Banyak yang kepincut! ” kata Irwanto sambil tertawa. Isterinya juga ikut tertawa.
”Nah, yang paling parah Harry, dia langsung kasmaran , ingin mendekati Mbak Ade, tapi dia nggak punya kesempatan. Dia ketua panitia, sibuk terus!” kata Irwanto menceritakan pada isterinya.
Ade mendengarkan cerita Irwanto diam-diam merasa kaget. Tidak menyangka kalau Harry menyukainya. Wati tertawa mendengarkan cerita suaminya, kemudian berkomentar.
”Ya pantes lah kalau bikin heboh! Mbak Ade cantik begini sih!” kata Wati, tersenyum pada Ade.
”Mbak Wati, sebenarnya saya nggak tahu masalah heboh itu. Rasanya waktu itu biasa aja. Mas Irwanto aja yang berlebihan!” kata Ade.
”Wah... ini memang Mbak Ade nggak tahu! Orang itu cuma kasak-kusuk diantara kami kok!” kata Irwanto tertawa.
”Tapi soal Harry betul lho Mbak! Aku kan sahabatnya!” lanjut Irwanto, serius.
”Ayo, kita ke restoran situ aja, ngobrol sambil minum!” ajak Ade, kemudian mereka bertiga duduk mengelilingi meja.
”Mbak, sekarang Harry lagi sibuk apa?” tanya Irwanto.
”Saya tidak tahu Mas dia punya kegiatan apa!” kata Ade menggeleng. Dia sungguh tak tahu apa kegiatan Harry. Rupanya Irwanto mengira dia sudah lama mengenal Harry.
Ternyata bertemu Irwanto dan Wati sangat menyenangkan. Keduanya, meski belum pernah bertemu dengannya, sangat ramah, seperti kawan lama saja. Mereka mengobrol sejam lebih. Irwanto sempat menelpon Harry.
”Harry, aku sekarang sama isteriku dan Mbak Ade lagi di Coffee shop. Gampang kok mencari dia, nggak terlalu berubah! Kita yang malah makin tua... ha..ha..ha!” suara Irwanto terdengar ketika Ade sedang ngobrol dengan Wati. Mereka keluarga yang ramah, jadi Ade senang untuk bertemu dengan mereka.
”Ma, sudah malam, yuk pulang, kasihan Mbak Ade, sudah capek!” ajak Irwanto ketika dia sudah selesai bicara dengan Harry.
”Ayo Mbak, kalau sempat mampir ke rumah. Telpon saja nanti saya jemput! Jangan sungkan, Harry itu sahabat saya kok!” kata Irwanto saat berpamitan dengan Ade.
Sebelum berpisah, Wati menyerahkan hadiah untuk Ade, selembar sarung sutra khas Bugis. Indah sekali, warnanya meriah, biru laut, merah muda serta sedikit warna kuning. Wati juga menitipkan juga sarung untuk Harry, sama indahnya.
”Aduh, terima kasih hadiah ini bagus sekali! Saya malah tidak kasih apa-apa!” kata Ade. Tadi dia sudah mencatat alamat rumah mereka. Ade berniat mengirimkan hadiah kecil untuk mereka nanti sesampainya di Jakarta. Dia merasa mereka begitu tulus menemaninya.
Ade mengantarkan mereka hingga di teras hotel, melambai pada mereka. Sahabat barunya, di kota yang asing baginya, jauh dari Jakarta tempat tinggalnya. Jauh dari tempat kawan-kawannya banyak tinggal.
Seandainya setiap tugas dinasku keluar kota begini nyaman! angan Ade. Ade teringat Harry, jadi segera mengirim pesan SMS ketika berada di dalam lift. ”Mas Harry, thanks! Temanmu baik banget! Daag!”
Ketika sudah di dalam kamarnya SMS dari Harry masuk di telponnya. Ade membacanya tertawa geli.
”Tentu aja dia baik, karena juga ngefans sama kamu! Hati-hati nanti di gigit Wati, dia suka cemburu. Sekarang kami lagi ngerjain Daniel! Dia tugas bakar ikan, tapi arangnya masih basah, jadi dia ngomel terus. Kita teriakin lapar-lapar!”
Membaca SMS Harry yang menggambarkan suasana acara makan malam di rumah Tommy dan Sinta membuat Ade jadi rindu pada mereka. Padahal aku baru mengenal keluarga itu, lamunnya. Mereka menyenangkan, pikir Ade.
Ade membalas SMS Harry ”Bilang Daniel, kabur aja ke restoran Padang! Beli ikan bakar! Selamat makan, hati-hati duri ikan!Daag, aku mau tidur ah!” kemudian mengirimkan pesannya.
Ade baru berbaring ketika telponnya berbunyi lagi, sebuah SMS masuk. Dibukanya pesan dari Harry, file audio , sebuah lagu anak-anak. Ade mendengarkan lagu anak-anak, Nina Bobo. Ade tertawa mendengarnya. Lucu sekali! Tapi Ade merasa senang menerimanya. Ade membalasnya dengan mengirimkan gambar sebuah kado dan tulisan ’Thank you!’ Ade juga merasa heran pada dirinya, aku kini semakin terbuka pada orang lain.
Ade merasa beruntung bertemu dengan orang-orang yang baik dan ramah padanya dua minggu ini. Mungkin karena aku menolong Sheila dengan ikhlas, pikir Ade. Bayangkan, Sabtu lalu, dapat sekaligus tujuh teman, Adik Rizal, Harry dan sepupu-sepupunya beserta isteri dan pacar. Sekarang tambah dua lagi! Jadi kehilangan Alan seorang tak seberapa! Jika ditambah dengan Ny.Setyanto, Om Suryo dan Tante Lien, sudah selusin temanku bertambah! Lalu teman kecilku Sheila, wah! Dengan pikiran gembira Ade berbaring. Tidur.



Pesta ulang tahun

Ade menulis di balik kartu namanya pesan untuk Harry.
”Mas Harry, ini titipan dari Irwanto. Terima kasih! Bye” memasukkan ke amplop kecil dan menempelkannya pada kertas pembungkus titipan dari Irwanto. Ade berniat harus mengantarkannya pagi ini sebelum ke kantor. Siang ini ia akan ke Medan. Mungkin Sabtu baru pulang.
Jam setengah tujuh mobil Ade sudah berada di depan rumah Rizal. Ade meminta Pak Yono mengantarkannya, Ade malas keluar dari mobil, terlalu pagi buat ngobrol, pikirnya. Dari jendela mobil, Ade melihat pintu dibukakan oleh Mbak Pur, lalu muncul Sheila dengan seragam sekolah. Kemudian terlihat Harry keluar berbicara dengan Pak Yono.
Dia melihat Harry sudah berpakaian rapi, tapi dasinya belum terpasang sempurna. Pak Yono menunjuk ke arah mobil Ade, lalu terlihat Harry berjalan ke arah mobilnya bersama Pak Yono. Sheila berlari menyusul Omnya. Tak enak hati, Ade terpaksa keluar dari mobil.
”Hey, Selamat Pagi!” seru Harry ”Kok nggak mampir?” tanyanya.
Sheila melonjak senang ”Tante Ade, Tante Ade!” serunya ribut. Ade menyalami Harry dan mencium pipi Sheila.
”Hm... Sheila wangi! Mau sekolah ya?” tanyanya pada gadis kecil itu. Sheila mengangguk.
”Bawa bekal apa ke sekolah?” tanya Ade lagi. Sheila terlihat bingung, lalu bertanya pada Mbak Pur.
”Bawa apa Mbak?” tanya Sheila, Ade tersenyum senyum melihat Sheila.
”Roti dengan sosis goreng” Mbak Pur menjawab.
”Tante, kata Mbak roti sosis” kata Sheila.
”Okay, sekarang Tante pamit ya, mau ke kantor! Sheila, daag!” kata Ade pada Sheila.
”Mas Harry, aku pamit dulu ya, buru-buru nih. Ada rapat di kantor. Nanti jam sebelas mau ke Medan” Harry mengangguk.
”Okay, thanks ya! Have a nice trip!” Kata Harry, mengucapkan terima kasih.
Baru Ade mau masuk mobil kembali, ketika terdengar suara Rizal memanggilnya. Rizal berjalan mendekat, juga sudah berpakaian rapi, siap ke kantor. Ade membatalkan masuk mobil. Menyalami Rizal yang menyambutnya dengan hangat.
”Katanya mau ke Medan ya? Kapan pulang ke Jakarta?” tanya Rizal.
”Oh... itu, mungkin Sabtu sore” jawab Ade jujur.
”Nanti aku telpon ya, malam Minggu ini Om Suryo ulang tahun yang ke enam puluh satu. Dia mengundangmu datang ke rumahnya” kata Rizal. Harry berdiam diri, memandangi kakaknya yang sedang bicara dengan Ade dengan pikiran bimbang.
”Okay, mudah-mudahan aku bisa pulang tepat waktu ya Mas, dan nggak capek!” kata Ade.
”Bagus deh! Nanti sepupuku Anton dan Andre juga mau datang, pengen kenalan sama Mbak Ade!” kata Harry akhirnya menambahkan.
”Hey..... kalian cerita apa tentang aku?” tanya Ade. Rizal dan Harry hanya tertawa saja.
”Selamat kerja. Sampai ketemu ya!” seru Rizal.
Ade masuk dan menutup pintu mobil. Sheila bersemangat sekali melambaikan tangannya berdiri diantara Rizal dan Harry.

Jum’at sore Ade sudah kembali ke Jakarta. Urusan di Medan lebih cepat selesai dari rencana semula. Tapi dia akan ke Menado hari Rabu yang akan datang. Benar-benar sibuk, keluh Ade. Padahal aku kangen sama Ima. Ima yang lucu, cantik, menggemaskan! Kata Mama, Ima seperti Lola masih kecil. Ima seperti Sheila, lucu, kenang Ade. Ade meminta Pak Yono yang menjemputnya di bandara untuk mengantarnya mampir ke rumah Lola dulu. Ternyata Lola dan Ima tak di rumah, jadi Ade menitipkan pada pembantu Lola, oleh-olehnya dua kotak kue khas Medan, bika Ambon dan empat botol syrop markisa. Kemudian pulang ke rumahnya.
Sabtu sore ini hujan gerimis. Ade terbangun dari tidurnya. Bangkit dari ranjangnya, berdiri dekat jendela. Memperhatikan tetesan air hujan, Halaman rumput yang cukup luas itu basah. Rupanya rumput kemarin baru dipotong oleh Pak Jan, tukang kebun langganan, jadi masih pendek dan rapi. Rumahnya sepi, Ade seharian di rumah saja. Pagi tadi dia minta Mbok Piah memanggil Yu Sun langganannya untuk memijatnya dan melulur tubuhnya. Lalu mandi, makan siang dan tidur hingga sore ini. Dia teringat Ima, lagi apa ya dia? pikirnya. Ade mengambil telpon genggamnya, menghubungi Lola.
”Halo Kak Lola, lagi dimana nih?” tanyanya begitu tersambung dengan Lola. ”Apa? Lagi di Bandung? Tadi malam berangkat? Sekarang lagi belanja? Padahal aku mau ke rumahmu lho! Kangen banget sama Ima” katanya pada Lola.
”O..ulang tahun mertuamu! Ya sudah, ada Ima disitu nggak, mau ngomong dong!” Pinta Ade pada kakaknya. Lalu bicara dengan Ima.
”Hallo Ima sayang! Lagi di Bandung ya? Kok Tante Ade nggak diajak? Iya... Tante kan kerja, jadi sibuk! Oke, nanti Tante ke rumah Ima deh, kita jalan jalan ke mall ya! Sudah dulu ya! Daag!” Lalu memutuskan sambungan telepon. Huuh... ngapain ya malam Minggu ini, keluh Ade.
Ade mengirim SMS untuk Tania, sahabatnya. Report pesannya untuk Tania di pending . Ade menghubungi rumah Tania, ternyata juga tak berada di rumahnya.
”Kemana tuh orang?” keluh Ade. Pagi tadi masih ngobrol dengannya. Ade menghubungi Yuriko di Denpasar.
”Yuri, lagi apa? Sibuk ya? On duty ! Libur dong neng!” kata Ade. ”Aku telpon kamu tadi malam, kok nggak bisa tersambung?” kata Ade. ”Hah...apa? HP kalo malam dimatikan? Sejak kapan Yur? Emangnya jendela, kalau malam harus ditutup!” ejek Ade, sambil tertawa. Ade mendengarkan jawaban Yuri. Mereka masih ngobrol beberapa menit lagi sebelum mereka memutuskan pembicaraan.
Lalu Ade mendengar ketukan di pintu kamarnya. Suara Mbok Piah.
”Non Ade, ada telpon!” Ade bergegas membuka pintu.
”Dari siapa Mbok?” tanya Ade.
”Mas Alan, Non!” kata Mbok Piah. Ade terpaksa menerima telpon dari Alan, karena Mbok Piah terlanjur bilang Ade ada dirumah.
”Harus atur strategi menghindar lagi” pikir Ade.
”Halo Alan, apa kabar?” katanya ramah. Alan menyahut gembira
”Baik De, aku mau ke rumahmu boleh nggak De?” tanya Alan langsung. Wow.... Ade gelagapan juga.
”Boleh aja, tapi aku sekarang sedang siap-siap mau pergi, ada acara!” jawab Ade berbohong.
”Mau kemana De, aku antar ya?” tanya Alan. Waduuh... harus bohong lagi nih, pikir Ade.
”Oh...nggak usah Al! Aku sudah janjian sama teman. Nanti di jemput kok!” jawab Ade, sekarang lebih kreatif mengarang dustanya untuk menghindari Alan.
Alan masih berusaha mengorek informasi dengan siapa Ade akan pergi dan kemana, tapi Ade sambil bercanda menjawabnya.
”Al, kamu sekarang kaya orang bagian personalia, nanya teruuus! Kapan kapan deh main ke rumahku, nanti aku kenalkan sama temanku itu. Oh iya, terima kasih kiriman bunganya! Sekarang sudah dulu ya, aku mau dandan nih! Daag!” katanya lalu memutuskan sambungan telepon.
Ade duduk termangu dekat meja telepon. Huuh..... Alan, kapan kamu berhenti mengganggu aku! keluh Ade dalam hati. Setiap hari menelpon aku, apa nggak bosan dan buang pulsa! Apa ingin menebus dosamu! sungut Ade. Memang tiap hari hampir sebulan ini Alan selalu menelponnya. Dua hingga tiga kali sehari. Sambutan dingin Ade tak menyurutkan Alan untuk menelpon Ade tiap hari. Setiap Sabtu Alan mengirimkan bunga untuk Ade. Membawakan oleh-oleh ketika dia tugas ke Hongkong dan Jepang. Ade tahu dari Tania, Alan sangat menyesal telah menghianatinya, dan berpaling pada Devy. Rupanya dia pacaran dengan Devy tak bertahan lama. Lalu ingin kembali ke sisi Ade.
”Apa aku ini seperti terminal? Sungut Ade ”Seenaknya, mau datang dan pergi!”
Mbok Piah menyuguhkan teh hangat dan toples kecil berisi kue nastar kiriman Lola. Ade berdiri, membawanya ke teras samping rumah. Hujan sudah reda. Ade duduk di sofa besar dari rotan dengan beberapa bantal empuk, lalu menjulurkan kakinya. Di depan teras ada kolam ikan koi milik Papanya, sejenis ikan mas berwarna merah dan putih, asal Jepang, Kohaku. Ade paling menyukai tempat ini, suara gemericik air membuat tenang. Teras ini juga tidak terlihat dari jalan, terhalang rumpun bunga alamanda kuning. Di sini juga bergantungan koleksi anggrek milik Mamanya, sedang ramai berbunga. Pada kelopak bunga-bunga anggrek masih tersisa air hujan. Di tempat ini Ade meneruskan lamunannya dan mengingat kepedihan hati akibat ulah Alan.
Mbok Piah mendatanginya, mengangsurkan telpon genggamnya yang masih berdering. Ade melihat nama Rizal berkedip di monitornya.
”Halo Mas Rizal!” jawab Ade.
“Hey, Mbak Ade, sudah di Jakarta?” tanya Rizal.
”Ya, sudah di rumah” jawab Ade, mengiyakan.
”Kapan datang? Masih capek nggak?” tanya Rizal.
”Pulang kemarin! Sudah istirahat. Tadi seharian tidur” jawab Ade riang.
”Mau kujemput nggak, kita ke Om Suryo” ajak Rizal. Teringat Alan, dan kemungkinan dia akan datang juga ke rumahnya, Ade menerima ajakan Rizal. Lagipula di rumah mau apa, pikirnya.
”Mas, ajak Sheila nggak?” tanya Ade.
“Sheila nanti datang sama Mama. Tadi sore mereka ke mall sama Harry” Rizal menjawab
”Okay, jemput aku jam setengah delapan aja, sekarang belum mandi!” jawab Ade.
”Okay sampai nanti, dandan yang cantik ya!” kata Rizal sambil tertawa lalu menutup telpon. Ade melongo mendengar ucapan Rizal.
”Kalau aku nggak cantik kamu mau apa?” sungut Ade dalam hati, tapi tak benar-benar kesal.
Ade mengenakan rok midi coklat tua dengan motif paisley, motif relung pucuk daun pakis yang masih muda, berwarna cream dengan blus polos warna cream lengan panjang. Dikenakannya kalung gaya etnik dari bahan kulit kerang mutiara yang dibentuk seperti daun dan dikombinasi dengan kayu berwarna coklat dan beberapa butir kristal Swarovsky berwarna coklat dan orange. Dulu, ketika dia memakai kalung ini, Tania sahabatnya sangat tertarik. Jadi dia membeli juga sebuah, hanya kristal pada kalung milik Tania bukan warna coklat, tetapi ungu. Serta sepasang anting yang serasi. Tasnya juga coklat bergaya etnik dari bahan kain sutra dengan ditempeli beberapa batu-batuan, beads dan payet . Ade mengenakan sepatu tertutup warna coklat berhak tinggi.
”Kali ini aku harus agak rapi, soalnya yang ulang tahun sudah berumur. Takut salah kostum, siapa tahu tamunya banyak, apalagi dia mungkin mantan pejabat” pikir Ade. Tapi Ade merias wajahnya tipis saja, merapikan alis dan memoleskan lipstick warna peach . Kali ini rambutnya yang sebatas bahu dibiarkannya tergerai. Cukup ah... aku kan tak perlu tampil special dihadapan Rizal, pikirnya.
Tepat setengah delapan, Rizal sudah muncul di rumah Ade. Mbok Piah membukakan pintu. Ade mengintip, kali ini dia rapi sekali, pikirnya. ”Dia kaya aktor film Jepang, keren” pikir Ade. Baju Rizal warna coklat muda lengan panjang dengan pantalon coklat tua, tanpa dasi dengan sepatu warna coklat tua. Melihat penampilan Rizal, Ade bersyukur, dia tidak salah kostum lagi. Pasti pesta ulang tahun Om Suryo dihadiri banyak orang, pikir Ade.
”Halo Mbak Ade, sudah siap ya?” tanya Rizal begitu masuk ruang tamu, memandang Ade yang berdiri menyambutnya. Sebenarnya Rizal ingin sekali memuji penampilan Ade yang sangat cantik malam ini. Rizal khawatir Ade menjadi sungkan atau salah faham, jadi menyimpannya dalam hati. Kenapa dia makin mirip Pris, bukan wajah yang mirip, tapi gayanya, keluh Rizal lagi.
”Aku sudah siap, kita berangkat sekarang?” ajak Ade. Rizal mengangguk, kemudian mereka berdua keluar rumah.

”Mas Rizal, aku nggak bawa kado, bisa mampir ke toko dulu nggak?” tanya Ade begitu dia berada di dalam mobil Rizal, siap berangkat.
”Nggak usah bawa kado, kata Om Suryo yang penting Mbak Ade mau datang aja sudah senang!” sahut Rizal.
”Ah... yang bener nih! Malu kan aku” jawab Ade.
”Tenang saja, aku bawa kado, kita kan datang bersama!” jawab Rizal sambil menyalakan mesin mobilnya.
Pada saat yang sama dari arah berlawanan sebuah mobil sedan warna putih justru berhenti di samping mobil Rizal. Ade melihat pengemudinya Alan, tapi pura-pura tidak mengenalnya. Justru Alan melambaikan tangannya, sehingga menarik perhatian Rizal.
”Ada tamu yang datang!” kata Rizal pada Ade. Ade mengangguk, Rizal segera menunda menjalankan kendaraannya. Rizal heran melihat Ade langsung berwajah muram. Alan mendekati mobil mereka,
”Sebentar ya Mas!” kata Ade sambil membuka pintu mobil, lalu keluar menemui Alan.
”Halo Selamat malam, mau pergi ya? Barusan tadi aku mau mampir ke rumahmu” kata Alan pura-pura tak tahu.
“Iya, nih ada pesta ulang tahun” jawab Ade. Melihat Rizal keluar dari mobil, Ade lalu memperkenalkannya pada Alan.
”Mas Rizal, kenalkan ini teman kuliahku, Alan” katanya pada Rizal. Alan menyambut jabat tangan Rizal. Rizal kini mengerti mengapa wajah Ade tadi muram. Dia ingat sewaktu Ade menerima telpon di cafe pada pertemuan pertama mereka dan di ulang tahun Sheila. Pria ini... ganteng sekali, pikir Rizal.
Sambil bersalaman dengan Alan, Rizal sudah dapat menebak pasti Alan seorang yang dekat atau pernah dekat dengan Ade. Pria ini gagah, ganteng dan terlihat berpendidikan baik. Sangat percaya diri.
”Hallo! Kalian mau pergi rupanya!” kata Alan. Oh.... ternyata Ade bukan sekedar menghindariku, dia benar-benar mau pergi dengan temannya, pria ini, keluh Alan. ”Wah dia keren banget! Kalem dan berwibawa” kata Alan memuji Rizal dalam hati. Malam Minggu pergi bersama, tentu orang yang spesial bagi Ade!
”Kami mau ke ulang tahun Om saya” kata Rizal menjelaskan.
”Al, sorry kami sudah terlambat. Lain kali main deh, tapi telpon dulu ya!” kata Ade.
”Okay De, Mas Rizal, Selamat berpesta ya!” kata Alan mempersilahkan. Alan teringat ucapan Tania,benar ucapan Tania dulu.tak mudah meraih Ade kembali. Alan murung, ketika Ade masuk ke mobil Rizal dan pergi meninggalkannya berdiri di samping mobilnya. Alan beberapa saat duduk di mobilnya, tak tahu harus berbuat apa. Kenyataan Ade telah memiliki lelaki lain sungguh sulit diterimanya. Dia tahu karakter Ade, keras dan teguh.
Sambil menyetir mobil, Rizal bercerita bahwa Om Suryo itu orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, sejak ayahnya meninggal saat dia masih kelas tiga SMP.
“Ibu Anton dan Andre juga meninggal setahun setelah Papaku meninggal” kata Rizal.
“Tante Lien itu....?” tanya Ade, menggantung tak meneruskan ucapannya.
”Oh... Tante Lien, dia menikah dengan Om Suryo setahun setelah Tante Vera meninggal. Dia sayang sekali sama Anton dan Andre” kata Rizal menjelaskan. ”Dia sendiri tak punya anak” lanjutnya. Ade mendengarkan cerita Rizal, hingga mereka tiba di depan rumah Om Suryo. Oh... dia baik sekali, tak sepatah katapun menanyakan soal Alan tadi, pikir Ade memuji Rizal dalam hati. Dia suka pria yang tak usil, turut campur urusan orang lain.
Di pinggir jalan depan rumah gedung bertingkat dua dengan halaman luas, telah berderet beberapa mobil parkir. Rizal dan Ade, berjalan memasuki gerbang rumah Om Suryo. Di halaman sudah ada beberapa tamu, Rizal membawa kadonya dengan tangan kirinya, menggandeng Ade dengan tangan kanannya. Rizal menganggukkan kepalanya dan menyalami beberapa orang berada di halaman sambil memperkenalkan Ade. Halaman rumah terang karena ditambahi dengan beberapa lampu obor. Dari dalam rumah terdengar suara piano dan suara orang ngobrol, meriah. Beberapa anak kecil berlarian.
Rizal dan Ade memasuki ruang tamu, persis saat itu Tante Lien melihat mereka berdua.
“Hallo, Mas Rizal, Jeng Ade, Selamat datang!” seru Tante Lien riang, menyalami Ade. ”Jeng Ade makin cantik saja! Betul kan Zal” puji Tante Lien sambil membimbing tangan Ade. Rizal mengangguk, bagaimanapun dia senang berhasil datang bersama Ade ke ulang tahun Om nya. Gadis secantik dan ramah seperti Ade. Ade tersipu malu. Tante Lien lalu berteriak memanggil suaminya, Om Suryo.
”Pa, Papa! Ini lho Jeng Ade datang!” suaranya yang meriah sekali memanggil suaminya, menarik perhatian tamu lainnya. Mereka memandangi Rizal dan Ade, berbisik-bisik satu sama lain. ”Tak satupun yang kukenal” keluh Ade sambil menebar pandangannya.
”Terima kasih mau datang kesini, padahal Om dengar baru pulang dari Medan ya!” kata Om Suryo langsung menyambut Ade, malah menepuk nepuk bahunya.
”Kok dia tahu ya?” pikir Ade heran.
”Zal, kenalin Jeng Ade ya sama keluarga kita dan teman-teman Om” katanya menyuruh Rizal.
Rizal membimbing Ade berkenalan dengan tamu yang hadir di ruangan itu. Belum begitu banyak, sekitar tiga puluh orang. Para sepupu Rizal justru belum terlihat. Rizal mengajak Ade mengambil minuman dan duduk di teras.
”Kita tunggu geng kita di teras aja!” kata Rizal.
”Geng kita?” kata Ade heran.
Rizal tertawa... ”Iya, kau sudah jadi anggotanya!” jawab Rizal sekenanya.
”Hey sejak kapan? Aku kan nggak pernah mendaftar!” sanggah Ade, tertawa menyadari Rizal sedang bercanda.
Sambil menyeruput minumannya Rizal tersenyum.
”Tak perlu daftar. Kan sudah di plonco! ” katanya lucu.
”Plonco apa sih? Kapan?” desak Ade.
Tepat saat itu dua pria dengan tubuh dan wajah mirip dengan Rizal muncul mendadak di dekat mereka berdua. Hanya seorang diantaranya mengenakan kacamata minus. Rizal mengembangkan senyumnya kepada mereka.
”Zal, kok malah duduk disini!” kata salah seorang yang berkacamata menyapa Rizal. Rizal segera berdiri, kemudian menatap Ade.
”Mbak Ade, ini kenalkan sepupuku, Andre dan Anton. Ade segera berdiri menyalami Andre yang berkacamata, dan Anton.
”Pantes, kalian semua jadi rajin ngumpul lagi. Ada yang cantik sih! Awas ya, nggak boleh curi start lho Zal!” kata Andre bicara pada Rizal. Rizal malah ketawa terbahak.
”Mbak Ade, jangan dengar omongan mereka, orang gendheng! ” kata Anton menimpali. Lalu meneruskan ”Ayo sama saya saja, ambil snacks!” katanya mengajak Ade. Melihat itu Rizal langsung tertawa.
”Hey Ton, yang curi start itu kamu kan!” kata Rizal, lalu meraih tangan Ade.
Melihat canda mereka, Ade jadi ikut tertawa. Dia tak merasa direndahkan karena Rizal sudah menceritakan bahwa para sepupunya suka bercanda. Mereka pindah ngobrol di taman, di udara terbuka.
Tak lama Tommy, Sinta, Rudy, Amelia datang. Kemudian Dino datang dengan pacarnya, Anita yang ternyata sudah kenal dengan Ade. Mereka pernah bertemu pada suatu seminar. Lalu Daniel datang dengan Intan, pacarnya mahasiswi kedokteran. Sementara Andre memanggil Triana, isterinya yang sedang berada di dalam rumah membantu Tante Lien menemani tamu-tamu. Mereka ramai ngobrol.
Harry bersama Mamanya dan Sheila datang. Rizal segera menghampiri mereka. Mengantar Mamanya menemui Om Suryo. Lalu kembali bergabung dengan mengajak Sheila. Melihat Ade, Sheila berteriak senang.
”Tante Ade!” kata Sheila berlari menyerbu Ade. Ade memeluk Sheila dan mencium pipinya.
”Habis jalan-jalan ya sama Oma?” tanya Ade, masih memeluk Sheila.
”Iya, beli es cream coklat!” jawab Sheila.
”Sheila nggak takut batuk?” tanya Ade.
”Nggak, kan Sheila minum vitamin tiap hari! Kata Papa biar Sheila nggak sakit” kata Sheila memberi alasan.
”Oh gitu! Lalu beli apa lagi?” usik Ade, merabai jemari Sheila, seperti kebiasaannya jika bersama Ima.
”Beli jepit rambut, beli boneka terus makan pizza. Om Harry kan beli dasi” ujar Sheila, bercerita sambil menunjukkan jari mungilnya.
”Oma belikan sepatu, ini bagus kan Tante?” lanjut Sheila, mengangkat rok yang berwarna hijau muda yang sedikit menutupi sepatunya, memamerkan sepatu barunya pada Ade. Ade mengamati sepatu Sheila. Sepatu berwarna putih gading, half boot dengan hiasan boneka beruang kecil berwarna coklat muda, si teddy bear.
”Bagus, ada boneka beruangnya, Tante boleh pinjam nggak?” kata Ade menggoda. Sheila menggeleng.
”Tante kan udah gede, jadi nggak muat” kata Sheila sambil memegangi tangan Ade. Sheila merosot turun berjongkok dekat kaki Ade, mengangkat sedikit rok yang menutupi sepatu Ade.
”Sepatu Tante Ade bagus!” kata Sheila. Ade tersenyum, menarik Sheila bangkit dan kembali duduk di pangkuannya.
Rizal sambil ngobrol dengan Rudi, dengan sudut matanya memperhatikan ulah Sheila dengan Ade. ”Ada apa Sheila kok jongkok?” pikir Rizal, penasaran ingin tahu. Sheila malah sudah duduk di pangkuan Ade, pikirnya. Sheila sedang berbisik di telinga Ade, entah apa yang dibisikkannya. Rizal melihat Ade tersenyum-senyum. Lalu Rizal melihat Sheila memegang kalung Ade, mengelusnya. Mereka berdua tertawa-tawa, Sheila malah terlihat sangat manja pada Ade. Sekarang bersandar di dada Ade. Ade memeluk Sheila sambil bergoyang goyang, membuat Sheila tertawa-tawa.
Harry juga, sambil ngobrol dengan Anton memperhatikan ulah Ade dan Sheila itu. ”Tak menyangka Ade rupanya suka anak kecil”pikir Harry. Harry melihat tangan kecil Sheila meraba pipi Ade. Melihat sinar riang dan tulus dari mata Ade menatap Sheila. Lalu senyumnya yang tak pernah dilupakannya itu! Uh...
Mereka mengobrol hingga tiba saat acara di mulai. Rupanya yang hadir hanya keluarga dekat Om Suryo dan Tante Lien serta beberapa teman dekatnya. Setelah makan malam, mereka masih meneruskan ngobrol, kecuali Harry yang harus pulang lebih cepat mengantar Mamanya. Mamanya sudah capek, lagipula akan kembali ke Semarang pagi-pagi. Sheila juga sudah mengantuk.
Sebelum pergi, Ade sempat bersalaman dengan Ny. Reiko Setyanto, yang mengundangnya berkunjung ke Semarang karena mengetahui Ade sering bepergian untuk tugas kantor. Ade juga bersalaman dengan Harry. Beberapa kali Ade menemukan pria ini memandanginya. Ade juga sering menemukan Harry melamun.

”Harry, balik lagi ah. Kaya anak Mama aja, pulang cepat! Kita mau nonton lagi lho!” kata Tommy.
”Har, jangan kabur dari gelanggang ya!” Anton turut menimpali, Harry cuma nyengir.
”Tunggu aja, anter Mama, nanti SMS deh kalian nonton dimana!” kata Harry, meraih tangan Sheila yang masih dipegangi Ade.
”Ayo Sheila, gendong nggak?” tanya Harry menawari Sheila. Sheila menggeleng.
”Tante Ade nggak pulang ya?” tanya Sheila, menatap Ade.
”Tante Ade nanti, Papa yang anter!” kata Rizal mendekati Sheila. ”Sekarang Sheila pulang sama Om Harry ya!” lanjutnya sambil mencium Sheila.
”Pa, kan mobil Om Harry masih muat! Tante Ade ikut mobil Om aja, nanti duduknya sama Sheila!” kata Sheila polos.
”Nah...lo! Papa sama anak rebutan!” kata Daniel usil, membuat yang mendengar tertawa.
”Ini anak nggak loyal ama bapaknya, malah Harry yang untung!” kata Rudy ikut-ikutan menimpali canda Daniel. Rizal dan Harry tertawa-tawa saja mendengar olok-olok mereka.
Ade cuma diam saja, dia membiarkan saja Rizal membujuk Sheila. Sheila memang tidak ngotot. Langsung naik ke punggung Harry. Bergelayut di pundak Harry.
”Gue heran sama Harry” kata Dino menyela. ”Nggak punya pacar, tugas momong Sheila! Mas Rizal malah anteng nonton midnite sama cewek” lanjutnya terbahak.
”Dia adik teladan!” kata Tommy, ”Emang kaya kamu! Kalau bisa, menyerobot punya abang!” lanjut Tommy, semua tertawa termasuk Ade.
”Eh.... Har, The Mission Impossible masih terus nggak?” Anton bertanya sambil tertawa. Yang lain juga turut tertawa. Ade tak faham canda mereka. Dia mengira Harry punya proyek tertentu.
”Udah ah! Pulang dulu!” kata Harry, tak menanggapi pertanyaan Anton.

Malam itu sekali lagi Ade bersama dengan Rizal dan para sepupunya menonton film midnite. Kali ini peserta makin banyak, karena Andre dan Triana, isterinya yang sedang hamil juga ikut, Anita serta Intan.
Harry juga menyusul ke bioskop. Kali ini Harry duduk disamping Rizal. Di sebelah kanan Rizal duduk Ade. Dalam gelap Harry sering melirik Ade. Dia sering melihat kakaknya bicara dengan Ade, berbisik-bisik. Ade sering tersenyum, juga Rizal yang terlihat ceria sekali. Harry benar-benar ingin kabur saja dari dekat mereka. Tapi juga ingin tetap tinggal disana, berada dekat Ade. Sayang kakaknya lebih akrab dengan Ade. Hingga film berakhir, Harry sebenarnya tak faham apa isi cerita film itu.

Seperti sebelumnya, mereka juga makan roti bakar sebelum pulang ke rumah. Mereka sangat ramai bercanda, seakan telah lama berkenalan. Ade senang sekali mendapat teman lagi. Rupanya diantara mereka, Anton dan Harry serta Rizal yang belum memiliki pasangan. Jadi mereka jadi bahan dan sasaran olok-olok para sepupu mereka.
Ade sempat menerima telpon Alan, membuat keriuhan sedikit mereda. “Hallo Al, ada apa telpon lagi? Aku sedang nongkrong sama teman-teman” jawab Ade ketika terdengar suara Alan menanyakan Ade sedang berada dimana. Alan memang mendengar suara-suara tertawa dan orang berbicara di sekitar Ade.
“Al, aku sudah dewasa, mau keluar malam sampai pagi itu urusanku. Lagipula nggak ada urusan sama etika kebablasan kamu. Nggak melanggar hukum kamu. Memangnya juga etis kamu telpon aku subuh begini?” ejek Ade tertawa-tawa, ketika Alan mengingatkan waktu yang sudah larut malam. Ade puas mengejek Alan, yang kehabisan kata-kata.
“Al, maaf suaramu nggak jelas, berisik disini nih. Jangan telpon lagi ya. Daag” kata Ade mengakhiri pembicaraannya dengan Alan. Cepat mematikan telponnya. Saat itu Ade baru menyadari, sama sekali tak berisik. Rizal dan para sepupunya tidak ada yang ngobrol, memperhatikan Ade. Ade jadi kikuk, kemudian mengembangkan senyumnya. “Itu tadi telpon dari Baby Sitter . Udah dipecat, tapi masih minta kerjaan!” kata Ade, bercanda. Semua yang mendengar jadi tertawa.

AIRPORT


Hari Rabu pagi ini Ade sudah berada di pesawat menuju Manado. Rencananya dia akan di Manado sekitar dua hari. Jum’at, sore akan kembali ke Jakarta. Dia hanya membicarakan persiapan promosi pakaian santai untuk bulan Juli ini. Jika pihak toko setuju, minggu depan dia akan kembali lagi ke Manado.
Ternyata urusan di Manado dengan Kepala Cabang kantornya dan Pak Mambo, Manager toko cepat selesai. Sehingga Jum’at, jam tiga sore ini Ade sudah berada di airport Soekarno Hatta. Ade masih mencari-cari Pak Yono, supir kantor yang belum juga terlihat. Ade duduk di lobby ruang kedatangan. Beberapa supir taxi liar menawarinya. Mungkin macet, ini kan jam pulang kantor, pikir Ade.
Sudah hampir setengah jam menunggu di lobby, jadi Ade duduk di sebuah bangku, meletakkan koper kecilnya dan tas laptopnya di sampingnya. Ade teringat teleponnya, lalu mengaktifkannya. Tiba-tiba telpon genggamnya yang baru saja di aktifkannya berbunyi. Ade melihat nama Harry berkedip di monitornya.
”Hallo, Mas Harry!” jawab Ade, mengira ngira ada acara apa lagi di keluarga mereka.
“Halo Mbak Ade, apa kabar, lagi dimana nih?” kata Harry terdengar riang.
”Baru dari Manado, ini masih di airport!” jawab Ade.
“Apa? Airport? Hey…. aku kan juga lagi di airport, baru aja keluar pesawat! Terminal berapa...?” seru Harry riang. Lalu melanjutkan, ”Pulang sama-sama ya, tunggu aku sebentar!” katanya.
Wow ...kebetulan sekali pikir Ade, kalau sampai Pak Yono tak datang, ada teman pulang naik taxi.
”Okay, ketemu di lobby depan ya!” jawab Ade riang.
Belum sepuluh menit, Harry sudah muncul di hadapan Ade.
”Halo!” sapa Harry riang. Harry terlihat rapi dengan pakaian kerja. Blus biru muda lengan panjang dengan dasi biru tua bergaris garis merah. Jasnya sewarna dengan pantalonnya warna biru, menyandang tas kerja warna hitam, tanpa koper. Tampilan Harry seperti para pengusaha Jepang saja, pikir Ade.
”Dari mana Mas? Nggak bawa koper?” tanya Ade berdiri menyambut Harry.
”Dari Surabaya, ada seminar tentang konstruksi pagi tadi. Aku langsung pulang, besok ada appointment ” jawab Harry.
”Kita cari taxi yuk!” ajak Harry melanjutkan.
”Mas sebentar ya! Aku lagi nunggu di jemput, mungkin sedang di jalan. Sama-sama mobilku aja!” ajak Ade. Harry setuju, jadi akhirnya mereka duduk mengobrol di sebuah cafe kecil. Ade mencoba menelpon Pak Yono, ternyata sedang dalam perjalanan, macet karena ada tabrakan di jalan tol. Ade berjanji menunggu Pak Yono. Rupanya Pak Yono tak bisa menghubungi Ade karena tak punya dana pulsa telepon genggamnya.
Setelah hampir sejam menunggu, akhirnya Pak Yono tiba. Sepanjang perjalanan Ade dan Harry asyik melanjutkan ngobrol. Harry bercerita tentang pekerjaannya demikian juga Ade. Selama mengobrol, delapan kali Ade menerima telpon masuk. Empat kali dari berbagai orang di kantornya. Satu kali dari Tania, satu kali dari Lola yang minta dia datang ke rumah besok, mengajak berenang bersama Ima. Lalu dua kali dari Alan. Harry berdiam diri, memandang ke depan mobil saja saat Ade bicara dengan Alan. Si baby sitter!
”Al, aku nggak bisa datang. Baru aja pulang dari Manado. Capek sekali. Jadi salam aja buat Vicky, selamat ulang tahun!” katanya pada Alan di telpon. Rupanya Alan masih menawari untuk acara besok.
”Besok aku ada acara keluarga, kapan-kapan deh ya! Aduh... gimana ya, sekarang aku banyak lembur, jadi nggak bisa keluar makan malam! Eh... bukan... bukan aku bener bener sibuk! Sorry, and bye!” kata Ade, lalu memutuskan sambungan telpon. Ade memandangi telpon genggamnya, terlihat gemas.
”Iih! Honey....honey.....gundulmu! I’ll kill you! ” tanpa sadar Ade mengumpat. Harry yang melihat tingkah Ade jadi tertawa. Ade menoleh , tersipu karena kedapatan sedang mengumpat. Harry memandangnya tersenyum.
”Fans kamu ya?” kata Harry melucu. Ade mengangguk.
”Iya, menyebalkan!” kata Ade, benar-benar kesal.
”Hey, kok jadi sewot gitu sih!” kata Harry. Tapi juga menangkap wajah Ade berubah menjadi murung.
Entah mengapa, Ade merasa Alan semakin hari semakin agresif saja, apalagi sejak bertemu dengan Rizal dulu. Alan menyangka Rizal pacar baru Ade. Jadi berusaha untuk mendekati Ade terus. Tapi justru membuat Ade merasa selalu teringat pada penghianatan Alan. Kini dia benar-benar merasa sakit hatinya semakin dalam.
”Cerita dong, biar kesalnya hilang!” bujuk Harry, menatap Ade yang menatap jalanan melalui kaca jendela mobil. Gadis ini menyimpan luka hati, pikir Harry.
”Sudah basi ah!” kata Ade menolak, mencoba menghindar. Harry menangkap seberkas airmata yang nyaris muncul. Bibir gadis itu terlihat menahannya.
”Tapi nyatanya kan masih bikin kamu kesal!” kata Harry lagi. ”Siapa tahu aku bisa bantu!” katanya lagi sambil tertawa kecil. Ade berbalik menoleh pada Harry. Ade melihat tatapan mata Harry yang tulus, ingin membantu. Mata yang bersahabat. Bukan mata yang mencemooh, genit atau cuma usil. Akhirnya Ade bercerita.
”Dia Alan, teman kuliah dulu. Kami sudah putus setahun lalu. Sekarang dia mau balik lagi. Aku nggak mau terima penghianat. Itu saja soalnya!” kata Ade singkat. Kemudian merasa lebih nyaman setelah bisa memberitahu orang lain bahwa Alan penghianat. Sudah lama aku ingin mengucapkannya pada orang lain, selain Tania dan Yuri, pikir Ade. Mengapa dia pilih Harry, Ade juga heran. Mungkin karena dia tak mengenal Alan, pikir Ade. Lucu juga, dia merasa sedikit lega. Ada orang lain, selain sahabatnya yang tahu Alan pernah menyakitinya. Seakan ia telah menghukum Alan. Penghianat itu kini coba menaklukkan aku lagi dengan gaya pengacaranya. Huh.... menyebalkan sekali!
”Oh... begitu, tapi apa memang nggak ada ampun lagi?” goda Harry sambil tersenyum.
”Huuh.. enak aja, belum pernah disakiti ya?” jawab Ade. Harry menggeleng,
”Nggak mau, bukan nggak pernah!” kata Harry santai. Ade jadi tertarik.
”Okay, sekarang gantian dong, cerita bagaimana bisa nggak mau?” usik Ade.
”Nanti aja ah, kalo ada waktu khusus!” elak Harry, tertawa nyengir. Ade jadi gemas.
”Mas Harry curang ah! Tadi aku sudah cerita, eh kamu malah pelit!” kata Ade, lalu melanjutkan ”Masa musti ada waktu khusus segala sih?” katanya.
”Soalnya ceritanya panjang dan banyak. Nanti malam aja ya, kita pergi makan malam mau?” jawab Harry. Ade melongo.
”Ah, bilang aja mau ajak aku pergi, pakai alasan segala!” ejek Ade sambil tertawa.
”Tadi waktu telpon di airport sebenarnya aku memang mau ajak kamu pergi, malam ini. Eh malah kita bertemu disana” kata Harry menjelaskan.
”Males pergi ah, capek! Ngobrol di rumahku aja, mau kan?” jawab Ade membuat Harry tersenyum.
“Okay, aja. Ah, sudah hampir sampai rumahku, terima kasih sudah anter aku!” katanya pada Ade. Memang, mobil yang dikemudikan Pak Yono telah memasuki komplek perumahan tempat tinggal Rizal dan Harry.
”Mas, Sheila ada di rumah nggak sekarang?” tanya Ade.
”Itu... tanya anaknya atau bapaknya?” goda Harry membuat Ade terperangah.
”Menyebalkan!” sungut Ade sambil berusaha mencubit Harry. Tangan Ade langsung ditangkap Harry, memegangnya dengan lembut.
Pak Yono menghentikan mobil persis di depan rumah, saat itu Rizal sedang mengeluarkan mobil dari garasi.
”Mampir dulu ya!” ajak Harry sambil keluar dari mobil, mendekati mobil kakaknya.
”Mau kemana Mas, magrib begini?” tanya Harry.
”Ke dokter Amri, Sheila demam tuh” jawab Rizal, saat itu Ade keluar dari mobilnya.
”Hey, kalian kok bisa bersama!” kata Rizal menegur Ade.
”Iya, tadi ketemu di airport. Saya baru pulang dari Manado” jawab Ade tersenyum.
”Mau keluar ya?” tanya Ade pada Rizal.
“Ke dokter mau bawa Sheila” katanya, saat itu Mbak Pur dan Sheila keluar dari rumah.
“Tante Ade!” Sheila berlari mendekati Ade, gembira. Ade segera menyambut Sheila, mencium pipinya.
”Hey, Sheila demam ya?”katanya, merasa pipi Sheila begitu hangat.
”Mas, sebaiknya segera berangkat deh, badan Sheila panas sekali” tegur Ade. ”Saya juga mau pamit ya” lanjutnya. Rizal segera menyuruh Mbak Pur dan Sheila masuk mobil, meninggalkan Harry dan Ade. Ade kemudian pamit pada Harry.

Hampir jam delapan malam. Ade baru saja selesai mandi ketika Mbok Piah memberitahukan Harry telah datang. Ade menyuruh Mbok Piah menyediakan minuman dulu sementara dia berpakaian. Ade mengenakan celana panjang warna biru laut dan blus putih lengan pendek. Mengenakan bando pada rambut, memoleskan lipstick merah muda pada bibirnya.
Ade segera keluar menemui Harry yang duduk di ruang keluarga, sedang membuka-buka album foto yang memang diletakkan di meja sudut.
”Masih capek?” Harry menegur Ade ketika melihat Ade keluar.
”Nggak, tapi lapar. Mas Harry, temani aku makan ya!” kata Ade. Harry mengangguk. Ade meminta Mbok Piah menyediakan makan malam untuk dia dan Harry.
”Mau nonton TV atau ngobrol?” tanya Ade setelah selesai makan.
”Ngobrol dong!” kata Harry.
”Ke teras samping yuk!” ajak Ade sambil menyalakan lampu teras samping. Ade duduk di sofa rotan yang besar. Harry masih berdiri memunggungi Ade, mengamati taman.
”Disini enak ya, asri banget!” puji Harry.
”Ini tempat favorit aku sejak kecil!” jawab Ade. Mbok Piah datang menyuguhkan dua gelas es jeruk dan toples berisi kue kenari yang baru dibawanya dari Manado. Harry kemudian duduk di kursi. ”Disini aku jadi kangen rumah di Semarang!” katanya.
”Lho, kenapa?” tanya Ade.
”Bentuk rumah sama dan tanamannya banyak!” katanya menjelaskan.
”Oh….ya sudah! Biar irit ongkos, kalo kangen rumahmu kesini aja!” kata Ade tertawa.
”Boleh? Tapi kalau aku kesini bukan kangen rumahku lho. Aku kangen sama kamu dong!” kata Harry serius.
”Eit..! Jangan ngelantur ya! Dilarang keras sama Pak Lurah sini!” kata Ade sambil tertawa, Harry juga tertawa. Padahal dalam hatinya sebenarnya dia benar-benar selalu kangen pada Ade.
”Mas Harry, katanya mau cerita!” kata Ade menagih janji.
”Masih ingat aja!” jawab Harry. Harry kemudian duduk disisi Ade, melanjutkan ucapannya. ”Sebenarnya aku kan nggak punya cerita apa-apa” katanya. Ade menatap Harry, menggelengkan kepalanya. ”Jangan jadi ajaib gitu dong!” kata Ade.
”Waktu kuliah dulu selain aktif di Senat Mahasiswa, kerjaanku naik gunung melulu. Makanya kuliahku lama baru selesai. Sudah lulus langsung kerja di perusahaan tambang nikel di pedalaman Sulawesi. Balik ke kota baru tiga tahun ini” kata Harry.
”Masa sih nggak ketemu cewek!” Ade menyeletuk, ”Sepi amat!”
”Sebenarnya banyak, tapi belum ada yang bikin aku mabuk!” kata Harry lucu.
”Hey, kamu pikir cewek itu arak!” kata Ade protes. Harry tertawa mendengar protes Ade.
”Kan ada istilah mabuk kepayang!” kata Harry ngawur, asal jawab. Ade jadi tertawa. Ternyata lucu juga dia, pikir Ade.
”Mungkin kamu punya standar tinggi ya?” kata Ade.
”Bagiku itu bukan tinggi, tapi itu dasar untuk kuatnya sebuah keluarga aja! Kalau isteriku payah, bagaimana dia bisa atur rumah tanggaku, ya kan?” jawab Harry serius.
”Kaya apa sih yang nggak payah itu” desak Ade.
”Berpendidikan baik, mandiri, mampu mengemukakan pendapat, bisa bergaul, cantik dan sayang aku” kata Harry menjelaskan.
”Wow.... berat amat, Mas!” kata Ade.
”Eh, tuh cewek harus bisa masak nggak?” tanya Ade ingin tahu, teringat dirinya yang minim sekali pengetahuan masak kecuali panggang roti dan goreng telur.
”Nggak harus bisa masak, tapi tahu atur menu sehat aja! Takut aja dikasih mie instant terus! Bayangin kalau menikah dua puluh tahun, sehari tiga kali makan mie instan, berapa bungkus coba? Dua puluh satu ribu enam ratus bungkus!” kata Harry tertawa-tawa. Ade tak tahan tertawa terbahak-bahak. Masih sempat hitung berapa bungkus!
”Gila ah! Di dramatisir amat. Masa separah itu!” kata Ade masih tertawa geli. Benar-benar imajinasi Harry lucu bagi Ade.
”Hitungannya atau akunya yang parah?” tanya Harry menatapi Ade.
”Itu, perempuannya!” kata Ade masih tertawa. ”Mungkin aja dia beranggapan suaminya astronot!” kata Ade juga bercanda. Harry tertawa geli.
”Yaah. .. moga-moga aja dapat! Aku nggak terburu-buru kok!” kata Harry santai.
”Mas Harry, mau kenalan nggak sama teman-temanku? Yang kriteria kaya gitu lumayan banyak di kampusku! Mau ya?” tanya Ade lalu melanjutkan ”Awal Agustus kami akan reuni, mau ikut nggak? Siapa tahu bisa kecantol temanku!” ujar Ade.
Harry tersenyum memandang Ade. Temanmu? pikir Harry, nggak usah repot, aku kan sudah menginginkan kamu, katanya, dalam hati. Sejak lama, sudah sejak lama. Aku sudah menemukanmu lagi, sejak menghilang delapan tahun lalu! Bagai muncul dari perut bumi, aku melihatmu berjalan di samping kakakku memasuki restoran sewaktu Sheila ulang tahun. Harry melamun. ”Suatu saat aku harus menceritakan ini padamu!” tekad Harry dalam hati.

Belum sempat Harry menjawab tawaran Ade, telpon selulernya berdering. Harry melihat di teleponnya, nama kakaknya berkelap kelip.
”Halo Mas Rizal, kenapa? Apa? Di rawat dimana? Oh…Ya,..ya aku langsung kesana!”kata Harry. Ade mendengarkan pembicaraan Harry yang terlihat kaget dan gugup, curiga ada hal yang tak beres.
“Ada apa?” tanya Ade khawatir.
“Sheila dirawat di rumah sakit malam ini. Maaf, aku pamit dulu!” katanya menjelaskan.
“Ya ampun! Mas Harry, boleh aku ikut menengok Sheila?” kata Ade. “Aku bawa mobil sendiri aja, biar nanti gampang pulang!” kata Ade.
”Ah... sama-sama saja! Nanti pulang sama aku saja” kata Harry. Ade bergegas mengambil tas, jaket dan memakai sepatu. Pamit pada Mbok Piah. Mereka menuju rumah sakit.
Ade melihat Harry sangat gelisah. Khawatir akan berbahaya saat menyetir seperti itu Ade menawarkan diri untuk menyetir mobil.
”Mas Harry, biar saya yang setir mobil deh! Okay kan?” kata Ade menawarkan diri.
”Nggak usah De! Aku nggak apa-apa! Terima kasih mau menemaniku, aku jadi lebih tenang” kata Harry sungguh-sungguh. Jalanan tidak terlalu padat, lagipula rumah sakit yang dituju mereka tidak terlalu jauh dari rumah Ade.
Setiba di rumah sakit, Harry dan Ade bergegas menuju ruang perawatan. Harry berjalan cepat di samping Ade. Tanpa disadari keduanya, Harry telah meraih tangan Ade, menggenggamnya. Seakan mencari kekuatan dari tangan Ade. Ade sendiri pada mulanya tak menyadari hal itu. Tapi setelah menyadarinyapun tak ingin melepaskan tangan Harry. Ada rasa untuk berbagi kesusahan, rasa simpati yang tulus dari Ade. Dia ingat Sheila yang tak punya ibu. Sementara dia sendiri, sewaktu kecil hingga SMA hampir tak pernah berpisah dengan ibunya. Mama selalu menemaniku apalagi kalau sedang sakit. Mama selalu memanjakannya, apalagi Ade anak bungsu. Mbok Piah juga selalu setia bersamanya. Kakaknya Lola juga demikian.
Harry baru melepaskan tangan Ade ketika mereka sudah masuk ke kamar Sheila di rawat. Sheila sedang di tunggui seorang perawat dan Mbak Pur. Harry memeluk Sheila. Ade berdiri disampingnya. Rizal entah dimana dan sedang apa.

ANGIN DINGIN DI TERAS RUMAH SAKIT


Sheila sudah berbaring di kamar perawatan. Lengan kecilnya sudah dipasangi infus. Jarum infus telah terpasang di punggung tangan kirinya. Agar tak bergeser, selembar styrofoam diletakkan untuk menyangga di lengan kecilnya, dibalut dengan perban. Selembar handuk basah menempel di dahinya. Sheila terlihat sangat gelisah, tak berdaya, bibirnya merah, sedang dibujuk oleh Mbak Pur. Seorang perawat juga berada disana. Rizal tak ada, sedang mengambil obat di apotek.
Melihat Harry dan Ade datang, Sheila ingin bangkit. Harry buru-buru mendekat dan menenangkan Sheila. Memeluk Sheila, sementara Ade berdiri disampingnya.
”Dari tadi rewel, cari Bapak terus” kata Mbak Pur.
”Sekarang ada Om, Sheila tenang ya. Ini juga ada Tante Ade!” kata Harry.
Ade mendekati Sheila, mengelus pipi Sheila, masih terasa panas sekali. Sheila menjulurkan tangannya ingin dipeluk Ade. Ade terharu, kasihan anak ini, pikirnya. Sakit begini, keluh Ade dalam hati, tak ada ibu yang menghibur dan memeluk tubuh kecilnya. Ade menyambut tangan Sheila, memeluk dan mencium pipinya. Terasa tangan kecil Sheila sangat erat merangkul lehernya. Ade membiarkan Sheila berlama lama memeluknya. Panas tubuh Sheila tersalur ke tubuh Ade.
Harry menundukkan kepalanya, tak tahan melihat kejadian itu, teringat kakak iparnya, Pris. Tepat saat itu Rizal melangkah masuk, tertegun di pintu kamar. Harry menoleh ke pintu masuk, bersirobok pandangan dengan Rizal. Harry menunduk, menghindari tatapan kakaknya. Di sudut kamar, Mbak Pur menyeka airmatanya. Rizal mendekati Ade dan Sheila, menyentuh lengan Sheila.
”Sheila! Sebentar lagi minum obat ya!” kata Rizal berdiri dekat Ade. Sheila melepaskan pelukannya, memandang Rizal dengan mata bulatnya yang kini terlihat sayu. Bibirnya sangat merah dan kering.
”Mas Rizal, Sheila sakit apa?” tanya Ade hampir bersamaan dengan Harry.
”Hasil lab, demam berdarah!” kata Rizal. ”Trombositnya sudah turun banyak, jadi harus dirawat, takut pendarahan!” lanjut Rizal.
Seorang perawat datang, menyerahkan mangkok kecil berisi tiga butir obat untuk Sheila. Kemudian memasukkan thermometer ke ketiak Sheila, lalu menyuntikkan obat pada selang infus.
”Sheila, minum obatnya ya!” kata perawat itu. Sheila dengan patuh minum obat dibantu Mbak Pur.
”Bu, Sheila harus banyak minum air putih ya!” kata perawat itu bicara pada Ade. Mungkin dia mengira Ade adalah ibu Sheila! Ade mengangguk, tak merasa perlu menjelaskan pada perawat itu. Rizal dan Harry hanya berdiam saja, hingga perawat itu meninggalkan kamar.
”Mas, sudah telpon Mama?” tanya Harry.
”Sudah jam sepuluh lebih Har, jangan dulu. Nanti Mama gelisah semalaman. Kita lihat perkembangan malam ini! Besok pagi saja. Aku malam ini nginap disini sama Mbak Pur” kata Rizal.
”Nanti aku balik kesini, anter Mbak Ade dulu” kata Harry.
”Nggak usah, aku naik taxi aja!” Ade menyahut.
”Nggak, aku antar, ini sudah malam, naik taxi bahaya!” kata Harry. Ade mendekati Sheila.
”Sheila, sekarang sudah malam sekali. Biar cepat sembuh tidur ya! Tante pulang dulu, besok Tante kesini lagi!” kata Ade berpamitan dengan Sheila. Tanpa diduga, Sheila malah menangis.
”Jangan pulang, jangan pulang, Tante disini aja!” jeritnya membuat Ade, Rizal , Harry dan Mbak Pur kaget.
”Tante sudah ngantuk sayang, besok dia kesini lagi” kata Rizal buru-buru membujuk Sheila. Tangisan Sheila makin keras. Ade merasa kasihan, membatalkan niatnya untuk pulang.
”Mas Rizal, nggak apa-apa kok!” kata Ade.
”Wah, Sheila jadi merepotkanmu lagi!’ sahut Rizal
”Tenang Mas, aku nggak repot kok, besok juga libur!” kata Ade tersenyum. Ade segera memeluk Sheila, membujuknya
”Okay, Tante nggak jadi pulang, jangan nangis lagi ya. Sekarang Sheila tidur ya, biar cepat sembuh!” kata Ade membujuk.
Sheila dengan cepat menghentikan tangisnya, berbaring manis, tangannya masih memegangi tangan Ade. Seakan takut ditinggalkan diam-diam.
”Kalo Sheila bobo, Tante jangan pulang ya!” kata Sheila, memandang Ade, terlihat ragu.
”Iya, Tante nggak bohong!” kata Ade. Tak lama Sheila sudah tertidur, Ade meninggalkannya ditunggui Mbak Pur. Keluar menemui Rizal dan Harry yang sedang duduk di kursi teras.
”Sudah tidur dia?” tanya Harry, begitu melihat Ade muncul di depan pintu.
”Mau pulang? Ayo aku antar!” kata Harry melanjutkan.
”Gimana ya? Tadi aku janji sama Sheila....!” kata Ade bimbang, karena janjinya pada Sheila tadi. Ade teringat, aku tak pernah ditinggalkan Mama kalau lagi demam. Sheila.... aduh kasihan sekali!
”Mbak Ade, terima kasih ya!” kata Rizal sungguh sungguh. ”Nggak apa-apa, pulang aja. Sheila bisa dibujuk kok!” kata Rizal.
Ade pikir, benar juga, jadi dia bersiap untuk pulang dengan Harry.
”Nanti aku balik lagi Mas!” kata Harry.
Ade dan Harry baru beberapa langkah meninggalkan kamar Sheila, terdengar tangisan Sheila lagi, rupanya dia terbangun. Rizal segera masuk ke dalam. Ade dan Harry membatalkan pergi, ingin tahu mengapa Sheila menangis. Tangisan Sheila semakin kencang, jadi mereka masuk kembali.
Begitu melihat wajah Ade, Sheila sambil menangis melambaikan tangan kanannya minta Ade mendekat. Rizal sedang memeluknya. Ade mendekat, mengambil alih Sheila dari gendongan Rizal. Memeluk Sheila, yang segera menjadi tenang, meski masih terisak-isak. ”Aku nggak boleh bohong pada anak-anak, dia sedang sakit” pikir Ade, menyesal.
”Sheila berbaring lagi ya, Tante duduk disini. Nggak pulang kok!” bujuk Ade.
”Kata Papa Tante sudah pulang!” ucap Sheila masih terisak. ”Oh...Papamu nggak lihat, Tante lagi ngobrol sama Om Harry di teras kok” bujuk Ade sambil membaringkan Sheila di tempat tidurnya, lalu duduk di kursi, dekat Sheila. Mengelus-elus kepalanya. Sheila memejamkan matanya. Kali ini Ade tak berani segera meninggalkannya lagi. Mbak Pur duduk di kursi dekat pintu.
Rizal menarik satu kursi lagi, duduk menemani Ade. Mengisahkan dengan suara perlahan, tentang Sheila yang sudah demam sejak kemarin pagi.
”Sore kemarin ke dokter masih belum terdeteksi kena demam berdarah. Baru sore tadi hasil test darahnya positif” cerita Rizal, kelihatan sangat resah.
Sudah jam sebelas malam. Harry pamit keluar, mau cari makanan katanya. Seorang perawat masuk, memeriksa Sheila, mengukur suhu tubuh dan mengganti botol infus.
”Bagaimana suster?” tanya Rizal.
”Sudah turun sedikit suhunya, tapi harus tetap dipantau terus.Ini fase bahaya” katanya. ”Bapak dan Ibu menunggui kan?” tanya perawat itu melanjutkan.
Rizal dan Ade berpandangan. Buru-buru Rizal menjawab ”Oh, iya pasti!”
”Baik Pak, Bu, kalau ada perlu silahkan tekan bell saja, saya permisi” katanya, lalu keluar. Ade melihat Mbak Pur tertidur di kursi, kasihan pikirnya, pasti dia lelah.
Rizal mengajak Ade pindah duduk di sofa. ”Biar lebih nyaman, Sheila juga sudah tidur” katanya. Ade duduk berdampingan dengan Rizal.
”Mbak Ade, maaf merepotkan lagi. Tadi juga suster itu salah faham!” ujar Rizal. Ade hanya tersenyum saja, mau apa lagi pikirnya, mungkin tampangku emang sudah ibu-ibu!
”Iya, dua kali aku dikira isterimu dan mamanya Sheila. Emang aku kelihatan tua gitu ya? Rupanya sudah pantas punya anak!” canda Ade tertawa kecil. Rizal menggeleng.
”Aku kira karena mereka melihat kamu care sama Sheila, bukan karena tua!” kata Rizal. ”Tapi maaf, umurmu paling dua lima kan?” tebak Rizal.
”Salah, dua tujuh, nanti Desember” kata Ade membetulkan tebakan Rizal.
Rizal melihat jam tangannya, sudah jam setengah dua belas.
”Mbak Ade, pasti capek dan ngantuk. Sekarang tidur di sofa ini, saya mau keluar tunggu Harry” kata Rizal berdiri. Ade mencegahnya.
”Mas, disini aja, kalau Sheila bangun dia bisa lihat kita. Kalau kau nggak ada dia bisa nangis lagi!” Rizal duduk kembali di sebelah Ade.
”Mbak Ade, tahu nggak, sejak bertemu denganmu Sheila selalu ingin dekat!”kata Rizal. ”Mungkin Sheila makin memerlukan figur ibu, karena dia sekarang di sekolah sering melihat teman-temannya bersama ibu mereka!” lanjut Rizal, Ade mendengarkannya, tak berani menanggapi.
”Saat sakit seperti ini yang bikin aku paling sedih melihat Sheila” kata Rizal. Rizal melihat Ade berdiam diri mengira Ade mengantuk.
”Tidur deh!” kata Rizal, lalu meluruskan kakinya. Ade juga akhirnya menyandarkan kepalanya pada sofa, meluruskan kakinya, berusaha untuk tidur.
Jam dua belas, seorang perawat lain masuk memeriksa Sheila. Rizal yang tak tidur mendekati perawat, menanyakan kondisi Sheila. Suhunya mendekati normal.
”Besok pagi ambil darah lagi Pak, check jumlah trombosit ” katanya sambil mengetuk-ngetuk selang infus.
”Kira kira dua jam lagi infus habis, bapak bell kami ya!” pesannya sebelum keluar.
Tepat saat itu Harry masuk, membawa kantong plastik berisi kotak makanan dan minuman.
”Ini, jaketmu Mas, tadi aku pulang dulu ke rumah” kata Harry, menyerahkan jaket pada Rizal.
”Kasihan!” kata Harry sambil menunjuk Ade yang tertidur di sofa.
”Makan dulu Mas, ada roti bakar sama kopi susu tuh!” katanya pada Rizal. ”Duduk di luar yuk” ajaknya. Mereka keluar, duduk di teras, menikmati roti bakar.
Saat seorang perawat masuk memeriksa Sheila, Ade terbangun, juga Mbak Pur. Rupanya perawat mengganti botol infus dengan yang baru dan mengukur suhu tubuh Sheila. Sheila terbangun, karena perawat memeriksa lengan dan paha Sheila untuk melihat kemungkinan adanya bercak merah.
”Demamnya sudah turun” kata perawat itu, lalu kemudian keluar.
Melihat Ade, Sheila berusaha duduk, kembali memegangi tangan Ade yang berdiri di samping tempat tidur. Ade mengelusnya, menyuruh Sheila tidur kembali.
”Mbak minum!” pinta Sheila. Mbak Pur mengangsurkan gelas air putih. Ade menyambutnya, mendekatkan kemulut Sheila. Sheila minum, kemudian dengan patuh berbaring kembali. Ade merapikan selimut Sheila, mengelus elus kepalanya.
”Sheila tidur lagi ya!” kata Ade lembut.
Mbak Pur masih berdiri di sisi lain dari ranjang. Saat itu Rizal berdiri di depan pintu, memperhatikan mereka. Dia memandangi punggung Ade yang sedang mengelus-elus Sheila. Sheila terlihat tenang. Rizal mendekat, Ade menoleh tersenyum.
”Suhunya sudah mendekati normal Mas!” kata Ade pada Rizal.
”Papa, sini!” pinta Sheila minta ayahnya mendekat. Rizal berada disisi Ade. Mbak Pur kembali duduk di sudut.
”Sheila bobo lagi ya, Papa tungguin kok! Om Harry juga ada!” katanya. Sheila tersenyum senang. Tak lama kemudian tertidur.
”Mbak Ade, tidur lagi deh, kasihan capek!” kata Rizal.
”Ah..capek apa?” kata Ade, ”Tadi aku kan tidur, eh...Mas Harry mana?”tanyanya.
”Di teras, lagi tidur” kata Rizal.
Ade meninggalkan Rizal menuju teras. Di sebuah kursi, Harry berselonjor kaki, tertidur. Perlahan Ade duduk di kursi dekat Harry, udara malam sudah dingin. Rumah sakit sangat sepi. Harry terbangun, mendengar gerakan Ade di kursi sebelahnya, menoleh pada Ade. Harry segera bangkit, duduk tegak.
”Mau minum kopi susu?” kata Harry menawari, Ade menggeleng.
”Air putih aja” jawab Ade.
Harry menyerahkan sebotol air mineral. ”Ada roti, mau?” katanya lagi sambil membuka sebuah kotak berisi roti.
”Nanti aja ah, aku ambil sendiri” kata Ade, membuka tutup botol, minum. Mereka duduk bersisian, ngobrol di tengah malam dalam udara dingin. Lampu teras rumah sakit ini temaram, karena sebagian ada yang dipadamkan. Harry menatap Ade dari sampingnya.
”Dia tanpa riasan, bangun tidur begini, makin cantik” kata Harry dalam hati. ”Hatinya begitu baik, mau menjaga Sheila, padahal bukan siapa-siapanya” lamunnya. ”Apa Alan bekas pacar Ade itu gila ya meninggalkan gadis sebaik dia?” renungnya. Irwanto aja bilang lewat SMS ”Harry, Mbak Ade tuh jangan cuma dipandangi! Dilamar aja! Gile....! Sudah cakep kaya model, pinter, ramah, karirnya oke lagi! Telat dikit disambar orang lho” Harry teringat jawabannya untuk Irwanto, ”Lagi usaha, banyak pesaing!” Ya.. aku sedang berusaha, tekat Harry.
”Nggak ngantuk?” tanya Harry, Ade menggeleng.
”Besok ada rencana kemana?” tanya Harry.
”Berenang sama kakakku dan anaknya. Sore aku mau kesini tengok Sheila” kata Ade.
”Kalau kurang tidur hati-hati lho, berenang bisa flu” kata Harry memperingatkan Ade.
”Iya, aku lihat kondisi, yang penting ketemu aja. Kangen sekali sama mereka, hampir dua bulan nggak ketemu. Sibuk sih!” kata Ade memandangi lampu taman di pojok halaman rumah sakit.
”Keponakanmu sudah besar?” tanya Harry.
”Masih kecil, empat tahun nanti November, namanya Ima” kata Ade. ”Makanya aku senang sama Sheila, persis Ima sih” lanjut Ade. ”Itu, Sheila kena nyamuk dimana ya, rumah kalian kan terang dan bersih?” kata Ade heran.
”Iya, di rumah nggak ada nyamuk, mungkin di sekolah” jawab Harry.
Harry melirik Ade yang duduk disampingya. Ade masih saja memandangi lampu teras yang sedang dirubung serangga, mungkin laron atau apa.
”Mbak Ade, tadi cerita reuni, angkatan atau jurusan?” tanya Harry teringat pembicaraan mereka yang terputus tadi, di rumah Ade.
”Oh... reuni fakultas, gede-gedean, makanya ikut aja. Nanti bisa ketemu sama Imam, itu yang nyetir mobil combi, ingat kan? Dia ketua rombongan sekaligus ketua Senat. Jadi panitia reuni ini” ujar Ade.
”Boleh juga!” jawab Harry.
”Nah gitu dong! Biasanya acaranya seru, lho! Soalnya fakultasku gudangnya artis top. Ada bintang TV dan film, peragawati, presenter, pelawak, penyanyi!”kata Ade pamer dan promosi.
”Mbak Ade, juga kaya model!” kata Harry. ”Kenapa nggak jadi model aja”? tanya Harry.
”Bukan duniaku! Pernah sekali diminta ikut peragaan busana, waktu mahasiswa. Nggak nyaman gitu ah!” Ade menjelaskan. ”Aku lebih suka sisi bisnisnya, makanya sekarang kerja di apparel, garment, retail!” lanjutnya. ”Potensiku lebih nyata bisa berkembang, bukan karena faktor fisik” jelas Ade lagi.
Harry terpana, ”Oh.. begitu rupanya! Bagus, dunia bisnis memang perlu wanita cantik yang pintar!” kata Harry berkomentar.
”Nggak takut saingan sama perempuan, Mas?” ejek Ade nakal.
”Bagi aku nggak ada saingan tuh, mereka harus jadi partner!” jawab Harry enteng.
”Eh Mas Harry, kalo aku punya partner kerja kaya kamu pasti oke banget tuh. Sayangnya aku masih aja ketemu cowok yang sok lebih pinter dan merasa paling hebat. ”Men’s world gitu!” tutur Ade.
”Partner! Boleh... mau bisnis apa nih?”jawab Harry. Ade jadi tertawa, dengan tangan kanannya kemudian membuat gerakan menghapus di udara.
”Lupakan aja! Cuma bercanda!” kata Ade.
”Kalau serius aku juga mau!” kata Harry.
”Mas Rizal di dalam lagi apa, kok nggak keluar?” tanya Ade teringat Rizal. Harry berdiri, menjenguk ke dalam, lalu kembali duduk di samping Ade.
”Tidur di kursi, dekat Sheila” lapornya. ”Kasihan dia, anaknya sakit, isteri nggak ada, Mamaku jauh!” keluh Harry.
”Mas, Mamanya Sheila itu meninggal karena sakit ya?” tanya Ade.
”Bukan sakit, pulang kantor naik taksi, tabrakan beruntun di jalan toll” kata Harry menjelaskan.
”Mas Rizal sangat menyesal, seharusnya dia jemput Pris. Tapi karena rapat di kantornya belum selesai, dia mengizinkan Pris pulang naik taxi karena ingin pulang cepat untuk menyusui Sheila” cerita Harry. ”Pris itu sekelas sama aku sejak SD sampai SMA”kata Harry, murung.
”Mbak Ade, kalo ngantuk tidur di dalam aja” kata Harry, memperhatikan Ade yang hanya berdiam diri.
”Nggak ah, disini aja. Cerita aja deh kalau kau nggak ngantuk, aku dengerin!” kata Ade.
”Mas, nggak usah panggil Mbak sama aku ya! Resmi banget, Ade aja! Ok?” lanjut Ade. Harry mengangguk.
”Tapi kau masih panggil aku Mas, gimana nih?” usik Harry sambil tersenyum.
”Pokoknya gitu aja ya” jawab Ade kalem, Harry hanya tertawa. Boleh lah pikirnya.

”Dingin nggak?” tanya Harry melihat Ade menggenggam tangannya sendiri.
”Nggak! Aku paling suka udara dingin!” kata Ade lalu melanjutkan ”Kalau udara panas dikit aja, aku pusing, nggak bisa konsentrasi, payah!”
”Wah, nggak takut dingin, kaya anak gunung aja!” kata Harry, maksudnya mereka para pendaki gunung. ”Sudah pernah naik gunung?” tanya Harry lagi.
”Belum bisa dibilang pendaki sih, baru dua kali, waktu tujuh belas Agustus ikut acara sama Mapala UI” kata Ade.
”Hey, tahun berapa?” tanya Harry antusias.
”Itu pulang dari Semarang itu, sama tahun berikutnya!” kata Ade.
”Kalau ada waktu kita naik gunung yuk!” ajak Harry.
”Wow, aku mau banget, tapi sampai pertengahan Januari tahun depan masih sibuk banget” jawab Ade teringat program kerjanya yang begitu padat.
”Nah, kalau gitu kita janjian cuti, jadi bisa ke gunung sama-sama” kata Harry. ”Atau hiking aja, yang ringan, Sabtu Minggu, jadi nggak perlu cuti” lanjut Harry.
”Wah, seru juga, kangen suasana mahasiswa jadinya” jawab Ade antusias.
”Ya, kita ajak yang lain, biar rame” kata Harry.

Sudah hampir jam lima pagi, dua perawat memasuki kamar Sheila. Ade bangkit dari kursi mengikuti mereka masuk. Mbak Pur duduk dekat Sheila, Rizal masih tertidur di sofa. Rupanya selain memeriksa Sheila, para perawat itu sedang pergantian tugas. Perawat yang baru menerima penjelasan tentang kondisi Sheila.
”Bu, nanti setelah sarapan, anak ibu akan diambil darah lagi” kata perawat pada Ade. ”Masih makan bubur dulu, banyak minum air putih. Kalau ada muncul gatal di kulitnya dikasih bedak talc saja. Saya permisi, diganti suster Dian” kata perawat.
”Baik, terima kasih suster Tuti” jawab Ade sambil mengangguk hormat. Saat itu Rizal terbangun, segera bangkit, mencuci muka di wastafel. Tak sempat mengucapkan apa-apa pada kedua perawat, ketika mereka berlalu.
Rizal mendekati Ade yang masih berdiri dekat ranjang Sheila.
”Maaf, tadi perawat itu bilang apa?” tanya Rizal.
”Oh, nanti mau check darah lagi. Itu, kalau kulit Sheila ada bercak dan gatal, kasih bedak talc aja. Lapor perawat!” kata Ade menjelaskan.
”Terima kasih” kata Rizal sungguh-sungguh. Lalu bicara pada Mbak Pur ”Mbak Pur pulang dulu naik taxi, istirahat di rumah. Nanti sore kesini lagi”
Sheila terbangun. ”Halo Sheila, enak ya bobonya?” kata Rizal dan Ade hampir bersamaan. Mereka jadi tertawa bersama, Sheila pun terlihat lebih segar.
”Pa, tangan Sheila sakit” katanya, mungkin pegal karena jarum infus masih tertancap di tangan kirinya. Rizal memeriksa tangan Sheila, mengelusnya perlahan.
”Nanti Papa bilang sama dokter!” kata Rizal. ”Sheila di lap dulu ya badannya sama air hangat, lalu makan bubur dan obat” lanjut Rizal.
Mbak Pur menarik meja dorong berisi dua waskom kecil berisi air hangat dan sapu tangan handuk ke dekat ranjang.
”Ayo, buka bajunya dulu” katanya. Mbak Pur melepas kancing baju Sheila, tapi kemudian kesulitan untuk meloloskan baju dari tangan Sheila yang terpasang infus. Ade maju mendekat, membantu. Ade membebaskan tangan kanan Sheila dari lengan bajunya, kemudian Ade melepaskan botol infus dari gantungannya di tiang besi, dengan segera menarik perlahan lengan baju dari tangan kiri Sheila, lalu meloloskan botol infus. Baju Sheila sudah terlepas. Ade menggantungkan kembali botol infus ke tiang besi. Rizal, Sheila dan Mbak Pur memperhatikannya.
”Oh.... begitu caranya!” kata Mbak Pur. ”Terima kasih Bu”lanjutnya.
”Kalau kau nggak ada, aku pasti panggil suster deh” kata Rizal tersenyum. ”Terima kasih De”
Ade mencuci mukanya di wastafel, menyemprotkan eu de toilet White Musk ke tubuhnya, merapikan rambutnya, membaurkan bedak compact ke wajahnya serta mengoleskan lipstick warna pink ke bibirnya. Sheila yang sedang di suapi bubur oleh Mbak Pur sempat menggoyangkan kepalanya, ingin melihat Ade sedang berdandan di depan wastafel. Ade duduk di sofa, di samping Rizal. Wangi parfum yang dipakai Ade segar, membuat ruangan terasa nyaman. Rizal yang duduk di samping Ade pun merasakannya. Sudah jam enam pagi. Harry masuk ke kamar, mencuci mukanya.
”Mas Rizal, aku pulang dulu ya” kata Ade pada Rizal berbisik.
”Ok, terima kasih banyak!” jawab Rizal. ”Har, Mbak Ade mau pulang, antar ya. Kau tidur dulu di rumah, istirahat!” katanya pada Harry.
”Ya, nanti siang aku kesini, pagi ini mau telpon Mama, Tante Pram, Tante Fumiko dan Om Suryo. Nanti marah kalau nggak dikabari!” jawab Harry.
Sheila sudah selesai makan, Ade mendekatinya. ”Sheila, Tante pulang dulu ya” katanya. Sheila memandang Ade dengan matanya yang sayu. Ade melanjutkan ”Tante mau mandi dulu, mau tengok keponakan Tante. Nanti sore Tante kesini lagi! Janji!”
Sheila mengangguk lemah. ”Tante Ade, keponakannya siapa namanya?” tanya Sheila ingin tahu.
”Oh... namanya? Ima, kelas nol kecil juga. Nanti kalau Sheila sudah sembuh Tante kenalin deh! Sheila bisa main sama Ima” jawab Ade.
”Betul ya!” kata Sheila berharap.
”Pasti, nanti main mandi bola atau berenang sama-sama. Sheila bisa berenang? Sheila mengangguk. ”Nah, Tante pulang dulu ya!” kata Ade, mengelus pipi Sheila.
”Mbak Pur sekalian aja sama aku” ajak Harry. ”Sheila, Om pulang dulu ya, nanti kesini lagi. Sheila habis minum obat bobo lagi ya, biar cepat sembuh!” kata Harry pamit pada Sheila sambil mencium pipi Sheila. Sheila mengangguk.
Ade dan Harry bersama Mbak Pur meninggalkan Rizal dan Sheila, di Sabtu pagi yang cerah, saat matahari mulai menyinarkan cahayanya.
Paviliun tempat Sheila di rawat mulai tertimpa sinar matahari. Rizal berdiri di teras, diambang. pintu, memandangi punggung adiknya Harry yang berjalan dengan Ade menyusuri lorong rumah sakit. ”Ade, kau perempuan sempurna. Aku ingin mendapatkanmu. Sheila begitu suka padamu” pikir Rizal, terus memandangi hingga sosok keduanya menghilang dari pandangannya. Tapi Rizal teringat kembali foto kolase di kamar Harry di rumah mereka di Semarang. Lalu poster besar di kamar Harry di rumahnya. Diakah wanita dalam foto itu?



DOA PAGI

Ade sedang memimpin rapat di ruang kantornya, bagian Promosi, saat teleponnya mendapat signal ada pesan singkat masuk. Dari Rizal, Ade membacanya ”Mbak Ade, Sheila sudah pulang ke rumah. Terima kasih atas perhatian selama Sheila di rawat”. Ade melanjutkan rapatnya. Dia harus mempersiapkan acara untuk di Manado. Jum’at dia harus sudah disana. Jun dan Lanny malah sudah harus berangkat hari Rabu ini. Karena itu dia harus kasih pengarahan buat anak buahnya. Mereka duduk mengelilingi meja rapat. Ade, staf-stafnya Jun, Lanny, Nur, Wiwik, Dimas, Riana dan Kamil.
”Jun, check lagi ya semua keperluan. Kita jauh dari kantor pusat. Kalau ketinggalan barang, bisa berabe!” kata Ade.
”Iya Mbak, sebagian sudah di terima kantor cabang. Yang lain saya bawa sendiri” jawab Jun.
”Lanny, itu materi promosi katanya belum sampai. Kirim pakai apa sih?” tanya Ade pada Lanny.
“Oh… sudah kok Mbak! Tadi baru aja Pak Kimi telepon, saya belum sempat lapor” jawab Lanny. Ade meneruskan pesannya untuk Lanny
“Telpon Pak Kimi segera sebarkan Flyers nya. Kalau sudah sampai Manado langsung check titik penyebarannya, sekalian survey, spanduk dipasang dimana aja, lihat traffic nya. Kalau kurang effektif, tambah yang baru. Saya Jum’at siang disana, kita ketemu di kantor cabang”
“Okay Mbak” kata Lanny, masih mencatat dibuku notesnya.
“Wik, aku pulang hari Senin sore, Selasa baru ke kantor. Kirim semua surat penawaran pembuatan counter baru dan hadiah promosi ke email-ku. Tolong telpon Bu Widya atau Pak Acun, suruh kirim penawaran biaya renovasi Showroom Surabaya dan Bandung segera. Bilang aja, renovasi harus sebelum bulan November” kata Ade memberi pesan pada Wiwik. Wiwik mengangguk, mencatati semua pesan Ade.
Kemudian Ade melanjutkan “Minta jadwal ulang rapat sama biro iklan hari Rabu depan jam sembilan. Kasih tahu Pak Sony, presentasi proposal periklanan untuk produk ”Outdoor trend” cuma satu jam aja. Jam sepuluh aku mau ke bandara. Ada empat tamu dari Bangkok, aku harus jemput dan anter mereka keliling counter di Jakarta, ke pabrik dan ke Bandung” kata Ade menyudahinya.
”Baik Mbak!” jawab Wiwik. ”Mbak, contoh seragam SPG sudah saya terima. Ada enam stel. Mereka minta kabar secepatnya. Soalnya takut order bahan susah katanya” lanjut Wiwik.
”Nanti aja, aku masih tunggu supplier lain sebagai pembanding. Tenang aja Wik, soal bahan itu alasan mereka aja biar dapat order cepat. Nanti aku mau minta SPG pakai dan peragakan di depan kepala cabang dan agen di rapat pemasaran bulan Agustus. Suruh mereka bantu kita pilih. Seragam itu baru akan di pakai awal tahun kok!” jawab Ade.
”Riana, nanti minta Pak Herman ambil payung yang rusak segera. Stock kita tipis, kalau ada promosi berhadiah mendadak nanti kelabakan. Bilang jahitannya diperbaiki. Kalau nggak, aku nggak akan tanda tangani tagihan dia. Minta contoh warna tas promosi segera, bilang aja sebelum akhir Agustus kita sudah harus produksi. September akhir ada kegiatan promosi” kata Ade memberi instruksi pada Riana.
”Dimas sama Kamil tetap layani laporan rutin dari bagian Sales. Khusus lampu logo box yang mati atau lampu display tidak boleh di tunda perbaikannya. Stock lampu halogen masih ada nggak? Lembur aja, kalau perlu!” kata Ade.
”Beres Mbak. Saya minta acc kasbon untuk beli lampu TL sama halogen aja Mbak” kata Dimas, dia dan Kamil bertugas bagian perawatan counter.
”Okay, ada pertanyaan?” tanya Ade pada anak buahnya sambil tersenyum. Sudah hampir jam istirahat siang.
”Mbak, hotel untuk tamu dari Bangkok siapa yang atur?” tanya Wiwik.
”Oh... mereka tamu Direksi, jadi Mbak Anna yang atur, bukan budget promosi. Katanya sudah pesan di Hilton. Aku cuma diminta menemani Pak Andreas aja. Nanti Okada san juga mendampingi kok!” kata Ade.
”Tapi siapkan saja ruang rapat kita. Brosur produk, company profile , gift-away lima set sama itu check spidol untuk white board nya, jangan yang kering ya! Oh iya, bilang sama bagian rumah tangga, jangan kasih tamuku air mineral di gelas plastik. Pakai gelas goblet . Itu gelas bening yang ada kakinya. Bunga jangan lupa, pesan sama Poppy ya! Bilang aja seperti biasa untuk ruang rapat, dia sudah tahu!” kata Ade.
”Ya Mbak!” kata Wiwik tersenyum.
”Okay, masih ada yang mau dilaporkan?” tanya Ade sambil memandangi stafnya satu persatu. Semua menggeleng, Ade tersenyum, maklum. ”Sudah lapar ya? Ok, rapat selesai! Kita makan siang bareng yuk! Aku traktir, mau?” ajak Ade ”Sudah lama ya nggak pergi sama-sama!” katanya meneruskan sambil bangkit. Semua menyambut gembira.

Elvie, resepsionis, muncul di ruangan Ade, menyerahkan sebuah kotak kado, tak terlalu besar berwarna pink dengan pita putih dan bunga kain berwarna putih dan pink pucat dan dust purple . Cantik sekali.
”Mbak, ini untuk Mbak Ade, baru datang” kata Elvie. ”Emang Mbak Ade ulang tahun ya?” kata Elvie lagi. Ade menggeleng, Lanny, Wiwik, Nur dan Riana mendekat ingin tahu isi kotak yang indah itu.
”Buka dong Mbak! Penasaran deh” kata Wiwik.
Sebenarnya Ade juga ingin tahu, siapa pengirimnya dan apa isinya. Alan lagi? Ade melepaskan pita, membuka tutup kotak dan menemukan sebuah kotak dari plastik tranparan. Sebuah bros dari perak berbentuk lingkaran dengan lima mutiara, indah sekali dan elegan.
”Aduh, bagus sekali Mbak!” ujar Wiwik. Di dasar kotak, Ade menarik selembar scarf sutera putih, sangat cantik dengan motif rangkaian bunga, tulisan kecil pada scarf terbaca Hanae-mori. Ade berkerut, siapa yang mengirim hadiah yang mahal ini? Jangan-jangan benar dari Alan. Dari lipatan scarf melayang kartu kecil persegi ukuran tujuh centimeter. Nur, cepat menyambarnya. Menyerahkan pada Ade. Ade membuka amplopnya. Ade membaca tulisan tangan rapi dengan tinta biru: Untuk Mbak Ade, Sheila sudah sembuh. Terima kasih. Salam kami, Rizal & Patricia Rose Irene Sheila. ”Nama Sheila panjang sekali” pikir Ade, kemudian teringat bahwa isteri Rizal namanya Pris. Ade faham, setiap bagian nama Sheila adalah nama dari Pris. Dia begitu sayang dengan isterinya, kasihan sekali mereka dipisahkan oleh maut, pikir Ade.
”Dari temanku” kata Ade, melipat kembali scarf dan memasukkan bros ke kotaknya. ”Ayo ah, berangkat!” ajak Ade. Anak buahnya mengikuti, mereka keluar bersama, makan siang di sebuah mall dekat kantor. Untuk keluar makan siang, Lanny, Wiwik, Nur dan Riana tetap mengenakan seragam mereka, rok terusan warna abu-abu muda berkerah pita dengan blazer pendek berwarna putih bergaris kecil tipis warna abu-abu.
Sedangkan Ade memakai setelan celana panjang dan blazer biru telur asin dengan blus putih. Hari ini dia menggunakan sepatu putih berhak tinggi dan tas putih. Sangat keren. Memang untuk urusan penampilan, perusahaan garment tempat Ade bekerja sangat memperhatikan karyawatinya. Termasuk soal tata rias wajah. Bahkan untuk pergi makan siang keluar kantor, para karyawati tidak diperkenankan memakai sandal. Padahal jika jam makan siang sering terlihat karyawati perusahaan lain bersandal jepit saja, biar santai. Bahkan keluyuran di mall saat makan siang. Memang agak kurang serasi, stelan blazer dengan sandal. Apalagi sandal jepit!
Setelah makan siang, Jun, Dimas dan Kamil minta izin pergi duluan. Ade berjalan bersama Lanny dan Wiwik setelah selesai makan siang menuju pintu utama. Nur dan Riana berjalan di belakang mengikuti. Sambil berjalan menuju pintu utama itu, Lanny bercerita dia akan menikah dengan tunangannya bulan Desember nanti. Ade mendengarkan. Dia dan Lanny hampir sama usianya. Wiwik lebih muda setahun. Sepintas mereka bertiga seperti teman saja, tak seperti hubungan atasan dan bawahan. Akrab, hangat dan saling mempercayakan masalah mereka. Padahal mereka baru bergaul sekitar enam bulan dengan Ade. Dengan Nur dan Riana, Ade bukan tidak akrab, tapi mereka seperti adik-adiknya, karena usia mereka lebih muda.
”Mbak Ade, Pak Alan telpon tiap hari lho!”kata Wiwik ”Dia tanya aku terus, siapa Pak Rizal, rumahnya dimana, kantornya dimana, punya gelar apa? Pusing, gimana jawabnya, aku kan nggak tahu apa-apa?” lanjut Wiwik. Ade menoleh ke Wiwik yang berjalan di sampingnya, tersenyum.
”Sorry, merepotkanmu!” kata Ade. ”Rizal itu kenalan biasa Wik, bukan pacarku!” jawab Ade, saat itu mereka sudah berada di pintu utama mall, menunggu Pak Yono menjemput.
Mall pada jam satu siang ini masih sangat sibuk, padat dengan mereka yang shopping dan karyawan yang mau atau selesai makan siang. Ade dan empat anak buahnya berdiri bergerombol di depan pintu utama. Saat itu di depan mereka berhenti sebuah sedan warna putih. Tiga pria muda keluar dari mobil itu. Mungkin para karyawan yang telat makan siang.
”Mbak Ade!” terdengar seseorang memanggil Ade. Ade mencari arah suara yang memanggilnya. Ufs...... Rizal berdiri dihadapannya! Sedang tersenyum ceria, pamer gigi indahnya yang seperti iklan pasta gigi di televisi itu. Hari ini dengan baju warna putih lengan panjang berdasi warna abu-abu tua dengan garis merah, celana abu-abu tua. Rupanya Rizal adalah salah satu pria yang keluar dari mobil putih tadi.
”Hey, Mas Rizal, mau makan siang ya?” jawab Ade. Rizal mengangguk.
“ Ayo sama-sama!” ajak Rizal mendekati Ade diikuti kedua temannya.
”Oh... kami sudah, sekarang mau pulang, lagi tunggu mobil!” jawab Ade. ”Oh iya,.. ini kenalkan, teman-temanku” kata Ade.
Lanny mengulurkan tangan pada Rizal ”Saya Lanny, anak buah Mbak Ade, bukan teman aja!” kata Lanny tersenyum.
”Saya Wiwik, sekretarisnya” kata Wiwik ketika menjabat tangan Rizal. Rizal juga berkenalan dengan Nur dan Riana. Ade melihat Nur dan Riana saling bersenggolan, entah ada apa. Ade juga melihat Lanny terus mengamati Rizal lalu mencubit Wiwik pelan.
Rizal kemudian melambai kepada kedua temannya yang berdiri menunggu tak jauh dari mereka.
”Mbak Ade, kenalkan teman sekantorku” kata Rizal memperkenalkan seorang pria tinggi, berkulit coklat dengan wajah ganteng, segera menyalami Ade.
”Priatna” katanya memperkenalkan diri, tersenyum hangat. Kemudian seorang lagi menyalami Ade. Pria ini tak terlalu tinggi, berkulit kuning, berkacamana minus, terkesan ramah dan pintar. ”Ari” katanya singkat.
Ade kemudian memperkenalkan keduanya kepada Lanny, Wiwik, Nur dan Riana. Saat itu terlihat mobil Pak Yono mendekat.
”Mas Rizal, silahkan lho, sudah lapar kan? Itu kami sudah di jemput! Oh iya... terima kasih kadonya!” kata Ade sambil mengangguk.
”Okay, nanti aku telpon ya!” kata Rizal.
Ade melambai, meninggalkan Rizal masuk ke mobilnya. Baru saja Ade menutup pintu mobil, sudah riuh suara Lanny, Wiwik, Nur dan Riana membicarakan Rizal dan kawan-kawannya.
”Uuh...Mbak Ade! Ternyata yang namanya Rizal itu guanteng banget!” seru Wiwik. ”Di telpon suaranya bagus lho, sopan lagi!” lanjut Wiwik.
”Mbak, dia kaya BYJ!” kata Lanny, pelan. ”Sayang aku sudah dilamar, kalo nggak.... waah!” kata Lanny tertawa lucu.
”Kaya siapa?” tanya Ade pada Lanny. Lanny tertawa.
”Itu bintang film Korea!” jawab Lanny. ”Pasti Mbak nggak tahu deh!” lanjutnya. Ade mengangguk.
”Mbak boleh juga tuh! Aku merestui!” kata Nur sok tua. Ade tak dapat menahan tawa mendengar ucapan Nur.
”Iih.. Kamu kaya Papaku aja kamu Nur!” kata Ade. ”Hey .... Lanny sudahlah! Nggak usah serakah, Gunawan satu aja belum habis!” kata Ade. Lanny hanya tersenyum tak berkesudahan.
”Abis ganteng sih Mbak!” katanya masih cengar cengir.
”Wik, yang dua lainnya aja, Rizal itu susah lho, soalnya baru kematian isterinya!” kata Ade.
”Haah! Kasihan..... tapi nggak apa-apa deh Mbak!” jawab Wiwik asal-asalan.
”Iya, tapi kamu mau jadi ibu tiri nggak?” Jawab Ade, membuat Wiwik tersenyum kecut.
”Takut.... heh?” desak Ade sambil tertawa.
”Mbak..... itu... beneran ya?” tanya Riana yang sedari tadi berdiam diri. Ade mengangguk.
”Uuh sayang ya!” kata mereka serempak.


Hari Jum’at ini Ade berangkat ke Manado. Sambil duduk di jok belakang mobilnya yang menuju bandara Soekarno-Hatta, pada jam empat tiga puluh pagi, Ade menulis beberapa draft email di laptop nya. Sebuah email untuk Abangnya Lucky. Ade meminta Mama dan Papanya agar tidak usah mengkhawatirkannya. Dia juga memberitahu bahwa liburan akhir tahun ini dia belum bisa cuti, jadi batal menyusul ke Belanda. Mungkin baru April bisa cuti kesana. Musim semi lihat tulip tentu asyik.
Ade menulis balasan email untuk Tony Griffith, temannya di Australia yang mengundangnya untuk bergabung pada saat dia dan Mary, isterinya libur akhir tahun di Bali. Sebuah email untuk Tania, Ade menolak Tania yang memintanya ikut jadi panitia reuni. Ade merasa tak sanggup untuk jadi panitia karena rapat-rapat persiapan reuni diadakan Jum’at sore sepulang kantor dan Sabtu. Hari yang justru sangat sibuk bagi Ade, apalagi menjelang peluncuran produk baru Women’s Diary. Draft email untuk Yuriko, memberitahunya kemungkinan akan tugas ke Bali dalam waktu dekat. Mungkin bisa bertemu dengannya disana.

Jalan menuju bandara masih sepi, jadi mobil yang dikemudikan Pak Yono melaju kencang di jalan tol. Selesai mengirim emailnya, membaca beberapa surat dari teman-temannya lalu Ade mencari berita politik dan ekonomi dari beberapa situs koran pagi. Sedari tadi dia sudah mendengar dua kali signal SMS di telepon genggamnya. ”Sepagi ini sudah ada yang SMS?”pikir Ade
Ade menyudahi membaca berita di situs internet, mematikan komputernya dan memasukkannya ke dalam tas laptopnya. Ade membaca SMS, dari Rizal. Isinya ”Selamat Pagi! Aku baru sholat subuh. Tadi aku berdoa semoga hari ini bisa mengajakmu makan siang bersama. Bisa kan?”
Ade tersenyum geli. ”Kasihan kau! Sekarang Tuhan tidak mengabulkan doamu!” katanya dalam hati.
Ade membalas SMS Rizal. ”Banyak-banyak berdoa ya biar dikabulkan Tuhan! Aku sedang di jalan tol ke bandara, mau ke Manado. Take off jam enam. Daag!” Kemudian Ade membaca SMS lainnya, dari Lola. Lola minta izin Mbok Piah menginap di rumah, karena pembantunya sedang pulang ke kampung. Suaminya juga sedang keluar kota, takut sendirian di rumah. Ade langsung menelpon ke rumah, menyuruh Mbok Piah telpon Lola agar segera minta kakaknya menjemput.
Ade baru tiba di depan lobby bandara Soekarno-Hatta, Pak Yono mengeluarkan kopernya dari bagasi ketika telpon Ade berbunyi. Di monitor telponnya nama Rizal berkedip-kedip. Ade mendekatkan telpon ke kupingnya, sambil mendorong koper berrodanya dengan tangan kanan, dibahunya tersandang tas komputernya, serta tas kerjanya, memasuki ruang check in bandara.
”Halo Mas Rizal Selamat pagi!” jawab Ade.
”Halo Mbak Ade, pulang dari Manado kapan?” tanya Rizal dari ujung telepon.
”Mungkin Senin Mas! Sebentar ya!” jawab Ade, sekarang dia sedang membiarkan petugas membantu mengangkat kopernya melewati pemeriksaan dengan alat detector. Ade meletakkan tas-tas yang di sandangnya ke atas jalur detector. Dia sendiri melalui pintu detector. Lalu mengambil barang-barangnya. Kemudian dia berjalan ke meja check in yang masih kosong, hanya dijaga seorang petugas wanita. Terdengar suara Rizal di ujung telpon.
”Aku mau undang makan malam, kalau gitu Senin sore aku telpon lagi. Ok?” kata Rizal.
”Ada apa sih, kok pakai acara makan malam segala?” usik Ade kini dia berdiri persis di depan check in counter
”Ulang tahunku! Sepupuku ajak kumpul malam Minggu nanti di rumah, sayang Mbak Ade nggak ada ya!” kata Rizal menyesalkan.
”Mas, sebentar, aku lagi check in, tunggu ya!” kata Ade.
Ade menyerahkan kopernya kepada petugas check in, menunjukkan tiketnya, membayar sejumlah uang untuk airport tax. Kemudian dengan sigap wanita petugas check in mengembalikan ticketnya, boarding pass dan memberikan slip bukti bagasinya, bagage claims .
”Terima kasih, Mbak!” kata Ade mengangguk hormat. Lalu kembali menyambung pembicaraannya dengan Rizal sambil berjalan menaiki eskalator menuju boarding room di lantai dua. Kini dia tiba di atas, sisi kiri kanan gallery, beberapa toko sudah buka.
”Mas Rizal, ulang tahunnya kapan? Yang ke berapa?”tanya Ade sambil berjalan menyusuri koridor.
”Hari ini, ke tiga empat, makanya aku ingin kita makan siang sama-sama!” kata Rizal.
”Wow, selamat ulang tahun ya! Semoga bahagia!” kata Ade riang. Sekarang dia menapaki lobby anjungan ruang tunggu, menuju boarding room, ruang tunggu untuk masuk ke pesawat.
”Bisa kasih hadiah nggak buat aku?” tanya Rizal tiba-tiba, membuat Ade kaget. Sebenarnya dia sedang memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Rizal. Sebuah dasi? Rasanya sok akrab banget, terlalu personal ah! Pin dasi? Sama saja. Management Diary? Memangnya relasi bisnis? Ade menimbang-nimbang barang yang tepat untuk hadiah ulang tahun Rizal.
”Hah.... apa? Hadiah? Sebentar.... boleh...boleh! Tapi aku masih bingung Mas dikasih apa ya?” sahut Ade. Terdengar suara Rizal tertawa senang.
”Gampang! Hadiahnya makan malam bersama aja? Oke kan? Kita atur lagi waktunya?” kata Rizal. Ade tertawa mendengarnya. Begitu simpel permintaan Rizal. Mengapa tidak, pikir Ade.
”Okay, nanti pulang dari Manado? Mau makan di mana?” jawab Ade.
”Tenang! Tempatnya aku yang atur! Kalau Selasa setelah pulang kantor bisa nggak? Nanti ku jemput di rumah!” kata Rizal semangat.
”Okay deh! Kalau ada perubahan nanti aku telpon deh!” kata Ade
”Ok, selamat jalan ya! Take care! kata Rizal.
”Thanks, salam buat Sheila ya, daag!” jawab Ade lalu mendengar salam perpisahan dari Rizal dan kemudian memutuskan sambungan telponnya.
Ade lalu memilih tempat duduk dekat dinding berkaca. Beberapa calon penumpang telah duduk. Seorang wanita tua dengan cucunya barangkali. Seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun bersama isterinya, dua pemuda berjeans dan jaket dengan perlengkapan camera video sangat lengkap, duduk mengobrol di sudut ruang.
Ade melihat jam di teleponnya, masih ada waktu satu jam sebelum berangkat, jadi dia membuka laptopnya. Aku harus membacai email yang dikirimkan untuk bagian promosi, pikir Ade. Tadi malam sebelum tidur Ade telah men down-load dan menyimpan email-email itu di komputernya, maka dia tak membutuhkan koneksi ke fasilitas internet lagi. Di bukanya folder promosi. Ada sembilan belas surat masuk yang belum dibacanya. Delapan buah email tersebut merupakan proposal permintaan mensponsori kegiatan mahasiswa di sebuah kampus, olah raga, dan events komersial. Selebihnya beberapa keluhan dari agen tentang brosur produk yang dipromosikan yang kurang dan terlambat tiba. Satu surat permintaan renovasi outlet dari sebuah department store. Ade menulis instruksi untuk Wiwik dan Lanny untuk menanggapi surat dari agen. Meminta proposal-proposal yang masuk untuk dibicarakan setelah dia kembali ke Jakarta saja. Ade berencana mengirimkan semua jawaban nanti saja setiba di Manado.
Tiba di Manado hari sudah siang, Ade di jemput Frans Mambo, kepala cabang. Berdua mereka langsung ke kantor. Masuk ke ruang kerja Frans, duduk di kursi depan meja kerja Frans, meletakkan laptopnya di atas meja. Ade diberi tahu, bahwa Lanny dan Pak Kimi sedang keliling kota untuk survey promosi, juga mau pasang slide promosi di bioskop.
”Bu Ade, kita lihat persiapan peragaan busana setelah makan siang ya!” kata Frans, begitu mereka tiba di kantor. Ade mengangguk.
”Sekarang saya mau lihat stock barang saja dulu Pak!” kata Ade, duduk di kursi yang menghadap meja kerja Frans. Dia membuka laptopnya.
Frans menyerahkan kertas print-out stock barang. Ade mengamatinya, kemudian bicara.
”Pak Frans, lebih baik minta kirim barang lagi, masih ada waktu. Stock disini cuma tujuh kali omzet tanpa kegiatan promosi” Frans baru mau menjawab ketika Ade sudah melanjutkan. ”Pengalaman Jakarta dan Bandung waktu ada fashion show, stock aman untuk transaksi lima belas kali omzet. Ini produk yang disukai remaja dan wanita muda. Siap-siap aja, Pak, aku rasa Manado karakternya seperti Jakarta atau Bandung. Mereka suka fashion!”
”Oh begitu Bu, kalau gitu saya batalkan dulu untuk kirim barang ke Bitung, Palu dan Ternate. Nanti saya tambah order lagi” kata Frans.
Ade mengangguk, sambil membuka file komputernya, lalu menunjukkan pada Frans daftar beberapa produk yang sangat digemari.
”Pak Frans, lihat tuh, data penjualan Bandung. Seru kan, SPG sampai kewalahan lho! Jadi minta kirim warna biru dan pink lebih banyak! Kirim pakai pesawat!” kata Ade. ”Begini, Pak Frans, order tetap pakai email, tapi harus bicara langsung sama Pak Wibowo, Manager Finish Goods , biar cepat ditanggapi. Orang gudang biasanya baru sempat check email masuk sore hari sih!” kata Ade.
”Pak Frans, satu lagi, minta tambahan kasir khusus sama toko” kata Ade. ”Oh iya, aku bawa video rekaman waktu fashion show. Kasih lihat pihak toko aja nanti” kata Ade meneruskan.
”Baik Bu!” kata Frans. Kemudian Frans segera mengisi order sheet , mengirimkan email ke fabrik dan menelpon Pak Wibowo. Meski mengomel-ngomel karena anak buahnya harus lembur, Pak Wibowo setuju mengirim barang segera. Dia minta bicara dengan Ade.
”Mbak Ade, ini aku, Wibowo! Dasar si Frans itu, bikin orang gudang panik aja! Pulang bawa oleh-oleh ya!” katanya tertawa. Ade turut tertawa.
”Ini mau marah-marah apa minta oleh-oleh?” kata Ade menggoda.
Pak Wibowo terbahak lalu menjawab ”Dua-duanya! Kalau bukan programnya Mbak Ade aku nggak mau lho, soalnya lembur diperketat sama Bu Laksmi. Personalia lagi galak nih!” kata Pak Wibowo, menjelaskan.
”Wah..apa perlu aku bicara sama Bu Laksmi?” tanya Ade.
Pak Wibowo menjawab, ”Nggak, nggak usah Mbak! Nanti aku lampirkan order sheet dari Frans aja cukup. Ada detail jam terima ordernya kok!” Kemudian mereka menyudahi pembicaraan telpon.

”Ok Bu, sekarang kita keluar makan siang sekalian taruh koper Ibu ke hotel” kata Frans. Ade bangkit, bersama Frans keluar kantor menuju hotel tempatnya menginap sekaligus makan siang disana. Baru selesai makan siang, telepon Ade berbunyi. Di monitor terlihat nama Harry berkedip. Ade segera mengangkat telpon,
”Halo, Mas Harry, selamat siang!” kata Ade. Terdengar suara Harry diantara suara bising jalan raya.
”Hai, lagi dimana nih, mau kujemput nggak? Makan siang sama-sama yuk?”kata Harry riang. Ade teringat ajakan Rizal tadi subuh tadi. Ade heran, kakak adik ini, selalu punya ulah yang sama!
”Mas, aku sudah makan siang nih!” kata Ade.
”Yah... nggak apa-apa, temani aku aja mau? Sekarang aku sudah di depan TVRI, sudah dekat kantormu?” kata Harry. Ade geli mendengarnya.
”Hei Mas Harry salah jalan tuh, terus aja ke jalan Gatot Subroto, masuk jalan toll yang ke bandara, naik pesawat ya jemputnya!” kata Ade tertawa menggoda.
Harry terdengar bingung ”Lho! Memang kamu dimana?”tanya Harry.
”Manado!” jawab Ade santai.
”Hah..Manado! Ini orang, susah amat sih mau ketemu!” kata Harry kaget.
”Memang ada urusan apa sih pakai ketemu segala?” tanya Ade.
Harry tertawa kecil lalu menjelaskan ”Nggak, aku mau ngajak ke rumah. Kumpul di rumah malam Minggu”
”Oh...itu, merayakan ulang tahun Mas Rizal hari ini kan?” kata Ade.
”Eh.. kok sudah tahu?” tanya Harry.
”Tadi pagi kan Mas Rizal telpon aku!” kata Ade. Lalu melanjutkan ”Maaf aku nggak bisa, baru pulang Senin sih. Salam ya buat semua!” kata Ade. Ade mendengar suara lesu dari Harry.
”Ok deh, hari Senin kujemput di bandara ya?” kata Harry. ”Sialan, selalu Rizal duluan yang menelpon Ade!” sungut Harry dalam hati sambil menyetir mobilnya.
”Nggak usah! Aku dijemput Pak Yono kok!” jawab Ade.
Rupanya Harry tak putus asa, ”Kamu ini aku mau berbuat baik kok dibilang gitu. Tenang boss, kirim SMS aja jam berapa datang, naik pesawat apa, mau di jemput terminal apa. Pokoknya aku jemput ya! Nggak boleh nolak, dosa! Daag!” kata Harry sambil tertawa. Ade hanya bisa ikut tertawa karena sedetik kemudian sambungan telepon di putus Harry.
”Dasar anak gunung!” sungut Ade tersenyum, memandangi teleponnya membuat Frans yang duduk di depannya heran.
Ternyata urusan di Manado sangat lancar, promosi sukses, nilai penjualan meningkat tajam. Ade dan Lanny serta Jun sangat sibuk, malam sekali baru bisa kembali ke hotel untuk beristirahat. Sejak malam Minggu Ade merasa kurang sehat, kepalanya sakit dan agak demam. Tapi dia coba menahannya dengan minum obat yang dia beli di apotek hotel. ”Besok aku bisa pulang, tidur pasti sehat lagi!”pikir Ade.
Frans sangat berterima kasih pada Ade dan staff nya. Hingga Frans mengundang beberapa SPG dan karyawan kantornya untuk makan malam bersama dengan Ade dan stafnya pada Senin malam. ”Sekalian malam perpisahan ” kata Frans memberi alasan pada Ade. Saat bersama dengan mereka itulah Harry menelpon Ade. Ade teringat permintaan Harry untuk mengirim SMS. Uh.. aku lupa! keluh Ade.
”Halo Mas Harry!” sapa Ade.
”Ayo, kamu pulang besok kan! Kenapa belum juga kasih kabar?” sahut Harry.
”Wah... jangan marah dong. Lupa! Besok jemput jam empat, aku pakai Garuda. Itu waktu Jakarta lho!” kata Ade.
”Good! Sekarang lagi apa?” tanya Harry.
”Oh... makan malam sama anak-anak kantor! Mau oleh-oleh apa?” tanya Ade.
”Ah... nggak usah, kamu cepat pulang aja sudah senang kok!” kata Harry.
Ade terhenyak. ”Waduh..... dia mulai lagi menyerangku! Bagaimana menghadapi dua kakak beradik ini?” pikir Ade. ”Rasanya lebih mudah menghindari Alan dari pada mereka” keluhnya dalam hati. Bagi Ade, kini dari Alan hanya tertinggal rasa sakit hati saja, kenangan indah bersama telah semakin mengabur. Terkadang ada muncul, tetapi sangat cepat membuat Ade tersadar. Alan bukan untuknya! Tapi untuk memulai lagi sebuah hubungan? Nanti dulu! keluh Ade. Aku belum siap.
”Halo...halo..,De?” seru Harry, membuat Ade tersentak dari lamunannya.
”Oh... ya, maaf Mas berisik nih nggak dengar!” kata Ade berbohong.
”Sampai besok ya di bandara!” kata Harry.
”Daag!” balas Ade lalu memutuskan sambungan telponnya.
Makan malam dilanjutkan bermobil keliling kota dan berakhir hingga jam sebelas malam. Frans dan Lanny membantunya membawa ke kamarnya beberapa oleh-oleh yang diberikan SPG untuknya. Tapi akhirnya karena terlalu banyak Ade meminta dikirim dengan jasa kurir saja.
Pagi hari Ade masih memberikan briefing pada SPG untuk aturan display barang serta rencana promosi akhir tahun. Setelah itu bersama Lanny dan Jun kembali ke Jakarta. Selama di pesawat terbang Ade berusaha untuk tidur, karena kepalanya terasa pusing. Terasa sedikit demam.

Ade teringat janjinya makan malam dengan Rizal. Tadi, pagi sekali Rizal sudah mengirim SMS. Isinya membuat Ade berpikir, apa yang diinginkan Rizal. Untuk hadiah ulang tahunnya. Untuk oleh-oleh, Ade membelikan T-Shirt untuk Harry dan Rizal, juga untuk iparnya Andy serta Ima dan Sheila. Tanpa disadarinya, mereka menjadi orang yang dekat, sampai terpikir untuk membelikan oleh-oleh segala. Ade heran pada dirinya sendiri.
Rizal pria yang baik, sangat menarik sebagai teman. Ade merasa nyaman bersama Rizal yang kalem, tenang, dan santun sekali. Kelembutan Rizal yang menghanyutkan. Adiknya Harry juga pria yang sama menariknya, sikapnya hampir sama dengan kakaknya. Bersama Harry memang lebih riang, banyak bercanda, Ade lebih bebas bicara. Dari Harry Ade menemukan kehangatan dan ketulusan hati. Membingungkannya.
Jam enam pagi tadi Ade menerima pesan singkat Rizal, benar-benar sangat singkat. ”Candle-light dinner, Tuesday 20.00 WIB. Pick U up 19.00. C U n Thx U!

MENJEMPUT HARAPAN


”Lanny, kau pulang sama Jun diantar Pak Yono ya pakai mobilku! Aku pulang sendiri, sudah di jemput tuh!” kata Ade begitu mereka tiba di bandara Soekarno-Hatta dan keluar dari ruang kedatangan. Ade telah melihat Pak Yono yang berdiri di sebelah Harry di balik dinding kaca.
Harry melambaikan tangannya, tersenyum ceria membalas lambaian Ade. Harry kali ini mengenakan blus lengan panjang warna putih dengan dasi abu-abu bermotif lengkung kecil warna kuning. Pantalonnya warna abu-abu tua, tanpa jas. Masih dengan gaya pengusaha Jepang. Tas laptop hitamnya tersandang di bahunya.
”Oke Mbak, eh... di jemput siapa?” jawab Lanny. Ade tersenyum saja, kemudian mengajak Lanny berjalan keluar. Di depan pintu Harry sudah menanti.
”Mas ini kenalkan, teman-temanku!” kata Ade memperkenalkan Lanny dan Jun. Lanny segera mengulurkan tangannya pada Harry
”Halo, ketemu lagi ya!” kata Lanny. Harry heran, kemudian memandang Ade.
”Lan, ini Mas Harry. Yang dulu kukenalkan kamu namanya Mas Rizal, bingung kan! Emang mereka mirip banget!” kata Ade menjelaskan.
”Oh... ya ampun! Maaf Mas, aku jadi malu!” kata Lanny terbelalak, menutup mulutnya dengan tangan kanan. Harry akhirnya tersenyum, mengerti.
”Oh, sudah pernah ketemu kakakku ya?” katanya. Harry kemudian menyalami Jun. ”Rizal lagi!” keluh Harry dalam hati.
Lanny dan Jun kemudian mengikuti Pak Yono ke tempat parkir.
Harry mengambil koper Ade, mendorongnya sambil berjalan pelan di samping Ade.
”De, capek ya?” tanya Harry memandang wajah Ade yang terlihat lesu dan pucat.
”Ah, enggak kok” jawab Ade, tak ingin Harry tahu kondisinya.
”Tapi kok lemes gitu!” jawab Harry, tetap curiga.
”Aku ke toilet dulu ya!” kata Ade merasa perutnya mual lalu meninggalkan Harry tergesa-gesa menuju restroom .
Ade memandang cermin di toilet, meraba dahinya. ”Ehm aku demam! Wajahku memang lesu. Kenapa aku nggak ngaku!” keluh Ade. Sejak hari Minggu pagi sebenarnya Ade sudah merasa kurang sehat, tetapi karena sangat sibuk dia berusaha menahannya. Dia minum obat penahan rasa sakit kepala dan demam yang dibelinya di hotel. Minum vitamin kemudian berusaha tidur. ”Tapi sekarang kok yang muncul rasa mual” keluh Ade sambil membuka kran, mencuci tangannya di wastafel.
Agar lebih segar tak terlihat pucat seperti komentar Harry, Ade segera mengoleskan lipstick merah muda ke bibirnya, menyapukan bedak pada pipinya. Merapikan rambutnya. Blus warna putih dengan setelan celana panjang dan blazer warna biru telur asin yang dikenakannya membuatnya terlihat semakin pucat. Ade mencabut dari tasnya selembar scarf warna hijau tosca dengan motif bunga bakung putih, melilitkannya di lehernya. Entah mengapa tiba-tiba malah rasa mual makin kuat. ”Aku mabuk udara?” pikir Ade. Ade bergegas kembali ke toilet, muntah di sana, kepalanya pusing sekali. Lambungnya terasa perih. Dia masih menyimpan sebotol air mineral di tasnya. Minum sedikit. Setelah agak tenang, dia kembali merapikan diri. Menyemprotkan eu de toilet ke tubuhnya, berharap lebih segar. Ade bergegas keluar, teringat Harry pasti sudah terlalu lama menunggunya. Begitu keluar dari pintu rest room, Ade menemukan Harry berdiri di depan pintu toilet, menunggunya, gelisah.
”Kau kenapa?” tanya Harry sambil memegang bahu Ade. Ade menggeleng, berusaha senyum menutupi rasa sakit pada lambungnya.
”Ayo, pulang!” ajak Ade tak menjawab pertanyaan Harry. Harry berjalan di samping Ade, menuju ke mobilnya yang berada di parkir depan tak jauh dari lobby. Selama berjalan, Harry memperhatikan gerak gerik Ade.
”De, jangan bohong, kamu sakit kan?” desaknya begitu sampai di mobilnya. Harry membukakan pintu depan untuk Ade. Memasukkan koper ke bagasi belakang. Harry meletakkan tas laptop Ade, serta tas nya sendiri ke jok belakang mobil. Ade telah duduk menyandar, Harry masuk ke mobil duduk di belakang kemudi. Harry menoleh pada Ade yang sedang memejamkan matanya. Ade merasa pusing sekali. Tiba-tiba Ade merasakan telapak tangan Harry di dahinya.
”Sejak kapan sudah demam begini? Kepalamu pusing?” tanya Harry.
”Minggu” jawab Ade lemah, merasa tak mungkin lagi menutupi sakitnya.
”Sudah minum obat apa? Muntah sudah berapa kali?” desak Harry.
”Hah..itu?” kata Ade gelagapan tak menyangka Harry mengetahui dia muntah di toilet tadi.
”Baru tadi di toilet” jawab Ade, pasrah ketahuan bohong dan berusaha senyum pada Harry. Harry melotot, gemas. Dia kemudian membuka laci dashboard, mengambil senter. Kemudian mengambil tissue basah dan melap kedua tangannya. Kemudian menyalakan senternya.
”Kalau sakit nggak perlu malu! Coba buka mulutmu!” perintah Harry, mengarah senter ke mulut Ade. Ade kaget, mau apa dia, pikirnya.
”Ayo De, buka mulutmu!” ulang Harry menyuruh Ade, sikapnya serius. Dengan heran Ade melihat Harry memegang dagu Ade, mengamati mulutnya bertingkah seperti dokter memeriksa pasien. Meski begitu Ade menuruti permintaan Harry. Harry kemudian memeriksa nadi pada pergelangan tangannya, menatap jam tangannya serius sekali. Harry mematikan senternya, kemudian memeriksa mata Ade. Serius, Ade menatap mata Harry, tak menemukan gaya bercanda disana.
”Kita langsung ke dokter aja” kata Harry kemudian.
”Eh.... eh.. nggak usah Mas!. Aku cuma kecapekan aja kok!” cegah Ade.
”De, aku pernah empat semester di FK , aku tahu itu bukan kecapekan. Gejala typus, tahu! Sudah jangan melawan deh!” kata Harry sambil mengambil telepon genggamnya, lalu bicara pada seseorang.
”Mul, lagi dimana nih? Oh... aku mau ke tempatmu ya sekarang. Bawa pasien nih! Okay, tunggu ya! Daag!” Harry mengakhiri pembicaraannya.
”Okay De, tidur aja kalau kepalamu makin pusing. Nanti ke tempat praktek temanku aja di Tomang, dekat dari sini kok!” kata Harry kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan bandara.
Ade merasa demamnya semakin tinggi, membiarkan Harry memegangi tangannya sambil menyetir mobilnya. Meski tak tidur tapi Ade juga merasa tidak begitu kuat untuk buka matanya. Jalan tol menuju ke arah Tomang masih lancar di sore Jum’at ini. Harry mengarahkan mobilnya ke sebuah jalan di daerah Tomang. Berhenti di sebuah klinik praktek dokter. Harry bergegas keluar mobil, menggandeng Ade yang ternyata makin merasa lemas. Teman Harry, dokter Mulyono sudah berdiri di depan pintu ruang prakteknya.
”Halo Harry, selamat sore! Siapa yang sakit?” tanya dokter Mulyono.
”Ini Ade, temanku, tolong Mul” kata Harry sambil menggandeng Ade memasuki ruang periksa. Ade berusaha tersenyum dan mengangguk pada dokter Mulyono.
”Ayo Mbak berbaring aja!” kata dokter Mulyono sambil menunjuk ke sebuah tempat tidur bersprei putih. Seorang perawat wanita membantu Harry membimbing Ade untuk naik ke tempat tidur, kemudian melaporkannya pada dokter.
Sementara itu Dokter Mulyono duduk di mejanya, menulis pada kartu status untuk pasien.
”Namanya Ade ya Har?” tanyanya pada Harry.
”Alexandra Lusiana!” kata Harry.
”Oh.. Ade nama panggilan ya! Usia?” tanyanya lagi. Ade yang berbaring melihat Harry yang berdiri di samping tempat tidur terlihat bingung tak tahu menjawab apa.
”Dua tujuh” kata Ade lemah, kepalanya benar-benar pusing.
“Anda bekerja?” tanya Dokter Mulyono lagi, Ade mengangguk
”Ok, Mbak Alexandra Lusiana, merasa demam sejak kapan? Minum obat apa?” tanya dokter Mulyono meninggalkan meja tulisnya, mendekati Ade.
”Sejak Minggu, minum obat penurun panas aja” jawab Ade.
”Buka mulut... ya..ya!” perintah dokter Mulyono, persis seperti Harry tadi. Lalu melanjutkan memeriksa dengan stetoskopnya dan mengukur tekanan darah Ade. Dia juga melakukan pemeriksaan pada mata Ade dan perut dengan mengetukkan jari dan menekan tangannya.
”Selain pusing dan muntah, ada batuk?” tanya dokter Mulyono. Ade menggeleng.
”Sudah selesai, silahkan duduk!” kata dokter Mulyono sambil kembali duduk meja kerjanya.
”Bagaimana Mul?” tanya Harry setelah duduk berdampingan dengan Ade di depan meja dokter Mulyono.
”Mungkin typoid, aku kasih obat telan dulu. Untuk kepastian sebaiknya check darah!” kata dokter Mulyono. Lalu melanjutkan, ”Mau check di klinik sini atau di luar?” tanyanya.
”De, check disini aja ya, biar tuntas!” kata Harry.
”Dok, kalau benar typoid apa aku harus di rawat?” tanya Ade ragu, teringat begitu banyak rencana kerjanya.
Dokter Mulyono, tersenyum lebar. Bukan menjawab pertanyaan Ade, dia malah bicara pada Harry.
”Har, tahu nggak, itu khas pertanyaan wanita bekerja! Mereka takut dirawat inap karena banyak kerjaan kantor tertunda!” katanya.
Mau tak mau Ade tersenyum, Harry juga tersenyum.
”Mul, dia gila kerja! Ini kan baru aku jemput dari bandara pulang dari Manado. Garuda tuh kan kaya punya bapaknya, makanya seluruh Indonesia dia datangi!” kata Harry bercanda. Ade bisanya hanya senyum menanggapi gurauan Harry. Dokter Mulyono justru tertawa terbahak.
”Dok, saya check darah disini saja deh, lama nggak?” kata Ade menyerah. Kepalanya terasa berat, pusing.
”Satu jam lah, lalu kembali kesini lagi bawa hasilnya” kata dokter Mulyono. Menyerahkan surat pengantar pada Ade kemudian meminta perawat menunjukkan ruang laboratorium yang berada di belakang klinik. Ade bersama Harry mengikuti perawat ke laboratorium.
Sebenarnya letak laboratorium tak terlalu jauh dari ruang periksa dokter Mulyono tadi, dibelakang bangunan induk, tapi Ade merasa lelah sekali untuk berjalan kesana. Kepalanya pusing sekali dan tubuhnya terasa sangat lemas. ”Aku harus kuat, jangan begini!” tekad Ade sambil berjalan tegak disamping Harry menyusuri koridor. Tas di bahunya terasa berat sekali, Ade membetulkan letak tali tas dibahunya. Tapi justru hasilnya malah tubuhnya oleng. Harry cepat menangkap tubuh Ade sebelum membentur kursi di koridor itu, merangkulnya. Mata Ade terpejam, kepalanya berada di bahu Harry.
”De... De!” seru Harry khawatir melihat Ade yang pingsan. Ade masih samar mendengar suara Harry memanggilnya. Perawat membantu Harry memapah Ade, mendudukkannya di bangku yang kebetulan dekat mereka.
Ade duduk, bersandar di bahu Harry, matanya tertutup, tubuhnya benar-benar lemah tak berdaya. Ade tak mendengar apapun lagi.
”Suster, panggil dokter!” kata Harry panik, memeluk Ade.
Dokter Mulyono cepat muncul, kembali memeriksa Ade.
”Har, baringkan di ruanganku saja!” Dokter Mulyono lalu memberi instruksi pada perawat ”Suster siapkan infus , orang lab suruh datang sekarang!” Dokter Mulyono.
”Baik dok” jawab perawat mengambil surat pengantar dari tangan Harry dan meninggalkan mereka.
Harry mengambil tas Ade kemudian menyerahkannya pada Dokter Mulyono, juga tas nya sendiri. ”Pegang!” katanya singkat. Kemudian dengan sigap menggendong Ade ke kamar periksa Dokter Mulyono. Harry merebahkan Ade di tempat tidur periksa. Perawat segera memasangkan infus ke lengan kirinya. Ade berbaring diam. Dokter Mulyono mendekat, lalu bicara.
”Aku lihat hasil lab dulu ya Har, baru tentukan langkah selanjutnya! Rasanya infus sudah cukup!” katanya pada Harry.
Harry sedang berdiri di samping tempat tidur Ade, berusaha melepaskan dasinya.
”Oke, Mul, kayanya parah ya?” kata Harry khawatir.
”Tenang Har, eh..tumben kau begitu! Eh.. apa dia pacarmu ya?” bisik dokter Mulyono. Harry tak menjawab, tangannya sedang menggenggam tangan Ade.
”Hus, jangan berisik. Ada orang sakit!” bisik Harry membuat dokter Mulyono, sahabatnya tertawa pelan.
”Eh... ngomong-ngomong aku kok rasanya pernah lihat dia. Apa dia model?” kata dokter Mulyono. Harry malas menjawab karena melihat Ade membuka matanya.
Ade berusaha senyum pada Harry ”Mas Harry, maaf menyusahkanmu!” kata Ade lemah. Harry hanya tersenyum, belum sempat menjawab, telpon di tas Ade berbunyi lagi. Harry bergegas mengambil tas Ade yang di letakkan di ujung kakinya.
”Mau jawab, aku ambilkan?” tanyanya, Ade mengangguk.
”Ini, dari Alan!” kata Harry sambil menyerahkan telpon pada Ade. Dia melihat nama Alan berkedip di monitor telepon Ade.
”Mas, tolong bilang aku lagi nggak bisa jawab!” kata Ade. Melihat Harry ragu, Ade lalu berkata lagi ”Please!” pinta Ade serius.
”Hallo!” sapa Harry. ”Bukan, aku Harry, memang ini nomor telpon Ade. Dia lagi sibuk, minta maaf dia tak bisa menjawab telpon Anda” kata Harry menjelaskan. ”Oh..saya... temannya. Dia ada disini, cuma sedang sangat sibuk!” lanjut Harry. ”Oke nanti saya sampaikan, ya....ya dari Alan. Oh tentang reuni, oke.. oke!” kata Harry lalu memutuskan sambungan telpon.
Harry tersenyum pada Ade, ”Beres! Aku jago acting kan? Kenapa, kau masih marah ya sama dia?” kata Harry bercanda. Ade tak mau menjawab. Harry menangkap lagi sinar mata murung Ade. Saat itu masuk petugas laboratorium masuk, seorang pria masih muda membawa peralatannya.
”Selamat sore Dok!” katanya memberi salam pada dokter Mulyono.
”Selamat sore Mas Pri, saya minta cepat ya, hasilnya anter kesini!” kata dokter Mulyono.
”Baik Dok!” kata petugas laboratorium yang dipanggil Pri itu.
Dengan sigap Pri mengambil sampel darah Ade dari lengan kirinya, bergegas pergi.
Harry menarik sebuah kursi, duduk di dekat Ade. ”Cobalah tidur De!” katanya memegangi tangan Ade. Harry merasakan tangan Ade lemah, tak bertenaga. Wajahnyapun pucat pias. Harry baru menyadari Ade termasuk sangat langsing bahkan terlihat kurus saat berbaring ini.
Saat itu di ruang sebelah, terhalang tirai kain putih, dokter Mulyono memeriksa beberapa pasiennya hingga hasil pemeriksaan darah Ade diantarkan. Dr. Mulyono menyingkap tirai putih tempat Ade berbaring ditunggui Harry.
”Sebaiknya Mbak Lusiana dirawat saja. Positif typoid. Bagaimana? Nanti kubuatkan surat pengantar!” kata dokter Mulyono. Ade ragu tapi juga merasa memang benar-benar lemah. Ade mengangguk
”Dok bisa di rawat di rumah sakit Fatmawati? Biar dekat deengan rumah saya” kata Ade.
”Oh bisa, kebetulan saya kan tugas disitu!” dokter Mulyono. ”Nggak usah panggil dokter, Mul aja, aku teman Harry kok !” katanya.
”Suster Wati, minta Pak Rukun siapkan ambulance, ke Fatmawati sekarang. Kamu yang antar ya!” katanya memberi instruksi pada perawat.
”Baik Dok!” jawab perawat itu, bergegas keluar ruang.
”Kok pakai ambulance?” tanya Ade.
“Itu prosedur bawa orang sakit dari klinik kami”. kata dokter Mulyono ”Lagi kan bisa cepat, tidak kena macet, ini jam pulang kantor! Saya kesana selesai periksa pasien disini. Ok!” kata dokter Mulyono tersenyum.
”Tunggu ya, kita siapkan!” Dokter Mulyono kemudian menulis surat pengantar, menyerahkan nya pada Harry serta seberkas file.
”Har, kau tinggal aja mobilmu disini. Aman kok!” kata Dokter Mulyono
”Ok, biar nanti minta Mas Rizal ambil. Nih kunci kontaknya. Titip ya Mul!” kata Harry.
Harry mendekati Ade ”De mau kasih tahu siapa? Kakakmu?” tanya Harry.
”Nanti aja Mas, kalau sudah di Fatmawati. Kak Lola nanti panik, kasihan dia!” jawab Ade. Tepat saat itu telpon Ade berbunyi.
”Mas Harry, tolong lagi ya!” kata Ade. Harry melihat monitor telpon Ade nama kakaknya berkedip-kedip.
”De, dari Mas Rizal! Mau terima?” kata Harry, Ade menggeleng lemah. ”Mas aja, tolong” kata Ade, Ade teringat SMS Rizal tadi pagi.
”Halo, Mas Rizal, ini aku, Harry!” kata Harry. ”Ade sama aku. Dia sakit, kami lagi di prakteknya Mul. Sekarang nunggu ambulance mau dibawa ke rumah sakit Fatmawati” kata Harry menjelaskan pada Rizal. ”Demam tinggi. Mas bisa ke sini nggak? Iya, tolong ambil mobilku. Kunci dan STNK sama Mul ya! Susul ke sana ya! Ok, thank you!” kata Harry.
”Har ini resep nanti obatnya kasih perawat dulu ya!” kata dokter Mulyono sebelum ambulance meninggalkan klinik.
”Mul, administrasinya nanti aku bereskan ya!” kata Harry berbisik sebelum masuk ke ambulance.
”Hus ngawur sekali! Nggak usah!” kata dokter Mulyono tertawa. ”Lagipula aku senang lihat kau sudah insyaf! Punya perhatian sama cewek!” lanjutnya. Harry tertawa kecil, Kemudian dokter Mulyono berbisik ”Hampir aja kukira kamu jadi gay !”
”Hush, emang aku sudah gila! Dia ini yang aku tunggu, doakan ya! Thanks ya Mul! Salam sama Lian ya!” kata Harry berbisik, kemudian masuk ke ambulance, duduk di samping Ade yang berbaring tenang. Harry memegangi tangan Ade sepanjang perjalananan. Meski terlihat tenang, Harry tahu demam Ade sangat tinggi. Tangannya dalam genggaman Harry terasa panas. Botol infus bergantung di satu sisi, bergoyang sedikit. Perawat Wati sudah berada di dalam. Mobil bergerak dengan sirene meraung menembus kemacetan jalanan Jakarta, tepat disaat para pekerja kantor pulang ke rumah. Jalan toll macet, juga ketika melewati jembatan Semanggi menuju ke arah Kebayoran Baru. Betul juga, dengan ambulance, menembus kemacetan lebih mudah.
Rupanya dokter Mulyono sudah memberitahu pihak rumah sakit. Harry tinggal menentukan pilihan kamar rawat dengan persetujuan Ade. Jam delapan malam Ade sudah berada di kamar perawatan.
”De aku tinggal sebentar ke apotik ya! Nanti aku minta suster temani kamu. Ok?” kata Harry.
”Mas, sebentar!” kata Ade sambil bergerak mengambil dompet di tasnya yang diletakkan di meja samping.
”Sudah De, istirahat aja. Aku pergi ya!” kata Harry buru-buru keluar. Ade tak bisa mencegah, Ya sudah, pikirnya.
Meski masih terasa sangat pusing kepalanya, Ade mencoba menghubungi Lola kakaknya.
”Kak, aku sudah di Jakarta. Aku lagi sakit, dirawat di Fatmawati!” kata Ade. ”Tenang Kak, aku kena typus doang! Suamimu ada di rumah? Bisa sekalian ajak Mbok Piah nggak? Sekarang aku ditemani Mas Harry! Oh… bukan orang kantorku, dia teman kuliah dulu!” kata Ade lagi.
”Ya sudah, tak usah buru buru Kak!” kata Ade, kemudian memutuskan pembicaraan dengan Lola. Tadi Lola berjanji segera datang, lagi pula rumahnya juga dekat.
Lola datang bersama suaminya, Andi dan Mbok Piah. ”Aduh De, sampai begini!” kata Lola masuk buru-buru ke kamar Ade yang masih ditunggui perawat, yang sedang mengompres kepalanya. Lola langsung memeluk Ade yang terbaring lemah, menangis sedih.
”Kamu pucat banget De!” katanya lagi. Andi dan Mbok Piah mendekat.
”Halo De!” sapa Andi sambil menyentuh tangan Ade, mencium pipi Ade. Saat itu masuk Harry yang baru mengambil obat di apotik.
”Mas Harry, ini Lola kakakku. Itu Kang Andi” kata Ade pelan, berusaha memperkenalkan keluarganya. Lola mengangguk pada Harry kemudian menyalaminya juga.
”Dik Harry, terima kasih sudah menolong adik saya!” kata Lola. Harry tersenyum.
”Kebetulan kok Mbak! Saya juga senang kok bisa menemani Ade!” kata Harry. Lalu Harry menyerahkan bungkusan obat pada perawat. ”Suster, ini obatnya!” katanya.
Mbok Piah berdiri di ujung dekat kaki Ade, merapikan selimut sambil berlinang airmata. Dia memijati kaki Ade dalam diam. Bagi Mbok Piah, Ade bagai anaknya. Ade memang diasuh Mbok Piah sejak dia berusia empat tahun. Saat itu Mbok Piah baru bercerai dari suaminya. Anaknya Bowo, waktu itu berusia tujuh tahun ikut bersama tinggal di rumah orangtua Ade. Bowo jadi teman bermain Ade di rumah dan di sekolah SMP. Ketika Ade masuk SMA, Bowo berangkat kerja dan tinggal di Batam, bekerja di sebuah pabrik elektronik.
”Katanya sakit typus ya?” tanya Lola.
”Ya, tadi sudah check darah memang positif. Darahnya juga tekanannya rendah sama haemoglobin nya juga dibawah normal. Makanya harus dirawat” kata Harry menjelaskan. ”Tadi sempat pingsan di tempat praktek temanku” lanjut Harry.
”Oh jadi bukan langsung berobat kesini?” tanya Lola terkejut.
”Bukan! Tadi saya jemput di bandara. Dia turun dari pesawat muntah di toilet, demam. Jadi langsung saya bawa ke teman yang praktek di Tomang” kata Harry menjelaskan.
”Aduh, terima kasih banyak. Untung sama Mas Harry, aku nggak bisa membayangkan kalau dia sendirian!” sesal Lola.
Andi mengajak Harry duduk di teras. Tepat saat itu Rizal muncul di depan pintu dengan sebuah koper Ade dan laptopnya. Di belakang Rizal, juga berdiri perawat yang membawa nampan berisi makanan dan obat untuk Ade.
“Hey Mas Rizal, cepat juga ya, nggak kena macet?” sapa Harry. Rizal tersenyum, menyalami Andi dan Lola. Kemudian mendekati Ade.
”Aduh, bikin kaget aja kau!” kata Rizal menyapa Ade. ”Aku sudah kasih tahu geng kita lho! Jangan kaget, pasti mereka nanti kesini! Ini koper sama laptopmu!” katanya lagi. Ade tersenyum menanggapi ucapan Rizal.
”Maaf merepotkan kalian!” kata Ade pelan.
”Waduh, kau lupa budi sendiri!” balas Rizal. ”Sebentar lagi Mul kesini, tadi dia sama-sama aku” kata Rizal.
Andi, Lola, Rizal dan Harry kemudian keluar, duduk di teras. Memberi kesempatan Ade untuk makan, minum obat dan tidur. Mereka mengobrol di teras depan kamar. Cepat menjadi akrab.
”Ini sudah malam. Kalian pasti capek, dari kantor kan? Sudah makan?” tanya Lola.
Harry tersenyum, tersenyum kecut. ”Baru sekarang terasa lapar! Tadi aku khawatir sekali” pikir Harry.
”Ini aku bawa roti isi, makan lah. Ada susu kotak juga nih!” kata Lola membuka kotak kue mengangsurkannya ke Harry. Harry mengambil roti sebuah. Rizal menolak tawaran Lola karena sudah makan malam.
Mungkin karena pengaruh obat, Ade kelihatan sudah tidak terlalu gelisah, ditunggui Mbok Piah.
”Mas Harry, Mas Rizal, bukan saya mau mengusir. Tapi lebih baik kalian pulang. Istirahat, sudah capek kan? Nanti saya sama kang Andi yang jaga Ade” kata Lola.
”Ok, Mbak Lola, boleh minta nomor telponmu?”pinta Harry. Lola menyebutkan nomor telpon genggamnya. Lalu juga minta nomor telepon Harry dan Rizal.
”Saya pulang dulu, jangan sungkan telpon saya kalau ada apa-apa dengan Ade” kata Harry.
”Ya, telpon kami” kata Rizal pada Lola.
”Besok kami kesini lagi” kata Harry. Lalu mereka berdiri, berniat pamit. Tepat saat itu dokter Mulyono diikuti dua perawat berjalan mendekati, rupanya mau memeriksa Ade.
”Mul, ini kakak-kakaknya Mbak Ade!”kata Harry memperkenalkannya pada Andi dan Lola. Mereka bersalaman. Dokter Mulyono memeriksa Ade, yang tak terbangun dari tidurnya.
”Malam ini dia mungkin sedikit gelisah. Tapi sudah minum obat dan suntik. Kita perlu jaga demamnya jangan kembali tinggi saja. Dia perlu istirahat total” kata dokter Mulyono.
”Berapa lama?” tanya Lola khawatir.
”Kalau dia bisa makan dengan baik, mungkin tiga sampai empat hari bisa keluar” kata Dokter Mulyono.
”Dok, saya rasa dia perlu surat keterangan buat ke kantornya” kata Lola.
”Ok, besok saya kasih. Nanti saya periksa lagi. Permisi” kata dokter Mulyono.
”Har, aku mau visit dulu. Yok Mas Rizal! Eh, apa kabar Sheila sama Mama?” kata dokter Mulyono.
”Sheila baru sembuh dari demam berdarah. Mama sehat, kebetulan lagi disini” kata Rizal.
”Ok, salam dulu!” kata dokter Mulyono, berlalu meninggalkan mereka.
”Kami pamit dulu Mbak Lola” kata Rizal.
”Tolong kasih tahu Ade kami pulang dulu. Besok kesini lagi” kata Harry.
”Baik, terima kasih banyak” kata Lola.
Rizal dan Harry keluar meninggalkan kamar tempat Ade dirawat.
”Har, kau kebetulan ketemu Ade di bandara atau memang sudah janjian?” tanya Rizal begitu mereka berdua sudah berada di mobil.
”Emang jemput dia, kenapa?” tanya Harry.
”Nggak apa-apa!” kata Rizal lalu melanjutkan ”Mau makan dulu atau di rumah aja?” kata Rizal menawari.
”Langsung pulang aja ah!” jawab Harry. ”Mas, tahu nggak, Ade tuh kuat dan tabah banget!” kata Harry.
”Memang kenapa?” tanya Rizal. ”Begini, di bandara aku lihat dia pucat banget, tapi nggak bilang apa-apa. Masih atur2 anak buahnya untuk pulang. Lalu di toilet muntah-muntah, juga nggak ngomong. Di mobil badannya sudah panas tinggi, juga nggak aduh-aduh!” kata Harry.
”Coba ingat, selama kita kenal dan pergi sama dia, nggak pernah ngeluh kan! Nungguin Sheila semalaman juga nggak kesal kan!” kata Harry melanjutkan.
”Eh...benar juga ya! Jadi ingat waktu Amelia, sakit perut di Puncak nggak? Waah.. semua orang dibikin panik! Padahal itu sakit yang rutin dia alami, mau menstruasi” kata Rizal. Mereka berdua tertawa.
”Boleh juga tuh cewek! Keren lagi! Kau ingat Priatna orang kantorku?” kata Rizal.
”Iya, yang dari Bandung? Kenapa dia?” tanya Harry.
”Waktu kami makan siang, ketemu Ade di mall, dia kukenalkan. Eh.. sekarang minta aku ajak Ade makan siang bareng dia. Love at the first sight!” kata Rizal tertawa.
”Lalu Mas bilang apa sama Priatna!” tanya Harry tertarik.
”Kubilang aja, nggak bisa, dia punyaku!” kata Rizal terbahak. Harry turut tertawa meski kecut juga mendengar perkataan Rizal.
”Aku rasa untuk bisa dekat Ade nggak gampang! Kayanya dia lagi patah hati!” kata Harry.
”Eh, memang dia pernah cerita sama kamu?” tanya Rizal.
”Namanya Alan. Dia selalu dihindari Ade. Tadi juga telpon, pas Ade di tempat Mul, Ade minta aku yang jawab!” kata Harry.
”Oh... Alan! Aku pernah ketemu!. Weh... ganteng banget! Indo kayanya! Cocok deh sama Ade!” kata Rizal, teringat pernah berkenalan dengan Alan.
”Ganteng tapi bego! Masa Ade yang cantik dan baik gitu ditinggal selingkuh!” kata Harry.
“Hah....... yang benar Har!” kata Rizal kaget.
“Iya, sekarang ini dia kejar-kejar Ade lagi, kan pengen kembali!” kata Harry.
”Wah... hebat kamu, Ade banyak cerita rupanya ya!” kata Rizal.
”Lumayan...... kenapa? Mau bersaing lagi sama aku?” tanya Harry sambil memandang Rizal yang sedang menyetir mobil.
Rizal justru tersenyum kecut, terbayang wajah Pris, almarhum isterinya. Harry juga teringat Pris.

Pris adalah teman Harry sejak Sekolah Dasar hingga SMA. Saat itu segala kegiatan apapun selalu dilakukan Harry dan Pris bersama-sama. Pris bagai adik perempuan yang tak dimilikinya. Tapi juga teman untuk bergembira. Teman-teman sekolah semua menyangka mereka berpacaran. Sebenarnya mungkin tidak, tapi saling menyayangi. Saat itu paling menyenangkan dalam hidup Harry. Tetapi ketika mereka selesai SMA, Pris kuliah di Bandung, satu kampus dengan Rizal yang sudah dua tahun berada di sana. Bagi Pris, dia tak kehilangan Harry. Rizal menggantikan Harry. Harry di Semarang mengisi waktu dengan aktif di Senat Mahasiswa tempatnya kuliah dan naik gunung dengan klubnya. Selalu kangen pada Pris.
Jika liburan semester, Pris dan Rizal pulang ke Semarang. Meski Pris masih akrab dengannya, tapi Pris selalu melibatkan Rizal diantara kegiatan mereka. Persaingan diam-diam antara kakak beradik yang saling menyayangi semakin terbuka ketika ulang tahun Pris. Pris terpaksa menentukan pilihannya. Pergi makan malam merayakan ulang tahunnya berdua dengan Harry atau Rizal.
Rizal memenangkan hati Pris dan bertunangan. Harry tak mau bicara dengan Pris dan Rizal hampir satu semester. Tak mau terima telpon mereka, tak membalas surat mereka. Puncaknya Harry mogok kuliah, keluar dari fakultas kedokteran. Mamanya sampai panik melihat tingkah Harry. Kemudian Rizal berusaha mendekati adiknya, juga Pris. Harry akhirnya dapat menerima keadaan dan kuliah lagi di fakultas tehnik. Pada dasarnya dia memang suka Pris sebagai teman masa kecilnya saja. Merasa di tinggalkan saja.
Hanya saja sejak itu Harry tak pernah lagi dekat dengan gadis-gadis. Dingin, cuek dan agak sinis. Padahal wajah gantengnya sangat dikagumi teman mahasiswi sekampusnya. Harry semakin terluka ketika Pris meninggal dalam kecelakaan mobil. Baginya kenangan masa kecil mereka yang indah telah dibawa Pris pergi selamanya. Mungkin Pris bukan cinta, tapi kenangan masa kecil yang indah. Sahabat sejati. Bisa bermain perang perangan dengan Pris dan bertengkar juga.
Setelah itu, ketika masih kuliah Harry pernah tertarik seorang gadis. Harry kemudian jatuh cinta padanya. Dia seorang mahasiswi dari Jakarta yang datang ke kampusnya delapan tahun yang lalu. Senyuman gadis itu membuatnya jatuh cinta. Sayang Harry tak berhasil mendekatinya karena gadis itu sejak pertama kali dikenalnya telah didampingi seorang mahasiswa ganteng. Sebagai ketua panitia penyambutan dia juga sangat sibuk, tak ada kesempatan mendekati. Nama gadis itupun Harry tak tahu. jadi benar-benar cintanya tak mungkin berbalas. Dia menyimpan kenangannya dan berusaha menemukannya setelah itu.
”Lalu kini haruskah dia berhadapan lagi dengan kakakku Rizal untuk meraih hati seorang wanita. Masihkah Ade menyimpan cinta pada Alan?” pikiran Harry dengan pikiran berkecamuk. Sementara Rizal juga berdiam diri, tak menjawab pertanyaan Harry.
”Haruskah aku mengecewakan adikku sekali lagi demi seorang wanita? Apakah aku begitu egois? Harry menjauhi wanita gara-gara aku!” pikir Rizal sambil menyetir. Rizal tak mengira bahwa Harry telah mencintai Ade sejak delapan tahun lalu. Rizal masih mengira sikap Harry selama ini menjauhi wanita karena Pris. Tapi mengapa ada wajah-wajah seorang wanita di foto berbingkai di kamar Harry. Tak pernah Harry mau menjelaskan siapa wanita itu. Dia hanya bilang sedang menunggu keajaiban. Entah apa maksudnya, Rizal tak tahu.
Mereka berdua membisu hingga tiba di rumah. Rizal kini mengingat foto di kamar Harry yang misterius itu. Cuma potongan-potongan foto wajah dengan bibir yang tersenyum manis dari seorang gadis bertopi putih. Apakah Harry telah melupakan wanita itu, pikir Rizal.

”Bagaimana Jeng Ade?” sambut Ny. Reiko Setyanto begitu kedua putranya muncul di depan pintu. Rupanya dia menunggu mereka.
”Sudah sedikit membaik, tadi sudah tidur” jawab Harry sambil memasuki rumah. Rizal menyusulnya disertai Mamanya. Mereka duduk di ruang keluarga.
”Harry, Mama mau tanya, apa foto yang di kamarmu di Semarang itu dia? Mama selalu pikirkan sejak bertemu Jeng Ade? Tadi lihat video ulang tahun Sheila, kok mirip dia?” tanya Ny. Reiko Setyanto, sambil menatap anaknya. Rizal juga memperhatikan wajah Harry.
”Ya Mam, memang dia, Ade!” jawab Harry, tersenyum. Rizal dan Mamanya tersenyum lega.
”Masa Har? Pantas aku rasa pernah bertemu, rupanya foto di kamarmu itu!” seru Rizal takjub.
”Memang dia. Itu foto Ade masih mahasiswa!” kata Harry. ”Sekarang lebih kelihatan dewasa ya” lanjut Harry.
”Berapa lama ya kamu baru ketemu dengan dia?” Ny.Reiko Setyanto ingin memastikan.
”Delapan tahun Ma!” jawab Harry, yakin. Ny. Reiko Setyanto geleng-geleng kepala.
”Hebat anak Mama!” puji Ny. Reiko Setyanto sekaligus lega ”Jadi kau menyukai dia sejak lama! Baru sekarang bertemu lagi! Apa tidak berusaha cari dia?” Ny. Reiko Setyanto bertanya lagi, penasaran.
”Ma, aku ke kampusnya dua kali, tak pernah bertemu. Nama dia juga nggak tahu sih! Sudah cari juga ke beberapa teman FISIP yang kukenal. Lalu setiap cewek yang mirip dia aku kejar untuk lihat dia apa bukan!” jawab Harry, malu, garuk-garuk kepala.
”Lalu kau selama ini ngapain? Cuma melamun aja pandangi foto! Kan bisa cari dari buku alumni mereka! Ih... bego amat! Jadi sudah berapa tahun cari dia? Untung Sheila kebelet pis, jadi ketemu dia!” ujar Rizal tertawa. ”Payah! Sekarang jangan bengong aja, kerja keras untuk dapatkan dia! OK?” kata Rizal lagi.
Ibu mereka terpana mendengar Harry menunggu delapan tahun, dia tahu foto di kamar Harry terpasang sekitar lima tahun. Dia kemudian mendekati Harry. Dengan lembut mengelus kepala Harry.
”Benar kata kakakmu Har, berusahalah. Semangat ya, tunjukkan kau pantas untuk Jeng Ade. Mama mendukungmu!” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Okay Ma, terima kasih! Terima kasih Mas!” kata Harry memeluk ibunya, terharu. Rizal mendekat, turut memeluk ibunya.
Kali ini mereka melihat airmata mengambang di sudut mata Ny. Reiko Setyanto. Rizal menghapus airmata yang sedetik kemudian turun ke pipi wanita itu. Malam memang telah larut, tapi hati ketiganya penuh harapan indah.


RUANG PERAWATAN


Jarum infus masih terpasang pada punggung atas tangan kiri Ade. Dia berbaring diam di pagi hari ini. Ade merasa kepalanya masih sakit, tubuhnya masih terasa lemah. Kompres saputangan handuk yang basah masih menempel di dahinya. Sudah jam delapan lewat. Sinar matahari masuk dari jendela kamar tempatnya di rawat. Mbok Piah duduk di kursi di sisi tempat tidurnya. Lola sedang keluar untuk membeli makanan untuknya sendiri dan Mbok Piah, sekalian mengantar Andi yang akan ke kantor.
”Mbok, nanti pulang saja, istirahat dulu. Sore baru kesini lagi” kata Ade.
”Mbok nggak capek Non. Mana boleh Non disini sendirian!” jawab Mbok Piah sambil mengelus tangan Ade.
”Mbok ambilkan telponku ya!” pinta Ade. Mbok Piah mengangguk, berdiri mengambil telpon Ade yang di simpan Lola di tas kerja Ade dan diletakkan di laci meja samping. Mbok Piah menyerahkan telpon pada Ade. Rupanya telpon itu sudah dimatikan Lola. Ade mengaktifkannya, kemudian menghubungi Wiwik dikantor.
”Wik, Selamat pagi!”kata Ade memulai pembicaraan. ”Wik, aku nggak masuk. Lagi sakit. Kasih tahu bos ya!” kata Ade singkat.
”Eh......Mbak sakit apa? Sudah ke dokter? Pantesan kedengaran lemes gitu!” kata Wiwik.
”Typus! Aku sekarang di rumah sakit Wik!” jawab Ade.
”Hah..., Mbak lagi di klinik apa lagi dirawat?” tanya Wiwik kaget.
”Masuk Fatmawati tadi malam!”kata Ade.
”Ya ampun Mbak! Kamar apa, nanti saya kesana deh!” kata Wiwik. ”Aku sudah nggak apa-apa kok!” kata Ade kemudian memberitahukan kamar dia dirawat. Setelah bicara beberapa hal, Ade dan Wiwik menyudahi pembicaraan mereka. Di serahkannya telpon pada Mbok Piah, yang kemudian meletakkannya di atas meja samping tempat tidur.
Ade merasa kepalanya pusing sekali. ”Padahal baru bicara begitu aja aku sudah pusing” pikir Ade, ”Aku betul-betul kecapekan!” katanya dalam hati. Seorang perawat masuk, mengukur suhu tubuh Ade. Menulis hasilnya pada dokumen yang dibawanya.
”Bu, pagi ini suhunya naik lagi. Jangan banyak bergerak dulu ya. Istrirahat ya Bu!” kata perawat ketika ditanya Ade. Ade mengangguk dan berusaha untuk tidur. Saat Ade tidur, Lola kembali . Dia menyuruh Mbok Piah untuk makan pagi. Tepat saat itu telpon Ade berdering. Lola kaget, dan cepat cepat menjawab panggilan itu karena khawatir deringnya membangunkan Ade yang tertidur. Lola bergegas keluar kamar.
”Halo, selamat pagi!” sapa Lola. ”Ya, saya kakaknya. Ade nggak bisa jawab telpon, lagi sakit. Ini siapa?” kata Lola.
”Oh... Alan! Iya, Ade dirawat di Fatmawati sini!” lanjut Lola.
”Tadi malam masuknya!” kata Lola lagi. ”Oh... kamu tadi malam juga telpon dia? Yang jawab Harry?” kata Lola. ”Ya saat itu mungkin dia lagi pingsan, jadi Harry yang jawab!” lanjut Lola.
”Ok, kesini aja, biasa jam bezuknya. Yuk, terima kasih” kata Lola kemudian memutuskan sambungan telpon dengan Alan.
”Mbok Piah, pulang ke rumah saya ya. Istirahat disana, nanti sore kesini lagi. Berani kan pulang sendiri?” kata Lola.
”Nggak usah Non, biar Mbok disini aja. Non aja yang pulang istirahat dulu” jawab Mbok Piah.
”Saya mau tunggu dokter dulu Mbok, mau tahu kondisi Ade” jawab Lola. Tepat saat itu di depan pintu kamar Dokter Mulyono telah melangkah masuk diiringi dua perawat.
”Selamat pagi Dok!” sambut Lola.
”Pagi!” jawab Dokter Mulyono kemudian memeriksa Ade. Ade terbangun. ”Makannya bisa Mbak?” tanya Dokter Mulyono. Ade mengangguk. ”Makannya sedikit sekali! Tadi malam masih muntah-muntah” kata Lola.
”Infus dan obat diteruskan” kata Dokter Mulyono sedangkan matanya masih terpaku membaca lembar status kondisi pasien yang disodorkan perawat. ”Istirahat ya, Mbak Ade. Saya permisi” lanjutnya, mengangguk pada Lola, kemudian berjalan ke arah pintu. Tepat saat bersamaan Harry masuk, dengan wajah segar memegang sekotak besar berisi roti, minuman, koran dan majalah. Harry terlihat santai mengenakan jeans dan T-shirt warna putih.
”Hey, baru datang Har?” sapa Dokter Mulyono. Harry mengangguk.
”Halo! Selamat pagi!” kata Harry. ”Masih pusing De?” tanya Harry mendekati Ade. Ade mengangguk. Harry kemudian menyerahkan bawaannya pada Mbok Piah.
”Mul, gimana dia?” tanya Harry.
”Jangan khawatir! Memang masih ada demam dan muntah” kata Dokter Mulyono menjelaskan.
”Yang penting dia istirahat. Eh... kamu mau nungguin nih? Wah......pasienku bisa nggak bisa istirahat dong! Oh iya lupa. Salam lagi dari Lian. Undang kalian makan malam ke rumah.” canda Dokter Mulyono berbisik. Harry cuma tertawa kecil. ”Ok, kutinggal dulu!” lanjutnya Dokter Mulyono kemudian berlalu.
”Mbak Lola, kalau mau pulang dulu silahkan, biar saya yang jaga Ade”kata Harry.
”Lho, dik Harry apa nggak ke kantor?” tanya Lola heran.
”Tenang Mbak, aku sudah ke kantor tadi. Hari ini kebetulan nggak sibuk” jawab Harry.
”Oh... gitu! Dik Harry itu kerja dimana?” tanya Lola.
”Konsultan Mbak! Bikin usaha bareng teman-teman” kata Harry.
”Betul nih Dik Harry, bisa jaga Ade sebentar. Saya memang perlu ke bank nih!” kata Lola.
”Ya, Mbak pulang aja, istirahat. Nanti sore aja kesini lagi!” kata Harry meyakinkan Lola.
”Aduh, kau baik banget !” kata Lola.
”Wow, nggak juga Mbak! Ini hitung-hitung balas budi Mbak! Ade tuh bergadang menunggui keponakan saya waktu dirawat di rumah sakit bulan lalu!” kata Harry menoleh ke Ade.
”Oh..gitu ya! Ade nggak pernah cerita tuh!” kata Lola. ”Ok, kalau gitu saya tinggal ya. Terima kasih lho!” lanjutnya.
”De, aku pulang dulu ya, Mas Harry yang nunggu, ok aja kan?” kata Lola. Ade mengangguk.
”Mbok Piah aku ajak pulang, nanti malam dia kesini lagi.” lanjut Lola kemudian bersiap meninggalkan Ade dan Harry. Harry mengantarkan Lola dan Mbok Piah hingga pintu, kemudian menutup pintu.
Harry duduk di kursi di samping tempat tidur Ade. ”De, masih pusing ya?” tanya Harry. Ade mengangguk.
”Kenapa bolos Mas?”tanya Ade pelan.
”Kerjaanku bisa di delegasikan kok. Aku mau jaga kamu hari ini!” jawab Harry tersenyum.
”Kenapa, nggak mau aku yang jaga?” lanjutnya menatap Ade.
”Mau. Tapi kalau kantormu lagi sibuk nggak usah maksa Mas!” kata Ade.
”Oh... gitu, aku kira nggak mau!” kata Harry menanggapi Ade.
”Nanti siang Mamaku mau kesini sama Mas Rizal” lanjutnya.
”Ibumu sedang di Jakarta?” tanya Ade.
”Iya, kan datang sebelum Mas Rizal ulang tahun!” jawab Harry.
”Ok, sekarang kau tidur ya! Aku duduk disini. Kalau perlu apa-apa bilang ya!” kata Harry, membetulkan selimut Ade. Ade yang merasa masih lemah menuruti saran Harry, kemudian dia benar-benar tertidur.
Harry memandangi wajah Ade yang masih pucat. Dengan piyama warna hijau muda dan mata terpejam, Ade terlihat seperti gadis remaja saja. Harry teringat kejadian kemarin sore. Betapa panik Harry ketika Ade pingsan. Pikiran buruk berkecamuk di otaknya. Takut Ade sudah tak tertolong lagi. Harry teringat Pris. Kalau terjadi sekali lagi, aku benar-benar tak sanggup lagi, keluh Harry. “Apakah semua yang kusayangi selalu pergi meninggalkanku?” pikir Harry. ”Tuhan, semoga Ade segera sembuh. Aku akan menjaganya. Izinkanlah!” doa Harry, diam diam dan sungguh sungguh. Setelah itu Harry duduk membaca koran pagi dan majalah. Lingkungan dekat kamar Ade tenang, hanya satu dua perawat yang lewat.
Harry dikagetkan ketika masuk perawat yang mengganti botol infus yang telah kosong dan menyuntikkan obat Ade melalui infus. Ade tak terganggu sama sekali.
”Bapak jaga ibu sendirian ya?” tanya perawat itu.
”Ya” jawab Harry.
”Terpaksa nggak ke kantor ya Pak?” kata perawat itu lagi. Lalu melanjutkan bertanya. ”Maaf Pak, ibu ini model ya, rasanya kok pernah lihat?”
Harry tersenyum menggeleng. ”Bukan, cuma mirip aja! Dia kerja kantoran” kata Harry menjelaskan.
”Oh gitu, soalnya teman-teman penasaran pengen tahu, maaf ya Pak!” kata perawat lagi. ”Permisi Pak!” katanya lagi pamit.
Harry memandangi wajah cantik yang tergolek lemah dengan tangan kiri dipasangi jarum infus itu. Dalam balutan piyamanya, Ade terlihat kurus dan pucat, sangat beda dengan penampilan biasanya. Dia selalu ceria dan semangat, kenang Harry. Senyum optimisnya dan pancaran kecerdasan dari wajah Ade jelas berpadu sangat mengagumkan. Bagi Harry dia wanita yang sempurna. Cantik, pintar, ramah dan hangat dengan karir menjanjikan.
Selagi melamun itulah telpon Ade berdering. Harry bergerak untuk mengambilnya ketika Ade membuka matanya, terbangun. Harry menyerahkan telpon pada Ade.
“Dari Alan!” kata Harry, ketika melihat di monitor nama Alan. Ade langsung menggeleng. Wajahnya berubah murung.
”Halo, selamat siang!” jawab Harry di telpon. “Ya, saya Harry! Maaf, Ade sedang tidur!” kata Harry menjelaskan pada Alan.
”Apa....? Oh iya, saya jaga dia sekarang, Mbak Lola pulang dulu!” lanjut Harry. ”Oh......mau kesini? Jam bezuknya biasa, sebelas! Ok, nanti kalau dia bangun saya sampaikan! Terima kasih” kata Harry, kemudian memutuskan sambungan telpon.
Selagi Harry bicara di telpon, Ade memperhatikannya. Aku selalu memperalat dia! Tapi aku benar benar muak dengan Alan, keluhnya. Dulu aku mencintai Alan setengah mati, sekarang setengah mati pula untuk menghapusnya dari ingatanku, lamun Ade.
”Hey, kok melamun sih!” kata Harry membuyarkan lamunan Ade.
”Dia mau kesini! Kangen katanya!” kata Harry. Harry tahu Ade tidak akan bersemangat mendengar berita Alan akan datang, tapi dia sama sekali tak menduga reaksi Ade. Tiba tiba Harry melihat airmata mengalir dari mata indah Ade. Mata berwarna coklat terang itu terlihat begitu sedih. Duka dan perih.
”Maaf De!” kata Harry terkejut, kemudian menepuk-nepuk tangan Ade. Ade semakin terisak, tubuhnya terguncang.
”De, jangan sedih dong! Nanti makin sakit!” kata Harry menghibur. Harry mengambil tissue, kemudian menyeka airmata Ade.
“Bukan salah Mas Harry!” kata Ade diantara isaknya.
“Menghindari dia susah sekali. Aku makin sakit hati saja!” kata Ade lagi.
”Apa aku bisa bantu?” kata Harry menawarkan.
Ade mencoba bangkit untuk duduk ”Mas dia tidak peduli dengan siapapun aku, Atau alasan apapun, dia bilang berusaha terus! Setiap minggu kirim bunga, tiap hari telpon nggak peduli interlokal atau internasional, kirim hadiah ke rumah, ke kantor” kata Ade putus asa. ”Melihat semua itu aku makin muak, makin ingat kenangan menyakitakan. Dia bilang akan menghadapi siapa aja yang dekat denganku” kata Ade, seakan putus asa.
”Hah, yang bener De? Kan dia belum ketemu sama aku!” kata Harry tersenyum mencoba bercanda. Sebenarnya Ade mau menjawab, tetapi mendadak perutnya terasa mual sekali. Harry melihat hal itu.
”Sebentar, mau muntah De?” kata Harry bergegas mengambil pot dari bawah tempat tidur. Ade muntah tak tertahan, perutnya rasa diaduk, kemudian asam lambung yang membuatnya perih menguar di mulutnya. Ade tersengal, letih. Harry mengurut-urut punggung Ade hingga Ade merasa nyaman kembali. Harry mengambil segelas air putih kemudian mendekatkannya ke mulut Ade.
Wajah Ade yang pucat dengan sisa airmatanya membuat Harry benar-benar terharu melihat kondisi Ade. Beberapa rambut poni menutupi mata yang berair itu. Ade menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Harry.
”Dia bukan hanya sakit fisik, tapi stress!” pikir Harry sambil menyeka wajah Ade dengan tissue. Ade berdiam diri, mungkin masih mual. Harry meraih Ade agar bersandar padanya, memegangi pundak Ade. Tepat saat itu pintu dibuka, Rizal dan Mama nya muncul.
”Halo, selamat siang!” sapa Rizal riang sambil mendekati mereka.
”Eh.. kenapa, baru muntah!” katanya kaget melihat Ade masih memangku pot. Ade mengangguk, mencoba tersenyum pada Rizal dan ibunya. Mereka berdiri mengelilingi Ade.
”Berbaring lagi ya De!” kata Harry kemudian membantu Ade merebahkan diri. Ibunya merapikan selimut Ade sambil mengelus-elus tangan Ade.
”Maaf, Tante baru sekarang bisa datang, tidak bawakan apa-apa!” katanya. Ade memaksakan tersenyum. ”Tidurlah!” kata Ny. Reiko Setyanto melihat Ade begitu lelah.
”Ma, duduk disini!” kata Harry meminta ibunya duduk di kursinya.
”Panasnya naik lagi aku rasa!” kata Harry sambil meraba dahi Ade dengan punggung tangannya.
”Waktu kita pulang tadi malam, panasnya mulai turun kan?” kata Rizal pada Harry.
”Ya, typoid, suka turun naik gitu!” kata Harry menjelaskan.
”Keluar yuk, biar Mama di dalam” ajak Harry pada Rizal.
”Mas, sebetulnya barusan Alan telpon, Ade minta aku yang jawab. Kuberitahu Alan mau kesini. Lalu Ade menangis, terus muntah berat gitu. Sekarang malah jadi panas lagi. Dia stress menghadapi Alan” kata Harry.
”Har, ini saatnya. Jangan biarkan Ade sengsara dong!” kata Rizal.
”Aku?! Tapi......” kata Harry memandang Rizal masih ragu.
”Tolol! Hadapi Alan, tauk! Tunjukkan Ade punya pelindung, tidak perlu Alan lagi! Apa harus aku heh?” kata Rizal tertawa.
”Mas?” kata Harry tergagap.
”Iya, aku keluar arena!” kata Rizal tersenyum menepuk bahu adiknya dengan sayang.
”Har, aku ingin kau bahagia, punya hubungan serius dengan wanita. Apalagi memang dia yang kamu cari selama ini, tunggu apa lagi! Mama senang lho sama Ade!” katanya melanjutkan, meyakinkan adiknya.
Seorang perawat masuk ke kamar Ade membawa baki berisi makanan serta obat. Harry kembali masuk ke kamar mendekati Ade.
”Bu, makan dulu buburnya baru makan obatnya ya!” kata perawat pada Ade. Ade mengangguk.
”De, makan ya, aku suapi” kata Harry.
”Nanti, sendiri aja” jawab Ade, menolak.
”Ah... kenapa? Malu ya sama Mamaku? Orang sakit ya harus begitu” kata Harry.
”Jeng Ade, nggak perlu malu. Ayo makan, biar Harry yang suapi!” kata ibu Harry tersenyum. Dia teringat cerita Rizal dan Harry, bagaimana gadis yang terbaring lemah ini menunggui cucunya Sheila ketika sakit. Gadis yang baik hati, alangkah bahagia aku seandainya dia mau membalas cinta anakku, lamun ibu Harry.
Harry membantu Ade bersandar pada dua bantal. Kemudian menyuapi Ade bubur yang terlihat sangat lembut. Suapan pertama Ade terlihat malu dan kikuk.
“Rasanya nggak enak?” tanya Harry.
“Rasa pahit!” kata Ade tak bersemangat. Harry menyuapi lagi hingga hampir seperempat piring.
”Sudah Mas!” kata Ade menolak.
”Satu sendok lagi!” bujuk Harry. Saat itu Harry dan Ade mendengar pintu diketuk dan Alan muncul dengan wajah memamerkan senyum menawannya. Wajah yang bisa saja ditemukan pada cover majalah atau iklan produk ternama. Wajah pria idaman.
”Halo Ade, selamat siang! Bagaimana De, sudah baikan?” sapa Alan berjalan mendekati tempat tidur Ade.
Alan begitu gagah siang itu. Pantalon biru tua dengan baju biru muda lengan panjang berdasi biru tua. Penampilan eksekutif muda dan sukses. Wajah blasterannya terlihat bagai bintang sinetron di televisi yang lagi top. Mata coklat terang dengan alis tebal dan bibir tipis. Ibu Alan wanita asal Hamburg, Jerman, sedang ayahnya asal Bandung.
”Al!” seru Ade kaget, tak jadi menerima suapan terakhir dari Harry. Harry meletakkan piring pada meja samping, berdiam diri. Rizal berdiri dekat wastafel memperhatikan. Entah mengapa, Ade kembali terlihat tegar.
“Al, terima kasih sudah datang. Ini, kenalkan Mas Harry!” kata Ade memperkenalkan Harry, yang menjabat tangannya. Alan bersalaman dengan Harry, tersenyum sangat percaya diri.
”Harland!” Katanya menyebutkan namanya. ”Sebenarnya kemarin sama tadi pagi kita sudah ngobrol juga ya!” katanya melanjutkan bicaranya. Harry mengangguk ramah.
”Al, ini ibunya Mas Harry, dan itu kau sudah kenal kan Mas Rizal, kakaknya Mas Harry” lanjut Ade memperkenalkan mereka. Alan dengan hormat menyalami ibu Harry dan Rizal. Rizal dan ibunya pamitan untuk duduk di teras.
”Silahkan kalian ngobrol!” kata Harry pada Ade, seakan hendak meninggalkan mereka berdua.
”Mas Harry sini aja, jangan keluar!” pinta Ade. Harry tertegun mendengar permintaan Ade, dia memahami sekarang Ade butuh bantuannya. Aku memang harus berada disisi Ade, pikir Harry, bertekat pada diri sendiri.
”Oh.....okay, sekarang minum obat ya!” katanya teringat Ade belum meminum obatnya. Harry mengambil mangkuk kecil berisi tiga butir obat, menyerahkannya pada Ade. Kemudian menyorongkan gelas berisi air putih.
Alan memandangi keduanya. Melihat Ade begitu nyaman dilayani Harry. Harry menyerahkan tissue pada Ade yang menyambutnya dengan sorot mata terima kasih.
”Mereka sepasang kekasih rupanya!” lamun Alan, tapi masih bingung karena teringat dia pernah melihat Ade pergi berduaan dengan Rizal. ”Salahku tergoda Devy! Kini mutiara ini ditangan Harry!”sesal Alan pada dirinya sendiri. Dia teringat kantong kecil di tangannya.
“De, ini kado untukmu, cepat sembuh ya!” kata Alan menyerahkan kantong kertas kecil berwarna coklat.
”White Musk! Kesukaanmu!” katanya meneruskan.
”Thanks Al!” jawab Ade, menerima kado dari tangan Alan kemudian meletakkannya di meja samping.
”Sebenarnya sakit apa?” tanya Alan menyalami tangan Ade kemudian menciumnya. Tetap memegangi tangan Ade dengan mantap.
”Typus Al!” jawab Ade singkat, berusaha senyum.
Harry berdiam diri menyaksikan Alan dan Ade bicara. Terlintas dalam pikirannya bahwa Ade dan Alan sesungguhnya pasangan yang sangat serasi. Dengan gaya gentlement Alan, bukan tak mungkin Ade luluh lagi hatinya, lamun Harry. Di luar terdengar beberapa suara ramai. Memang sudah waktu berkunjung. Di pintu muncul Andre dan Triana, Tommy, Sinta, Rudy dan Amelia. Semuanya dalam pakaian kerja. Lalu masuk lagi Anton, Dino, Daniel, Intan dan Anita. Benar-benar satu gerombolan yang kompak.
“Hey, ayo masuk!” sapa Harry ketika melihat mereka. Ade tersenyum gembira melihat mereka, segera melepaskan tangan Alan. Semuanya menyalami Ade. Kamar jadi penuh.
”Al, kenalkan, semua sepupunya Mas Harry!” kata Ade. Alan tersentak.
”Wow semuanya!” katanya ”Kalian keluarga besar rupanya!” katanya ramah, sambil menyalami mereka satu persatu.
”De, kalau gitu aku pamit dulu, cepat sembuh ya!” kata Alan menyalami Ade, mencium pipinya. Menggenggam tangan Ade. Ade mengangguk. ”Thanks Al!”kata Ade.
Alan kemudian berpamitan dengan Harry dan yang lain.
Alan berjalan lesu menyusuri koridor rumah sakit menuju mobilnya. Benar-benar merasakan dirinya asing disana, di ruang perawatan Ade tadi. Ade begitu jauh, tak terjangkau lagi. Harry yang ganteng, bagaikan aktor film Korea yang lagi ngetop yang fotonya jadi screen saver komputer di meja sekretarisnya. Lalu keluarga mereka yang begitu kompak dan kelihatan sangat menyayangi Ade.
Alan benar-benar terpukul. Tak menyangka hari ini Alan melihat Ade yang dicintainya telah memiliki kekasih. Alan ingat lagi ucapan Tania, yang kini memusuhinya. Mungkin Tania sekarang mentertawaakannya. Alan ingat mantan pacarnya Devy, sialan ternyata cuma mengincar uangnya! Ingat peringatan Papanya tentang tingkah Devy, juga komentar adiknya tentang Devy yang mata duitan. Hanya Mamanya yang tak berkomentar hubungannya dengan Devy. Tapi sewaktu dia putus dengan Ade, Mamanya hanya mengucapkan sepatah kata pada Alan. ”Beklagenswert!” Alan masuk ke mobilnya. menyuruh supirnya ”Pulang ke rumah!” katanya, lesu, bersandar di jok belakang mobil, memejamkan matanya.
Tapi Alan masih juga teringat ucapan Tania dulu, tepatnya Tania memakinya. Benar kata Tania, aku akan menyesal tapi tidak bisa kembali lagi pada Ade. Sekarang benar-benar menyesal. Aku tak tertolong lagi, keluh Alan. Dicobanya menghubungi Tania. Telponnya tidak diangkat sama sekali. Meski tersambung ke telpon Tania. Tania masih tak mau berdamai dengannya!

JAM BEZUK

Ini hari kedua Ade dirawat di rumah sakit. Kemarin, seharian panas tubuhnya turun naik. Beberapa kali muntah, tetapi menjelang malam kondisinya membaik. Harry yang menjaga Ade sempat merasa sangat khawatir. Ade sangat lemah dan sempat menggigil karena demamnya. Tengah malam baru Harry pulang ke rumah, setelah Ade tertidur. Lola dan suaminya menjaga Ade malam tadi. Lola memahami keinginan Harry untuk turut menjaga Ade, meski masih bertanya-tanya dalam hati, apakah Ade telah benar-benar dapat melupakan Alan. Jika ya, alangkah senangnya, pikir Lola. Harry begitu tulus menjaga adikku, lamunnya.
Dokter Mulyono yang memeriksa Ade pagi hari sudah memerintahkan untuk mencabut infus ditangannya bila siang hingga sore ini suhu tubuhnya stabil. Tapi juga minta agar Ade benar-benar beristirahat.
”Suster lapor, pasien terlalu banyak terima tamu!” kata Dokter Mulyono tertawa. Ade hanya tersenyum. Pagi itu Lola masih berada di kamar Ade, menunggu Mbok Piah yang segera datang. Lola berniat pulang dulu, ingin menelpon ayah-ibu mereka di Amsterdam. Sedangkan Harry baru saja tiba, dia mampir sebentar sebelum berangkat ke kantor.
”Iya dok, orang-orang kantor dan kawan-kawannya!” jawab Lola membenarkan.
”Oh......Itu Mul, semua sepupuku sama isteri dan pacar!” kata Harry.
”Ah......pantes! Masih kompak aja kalian ya!” kata Dokter Mulyono.
”Ok, hari ini tamu dibatasi ya, biar bisa istirahat” katanya pada Ade.
”Har, jaga pasienku dong, bukan bikin parah. Kaya nggak pernah di FK aja!” kata Dokter Mulyono tertawa. Lalu dia berpaling pada perawat yang bersamanya. ”Check darah lengkap, obat teruskan kecuali obat sakit kepalanya. Diet tetap!” katanya.
”Baik dok!” sahut perawat sambil mencatat.
”Ok, Mbak Ade, istirahat ya! Saya permisi! Ayo Har aku pergi dulu!” kata Dokter Mulyono, lalu meninggalkan mereka.

”De, ini aku bawakan CD player , dengerin musik aja biar nggak bosan” kata Harry menyerahkan pada Ade beserta beberapa keping CD.
”Terima kasih Mas, kebetulan, baru aja mau minta dibawakan dari rumah” jawab Ade, senang. Segera menyalakannya, memasang earphone pada telinganya. Segera senyum Ade mengembang, mengangkat jempolnya ke arah Harry. Lola memperhatikan keduanya dengan hati berbunga bunga. Aku akan cerita sama Mama! kata Lola dalam hati.
Ade kemudian melepaskan earphonenya.
”De, aku mau ke kantor dulu, sore aku kesini lagi!” kata Harry.
Ade mengangguk ”Bagus deh, jangan bolos lagi!” katanya.
”Mbak Lola mau sama-sama?” tanya Harry.
”Oh, nanti aku tunggu si Mbok dulu, biar Ade nggak sendirian” kata Lola.
”Mbak pulang aja sekarang, aku sudah nggak apa-apa kok, kasihan Ima di tinggal terus” kata Ade.
Tepat saat itu Mbok Piah masuk. ”Maaf Non, terlambat, jalan macet” kata Mbok Piah.
”Sudah, nggak apa-apa Mbok!” kata Lola menjawab ucapan Mbok Piah.
”De, aku pergi dulu ya! Ayo dik Harry, sama-sama keluar!” ajak Lola. Ade melambai pada Lola dan Harry.
Sepeninggal mereka, Ade mendengarkan lagu dari CD yang dibawakan Harry. Lagu lagu tenang pilihan Harry membuat Ade terhanyut. Suara Sarah Brightman yang bening membuai Ade. Apalagi diimbuh suara Andrea Bocelli.
Mbok Piah duduk di kursi dekat Ade sambil membukai majalah. Suasana tenang hanya terusik ketika perawat datang mengukur suhu tubuh Ade dan mengambil darah untuk pemeriksaan di laboratorium.
Ade memejamkan matanya, menikmati lagu ”Any time, Anywhere” mengalun membuainya. Lalu lagu “Nessun Dorma” hingga lagu terakhir “Time to say goodbye”. Ade tertidur dengan earphone masih terpasang di telinganya. Alunan piano dari Richard Clayderman, beberapa lagu dari Yanni dan pemusik Jepang, Kitaro.
Alan menguak pintu kamar, “Selamat siang!” sapanya pelan begitu melihat Ade sedang tidur. Rupanya sudah waktu berkunjung untuk siang itu. Mbok Piah berdiri menyambut.
”Silahkan!” katanya pada Alan.
Alan berjalan perlahan agar tak membangunkan Ade, mendekati tempat tidur. Duduk di kursi, memandangi Ade, tanpa suara dan menyentuh Ade. Mungkin hampir setengah jam Alan memandangi Ade begitu. Menyesali perbuatannya dulu pada Ade. Kini dia masih memberanikan diri untuk datang. Alan masih berusaha, tak mau menyerah dulu, setelah memikirkannya semalaman. Sebenarnya dia sangat merindukan Ade.
Alan sedang melonggarkan dasinya sedikit, ketika pintu kamar dibuka. Harry berdiri di depan pintu, meski kaget menyadari ada Alan di dalam, dia berusaha tidak memperlihatkannya.
”Halo Alan, sudah lama?” sapa Harry pelan.
”Lumayan juga!” jawab Alan.
”Dari tadi Non tidur terus! Mas Alan datang juga nggak tahu!” kata Mbok Piah menyambut kedatangan Harry.
”Oh..., biarkan dia tidur Mbok! Tadi dipesan dokter harus banyak istirahat” kata Harry.
”Mbok ini buat makan siang, nasi Padang, suka kan!” kata Harry menyerahkan sebuah kotak putih pada Mbok Piah.
”Waduh, terima kasih!” jawab Mbok Piah, menerimanya dari tangan Harry.
Harry mendekati Ade yang masih tertidur, memandanginya. Kemudian menoleh pada Alan.
”Kita ngobrol diluar yuk!” ajak Harry. Alan mengangguk, mengikuti Harry duduk di teras.
”Kantormu di mana Har?” tanya Alan membuka pembicaraan.
”Oh, di Kebayoran, kau dimana?” jawab Harry.
”Sudirman!” sahut Alan kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan dompet dan mencabut kartu namanya.
”Ini, alamat kantorku!” kata Alan sambil menyerahkannya pada Harry.
”Oh.. thanks!” sambut Harry, kemudian juga menyerahkan kartu namanya sendiri.
”Kau pengacara rupanya! Hebat!” kata Harry memuji dengan tulus.
”Kau rupanya juga konsultan tehnik ya! Wow!” kata Alan balas memuji. Sainganku berat juga nih, umpat Alan dalam hati. Sementara Harry juga sedang berpikir, apakah peperangan akan dimulai?
”Harry, sudah lama kenal sama Ade?” tanya Alan menyelidik.
”Sebenarnya sudah lama, waktu mahasiswa!” kata Harry kemudian melanjutkan ”Kenapa Al?” tanya Harry lagi. Alan agak tergagap.
”Ah nggak, soalnya empat tahun sama Ade, kita nggak pernah ketemu ya!” kata Alan.
Empat tahun, waduh, dia pamer nih! Pikir Harry menduga-duga. Tapi juga kaget ternyata empat tahun mereka pacaran. Pantas Ade begitu terluka!
“Aku kenal Ade waktu FISIP berkunjung ke kampusku, waktu itu dia baru semester dua” kata Harry tak mau kalah. ”Nah ... kau dimana waktu itu?”ejek Harry dalam hati. Harry melihat Alan terdiam.
”Wah, sudah lama juga ya!” kata Alan. ”Aku masih di Hamburg kalo gitu!” katanya hampir pada diri sendiri.
”Pantas semua keluargamu kenal Ade!” katanya melanjutkan.
Ufs...! Harry hampir saja tertawa menyadari kesalah fahaman Alan. Kemudian Harry merasa beruntung juga, kemarin para sepupunya datang bezuk Ade dan bertemu dengan Alan. Tentu dia mengira aku sudah ada apa apa sama Ade, pikir Harry menganalisis sendiri. Rupanya Alan banyak kehilangan informasi tentang Ade, tebak Harry.
Alan melihat jam tangannya, ”Oh.. sudah jam dua belas lewat, aku mau ke kantor dulu, ada appointment” katanya berdiri dari kursi, membetulkan letak dasinya.
”Ok, sampai ketemu!” jawab Harry.
”Kau nggak kembali ke kantor? Sama-sama aja!” ajak Alan.
”Nggak, aku jaga Ade!” kata Harry santai, kemudian berdiri. Harry menangkap sedikit perubahan wajah Alan, dia kaget, pikir Harry. Aku akan mulai serangan dan perlindungan untuk Ade, pikir Harry. Alan masuk ke kamar untuk melihat Ade, ternyata Ade sudah bangun. Harry menyusul masuk juga.
”Kok bareng?”tanya Ade pada keduanya, heran melihat keduanya bersama-sama.
”Duluan Alan kok, dia nungguin kamu tidur malah!” jawab Harry tersenyum. Harry melihat wajah Ade tidak menunjukkan kaget, tapi juga tidak mengucapkan apa-apa pada Alan. Terima kasih misalnya, telah menunggui, seakan Ade tak peduli dengan jasa Alan. Harry melihat sedikit wajah gundah pada Alan.
”De, aku pulang dulu ya, mau ke kantor!” kata Alan katanya.
”Ini buatmu, biar cepat sembuh!” katanya lagi, sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda ke tangan Ade.
”Apa ini?” tanya Ade heran memandangi kotak ditangannya.
”Buka aja!” kata Alan. Ade membukanya, terlihat sebuah kalung dari emas putih dengan liontin berbentuk hati dengan sebutir berlian kecil gemerlap memancarkan warna kebiruan. Hadiah yang indah, tentu saja.Pasti mahal.
”Al, jangan, ini terlalu mahal!” kata Ade. Alan menggeleng
”No, jangan lihat harga dong! Sini, pakai ya!” kata Alan meraih kalung dari kotak di tangan Ade, dan dengan cepat memakaikannya di leher Ade.
”Hm.. cantik!” kata Alan memuji, kemudian mendaratkan ciuman pada pipi Ade. ”Ich liebe dich!” bisik Alan di telinga Ade. Seperti dulu sering Ade mendengar ucapan ini. Saat itu mata Ade bertatapan dengan Harry. Ade terlihat bingung! Alan bertindak sangat percaya diri, lugas dan sangat ekspresif.
Harry memandang adegan itu dengan tenang. Juga ketika matanya bertatapan dengan Ade. Harry memberikan senyuman kecil pada Ade. Bagi Harry ini adalah awal pameran kekuatan dari Alan. Dia hanya menatap mata Ade, mencari secercah sinar harapan untuknya. Cukup sedikit saja tanda itu ada, aku akan berjuang keras, pikir Harry. Harry melihat sinar dingin dimata Ade.
”Okay, sampai ketemu ya!” kata Alan pamit pada Ade juga pada Harry, kemudian keluar meninggalkan mereka.
Harry mendekati Ade, duduk di kursi di samping tempat tidur.
”Emang cantik kalung itu dilehermu!” kata Harry memuji. Ade cemberut, meraba kalung di lehernya kemudian berusaha untuk mencopotnya.
”Eit... jangan dibuka, bener cantik sekali!” seru Harry melihat Ade berusaha membuka kalungnya.
”Mas Harry, hatiku nggak bisa disogok dengan ini! Dia sudah melukaiku, selamanya aku ingat!” kata Ade murung dan sudah berhasil membuka kalungnya. Harry membiarkan Ade memasukkan kalungnya ke dalam kotak dan menyimpan di laci meja dengan sikap tak peduli.
”Ini lebih bagus!” katanya menunjuk CD player dengan raut wajah kembali ceria.
”Aku jadi tidur, lagunya oke banget. Thanks ya Mas!” kata Ade. Harry begitu gembira menyadari reaksi Ade.
”Mas Harry nggak kembali ke kantor?” tanya Ade lagi. Harry menggeleng, tersenyum.
”Tadi sudah atur anak-anak kantor. Bisa ditinggal kok!” kata Harry menjelaskan.
”Hati-hati lho, jangan gara-gara kesini nanti kau dipecat!” jawab Ade.
”De, jangan khawatir soal itu!” kata Harry. ”Sekarang makan siang deh! Mau disuapi?” kata Harry. Ade menggeleng, malu.
”Eh, kok nggak mau! Kemarin mau! Disuapi ya!” kata Harry membujuk, langsung mengambil nampan berisi bubur dan sup serta daging cincang.
”Mbok juga makan deh!”kata Harry pada Mbok Piah. Mbok Piah membawa kotak makanannya, berjalan menuju teras. Hatinya senang. Dia suka melihat Harry begitu baik pada majikannya. Semoga Non Ade dapat jodoh yang baik! Doanya. Dia perhatian sama orang kecil seperti aku, sampai makan siang aja dibawakan!
Harry menyuapi Ade dengan sabar. Memandangi Ade menelan makanannya. Ade tak dapat menghabiskan makanannya, kemudian minum obatnya.
”Tidur aja De, aku disini kok!” kata Harry kemudian.
”Mas, sudah makan?” tanya Ade. Harry mengangguk. ”Mas, kalau capek duduk tidur di sofa itu aja! Pakai bantal ini!” kata Ade menunjuk sofa yang berada di samping tempat tidurnya sambil menarik bantal dari punggungnya.
”Nggak usah, aku mau duduk dekat disini aja!” kata Harry . Ade memandang Harry.
”Mas.... kenapa?” tanya Ade tak berhasil meneruskan perkataannya karena Harry keburu menyentuh bibir Ade dengan telunjuknya.
”Tidurlah! Nggak usah dipikirkan” kata Harry kemudian membantu Ade berbaring. Harry kemudian duduk di dekat Ade. Ade berbaring miring ke arah Harry, mencoba memejamkan matanya. Harry membenahi selimut Ade.
“Mas Harry, aku merepotkanmu ya! Tapi aku suka Mas Harry ada disini! Terima kasih ya!” kata Ade pelan masih dengan mata tertutup.
Harry tertegun mendengar ucapan Ade. Harry membungkuk, mendekati Ade, mencium pipinya. Ade membuka matanya lagi, kemudian pelan menarik tangan Harry ke dekat bantalnya.
”Tidurlah!” bisik Harry, melihat Ade tersenyum meski matanya terpejam lagi, masih memegangi tangan Harry seakan mencari ketenangan. Senyuman Ade itulah yang selalu diingat Harry. Tersimpan sejak lama, bertahun-tahun. Harry berharap inilah tanda awal sambutan Ade.

Dulu, meski sering memikirkannya, ia tak mampu menemukan pemilik senyuman ini. Tidak berhasil melacaknya. Setiap bertemu gadis-gadis, Harry selalu memperhatikan senyum mereka. Banyak kejadian konyol dialaminya, saat bertemu dengan gadis yang mirip Ade.
Sekali waktu, di sebuah mall di kota Surabaya, dia membuntuti seorang gadis hampir dua jam, masuk toko keluar toko. Menyelinap diantara pengunjung mall, takut kepergok membuntutinya. Bahkan turut masuk ke counter pakaian dalam wanita. Harry berpura-pura mencari hadiah. Ternyata gadis itu sedang menunggu teman prianya. Sewaktu gadis itu tersenyum pada pria yang ditunggunya, Harry dapat memastikan dia bukan orang yang dia cari. Harry kecewa, apalagi gara gara itu, Harry lupa janjinya untuk bertemu seorang temannya.
Tiga tahun lalu, dia bertemu gadis yang mirip Ade di bandara, di Ujung Pandang. Gadis itu mirip sekali, tetapi sangat cepat menghilang. Untuk mengejarnya, Harry sampai lupa mengambil koper bagasinya sendiri. Harry mengejarnya hingga ke tempat parkir. Gadis itu rupanya turun dari pesawat yang tiba dari Surabaya langsung dijemput seseorang. Sedangkan Harry baru tiba dari Jakarta akan meneruskan penerbangan ke Soroako, tempatnya bekerja. Kali ini dia melihat gadis itu dari balik kaca, di lobby berjalan dengan seorang pria. Jalannya cepat, Harry melihat sisi kiri wajahnya. Mirip sekali! Harry kemudian melihat rambut gadis itu yang berwarna coklat tua terlihat di tempat duduk belakang sebuah sedan putih. Mobil melaju meninggalkan Harry. Benar-benar mirip dia. Gadis itu mengenakan celana panjang biru muda dengan blus putih lengan panjang menenteng tas tote, tas besar persegi berwarna hitam. Mengenakan kaca mata hitam. Akhirnya, Harry harus mengurus barang dan kopernya di bagian Lost and Found , sebagai barang tertinggal.
Setahun lalu, suatu sore pulang dari kantor Harry mampir ke pameran buku. Gedung Convention Hall penuh sesak, Harry berjalan di antara kerumunan untuk mencari stand yang menjual buku management, saat itu sepintas melihat gadis yang dicarinya. Berjalan di depannya dengan seorang pria berdasi. Gadis itu mengenakan blus putih lengan pendek dengan celana panjang coklat tanah. Dia asyik mengobrol dengan temannya itu. Harry berjuang keras untuk mendekati gadis itu. Harry terhalang dari beberapa lapis orang yang juga berjalan berdesakan di depannya. Memang pengunjung sangat padat. Sayang sebuah kejadian membuat Harry kehilangan kesempatan untuk dekat. Seseorang berteriak meminta jalan agar tiga kotak besar bertumpuk berisi buku yang berada dalam trolley bisa lewat memutus perjalanannya. Beberapa orang di depan Harry tak bisa maju, jadi mereka terpaksa menunggu trolley lewat dulu, juga Harry. Begitu selesai gangguan itu, si gadis itu telah menghilang. Kali itu Harry kesal sekali! Setiap stand buku dia masuki, berharap bertemu dengan gadis itu. Hingga pameran tutup, jam sembilan malam baru Harry meninggalkan gedung itu. Harry yakin, gadis itu adalah yang dia cari. Harry menghibur diri dengan mengetahui bahwa gadis itu masih hidup dan ada di Jakarta! Masih ada harapan untuk bertemu! Tapi dimana? Kapan dia mendapat kesempatan lagi untuk bertemu?
Enam bulan lalu, Harry pernah juga pada suatu malam melihat gadis mirip Ade itu sedang lari jogging di Senayan. Benar-benar mirip, bertopi putih dengan training suits warna putih. Harry kebetulan juga sedang bersama Rizal, Tommy, Rudy dan Andre janjian jogging. Biasanya mereka balapan lari, yang kalah traktir minum atau makan malam. Bercanda-canda disana, sepulang kantor. Olah raga sekalian bertemu dengan saudara.
Mulanya Harry bersama saudara-saudaranya lari santai saja. Gadis itu bersama temannya melintas lari di samping Harry. Sebenarnya kedua gadis itu mirip profil wajah mereka. Hanya yang satu berambut pendek, mengenakan training suits warna biru muda. Harry kaget melihat gadis berbaju putih itu sangat mirip dia.
Harry sudah mencoba berlari mengejarnya, sayang saat itu Rudy menarik tangannya. Rudy memang kalau berlari paling iseng bercanda, suka tarik tangan orang, jadi dia tidak ketinggalan. Biasanya Harry juga suka iseng seperti itu. Harry berkutat membebaskan tangannya dari pegangan Rudy. Rudy tak menyadari hal itu, jadi dia tetap bertahan sekuat tenaga memegangi tangan Harry.
Sementara gadis itu sudah keburu jauh berlari. Begitu lepas dari tangan Rudy, Harry mengejar mereka. Sayang kedua gadis itu sudah tak terlihat lagi. Harry memutari lapangan berkali-kali. Tetap nihil. Dia benar-benar capek, karena total berlari mengelilingi lapangan delapan kali. Konyol! Dia benci sekali dengan Rudy, cuma malu untuk menceritakannya.
Baru di pesta ulang tahun Sheila ia bisa menguak misteri itu. Ketika Rizal memasuki restoran bersama Ade. Saat itu Harry benar-benar terperangah ketika Ade yang datang bersama Rizal, menebar senyumnya. Dia!
Harry teringat pertemuannya dengan Ade hampir delapan tahun lalu di Semarang. Saat itu sudah jam delapan malam, rombongan mahasiswa tim pendahuluan dari FISIP baru tiba di kampusnya. Mereka delapan orang termasuk Ade, tiba dengan menggunakan mobil VW combi warna putih. Harry sebagai ketua panitia menyambut mereka di halaman kampusnya bersama dengan panitia lainnya.
Harry menyalami Imam, dia ketua rombongan sekaligus ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Dia juga yang menyetir mobil. Seorang mahasiswa dengan rambut gondrong diikat dengan karet. Imam mengenakan kaus putih dengan jeans. Ganteng dan terlihat cerdas. Kemudian tiga mahasiswi, berjaket denim dengan rambut pendek, seingat Harry bernama Liza, gadis berambut pendek. Lalu Iis, putih khas wanita Priangan. Ine Warouw yang ceria. Cantik-cantik dan keren. Tiga mahasiswa berikutnya bernama Arief, Danu dan Richard yang menyalami Harry.
Ade justru keluar dari mobil paling akhir. Mengenakan pakaian olah raga. Celana panjang dan kaus putih dengan merek Adidas dengan sepatu olahraga warna putih pula. Dia mengenakan topi putih, rambutnya yang coklat sebahu dibiarkan tergerai. Tersenyum dari balik topinya pada mereka yang menyambutnya. Benar-benar keren. Harry menyalaminya, tapi tak mendengar Ade menyebutkan namanya. Gadis itu cuma memamerkan senyumnya.
Saat itu Harry tak dapat melihat seluruh wajah Ade. Hanya senyumannya memang sangat menarik. Teman-temannya terus membicarakan Ade hingga acara pembubaran panitia. Sayangnya tak seorangpun yang berhasil ngobrol dengan Ade. Saat itu Ade selalu terlihat bersama Richard atau Arief, tak pernah sendiri. Malah sangat mesra dengan Richard. Ade hampir selalu tampil dengan setelan pakaian olahraga. Kebetulan acara yang dirancang juga berupa pertandingan olah raga, kunjungan keliling kampus atau diskusi yang bersifat informal atau acara kesenian.
Hanya terakhir, di malam perpisahan, Ade tampil dengan pakaian resmi. Rok terusan warna abu-abu tua dengan bunga kecil kecil berwarna putih dengan kerah bulat rendah. Di lehernya, kalung emas putih dengan liontin berbentuk sebatang lilin. Sebutir permata gemerlap menghiasi bagai nyala lilin. Rambutnya dibiarkan tergerai. Tentu saja tanpa topi lagi. Ade mengenakan sepatu pantopel warna putih, berhak pendek. Benar-benar cantik, bak model di majalah wanita terbitan Jakarta!
Sayang Richard tak pernah meninggalkan Ade sendirian sedetikpun. Jadi waktu itu Richard paling dibenci oleh panitia yang mahasiswa. Sebaliknya paling digandrungi cewek-cewek kampusnya karena kegantengannya. Lagi pula dia jago main basket. Posisinya dalam tim kampusnya adalah playmaker . Saat memasuki aula, Richard dan Ade bagai dua model saja. Serasi. Richard dengan jeans warna off white , baju juga abu-abu muda, menenteng jaket denim warna off white di tangan kirinya. Tetap dengan sepatu olah raga.
Sayangnya, ketika Ade dan Richard memasuki ruangan itu, Harry justru sedang sibuk. Dia sedang pidato di panggung, mengucapkan terima kasih karena kunjungan mahasiswa FISIP. Dia hanya mendapat cerita ini dari Mukti yang bertugas di depan pintu masuk. Mukti dan teman lainnya bisa melihat wajah gadis itu, sedang Harry benar-benar apes! Resiko dia sebagai ketua panitia sibuk terus.
Di akhir acara, panitia kedua belah pihak sempat berfoto bersama. Harry masih menyimpan foto itu di Semarang. Hanya saja wajah Ade tak begitu jelas karena bersandar pada bahu Richard. Sedang foto kegiatan lain, topi selalu menutupi wajahnya. Agaknya dia takut sinar matahari kota Semarang yang saat itu sangat terik.
Senyuman Ade yang diingat Harry adalah ketika besoknya dia bersama rombongan akan kembali ke Jakarta, sore hari. Rombongan itu datang ke kampusnya, untuk pamitan. Harry tak dapat bersalaman dengannya. Karena Ade tetap tinggal di dalam mobil. Duduk di belakang kemudi mobil VW combi dengan pakaian khasnya dan topi serta kacamata hitam besar. Sangat gaya dan keren!
Ade hanya menebarkan senyuman sementara menunggu Imam yang bersalaman dengan Harry. Mesin mobil sudah dinyalakannya, siap berangkat. Ketika Imam menutup pintu mobil, Ade tersenyum dan melambaikan tangan pada Harry dan kawan-kawan. Senyum Ade itulah yang tertinggal pada Harry bertahun tahun.

Kini dia melihat kembali senyum yang selalu dia rindukan, disini. Dihadapannya, pemilik senyuman sedang berbaring sakit. Harry menganggap pertemuannya kembali dengan Ade sebagai anugrah dari Tuhan. Suatu keajaiban!
Benar-benar bagai ombak air laut. Ketika ombak dan air laut pergi meninggalkan pantai, dia akan kembali lagi mengelus pasir pantai. Senyum yang pernah pergi menghilang itu kembali lagi padanya. Aku akan membuatnya selalu tersenyum, selama dia berada di dekatku, tekad Harry pada dirinya sendiri. Suasana kamar hening, Mbok Piah tertidur di kursi dengan memangku majalah. Ade tidur dengan tenang. Harry menatapi Ade, penuh rasa sayang. Hening, hanya sedikit dengung, bunyi AC.



PENGAKUAN


Ade masih di meja ruang rapat membereskan file-filenya. Rapat bagian pemasaran dan produksi dengan direksi baru saja selesai lima menit yang lalu. Di ujung meja, salah seorang direktur, Okada san, seorang pria asal Jepang juga sedang berbicara dengan Pak Sanjaya, Manajer Produksi. Ade berniat makan siang di ruangannya, akan menyuruh beli saja kepada petugas rumah tangga. Dilihatnya telpon genggamnya bergetar. Nama Harry berkedip di monitor.
”Hallo, Mas Harry!” jawab Ade. “Apa, di kantorku? Sekarang? Kok nggak telpon dulu? Oh… tunggu ya aku keluar sebentar lagi!” Jawab Ade. Rupanya Harry berada di kantor Ade, ingin mengajak makan siang bersama.
“Okada san, saya permisi! Pak Sanjaya, saya duluan!” Kata Ade berpamitan, sambil mengangguk hormat.
”Rucy san, bersama saja!” kata Okada lalu bergegas berdiri. Meski telah tiga tahun tinggal di Jakarta, bahasa Indonesia Okada belum juga lancar. Ade suka tersenyum jika Okada memanggil namanya, karena selalu terdengar seperti Ruci bukan Lucy. Dia tak memanggilnya Alexandra, sulit bagi orang Jepang mengucapkan hurup L. Kalau dipaksakan dia akan mengejanya dengan Aresandara.
Okada san berjalan bersama Ade keluar ruang rapat. Mereka sudah sampai di depan pintu ruang kerja Ade. Ade membungkuk hormat. Begitulah, cara menghormat itu sering dilakukan Ade sejak dia bekerja di perusahaan ini. Perusahaan patungan Jepang Indonesia. Meski tak terlalu kentara, tradisi budaya Jepang seperti cara menghormat di ajarkan pada karyawan. Terutama pada para manajer, resepsionis, bagian umum, agar bila ada tamu dari Jepang datang tidak salah bertindak.

”Rucy san , runch with me, okay? kata Okada san mengajak Ade untuk makan siang bersamanya. Memang beberapa kali Okada dan manajer lain makan siang bersama.
”Maaf Okada san, saya ada janji, sedang ditunggu teman di depan. Terima kasih!” kata Ade mengangguk hormat.
”Hah... sekarang ditunggu? Oke..oke!” kata Okada maklum.
”Ya saya sedang ditunggu!” kata Ade sambil menyerahkan file pada Wiwik yang kebetulan bertemu dengannya di dekat pintu, kemudian membungkuk hormat pada Okada, masuk ke ruang kerjanya mengambil dompetnya, berjalan menuju ruang resepsionis. Okada berjalan menuju ke ruang yang sama, mungkin juga akan keluar kantor.
”Mas, Harry!” sapa Ade ketika melihat Harry yang sedang berdiri mengawasi poster produk baru yang di pasang di dinding dekat meja resepsionis.
”Hey, hari ini nggak sakit kepala kan?”tanya Harry, sambil mencium pipi Ade. Memang sejak Ade sakit, mereka berdua menjadi sangat akrab. Ade tak lagi sungkan pada Harry. Apalagi Harry selalu memperhatikannya. Sesekali Ade masih teringat pada Alan, tetapi kehangatan dan perhatian Harry membuatnya sangat terhibur.
Tepat saat itu Okada muncul. Ade segera memperkenalkan Harry.
”Okada san, kenalkan teman saya Harry san!” kata Ade.
Okada membungkuk hormat cara Jepang pada Harry. Harry membalas juga dengan hal yang sama.
”Konnichi wa! Nippon?” tanya Okada heran melihat gaya Harry yang begitu luwes membalas hormatnya, seakan telah biasa melakukannya.
”My grandma! Hiraoka family” jawab Harry menjelaskan. Okada menjabat tangan Harry hangat, wajahnya benar-benar ceria.
”Indonesia Japan! Harry san! Hiraoka? Ah.....Konnichi wa! Hajimemashite, dozo yoroshiku” kata Okada gembira. Mengucapkan selamat siang dan menyatakan senang bertemu dengan Harry.
”Konnichi wa!” jawab Harry kemudian melanjutkan ”Nihon-go ga sukoshi hanasemasu” memberitahukan dia hanya dapat sedikit berbahasa Jepang kepada Okada yang menyambutnya dengan ramah.
”So desu ka? Kamaimasen, tidak apa apa!” sambut Okada.
”Watakushi no meishi o dozo. Anata no meishi o itadakimasen ka?” kata Okada membuka dompetnya, menyerahkan pada Harry kartu namanya, maksud Okada adalah ini kartu nama dia dan dia minta kartu nama Harry. Harry menyambutnya dengan dua tangannya, kemudian juga memberikan kartu namanya.
Keduanya mengamati kartu nama ditangan masing-masing, kemudian mengangguk.
”Terima kasih. Saya harus pergi” kata Harry dalam bahasa Indonesia.
Okada tertawa. Mengangguk lagi ”Sa! Soro soro.... saya juga harus pergi” katanya.”See you next time! Rucy san! Sumimasen!”
Ade kaget juga ketika melihat Harry begitu mudah memberi hormat gaya Jepang. Ade saja berlatih beberapa hari, ketika dulu akan bertemu dengan para pemegang saham perusahaan ini yang kebetulan diantaranya orang Jepang. Ade tak menyangka, ternyata Harry mempunyai nenek wanita Jepang. Pantas wajahnya dan gerak geriknya terkadang seperti pria Jepang, pikir Ade. Ade kemudian pamit pada Okada, Harry sekali lagi membungkuk hormat kemudian mereka menuju lift. Apalagi dia menyadari tadi Harry dapat berbicara bahasa Jepang.
”Mas Harry, memang nenekmu orang Jepang?”tanya Ade ingin tahu ketika mereka sedang menunggu pesanan makan siang di sebuah restoran dekat kantor Ade. Harry mengangguk, tersenyum pada Ade.
”Kenapa? Nggak lihat ya mataku agak sipit gitu? Nggak perhatikan ya waktu Mama sebut namanya, Reiko, itu nama Jepang kan!” jawab Harry, mengedipkan matanya. Mata Harry sebenarnya tidak terlalu sipit.
”Ya, tapi pria Jawa asli yang wajahnya Oriental juga banyak! Mata Mas Harry kan nggak sipit gitu. Temanku, ibunya Perancis, bapak Jawa namanya Yuriko, jadi kalau Mamamu namanya Jepang aku kan nggak merasa aneh” jawab Ade memberi alasan. Harry tertawa mendengar alasan Ade. ”Benar juga” pikir Harry, geli.
”De, nggak keberatan kan aku ada darah Jepang? Aku nggak kejam De!” kata Harry bercanda. Ade tertawa saja. Teringat kawan-kawan di kantornya selalu menjuluki Harry itu si BYJ.
”Mas, kamu dijuluki BYJ Indonesia oleh cewek-cewek kantorku!” kata Ade.
”Apa? Apa sih De, aku nggak ngerti?” tanya Harry. Ade tertawa, semula Ade juga tak faham. Wiwik yang menjelaskan.
”Itu singkatan. Nama bintang film seri asal Korea yang lagi ngetop banget! Bae Yong Jun!”kata Ade mengeja nama itu. ”Nggak pernah nonton deh!” kata Ade menjelaskan. Harry menggeleng, benar-benar tak tahu ada orang mirip dia. Dia hanya tahu Rizal kakaknya saja yang mirip dia. Beberapa kawan mereka pernah bilang Andre, Anton dan Daniel juga mirip dengan dia.
”Ade pernah nonton dia nggak?” kata Harry balik bertanya.
”Belum sempat! Aku dipinjami Wiwik CD filmnya, cuma nggak sempat nontonnya” sahut Ade tertawa.
”Sudah! Nggak usah dilihat deh kalau gitu! Nanti jatuh cinta sama dia lagi!” kata Harry bercanda.
”Boleh dong!” balas Ade.
”Eit....jangan De, jatuh cinta sama aku aja!” kata Harry. Ade tertawa terbahak mendengar canda Harry. Kemudian buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, ketika menyadari dari meja lain beberapa orang menatap padanya. Saat itu telpon Ade berdering.
”Halo Tania!”jawab Ade mendekatkan teleponnya ke telinga.
“Aku lagi makan siang. Oh, reuni nanti, mau, mau!. Tiket pesan sama siapa ? Sebentar Tan!” kata Ade pada Tania yang menelponnya. Ade menutupi microphone telpon genggamnya dengan tangan.
”Mas Harry, mau ikut ke reuni aku? Mau ya?” tanya Ade pada Harry. Harry mengangguk.
”Ok Tan, aku pesan dua, satu tipe alumni, satu undangan biasa. Transfernya ke nomor yang di selebaran kan? Oh, kamu mau bayarin? Wow, lagi kaya nih? Oke, Bos, terima kasih ya! Eh Tan, bilang Imam ya, dia panitia juga kan? Aku nanti bawa teman dia dari Semarang!”kata Ade. Melihat Harry yang menatapnya, sengaja Ade menekan tombol speaker, jadi Harry dapat mendengar suara lawan bicara Ade. Seorang wanita.
”Siapa De? Cowok apa cewek?” tanya Tania terdengar bersemangat.
”Cowok lah! Elo belum pernah ketemu deh. Makanya kalo temen sakit di bezuk!” kata Ade balas membuat Tania tertawa.
”Aduh, diungkit lagi gue nggak bezuk! Salah sendiri kenapa hidup kaya zaman batu! Nggak telpon, nggak pasang iklan!” kata Tania tak mau kalah.
”Gila apa, kalau mati, baru gue pasang iklan! Tan, tapi Alan kan datang nengok gue!” sahut Ade tertawa tawa.
”Ah... si Sosis Goreng! Gue kan sama Alan musuhan!” sahut Tania. ”Padahal waktu itu dia ada nelpon gue, tapi gue nggak mau jawab. Mungkin dia mau kasih tahu elo sakit ya De!” kata Tania menyesal.
Ade tertawa-tawa, Harry senang melihat Ade begitu gembira.
”De, itu yang buat Imam, bungkus dikasih pita ya!” kata Tania di ujung telpon sambil tertawa-tawa.
”Apa? Dibungkus! Gila apa? Ini orang Neng, manusia dewasa! Ih... dasar, bukan kado!” jawab Ade, juga tertawa tawa. ”Sekarang ngeledek! Awas ya kalo nanti utak utik dia, gue tabok! Udah... ceritanya nanti aja, biar kejutan Daag!” kata Ade tertawa geli, kemudian mengakhiri pembicaraannya dengan Tania.
Harry tersenyum mendengarkan pembicaraan Ade dan Tania. Harry merasakan, tindakan Ade membiarkannya mendengarkan pembicaraan telpon pribadinya sebagai suatu kepercayaan dari Ade. Kelihatan tidak mengganggu Ade. Bahkan menyebut nama Alan, tanpa ragu. Memang, beberapa kali Ade dan Harry menerima telpon dari relasi atau kawan mereka, juga dengan speaker terbuka. Entah sejak kapan mereka berdua memulai kebiasaan itu. Mungkin sejak Ade meminta Harry menjawab telpon untuk Alan dulu ketika dia sakit.
”Sorry, temanku Tania memang ngawur! Apalagi kalau kumpul sama temanku Yuriko. Mas Harry belum ketemu Yuriko kan? Kacau deh!”kata Ade meminta pengertian Harry.
“De, aku suka mendengar kalian bicara! Kayanya hidup kalian indah sekali, nggak sedih! Rame sekali! Kalian kalau ngobrol, lucu kok, aku jadi ikut ketawa!” kata Harry jujur.
“Mas, reuni, dua minggu lagi, Sabtu malam. Thanks ya mau nganterin aku!” kata Ade pada Harry.
“Okay nanti aku jemput! Eh.......De takut datang sendirian ya? Takut ketemu mantan pacar!” goda Harry.
”Ngawur banget deh! Alan dari Fakultas Hukum, jadi nggak datang dong! Reuni ini khusus FISIP!” jawab Ade.
”Ah... masa cuma Alan sih yang mau sama kamu?” sahut Harry tertawa. ”Kasihan amat anak FISIP, pada buta ya!” kata Harry melanjutkan, sebenarnya Harry ingin sekali menanyakan Richard. Hanya, Harry takut membuat suasana jadi rusak. Harry pikir, jika itu masa lalu Ade, dia tak ingin mempermasalahkannya.
”Waah! Enak aja! Emang ada aku aja di sana! Di kampusku cewek cakep gudangnya. Jadi aku apa sih!” jawab Ade sungkan.
”Ya, lalu kenapa dong!” desak Harry.
Ade pura-pura tak mendengar, kebetulan pramusaji mengantarkan makanan pesanan ke meja mereka.
”Ayo makan!” ajak Ade menyorongkan piring ke hadapan Harry.
”Nanti aja, jawab dulu pertanyaanku!” kata Harry memegang tangan Ade. Harry memandangi Ade tersenyum. Senyuman Ade delapan tahun lalu ketika mereka berpisah, bagai puzzle kini telah lengkap dengan bagian wajah bagian atas. Mata yang indah dengan hidung yang mancung.

Ade memandang Harry, merasa Harry ingin tahu alasan sesungguhnya, dia mengajak Harry ke reuni.
”Takut apa sih! Nggak takut! Cuma mau pamerin BYJ, pacar baruku aja! Tania bilang tadi suruh di kasih pita!” kata Ade tertawa-tawa. Harry tersenyum.
”Serius dong! Bener mau jadi pacarku?” tanya Harry.
Ade justru kini menunduk, menghindari pandangan mata Harry.
Wajah Ade kini bukan saja serius, tetapi murung. Harry segera menyadari perubahan Ade.
”Ade, maaf aku ....” kata Harry tak dapat meneruskan.
”Mas Harry, maaf, bukan aku tak mau pacaran denganmu!” kata Ade cepat-cepat.
”Aku perlu waktu.......”kata Ade hampir tak terdengar, memalingkan wajahnya ke arah kiri. Menghindari tatapan Harry.
”Oke, aku ngerti, takut kecewa lagi?” tanya Harry. Anggukan Ade membuat Harry benar-benar tidak menyukai Alan. ”Huuh, Alan, kau bikin Ade benar-benar terluka!” keluh Harry dalam hati.
”De, begini saja juga boleh! Bentuk apapun hubungan kita, aku menerima! Kau yang akhirnya yang menentukan, aku tunggu saja!” kata Harry menggenggam tangan Ade.
”Mas Harry, kau akan susah! Aku orang yang emosional, manja, keras kepala dan sangat posessif! kata Ade sungguh sungguh, wajahnya makin ditundukkan, hingga rambutnya tergerai ke depan.
”Satu lagi, aku sulit memaafkan orang yang menyakitiku” lanjut Ade. ”Saat ini aku hanya percaya pada diriku sendiri” kata Ade.
”De, aku sudah tahu sifatmu! Kita sama-sama anak bungsu kan? Aku juga keras kepala. Makanya delapan tahun lebih rindu sama orang aja bisa! Padahal nyata dan pasti gadis itu ingat aku aja enggak!” kata Harry pahit.
Ade heran, rupanya dia punya cerita sedih juga sepertiku, pikirnya. Ade mengangkat wajahnya, Harry melihat rupanya upaya Ade agak berhasil menahan keluar airmata tadi. Ada sedikit di sudut mata, tapi kini terlihat bersinar lagi. ”Oh... cerita dong! Siapa dia?” tanya Ade ingin tahu, kini dia bersemangat lagi. Selama bergaul dengan Harry, Ade belum mendapatkan sesuatu yang mengkaitkannya dengan wanita, mantan pacar. Jadi ketika dari mulut Harry sendiri, tentu menarik bagi Ade. Tentu saja dia punya masa lalu, pikirnya.
”Kalau aku cerita, jangan tertawa ya! Semua orang yang tahu cerita ini selalu anggap aku bego! Ade, gadis itu kamu sendiri! Sejak dulu waktu ketemu di kampusku, aku menyukaimu. Tapi mau cari kamu dimana? Nama kamu aja aku nggak tahu! Benar-benar cuma sepotong senyuman yang aku bisa ingat sebagai ciri! Dua kali ke kampusmu, tapi tak bertemu juga! Ya, Love at the first sight!” kata Harry.

”Aku... ya ampun! Masa sih, Mas! Nggak lucu ah!” kata Ade tertawa-tawa mengira Harry sedang mencandainya.
”De, ini serius! Aku sebenarnya sudah jatuh cinta sama kamu waktu pertama kali ketemu di Semarang itu. Eh, teman-temanku juga! Cuma kamu selalu sama siapa tuh cowok yang Indo juga?” kata Harry menjelaskan. ”Waktu hari terakhir, perpisahan, kalian mau pulang ke Jakarta, kamu juga nggak turun dari mobil. Malah pakai kaca mata hitam segala. Jadi aku nggak bisa lihat wajahmu!” lanjut Harry. ”Wah... kami, panitia waktu itu patah hati semua!” kata Harry mengakhiri penjelasannya, tersenyum lega. Aku sudah mengungkapkannya, pikir Harry.

Ade masih mengira Harry bercanda, jadi masih memamerkan senyum mengejeknya pada Harry.
”Mas Harry, jangan bikin cerita heboh gitu dong! Orang kira beneran!” kata Ade menanggapi cerita Harry. ”Nggak logis banget!” lanjutnya tertawa.
Harry menatap Ade, sulit bagi Harry meyakinkan pada gadis yang begitu cerdas ini betapa tak masuk akalnya tindakannya selama ini. Ibunyapun tak memahami sikap Harry, yang berusaha terus mencari cinta pertamanya. Ade sesaat kemudian menyadari bahwa Harry tidak sedang bercanda ketika dia menatap mata Harry. Tanpa sadar, Ade menutup mulutnya dengan tangannya, menatap Harry tak percaya.
“Serius......kah?” tanya Ade tanpa dapat meneruskan ucapannya ketika melihat tatapan Harry yang sungguh-sungguh.
”De, aku menjalani hidupku dengan semangat karena terus berharap suatu saat menemukanmu! Jadi aku nggak bohong atau merekayasa!” kata Harry perlahan, matanya merah menahan airmata. Ade terkejut melihat wajah Harry yang sangat serius.
”Jadi... maksudmu sejak delapan tahun lebih sampai sekarang mencari ..... aku? Aneh juga ya kau ini.....!” kata Ade tersenyum, masih heran dan tak percaya. Ade memegangi lengan Harry, mengguncangnya pelan.
”Iya, mungkin yang lain juga aneh! Tapi teman-temanku itu bertemu gadis lain, lalu menikah. Aku cari kamu terus, De, sampai Sheila menemukanmu!” kata Harry. ”Nah itu yang kubilang aku keras kepala. Mama bilang aku lebih Jepang dari orang Jepang” kata Harry.
Ade terharu atas pengakuan Harry. Dia yang hanya bertemu dengannya beberapa kali delapan tahun lalu, merindukannya dengan sabar. Terus mencarinya hanya berbekal sepotong senyuman yang diingatnya. Ade sendiri tak pernah mengingat pria ini sekalipun, meski album foto-foto kunjungan ke kampus Harry dulu sering juga dibukanya, kalau lagi iseng. Pasti ada wajah Harry disana.
”Alangkah ironisnya hidupku, seseorang merindukanku bertahun-tahun, aku tak menyadarinya. Sementara Alan yang kucintai, dengan mantap berpaling pada Devy, mencampakkanku begitu saja. Aku menderita sekali, sampai tak mampu lagi untuk menangis, keluh Ade. Saat itu, tak tampak penyesalan di wajah Alan, apalagi rindu padaku” lamun Ade.
”Mas Harry, terima kasih sudah menemukanku! Maaf selama itu aku tak pernah sekalipun ingat pernah kenal Mas Harry, maaf!” kata Ade, memegangi tangan Harry.
”Tentu aja kau nggak salah De! Tuhan menjawab doa dan permohonanku agar kita bisa bertemu” kata Harry meraih bahu Ade dengan lengannya.
”Tapi sekarang kan sudah bertemu aku! Kita akan selalu bersama. Kalau kau pegang tanganku terus, aku tak akan hilang lagi kan! Oke?” kata Ade mantap menatap Harry.
”Mas Harry, kau percaya kan aku tak akan menghilang. Aku memang akan bepergian keseluruh penjuru karena tugasku! Kau ingat seluruh wajahku kan? Sekarang kau punya hampir semua data tentang aku kan? Kau, Mas Harry sahabat yang kusayangi!” kata Ade sungguh-sungguh.
Harry tak menyangka Ade akan mengungkapkannya ”Sahabatpun tak apa! Oh...Aku orang paling bahagia hari ini, pikir Harry merasakan kehangatan tangan Ade yang lembut. Mencium tangan Ade.
”Aku tak akan membiarkanmu menghilang lagi! Tidak akan pernah!” tekad Harry. ”Ade, aku sangat bahagia saat menemukanmu, jadi sangat takut waktu kau sakit. Kupikir kau akan meninggalkanku saat pingsan itu!” kata Harry.
”Ya sudah, memang kamu tuh ajaib Mas! Keturunan kayanya ya! Itu Mas Rizal juga ajaib kan? Masa sama orang nggak kenal nyuruh nyuruh!” kata Ade tertawa, teringat perkenalan uniknya dengan Rizal, membuat Harry juga tertawa.
”Okay, makan yuk!” ajak Harry.

MID-NITE SHOW


Harry melewati box pengumuman ketika akan ke ruang senat. Di dalamnya box kaca itu ditempel foto-foto ukuran kartu pos, kegiatan kunjungan mahasiswa FISIP dua minggu lalu. Terlihat dirinya berpidato, saat diskusi di aula, saat ikut pertandingan basket dan volley. Juga foto-foto acara kesenian sekaligus malam perpisahan. Juga ada foto bersama panitia dengan tim advance FISIP. Foto mereka berdiri di depan aula.
Harry mengamati dengan teliti. Gadis ini tidak pernah melepaskan topinya, pikir Harry ketika menatap gadis bertopi yang berdiri di sebelah kirinya disela empat mahasiswa lain. Juga selalu dengan pakaian olah raga dengan sepatu putihnya. Wajahnya separo terlindung topi. Yang lebih sayang lagi, dia selalu berada di sebelah Richard, si ganteng itu. Sayang sekali, keluhnya.
Harry mengamati foto malam kesenian, gadis yang bertopi putih itu tak lagi memakai topinya. Hanya sayang saat difoto dia justru bergelayut di bahu Richard. Richardpun sedang menoleh ke wajah gadis itu, mungkin sedang bicara padanya. Wajahnya hanya terlihat separuh. Itupun sebagian wajahnya tertutup rambutnya.
Harry ingat semua yang ada dalam foto itu. Foto Imam berdiri di sampingnya dengan jaket almamaternya yang berwarna kuning cerah. Lalu Danu, Arief, Richard dan gadis bertopi putih itu. Tak pernah ia tahu namanya. Waktu berkenalan, dia tak menyebutkan nama, hanya memamerkan senyumannya yang sungguh menawan. Wajahnya bagian atas tertutup topi. Sebenarnya, gadis ini menjadi pusat perhatian karena cantik dan keren. Sayang dia tak menyadari dan terlihat pendiam. Juga selalu asyik dengan Richard atau Arief. Sangat sibuk dengan urusannya sendiri atau dengan cameranya. Beberapa mahasiswi tuan rumah pernah terlihat ngobrol dengannya, tertawa-tawa dengannya, tapi tak pernah dia jauh dari Richard. Richard juga terlihat sangat melindunginya. Kalau mereka jalan berdua, tangan Richard tak pernah melepas tangan gadis itu atau merangkul bahunya.
Dalam beberapa kegiatan, gadis itu selalu yang pegang kemudi VW Combi itu didampingi Richard. Gayanya menyetir sangat keren. Waktu itu, setiap panitia yang kebanyakan pria, terkagum-kagum padanya. Memang kelihatannya dia bukan gadis yang lemah lembut. Dia terlihat gesit, jalannya agak cepat dan terlihat percaya diri.
Harry bergeser ke box lain, melihat foto pertandingan basket. Dia sedang berebut bola dengan Richard. Harry sebenarnya memenangkan perebutan bola dengan Richard itu. Moment yang bagus didapat Leo, si fotografer, karena mereka berdua seakan sedang terbang, menjangkau bola. Tapi hari itu, mereka, Harry dan teman-temannya sangat sedih dan iri ketika menemukan gadis itu sedang makan es krim cup berdua dengan Richard. Richard menyuapinya, mesra sekali. Ketika Richard keluar lapangan beristirahat, digantikan pemain lain, mereka tertawa-tawa gembira, memberi semangat pada tim FISIP yang bertanding basket. Waktu itu Harry yang turut bermain basket melihat juga adegan itu.
Saat akan mulai pertandingan basket itu, Richard mengenakan topi warna biru tua dengan kaus tim basketnya yang berwarna oranye. Sedangkan gadis itu dengan topi putihnya berdiri di pinggir lapangan. Pertandingan basket itu di lapangan outdoor, siang sekitar jam smbilan pagi, jadi gadis itu pakai kaca mata hitam untuk menghalau sinar matahari yang cukup terik. Beberapa foto memperlihatkan dia berdiri di pinggir lapangan, dekat Richard, tentu saja.
Harry ingat, ketika Richard masuk lapangan, para mahasiswi berteriak-teriak. Harry melihat gadis itu hanya tersenyum. Topi di kepalanya sudah berwarna biru tua, topi Richard! Topi putihnya entah dimana. Harry sangat menyesal tak dapat melihat wajah gadis itu. Cuma senyum itu saja. Harry juga melihat saat time out, Richard keluar lapangan mendekati gadis bertopi itu yang menyambutnya dengan sebotol air mineral. Menghapus keringat Richard dengan handuk kecil berwarna putih. Dia tertawa tawa mendengarkan ucapan Richard , entah apa. Adegan itu banyak yang melihat, tapi mereka berdua kelihatan tak terganggu. Harry begitu iri, gadis itu begitu peduli pada pacarnya.
Sejak pembubaran panitia penyambutan kunjungan mahasiswa FISIP itu, Harry selalu teringat gadis bertopi itu. Dibukanya berkas panitia, mencari cari di tumpukkan berkas surat, barangkali ada nama gadis itu dalam surat-surat. Yang dia dapatkan hanya nama Imam sebagai ketua rombongan sekaligus ketua Senat FISIP serta sekretaris, Ine Warouw. Ada fax ke Senat yang mengabarkan tim advance akan datang dua hari sebelum rombongan tiba, ditanda-tangani Imam. Tidak ada daftar nama yang akan datang.

Harry pernah menemui Imam di kampusnya, tetapi tak bertemu dengan yang lain. Menurut Imam mereka sedang riset ke Sukabumi. Kali kedua, Harry bertemu dengan Richard di aula universitas mereka dalam acara pertemuan seluruh ketua senat. Tapi karena Richard yang saat itu menjadi ketua pertemuan itu, Harry tak enak untuk mengganggunya dengan urusan pribadi. Saat itu urusan mereka adalah persiapan demonstrasi. Kondisi politik, sosial dan ekonomi Indonesia saat itu membuat mahasiswa tak bisa tenang belajar. Mereka siap turun ke jalan, menggugat pemerintah yang korup. Jadi, Harry tentu tak enak menanyakan gadis bertopi itu pada Richard. Jadi Harry hanya dapat menyimpan senyuman gadis itu bertahun-tahun.
Setelah lulus kuliah, Harry bekerja di perusahaan tambang nikel di Sulawesi Selatan. Setiap bertemu gadis-gadis, terutama mereka dengan rambut berwarna kecoklatan dan bertubuh tinggi langsing berisi, Harry selalu mencocokkan senyuman yang tersimpan dalam ingatannya dengan senyum gadis yang ditemuinya. Selalu tak pernah cocok!
Aku gila! pikir Harry seringkali, memaki dirinya sendiri. Bagaimana tidak gila, merindukan gadis yang tak pernah utuh dia lihat wajahnya. Hanya senyumannya dan postur tubuhnya yang tinggi langsing dan rambut sebahu berwarna coklat, yang ia ingat membuat dia mampu bertahan. Bertahan tak tergoda pada gadis cantik lain yang dengan sukarela sebenarnya bersedia jadi kekasihnya. Hanya sahabatnya Syahrul yang tahu kegelisahannya ini. Syahrul adalah teman serumahnya sewaktu dia bekerja di perusahaan tambang itu. Waktu itu Syahrul juga menganggapnya sinting. Tapi melihat tingkah Harry yang serius, lama-lama dia bersimpati.
Untuk membantu Harry, Syahrul meminjam semua foto-foto yang ada gadis bertopi putih itu untuk di scan lalu dimasukkan computer. Bersama Harry dia memperbesar foto-foto itu. Harry senang sekali ketika melihat hasilnya. Wajah gadis itu terlihat lebih jelas.
”Wow... pantas kau jatuh cinta sama dia, keren banget sih!” kata Syahrul berkomentar. ”Oke, sekarang kita cetak aja, mau?” tanya Syahrul. Harry mengangguk.
Harry kemudian membuat foto-foto wajah gadis bertopi putih itu menjadi sebuah kolase. Caranya dengan memotong motong foto-foto dalam berbagai bentuk, menyusunnya pada sebuah bidang karton seukuran poster, menjadi satu kesatuan, kolase. Tampak artistik sekali, fokus pada sebagian wajah dan senyum seorang gadis. Harry kemudian membingkainya. Bertahun-tahun foto itu selalu dipandanginya setiap dia berada di kamarnya. Kini foto kolase itu masih tergantung di kamarnya di rumahnya di Semarang. Ibunya melarang Harry membawanya ke Jakarta.
”Nggak perlu dibawa! Lihat gadis lain saja. Pasti juga ada yang punya senyum menarik!” kata ibunya marah. Harry tak berdaya, tapi juga merasa mulai putus asa.


Kini di gedung megah, pada acara reuni, Ade bersama Harry mengamati semua foto lama yang dipamerkan panitia persis disamping lift dan dekat pintu masuk ke ruang acara reuni.
”Mas Harry, lihat itu foto kunjungan ke kampusmu!” kata Ade gembira menarik tangan Harry menuju ke dinding tempat foto di pamerkan.
”Itu aku!” kata Harry menunjuk foto dia bersama dengan tim basket.
”Itu aku,Mas!” kata Ade menunjuk dirinya yang berdiri dekat Richard.
”Oh, foto itu aku juga punya!” kata Harry. Lalu Harry melihat beberapa foto saat para mahasiswa mendaki gunung.
”De, itu kamu?” tanya Harry sambil menunjuk foto Ade bersama-sama Imam, Richard dan Tania bergaya di atas tebing dengan hamparan bunga edelweis . Ade mengangguk! Harry mengamati caption foto itu. Disitu ditulis tahun dan acaranya. Harry ingat, disaat itu dia juga ada di gunung itu. Turut menghadiri upacara tujuh belas Agustus yang diadakan grup pencinta alam. Ade mengangguk.
“Rupanya kita berdua ada disana waktu itu! Kenapa aku nggak lihat kamu ya?” tanya Harry.
“Oh, pagi sekali aku turun, karena dapat kabar Papa Richard sakit keras” kata Ade.
”Ade!” terdengar seseorang memanggil. Ade berbalik, ternyata Tania. Gadis dengan wajah mirip Ade, rambut pendek berwarna coklat terang. Matanya biru muda jernih, langsung memeluk Ade.
”Uh, dari tadi aku tunggu, rupanya disini. Ini undangannya!” katanya menyerahkan dua amplop pada Ade.
”Tania, kenalkan ini Harry!” kata Ade. Harry mengangguk hormat pada Tania yang memandangnya tak berkedip.
”Oh... ini ya kejutannya? Hallo, namaku Tania!” kata Tania menjabat tangan Harry, ramah.
”De, this is a big surprise! Are you change your type and taste?” katanya mencandai Ade.
”Hus! Selera apa? Ngawur! Ingat nggak dia ketua panitia waktu kita tur kampus ke Semarang!”kata Ade mengingatkan Tania.
”Oh..... jadi kita pernah ketemu dong!” kata Tania. ”Maaf lupa, sudah lama sih!”kata Tania. Harry tersenyum.
”Dia tuh aku bawa supaya dia ketemu Imam and the gangs! Pasti seru! Mana Imam?” kata Ade, Tania tertawa mendengar penjelasan Ade.
”Ya, tapi kamu pasti bikin iri yang lain deh!” kata Tania lagi, tetap bercanda. Sementara Harry hanya tersenyum mendengarkan mereka bercanda, berdiri di samping Ade yang terkesan sangat ceria bertemu Tania.
”Eh, tuh Imam! Imam! Imam!” teriak Ade memangil seorang pria yang berdiri dekat meja registrasi. Imam melambai kemudian berjalan mendekati Ade.
”Mam, masih ingat nggak siapa dia?” tanya Ade begitu Imam tiba menarik tangan Harry mendekati Imam. Kini Imam mengenakan kacamata minus.
”Hey, Harry! Apa kabar? Ingat dong! Semarang kan, di Fakultas Tehnik?” kata Imam senang. Mereka berdua bersalaman dan berpelukan.
”De, aku nggak akan lupa sama dia! Kunjungan kita dulu sukses kan karena dia! Waktu demo aku juga sama dia berhari-hari” lanjut Imam.
”Ah, paling bisa kau!” kata Harry.
”Harry, sekarang kau tinggal di Jakarta? Bisa datang kesini bagaimana ceritanya?” tanya Imam.
”Hey, ceritanya panjang, nanti aja! Dia juga kan pengen ketemu teman yang lain!” kata Ade, membuat Imam garuk kepala.
”Ayo, daftar dulu, terus masuk. Teman-teman sudah banyak di dalam!” kata Tania.
Imam kemudian menggandeng Harry masuk. Sementara Ade mengisi buku tamu dan formulir isian. Bersama Tania, Ade kemudian bergabung dengan Imam dan Harry yang sedang berkumpul dan ngobrol dengan Danu, Arief, Iis, Liza, Ine dan Bintang, Untung dan Kiki Wenas.
”Ade!” seru Ine Warouw begitu melihat Ade. Mereka berpelukan.
”Kapan datang In? Sudah dingin sekali ya disana?” tanya Ade.
”Datang kemarin, dingin banget! De, dapat salam sayang dari Wisnu!” kata Ine Warouw lagi.
”Terima kasih. Kapan ketemu dia?” sahut Ade kalem, tertawa kecil.
”Kan sekarang dia tugas di Paris, bulan lalu aku sama Frans liburan kesana, ketemu dia” kata Ine Warouw.
”Wow...wow, si Wisnu masih aja nggak putus asa ya!” sambut Arief sambil tertawa.
”Iya, apa cewek Perancis nggak ada yang mau sama dia? Masih ingat cinta lama!” kata Bintang menimpali. Ade mendengar canda teman-temannya cuma tertawa saja. Harry yang asyik berbincang dengan Imam dan Danu duduk tak jauh dari gerombolan Ade yang ngobrol sambil berdiri. Harry sesekali memperhatikan sikap dan tanggapan Ade.
”Eh De, Richard apa kabar?” tanya Ine Warouw, membuat Harry terpecah konsentrasi antara bicara dengan Imam dan Danu dan keinginan untuk mendengar kabar Richard.
”Oh, dia baik baik aja! Masih di Amsterdam, sekarang sedang anter Mama Papaku ke Itali” jawab Ade.
”Oh, makin bule dong dia!” Liza yang sedari tadi diam berkomentar.
“Ah, enggak, dia tetap seperti dulu, mungkin tahun baru pulang!” jawab Ade kalem.
”Wah seru nih, kita ngumpul lagi ya kalau Richard datang” kata Iis menimpali.
”Oke, di rumahku aja. Nanti aku kabari ya. Awas kalo kalian nggak datang!” kata Ade lagi, antusias. Oh... ternyata dia masih punya hubungan dengan Richard, pikir Harry merasa terganggu.’Dia masih punya rencana bertemu!” keluh Harry dalam hati.
Setelah bertemu dan ngobrol puas dengan teman-teman, menyaksikan acara utama, Ade merasa sudah waktunya pulang. Ade bersama Tania dan Ine mendekati Imam dan Harry yang duduk mengelilingi meja bundar. Di sana juga telah bergabung Budi, Untung, Kenny, Wati, Debby, Yora dan Puti. Mereka sedang tertawa-tawa. Ketika melihat Ade , Yora langsung berdiri dan berteriak senang.
”Hey, De, kupikir kau nggak datang! Nyangkut dimana tadi?”ucap Yora riang.
”Datang dong, sekarang malah sudah mau pulang! Eh iya, salam untuk semua dari Yuriko, dia nggak bisa datang” sahut Ade, mendekati Yora yang duduk di sebelah Imam.
”Iya the three musketers” nggak kompak nih!” kata Imam.
”Mau kemana? Baru jam sembilan De, ini kan malam libur!” kata Yora.
”Aku besok subuh mau ke Bandung, tugas kantor” jawab Ade tersenyum memberi alasan. Beberapa teman Ade berseru kecewa.
”Mas Harry, pulang yuk!” ajak Ade sambil mendekati Harry.
“Oh, boleh!” jawab Harry bangkit dari kursinya.
Liza, Kenny, Wati, Debby, Yora dan Puti serempak memandang ke arah Harry dan Ade.
”Oh.... jadi kalian datang sama sama toh? Aku kira dia relasi bisnisnya Imam!” ucap Wati. ”Kamu jahat ya De, punya yang baru nggak cerita-cerita!” lanjut Wati sambil cengar cengir.
” Untung aja kita sudah pada insyaf! Coba kaya dulu zaman masih mahasiswa, langsung godain dia! Tengsin abis deh!” sambut Debby, membuat yang lainnya tertawa. Ucapan Wati dan Debby disambut derai tawa teman-temannya. Harry masih mengira-ngira arah pembicaraan mereka, jadi hanya bisa tersenyum.
”Ah... gue nggak lihat kalian sudah insyaf!” kata Tania tertawa. ”Buktinya kalian kan masih shopping aja!” lanjutnya, membuat Wati, Debby dan Puti tambah berderai tawa.
”De.... nggak kenalin secara resmi nih?” tanya Kenny menggoda Ade. Harry kini mulai memahami, dia jadi topik pembicaraan mereka. Ups!
”Ah... sudah kenalan kan! Nggak usah dibahas! Aku pulang duluan ya!” kata Ade pamit, menyalami teman-temannya. Ketika Ade bersalaman dengan Danu, Harry mendengar canda teman Ade itu.
”Pelit lo!” ejek Kenny, sambil tertawa tawa, yang lainpun mengiyakan.
”De, bilang dong kalo udah nggak minat sama Indo! Gini-gini tampang gue kan Oriental juga! Boleh dong kasih kesempatan!” kata Danu. Ucapan Danu membuat teman-teman Ade lainnya tertawa. Menertawakan Danu yang mengaku berwajah Oriental, padahal sesungguhnya dia berwajah tipikal Jawa asli. Harry hanya tersenyum.
”Ah Danu..... jelek lu! Ada-ada aja! Mita mau disimpan dimana? ” kata Ade tertawa, tahu kalau temannya cuma bercanda.
”Eh... belum tahu ya dia! Mita bulan depan sekolah ke Inggris. Nah gue sendirian, kan kasihan dong!” jawab Danu tertawa.
”Oh.. ya ! Jadi juga tuh orang pergi, nyusul aja Dan kesana!” kata Ade.
”Ah... elo De, gue mana bisa! Pegawai negri gini, kalo nggak tugas belajar mana mampu! Inggris lagi, mahal!” kata Danu jadi serius.
”Wah... bagus deh, tunggu aja, biar sabar ya nak!” kata Ade menepuk nepuk pundak Danu, berlagak seperti orang tua pada anaknya.
”Ih... dasar Oma!” kata Danu tertawa melihat tingkah Ade.
”Udah ah! Pulang dulu, daag!” kata Ade sambil menyalami satu persatu teman temannya. Ade menarik tangan Harry, sekaligus memperkenalkan pada teman-temannya.

”Langsung pulang atau nonton mid-nite?” tanya Harry ketika mereka sudah memasuki mobil.
”Apa ada film bagus?” tanya Ade. Harry menggeleng.
”Nggak tahu, kita lihat aja, mau?” tanya Harry, Ade mengangguk. Karena antara gedung tempat acara reuni dengan bioskop tak terlalu jauh, Ade dan Harry sudah berada di bioskop setengah jam kemudian. Sayangnya film mid-nite kali itu tak menarik. Mereka membatalkan untuk nonton.
”Pulang aja ah!” kata Ade. Harry sebetulnya kecewa karena batal nonton film, tapi bagaimana lagi, film action tak disukai Ade.
”De, memang besok mau ke Bandung?” tanya Harry teringat ucapan Ade. Ade tersenyum menggeleng.
”Mas, aku tadi bohong! Kalo nggak bohong, mereka mana mau lepas aku pulang duluan. Apalagi kami sudah lama nggak bertemu. Itu kan group gila-gilaan! Habis reuni malam ini mereka mau ke diskotik. Aku paling malas ke tempat gitu, gelap, berisik, nggak bisa ngobrol dan asap rokok!” kata Ade.
”Oh... gitu! Jadi kamu nggak suka diskotik?” tanya Harry, dia salah kira. Ade menggeleng mantap.
”Ke cafe, buat ngobrol dan makan suka! Gangs aku kan nggak merokok, nggak minum alkohol Mas! Biarpun kami kelihatannya bebas gitu!” kata Ade. Ade melihat sedikit ada rasa ragu pada wajah Harry. Dia curiga. Seperti biasa, selalu Ade menangkap kesan orang menganggapnya gadis yang bebas, karena wajah Indonya. Benci! Benci sekali! Kutuk Ade.
”Mas , aku sering kesal, orang sering pikir gadis Indo itu seperti yang di televisi. Gampang dapat kerja, nggak perlu sekolah tinggi tinggi, bebas bergaul, merokok, minum alkohol lalu mabok, pakai obat terlarang, gampangan, free sex, cuek sama etika dan sama agama! Mereka salah! Kami kerja keras, belajar serius, hidup disiplin, punya etika, nggak selalu mengandalkan wajah blaster kami buat sukses” lanjut Ade terasa menumpahkan unek-unek hatinya. Harry mendengarkan sambil menyetir menuju rumah Ade. Jalanan tak terlalu ramai.
”Memang sering yang beranggapan begitu, media massa juga memperkuat anggapan itu karena beberapa ulah artis yang blasteran” kata Harry, Ade mengangguk.
”Percaya deh, aku nggak pernah berpikir kamu seperti itu!” kata Harry meyakinkan Ade. Harry kini menyadari mengapa dulu Ade kelihatan tertutup, rupanya tak selalu nyaman bagi Ade dengan penampilannya. Selain dipuji kecantikannya, disisi lain dia juga menerima pandangan negatif seperti itu. Mungkin juga mendapat perlakuan tak nyaman dari pria atau pandangan sinis dari lingkungannya. Dia jadi faham mengapa Richard begitu protektif pada Ade.
”Mas, kita ngobrol di rumah aja ya, moga-moga Mbok Piah masih punya bandrek , biar hangat!” lanjut Ade, melihat diluar mobil hujan sudah mulai turun. Awal musim hujan di bulan Agustus?
”Oke, setuju banget! Kita beli roti bakar dulu” sambut Harry gembira.
”Oh.... iya, kita nonton CD yang dipinjami Wiwik aja! Pengen tahu kaya apa sih miripnya Mas Harry sama aktor Korea itu! Oke kan?” kata Ade. Harry hanya tertawa saja menanggapi usul Ade.
”Bisa bersamamu sudah cukup! Tuhan baik sekali padaku! Terima kasih” Harry bersyukur dalam hati sambil menyetir mobil.
Ternyata Mbok Piah belum tidur, sedang menonton televisi di dapur bersama Mbak Jum, isteri tukang kebun yang suka juga menginap dan bantu-bantu pekerjaan di rumah Ade.
”Mbok, masih ada bandrek instant nggak? Bikin dua ya!” kata Ade kemudian menyerahkan roti bakar yang mereka beli di pinggir jalan. Harry muncul setelah memarkir mobilnya di depan garasi.
”Aku ganti baju dulu ya!” kata Ade pada Harry lalu menghilang ke kamarnya.
Harry masuk ke ruang keluarga, duduk di sofa yang menghadap televisi, menggulung lengan bajunya sedikit. Harry meraih remote control, menyalakan televisi. Siaran olahraga, sepak bola liga Italia. Ade muncul dengan celana capri warna hijau muda dan T shirt putih bergambar bunga dengan tulisan Aloha, Hawaii. Rambutnya telah di ikat dengan karet gelang. Wajahnya sudah tanpa riasan lagi. Segar dan ceria. Ade segera duduk di atas karpet yang terhampar di depan sofa tempat Harry duduk. Memeluk bantal kecil, turut menonton bola juga. Mbok Piah menyuguhkan minuman dan roti bakar, meletakkannya di meja samping, dekat Harry duduk.
”Jadi nggak nonton Cd nya?” tanya Harry begitu Ade duduk di dekatnya.
”Oh.....kan Mas Harry lagi nonton bola!” jawab Ade.
”Aku juga pengen lihat seberapa mirip sih!” kata Harry, kemudian menyerahkan remote pada Ade.
Ade mendekati rak televisi mencari CD. ”Mana ya? Waktu itu aku simpan sini!” kata Ade ketika tak menemukan CD yang diinginkannya.
”Mbok! Sini sebentar deh!” panggil Ade. Mbok Piah mendekat.
”Lihat kotak warna biru, isinya CD film Korea, judulnya Winters Sonata?” tanya Ade.
”Oh ada Non, saya simpan di kamar Non. Soalnya mau di pinjam sama Jum” jawab Mbok Piah menyelaskan.
”Oh, kalian sudah nonton ya? Bagus nggak filmnya?” tanya Ade.
”Wah bagus Non, sedih, bintang filmnya ganteng banget! Itu kaya Den Harry!” kata Mbok Piah menunjuk Harry dengan jempol tangan kanannya.
”Bawa sini deh!” pinta Ade, tersenyum.
Harry yang mendengar ucapan Mbok Piah hanya tersenyum saja.
Ade dan Harry semula tak begitu antusias melihat awal film drama itu. Film di mulai ketika sebuah bus berdesakan dengan pelajar SMU yang berjaket tebal berangkat ke sekolah. Rupanya sedang musim dingin. Kemudian adegan si gadis tertidur dibahu temannya. Temannya, seorang pelajar pria berjaket warna coklat muda, berambut gondrong, kemudian mendorong kepala sigadis, sehingga terbangun dari tidurnya. Rupanya mereka tidak saling mengenal. Pelajar pria itu memandang gadis itu tanpa senyum. Ade mulai sadar ada kemiripan antara aktor itu dengan Harry.
”Mas Harry, itu!” kata Ade menunjuk pada aktor itu, kemudian menoleh pada Harry di sampingnya. Harry memperhatikan dan dia juga merasa memang mirip dengan aktor itu. Dulu ketika dia masih SMA. Tapi dia ingat seorang sepupu dari pihak neneknya pernah datang ke Semarang. Ya, Akio lebih mirip dia, pikir Harry.
”Mas, kau kan kalau memandang orang seperti itu, tanpa senyum! Pantes anak-anak kantor bilang kau mirip dia!” kata Ade riang.
Mbok Piah yang masih berada di dekat Ade dan Harry kemudian menyeletuk.
”Non, waktu dia sudah dewasa lebih mirip Den Harry lho! Mbok udah lihat!” katanya.
”Oh, masa sih?” kata Ade. Kemudian mengganti dengan keping selanjutnya, sesuai cerita Mbok Piah. Ade dan Harry memperhatikan film tersebut. Benar saja, sosok aktor itu ketika dalam pakaian resmi benar-benar mirip Harry. Bedanya Harry sekarang tidak berambut gondrong.
”Mas, kau benar-benar mirip dia! Cuma senyummu lebih ramah. Dia agak sedih dan cuek gitu. Bedanya, aku rasa rambutnya di cat. Rambutmu hitam.” kata Ade sambil terus menonton video itu. Mbok Piah meninggalkan mereka kembali ke dapur menonton televisi dengan Mbak Jum.
”Memang mirip De! Tapi aku mau jadi aku sendiri” kata Harry.
”Hey.......hey jangan sewot dong! Siapa yang mau ganti sih!” jawab Ade. ”Kan cuma mirip! Kau tetap Mas Harry!” kata Ade tertawa. Harry tersenyum menatap Ade.
”De, aku hanya ingin tahu, tadi temanmu bilang kau ganti selera. Maksudnya dulu kau nggak pernah tertarik sama pria sepertiku ya?” tanya Harry serius. Ade berpaling pada Harry, terdiam, membiarkan video terus berputar. Ade melihat Harry seakan menuntut penjelasan canda teman2nya tadi saat reuni.
”Mas Harry, entah kenapa, dulu yang dekat denganku selalu punya darah Indo. Jadi mereka pikir aku tak tertarik dengan wajah Asia. Mungkin juga karena Mamaku berdarah Belanda” kata Ade menjelaskan. ”Sampai sahabatku aja juga Indo, itu Tania kan Mamanya Inggris, bapaknya Jawa! Satu lagi sahabatku, Yuriko, namanya memang Jepang, karena lahir di Tokyo, tapi Mamanya Perancis, Papanya Jawa Bandung. Tadi dengar kan mereka bilang The Three Musketers, itu aku, Tania dan Yuri” kata Ade mencoba menjelaskan.
”Kak Lola juga nikah sama Kang Andi, yang Indo juga. Mungkin soal kebiasaan yang sama atau apa?” kata Ade.
”Lalu, sekarang benar-benar kau ganti selera atau apa?” desak Harry.
Ade menunduk.
”Aku tidak tahu, aku pikir berteman bukan karena selera, ras atau suku! Karena kita suka atau cocok saja! Tidak seperti makanan kan bisa dibuang? Aku tak pernah buang teman-temanku!” jawab Ade.
”Kenapa? Mas Harry terganggu canda temanku ya? Maklum deh, mereka memang urakan! Mas Harry nggak biasa ya? Maaf” kata Ade.
”Jangan sensitif gitu ah! Berteman ya berteman! Aku nggak pilih-pilih!” kata Ade. Harry termangu.
”De, sebenarnya hal ini sering terpikir olehku. Masyarakat kita lebih mudah menerima mereka yang berdarah campuran Barat dari pada Asia. Bener nggak? Kalau yang blasteran Asia, lantas dicurigai komunis lah, pelit, curang, pokoknya yang jelek aja deh. Rasanya nggak adil gitu!” kata Harry. Ade mematikan televisi.
”Ya, aku musti jujur, memang kenyataannya begitu. Emangnya Mas Harry pernah merasakan perlakuan nggak adil?” tanya Ade.
”Pernah lah! Meski nggak parah amat. Sebatas dicurigai punya KTP palsu, ditanyai kenapa nggak bawa surat bukti kewargaan negara, ditanyai nama asliku apa? Kalau aku bilang aku orang Jawa mereka juga masih ragu-ragu. Coba kalau yang Indo pernah nggak? Yang ada kan cuma kagum, keren banget, putih banget, mancung banget, matanya bagus banget!”jawab Harry tertawa pahit.
”Kok jadi sentimental gitu sih!” kata Ade.
”Bukan. Aku hanya bicara fakta, nggak sedih kok! Buat apa? Sekarang aku malah lagi bahagia! Aku nggak peduli dengan semua itu kok!” kata Harry, kemudian merengkuh bahu Ade, memeluknya dengan tangan kanannya.
”De, aku bahagia, karena kau mau bersamaku!” lanjut Harry. Ade bersandar di bahu Harry, menunduk berdiam diri, mengamati jam tangan Harry di pergelangan tangan kirinya. Ade merasa kedekatannya dengan Harry saat ini telah mengobati lukanya akibat ulah Alan. Ade merasa Harry sangat baik padanya. Hampir tiga bulan bersama Harry, selalu nyaman bersamanya.

”De lihat aku!” kata Harry sambil meraih dagu Ade, menatap mata Ade.
”De, aku tidak bisa menunda lagi. Aku harus bicara sekarang juga!” kata Harry serius. Harry bertekad mengungkapkan rasa hati dan keinginannya pada Ade. Mereka begitu sibuk dengan pekerjaan masing masing, sulit untuk bertemu. Malam ini, dalam pesta reuni itu, Harry mendengar sendiri pria-pria yang masih berusaha mendekati Ade. Mereka pria dewasa, sama sepertinya. Bukan mahasiswa lagi. Sudah menata masa depan mereka. Mereka pasti juga punya kemampuan untuk maju, menempuh segala cara agar Ade berada disisi mereka. Harry ingat Alan yang tetap gigih. Tadi mendengar Wisnu si diplomat yang tetap berkirim salam, entah siapa lagi. Jika ditunda, kesabaranku selama delapan tahun untuk menemukan Ade akan sia-sia! pikir Harry. Richard juga segera datang!
”Soal apa?” tanya Ade heran. ”Ade, kau bukan gadis kecil, jadi tahu kan mengapa aku selalu ingin di dekatmu. Sudah dengar ceritaku yang delapan tahun itu kan? Aku mencintaimu! Mau menikah denganku?” kata Harry tanpa diduga Ade.
”Mas Harry, aku.......!” kata Ade terbata, tak dapat meneruskan ucapannya. Ade terdiam, lamaran Harry memang mengejutkannya.
”Ade, aku mengagetkanmu ya! Maaf!” kata Harry, memeluk Ade. ”Sungguh, aku mencintaimu, aku ingin kau jadi isteriku!” kata Harry lagi, dia merasakan Ade menyusupkan wajahnya ke dadanya. Tapi kemudian, merasakan dingin di bajunya. Airmata Ade!. Tak ada suara yang keluar dari mulut Ade.

”Ade, kau hanya mau kita bersahabat saja ya? Kau tak menyukaiku? Tidak bersedia jadi isteriku?” tanya Harry menepuk pelan pundak Ade. Mengelus lembut rambut Ade. Lama Harry menunggu jawaban Ade, setelah tangisnya reda. Harry merasakan bajunya basah oleh airmata Ade.
”Mas Harry! Aku belum tahu apakah aku mencintaimu atau cuma sayang saja. Apakah rasa sayang saja cukup bagiku untuk jadi isterimu?” kata Ade akhirnya, menatap Harry dengan matanya yang basah dengan airmata. ”Aku masih.... ” ucapan Ade terhenti, dia tak dapat meneruskan. Ada keraguan dalam setiap katanya.
”De, pikirkan jawabannya nanti saja! Rasa sayang dan kejujuranmu buatku sudah cukup! Mungkin akhirnya kau tetap tak bisa mencintaiku, aku tak apa-apa! Kau kan tahu, sudah delapan tahun lebih aku juga mencintaimu, padahal aku tahu kau tak mengenalku. Kalau akhirnya kita tidak bisa bersama, apa bedanya padaku? Tidak ada De! Karena memang ini sepihak!” kata Harry sambil menghapus airmata Ade dengan tangannya.
Ade, tersenyum menatap Harry yang sedang memeluknya. Merasakan nyaman berada di pelukan Harry .
”Yang pasti jika aku menerima Mas Harry, bukan karena aku kasihan sama Mas Harry yang telah menyukaiku sejak lama! Bukan menerima karena menghindari Alan. Kalau aku menolak juga bukan karena Alan!” kata Ade membuat Harry terharu.
“De, terimakasih!” kata Harry ”Aku janji akan jadi suami yang baik untukmu! Percayalah” kata Harry, mencium pipi Ade. Ade menggelayutkan tangannya ke leher Harry. Kemudian Harry mengecup bibir Ade, untuk pertama kalinya. Ciuman pertama untuk gadis yang diimpikannya sejak delapan tahun lalu. Tak ada penolakan dari Ade, sambutannya bagaikan kekasih yang sedang rindu. Malam penuh harapan bagi Harry.



YUKATA

Ade tiba dari Surabaya di bandara Soekarno Hatta, Sabtu malam. Pesawat yang ditumpanginya baru berangkat jam enam sore. Tiga kali pesawatnya ditunda berangkat, tanpa ada penjelasan apa-apa. Seharusnya sebelum malam, dia sudah tiba di Jakarta.
”Menyebalkan!” umpat Ade dalam hati. Capek duduk di ruang tunggu, tanpa melakukan apapun. Mau mengerjakan tugas kantorpun tak bisa, karena baterai laptopnya telah habis. Baca majalah dan surat kabar saja untuk perintang waktu. Harry berkali-kali menelponnya, sangat khawatir. Ade juga merasa ingin cepat cepat pulang ke Jakarta, kangen pada Harry dan keluarganya sendiri, kakaknya Lola dan Ima, keponakannya. Sekarang Harry masih menunggu di bandara. Tadi di Surabaya juga hujan deras, sekarang di Jakarta juga rupanya juga hujan deras.
Begitu keluar dari pesawat, Ade mengaktifkan telpon genggamnya. Langsung menghubungi Harry.
”Mas Harry, aku masih nunggu koper! Lagi dimana?” tanya Ade begitu mendengar suara Harry menjawab. Ade telah melihat Harry dari balik kaca ruang kedatangan, melambaikan tangan.
”Tenang aja, aku tunggu depan pintu ya!” kata Harry gembira, hilang sudah rasa pegal ber jam-jam duduk menunggu Ade pulang. Ade muncul dengan menyeret kopernya dan menumpukkan di atasnya tas laptopnya. Udara dingin berangin menyambut Ade begitu keluar pintu kedatangan. Untung kali ini Ade mengenakan setelan celana panjang, jadi membantunya merasa lebih hangat. Setelan itu berwarna biru dan blazer warna cream, dilehernya dililitkan syal biru tua dengan garis merah di bagian tepi. Tetap dengan blus putih dibalik blazernya.
Harry yang menunggunya tersenyum gembira melihat Ade. Sudah seminggu tak melihatnya membuat Harry begitu kangen. Harry bergegas mempercepat jalannya menyambut Ade dengan pelukan, mencium pipinya. Beberapa penjemput memperhatikan ulah mereka. Aku tak peduli. Tadi aku begitu khawatir dia tak bisa kembali ke Jakarta, pikirnya.
”Disana nggak sakit kan? Sekarang sudah lapar ya?” tanya Harry sambil meraih koper dari tangan Ade, Ade menggeleng. Mereka berjalan menjauh dari kerumunan penjemput, ke dekat beberapa mobil pribadi dan taxi yang sedang menunggu penumpang.
”Tunggu di sini dulu ya, aku ambil mobil” kata Harry kemudian menuju sebuah kantin. Kemudian Harry keluar dengan sebuah payung besar, rupanya tadi dia menunggu disitu dan menitipkan payungnya. Harry dengan mantap berjalan menyeberangi jalan menuju tempat parkir. Kali ini setelannya berwarna biru tua, hampir sama dengan warna celana Ade. Jasnya sedikit basah oleh tampias air hujan. Rambutnya juga basah sebagian. Ade memperhatikan dengan senyum penuh rasa terima kasih. ”Bersamanya aku selalu merasa aman!” pikir Ade.
”De, kita langsung ke rumahku dulu ya! Mau kan?” tanya Harry begitu mereka sudah di mobil.
”Kenapa? Aku belum mandi lho!”kata Ade.
”Mama ingin bertemu!” jawab Harry.
”Oh, ibumu ada disini? Ada perlu apa ya?” tanya Ade heran. Terakhir dia bertemu dengan ibu Harry waktu dia sakit.
”Aku rasa tidak ada apa-apa. Cuma Minggu sore Mama pulang ke Semarang” jawab Harry.
”Ok, asal jangan dekat dekat aku, lagi bau banget nih!” kata Ade tertawa.
”De, sini, ke dekatku!” kata Harry.
”Hah, apa!” tanya Ade bingung. Ade mendekat, tiba-tiba Harry mencium pipi Ade sekilas.
”Nggak bau ah!” katanya tertawa. ”White musk ya!” kata Harry menebak parfum Ade.
”Ih... dasar! Awas, lagi nyetir nggak boleh pacaran! Bahaya!” kata Ade juga tertawa.
”Aku kangen berat!” kata Harry jujur.
”Aku nggak tuh!” jawab Ade seenaknya, sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
”Benarkah?” tanya Harry serius.
”Ya. Kan aku bisa lihat foto dan video Mas Harry di telponku!” jawab Ade.
”Oh ya! Fotoku lagi dimana De?” tanya Harry senang, tak menyangka Ade menyimpan fotonya.
”Waktu di rumahku, di teras samping, lagi kasih makan ikan! Aku ambil dari jendela kamarku!” jawab Ade tersenyum, memandang air hujan yang mengelinding jatuh di kaca mobil. Jalanan menuju rumah Harry untungnya tak padat. Biasanya jika hujan jalanan Jakarta yang biasa macet jadi semakin parah.

”Tante Ade! Papa! Tante Ade datang!” teriak Sheila begitu melihat Ade keluar dari mobil Harry. Rizal yang sedang membaca majalah, duduk dekat ibunya berdiri menyambut Ade. Rizal menyalami dan mencium pipi Ade, sementara Sheila sudah bergelayut di tangan Ade.
”Sheila, rambutnya baru potong ya?” tanya Ade sambil menyentuh rambut Sheila. Sheila mengangguk.
”Makin cantik!” puji Ade, membuat wajah Sheila tersenyum gembira.
Rizal meski menyimpan rasa suka pada Ade, tapi sangat bersyukur karena akhirnya Harry dapat mendekati Ade. Apalagi setelah mengetahui bahwa Ade adalah gadis yang diimpikan Harry bertahun tahun. Dulu dia selalu mengejek Harry ”Ghost’s Lover” karena melihat Harry selalu memajang foto kolase seorang gadis misterius di kamarnya. Sering Rizal menanyakan nama gadis itu, tapi Harry hanya tersenyum saja, tidak pernah menjawab. Rizal sama sekali tak tahu bahwa Harry pun sebenarnya tak tahu nama gadis di foto itu. Tapi senyum Ade memang sangat menarik!
”Selamat malam Tante!” sapa Ade pada Ny.Reiko Setyanto yang juga menyambut Ade. Dia memandang Ade, tersenyum.
”Selamat Malam! Jeng Ade, kau pasti capek! Duduklah!” katanya mempersilahkan Ade duduk di ruang keluarga.
”Sebentar lagi kita makan malam! Tante sudah siapkan, mungkin harus dihangatkan lagi!” lanjutnya.
Mbak Pur muncul membawa baki berisi teko kecil dengan dua cangkir. Meletakkannya di meja di depan Ade dan Ny. Reiko Setyanto duduk. Mbak Pur membungkuk hormat lalu kembali ke ruang dalam. Ny. Reiko Setyanto menuangkan teh untuk Ade.
”Suka pakai gula? Silahkan diminum!” katanya mempersilahkan Ade.
”Terima kasih!” jawab Ade kemudian mengambil sepotong gula berbentuk kotak dari dalam toples kecil di baki. Mengaduknya pelan.
Harry mendekat, duduk di samping Ade. Ade menganggkat cangkir berisi teh itu, menyerahkannya pada Harry. Ny. Reiko Setyanto tersenyum memperhatikan keduanya. Harry menyambut cangkir dari tangan Ade, meminumnya pelan. Alangkah manisnya hidupku, kedua wanita ini menyayangiku! Mama dan Ade, Harry bersyukur dalam hati.
Sekali lagi Ny. Reiko Setyanto menuangkan teh ke cangkir kosong, memberinya gula, mengaduknya pelan dan menyerahkannya pada Ade.
”Ini untukmu, minumlah!” katanya. Ade menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
”Tante besok pulang ke Semarang. Kapan Jeng Ade bisa mampir ke rumah?” tanya Ny. Reiko Setyanto.
”Tante, bulan November nanti saya rencana akan keliling Jawa Tengah. Jadi kira kira setengah bulan lagi. Nanti saya usahakan mampir deh” jawab Ade. ”Saya telpon Tante kalau bisa mampir sebentar” lanjut Ade. ”Itu perjalanan promosi, kira kira sepuluh hari, di Semarang dua hari, ada pelatihan untuk staf kami” kata Ade menjelaskan.
”Bagus, Tante tunggu ya. Benar lho!” kata Ny. Reiko Setyanto. Mbak Pur muncul memberitahu makan malam telah siap.
”Ayo kita makan! Mari Jeng Ade!” ajak Ny. Reiko Setyanto sambil berdiri.
Harry segera berdiri, kemudian meraih tangan Ade, memeluk pinggangnya mengajak ke ruang makan. Ny. Reiko Setyanto sangat gembira melihat kemajuan hubungan Harry dan Ade. Ade meraih tangan Sheila, mengajaknya berjalan bersama menuju ruang makan. Rizal pun tersenyum senang mengikuti mereka ke ruang makan.
Setelah makan mereka duduk kembali di ruang keluarga di depan televisi. Ny. Reiko Setyanto kemudian datang membawa semangkok buah semangka yang sudah dipotong-potong. Kemudian duduk dekat Ade. Melihat gelagat ibunya, Harry dan Rizal meninggalkan mereka berdua. Mereka tahu ibu mereka akan bicara serius dengan Ade.
”Jeng Ade, Tante ingin bicara sebentar, boleh?” tanya Ny. Reiko Setyanto, membuat Ade kaget karena terdengar nada serius.
”Oh boleh, tapi ada apa? Panggil saya Ade saja ya, tidak usah resmi sekali” jawab Ade. Ny. Reiko Setyanto menatapi wajah Ade.
”Begini, Tante minta maaf jika tidak sopan. Boleh Tante tahu apakah Harry sudah bicara padamu?” tanya Ny. Reiko Setyanto.
”Hubungan kalian bagaimana?” tanyanya lagi. Dia memegang tangan Ade dengan kedua tangannya. Hangat terasa oleh Ade. Kasih seorang ibu yang sangat mengharapkan kebahagiaan anaknya. Ade kangen Mamanya yang sudah lima bulan tak bertemu.
Ade terdiam, menunduk, tak mampu menjawab segera pertanyaan itu. Lama baru kemudian dia mengangkat wajahnya.
”Mas Harry sudah meminta saya untuk menjadi isterinya. Saya belum tahu harus menjawab apa!” kata Ade pelan, sulit menemukan kata yang tepat.
”Kau tidak menyukai Harry? Atau ada orang lain?” tanya Ny. Reiko Setyanto menatap Ade. Ade menggeleng.
”Saya menyukai Mas Harry, tapi rasanya terlalu cepat untuk....” kata Ade berusaha memilih kata yang paling pas untuk menggambarkan isi hatinya. Juga berusaha tidak menyinggung harga diri ibu Harry.
”Oh... Tante memahamimu. Makanya Tante ingin kau mampir ke rumah. Bisa mengenal kehidupan keluarga kami. Nanti jadi bisa memutuskan lebih baik. Bagaimana?” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Bukan itu maksud saya Tante. Saya sudah mendengar cerita Mas Harry tentang usaha dia mencari saya selama delapan tahun. Tapi apa itu......? kata Ade tak mampu meneruskan ucapannya. Dia melihat wanita di depannya mendesah. Wajahnya terlihat prihatin, murung.
”Benar, dia mencintaimu sejak lama. Benar-benar tingkah Harry mencemaskanku! Bagaimana dia harus menemukan orang yang dia tak kenal. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk bantu dia! Setelah menemukanmu kembali, Tante ingin segera tahu bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan Harry. Tante takut dia akhirnya akan sangat kecewa. Selama ini dia hidup dalam mimpi! Tidak mau dekat dengan wanita, sampai dikira ada kelainan jiwa!” kata Ny. Reiko Setyanto. ”Semoga Ade bisa memahami mengapa Tante harus bicara seperti ini padamu” lanjut Ny. Reiko Setyanto.
”Tante, saya ingin berkata jujur. Saya pernah mencintai orang lain, bersamanya empat tahun. Memang kami belum ada rencana untuk menikah. Tapi saya kecewa karena dihianatinya. Sampai saat ini, jika mengingatnya saya selalu sedih. Saya ingin melupakan, sulit sekali percaya janji-janji lagi. Namanya Alan, Tante pernah bertemu dengan Alan di rumah sakit kan? Saat ini dia selalu membayangi saya. Dia ingin kembali lagi pada saya” kata Ade, menarik nafas dalam-dalam. Ny. Reiko Setyanto mendengarkan sambil menatap Ade.
”Mas Harry banyak membantu saya, melindungi saya. Saya tidak ingin mengecewakan Mas Harry. Saya sedang berusaha mencintainya. Menerima cintanya yang begitu tulus membuat saya bahagia. Saya sebenarnya selalu ingin bersama Mas Harry. Saat ini saya selalu memikirkan dia. Tapi untuk menikah saya perlu waktu untuk berpikir” kata Ade menjelaskan dengan suara pelan, menahan airmatanya mulai menggenang di matanya.
Ny. Reiko Setyanto mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga kaget ketika gadis di hadapannya ini terlihat menahan airmatanya yang hampir menetes. Matanya merah berair. Tak menyangka gadis cantik ini dikecewakan pemuda lain. Dicampakkan! Benar-benar tak adil, sementara putraku mengejar gadis impiannya ini tanpa henti selama bertahun-tahun, keluh Ny. Reiko Setyanto, hanya dalam hati.

”Ade, Tante mengerti, tidak akan mendesak. Maafkan Tante!” kata Ny. Reiko Setyanto, lalu meraih Ade ke pelukannya. ”Tapi Tante tetap berharap kau bisa menjadi menantuku. Kami sangat menyukaimu. Kakakku, Mas Suryo dan isterinya Lien, kau kan kenal sepupu-sepupu Harry, mereka suka denganmu!” katanya meneruskan. Jadi jangan merasa sedih lagi jika pernah dicampakkan Alan. Kau sangat berarti bagi Harry, juga bagi kami” kata Ny. Reiko Setyanto.
Tentu saja Ade ingat bagaimana sepupu-sepupu Harry datang membezuknya di rumah sakit. Bahkan Om Suryo dan Tante Lien pun datang. Malah Tante Lien membawakan Ade puding karamel buatannya sendiri. Ade terharu mendengar ucapan ibu Harry itu, tanpa kemampuan lagi untuk menahan tangisnya, terisak dipelukkan Ny. Reiko Setyanto, yang kemudian mengelus-elus bahu Ade.
”Ya sudah jangan menangis! Pelan-pelan pikirkan tentang Harry ya. Nah...Ini ada hadiah kecil dari Tante!” kata Ny. Reiko Setyanto melepaskan pelukannya. Kemudian menyerahkan sebuah kotak persegi panjang dari karton berwarna hijau muda dengan gambar bunga cherry yang dikeluarkannya dari kantong plastik biru. Pita kecil berwarna emas menghiasi kotak itu, terlihat hadiah itu begitu indah.
”Ini Yukata , pakaian tradisional Jepang. Sejenis kimono untuk sehari-hari. Tante dapat kiriman dari keluarga di Kyoto. Kau tahu kan ibuku wanita Jepang?” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Ini untuk summer kimono , jadi lebih meriah, pasti cocok untukmu. Potongan lengannyapun lebih panjang, cocok untuk wanita muda” lanjutnya.
”Terima kasih Tante” jawab Ade menerimanya dengan gembira, meski bekas airmata masih terlihat, dia menyusutnya dengan tangan.
”Boleh saya buka sekarang?” tanya Ade sangat ingin tahu.
”Buka saja, coba pakai” jawab Ny. Reiko Setyanto. Saat itu Harry dan Rizal kembali ke ruangan itu, melihat ibu mereka telah selesai bicara.
”Apa itu De?” tanya Harry ketika melihat kotak di pangkuan Ade.
”Yukata untuk Ade, kiriman nenek Yoko” kata Ny. Reiko Setyanto. Nenek Yoko adalah adik kandung dari Ny.Rey Sudarmanto, nenek Harry dan Rizal.
”Kapan datang paketnya Ma?” tanya Rizal sambil duduk di sebelah ibunya. Rizal melihat sisa airmata masih terlihat di wajah Ade.
”Minggu lalu, makanya Mama ke sini” kata Ny. Reiko Setyanto. ”Mama tulis surat, cerita tentang Harry, dia sangat gembira. Malah mengundang kalian musim semi nanti untuk lihat sakura berbunga” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Coba pakai De? Jadi pengen lihat nih!” ujar Harry antusias. Harry mencoba untuk tak menghiraukan mata merah Ade yang terlihat bekas menangis.
”Iya, pakai, pasti kau cantik!” kata Rizal memberi semangat.
Ade membuka kotak, di dalamnya ada satu set kimono yang dalam pengertiannya adalah pakaian. Sebenarnya ada beberapa tipe kimono. Salah satunya Yukata ini. Yukata itu dilipat sangat rapi lengkap dengan Obi, ban pingangnya, tali pengikat, date–jime. Semuanya ditutupi lapisan kertas tipis. Ade mengeluarkannya yukata berwarna hijau muda dengan semburat putih. Motif setangkai bunga dan buah cherry yang indah menghiasi bagian dada atas, bagian bawah depan dan pinggir lengannya yang lebar. Bahannya sangat lembut, dari katun halus, Ade mengelusnya, Jahitannya pun halus dan rapi, khas produksi Jepang. Ade memakainya. Ny. Reiko Setyanto membantu Ade.
”Jangan lupa, bagian kanan depan ini dibalutkan ke badan, lalu bagian kirinya menutup bagian kanan tadi. Ini cara memakai kalau kita mau pergi ke festival atau pertemuan atau untuk menghormati orang. Sedang untuk acara pemakaman atau duka, bagian kanan menutup kirinya. Tapi warna yukatanya bukan meriah seperti ini, tentu saja” kata Ny. Reiko Setyanto memberi petunjuk dasar mengenakan pakaian itu. Ade mengangguk. Kemudian memakaikan ikat pinggangnya, obi yang berwarna orange, seperti warna buah cherry matang. Ade terlihat cantik dengan pakaian itu. Ny. Reiko Setyanto kemudian mengikatkan date-jime diatas obi sebagai penyelesaian memakai Yukata.
”Kau bunglon juga ya! Kaya wanita Jepang sekarang!” kata Harry memuji menatap Ade kagum. ”Biasanya Indo nya kelihatan banget” lanjutnya. Ade tersenyum senang. Sementara itu Rizal memandangi Ade dengan hati gundah. Dia teringat almarhum Pris pernah menerima kiriman yukata seperti itu. Hanya warnanya berbeda. Nuansa merah muda dan abu-abu pucat.
”Sheila, Sheila...sini deh ! Lihat Tante Ade pakai yukata nih, cakep!” teriak Rizal memanggil Sheila yang sedang berada di ruang makan dengan Mbak Pur. Sheila datang berlari, langsung bertepuk tangan melihat Ade. ”Tante cantik deh!” kata Sheila, mendekat dan meraba yukata yang sedang dikenakan Ade.
”Kau cantik sekali!” kata Ny. Reiko Setyanto. ”Bagaimana, suka hadiah itu?” tanyanya. Ade mengangguk, dia benar-benar suka. Tak menyangka memakai yukata ternyata punya perasaan berbeda dengan menggunakan rok atau jeans. Seperti memakai kebaya, pikir Ade.
”Terima kasih. Baju begini bagus, kapan bisa pakainya?” tanya Ade bingung.
”Pakailah di sekitar rumah juga boleh, karena dia bukan untuk pesta atau jalan-jalan saja.Menerima tamupun boleh dan sopan” kata Ny. Reiko Setyanto menjelaskan.
”Oh begitu...okay, saya akan pakai sesekali! Sayang kalau sering-sering! Terima kasih Tante!” kata Ade tertawa senang. Kemudian melepaskan dan melipat pakaian itu. Kemudian memasukkannya ke dalam kotaknya kembali.
”Mas Harry, sudah malam nih, aku mau pulang ah!” kata Ade. ”Tante saya pamit dulu, sudah malam” kata Ade lalu menyalami Ny. Reiko Setyanto. Kemudian berpamitan dengan Rizal dan Sheila.
Saat di mobil menuju pulang bersama Harry, Ade lebih banyak berdiam diri, melamun. Dia memikirkan perasaannya pada Harry. Apakah aku mencintainya atau hanya karena kasihan mendengar penderitaannya. Atau Karena dia begitu perhatian padaku? Pikirannya bimbang. Harry sambil menyetir, sesekali melirik Ade, faham Ade sedang berfikir. Tentu Mama telah bertanya macam-macam, tebak Harry.
Setiba di rumah Ade, Harry duduk di teras samping, menunggu Ade mandi. Sudah hampir jam sepuluh malam, Mbok Piah mengantarkan teh hangat dan setoples kue kering, lalu kembali ke dalam rumah. Harry duduk melamun di kursi sofa. Tiba-tiba Ade muncul dengan yukata barunya. Rambutnya di jepit dengan jepitan plastik, sehingga lehernya yang putih jenjang terlihat indah. Pinggangnya langsing, dengan ikatan yang sempurna dari ban yukata nya. Harry benar-benar kaget melihat penampilan Ade. Biasanya dia mengenakan celana panjang atau celana capri dan T Shirt. Benar-benar unik dan cantik. Tak menyangka Ade akan memakai Yukatanya lagi.
Harry segera berdiri menyambut Ade. ”Kau cantik sekali pakai yukata itu!” kata Harry. Ade mendekat, tersenyum senang mendengar pujian Harry.
”Eit, diamlah disana, aku potret!” kata Harry segera mengeluarkan telponnya. ”Senyum dong... ya.. seperti itu, woow... keren!” kata Harry. Ade berdiri dengan wajah sedikit menyamping. Pose standard, tapi terlihat anggun. Background bunga anggrek menambah indah. Harry segera merekam moment itu kedalam telepon genggamnya. Beberapa kali malah.
”Boleh lihat?” kata Ade mendekati Harry.
”Nggak!” kata Harry bercanda. ”Nih, lihat, bagus kan! Aku mau jadikan Screen Saver di telpon sama laptopku” katanya. ”Oh, iya, aku mau kirim buat Akio!” kata Harry.
”Ih..... Mas Harry, kurang kerjaan deh! Tapi, siapa tuh Akio?” kata Ade.
”Hey, ini bentuknya sudah jelas. Dulu masih kaya puzzle aja aku pajang, nanti lihat ya di kamarku kalau ke Semarang!” kata Harry.
”Tadi tanya Akio? Dia sepupuku! Cucu nenek Yoko” kata Harry menjelaskan. ”Dia pernah ke Indonesia, bahasa Inggerisnya lumayan, aku juga belajar bahasa Jepang sama dia. Jadi kami sering kirim-kiriman email. Dia pernah kirimi aku foto cewek, temannya atau pacarnya. Sekarang biar dia tahu aku juga punya!” lanjut Harry. Ade terdiam, kemudian Harry mendekati Ade yang masih berdiri. Dipeluknya pinggang Ade.
”Ade, maaf tadi Mamaku bicara apa? Kau sakit hati nggak? Tadi nangis ya?” tanya Harry ingin tahu, menatap Ade. Ade menggeleng.
”Mas Harry, akhir pekan depan aku nggak ada program promosi. Jum’at pulang kantor kita ke Semarang yuk! Lagi sibuk nggak?” kata Ade tiba-tiba.
”Hah....ada apa tiba-tiba mau ke Semarang? Tugas?” tanya Harry heran.
”Aku janji sama ibumu untuk suatu saat mampir ke sana!” kata Ade. ”Rasanya kalau nunggu bulan depan terlalu lama sih. Kalau pergi sama-sama, kau bisa jadi guide ku kan?” kata Ade menatap Harry.
”O gitu! Okay, aku jemput di kantor ya. Pesawat sore aja, jadi bisa jalan-jalan malamnya” kata Harry gembira. ”Pinjam KTP mu deh, besok aku mau pesan tiket, sekalian anter Mama ke bandara” kata Harry semangat. Ade melepaskan diri dari pelukan Harry, kemudian duduk di sofa, Harry duduk disamping Ade.
”Ngantuk ya? Kalau gitu aku pulang ya!” kata Harry. ”Kau istirahat deh!” lanjut Harry ketika melihat Ade duduk bersandar lemas di sofa.
”Oh, nggak ngantuk kok! Mas Harry yang ngantuk kan?” jawab Ade, kemudian memejamkan matanya sambil meletakkan sebelah tangan ke dahinya. Harry memandangi Ade, merasa Ade pasti memikirkan suatu hal yang berat.
”De, sebenarnya sedang memikirkan apa? Cerita dong!” kata Harry lalu bergeser mendekati Ade.
”Aku nggak akan pulang dengan tenang kalau kau masih seperti orang resah gitu! Pasti ada kaitannya sama ucapan Mamaku kan?” kata Harry melanjutkan. Ade masih berdiam diri, Harry memandangi mata yang terpejam itu bergerak-gerak pelan. Dipegangnya tangan Ade.
”Mas Harry, aku memikirkan setelah kita pulang dari Semarang. Apa kalian akan membenciku kalau akhirnya aku hanya bisa berkawan saja denganmu?” kata Ade pelan.
”Tante ingin aku melihat keluarga kalian agar aku bisa memutuskan dengan baik arah hubungan kita!” lanjut Ade, terdengar bimbang.
”Aku benar-benar takut kalian membenciku setelah itu! Selama ini aku merasa bersalah, seperti berlindung dan memperalatmu dari kejaran Alan” kata Ade pelan, menarik napas panjang, mengumamkan sesuatu tapi tak terdengar.
Harry meraih Ade ke pelukkannya, kini dia mengerti mengapa Ade begitu resah sejak pulang tadi. Dia tahu, ibunya telah meminta Ade menentukan arah, mendekat atau meninggalkannya. Dia sebenarnya juga resah, tak tahu apa yang akan terjadi bila Ade akhirnya hanya ingin berteman saja. Berbulan-bulan hal ini telah mengganggu pikirannya.
”Ade, apapun keputusanmu aku akan tetap tidak membencimu! Tidak akan berubah!” kata Harry.
”Jangan merasa di desak! Mama hanya ingin kita punya arah yang jelas. Mama ingin aku tidak hidup dalam mimpi seperti dulu, jadi dia mau kau melihat kondisi kami. Keluarga macam apa yang akan kau masuki. Jika tidak sesuai kau dapat memutuskan segera, kita hanya sebatas berkawan saja. Aku tak akan sakit hati. Juga keluargaku” kata Harry menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu, keputusan Ade akan berdampak besar pada masa depannya.
”Jangan dipikirkan terus! Sekarang tidurlah! Aku pulang dulu kalau gitu” kata Harry melepaskan pelukkannya. Ade hanya berdiam diri, kemudian tiba-tiba berbaring di sofa sambil meletakkan kepalanya di pangkuan Harry, menaikkan kakinya ke lengan sofa, lalu berselonjor. Memejamkan matanya, tanpa menjawab ucapan Harry.
”Jangan pulang dulu, aku mau tidur disini sebentar!” kata Ade, pelan. Harry tertawa kecil melihat tingkah Ade yang manja. Diraihnya tangan Ade yang sedang merapikan yukata nya. Harry merasakan dunia begitu indah bersama Ade yang berbaring dipangkuannya. Bisakah dia hanya berkawan? Tidak lebih dari itu? Harry ragu, sangat ragu.



SIMPANG LIMA


Jum’at sore Harry dan Ade sudah berada di dalam pesawat di bandara Soekarno-Hatta. Kini pesawat yang akan membawa mereka ke Semarang sedang bersiap tinggal landas. Harry memeriksa seatbelt yang di kenakan Ade. Dari jendela di lihatnya langit sore hari agak mendung di bulan Oktober ini. Tapi hati Harry begitu gembira. Dia telah mengabari Mamanya. Tadinya Ade ingin menginap di hotel, tapi kemudian dengan sukarela menerima permintaan Mamanya untuk menginap di rumah saja. Pasti Mama sedang sibuk memasak, pikir Harry.
Pesawat dengan mulus take off, kini sedang menambah ketinggiannya. Harry menoleh ke sampingnya. Dilihatnya Ade melepaskan seatbelt nya, tersenyum ceria. Harry melihatnya bagai gadis remaja saja. Hanya pakaian kerjanya yang membuat dia lebih dewasa. Ade mengenakan blus warna putih kesukaanya, diatasnya dikenakan setelan blazer dan celana panjang warna abu-abu muda. Sebuah scarf warna pink bermotif bunga kecil-kecil berwarna putih, abu-abu, biru muda mempercantik penampilannya. Dia mengenakan sepatu pantopel putih dan tas tangan besar berwarna putih. Sangat chic dan elegant. Harry selalu suka penampilan Ade. Dia sekarang tahu, Ade selalu suka warna putih, terutama untuk blusnya. Mungkin itu gambaran sikap Ade yang tulus, tidak berpura pura.
Harry juga mengenakan pakaian kerjanya. Baju warna putih dengan dasi abu-abu tua dengan bordiran kecil merah maroon logo perusahaannya. Dasi yang sengaja dibuat khusus jika dia atau partnernya presentasi ke klien mereka. Irene, isteri temannya itu seorang disainer pakaian, sengaja membuat sebagai hadiah ketika perusahaan mereka baru dibuka. Pantalon dan jasnya berwarna abu-abu tua. Tadi dia baru selesai presentasi untuk calon client nya, langsung menjemput Ade untuk pergi ke bandara. Jadi penampilannya bersama Ade sungguh serasi.
Harry membuka meja kecil di depan tempat duduk, meletakkan laptopnya. Dia ingin membuka komputernya, mau memperlihatkan foto Ade yang berpakaian yukata. Sedang Ade masih memandangi langit yang mendung dari jendela, ketika seorang pramugari memberikan gelas air mineral. Ade menoleh dan mengangguk berterima kasih pada pramugari itu yang memandangnya dengan terbelalak.
”Maaf, ini Mbak Lana yang model itu ya? Aduh, lebih cantik aslinya ya!” kata pramugari itu ramah. Ade tersenyum menggeleng. Pramugari itu menatap heran.
”Bukan, saya bukan dia!” kata Ade. Harry menoleh ke arah pramugari. Pramugari itu justru makin terbelalak melihat Harry. Kini Harry dan Ade tertawa mengerti.
”Dia bukan aktor Korea itu!” kata Ade menjelaskan, membuat pramugari itu tersenyum malu.
”Maaf, tapi mirip sekali! Kalian benar-benar mirip kedua orang itu!” katanya lalu mengangguk dan meninggalkan berdua untuk melanjutkan tugasnya membagikan minuman.
”De, artis Korea itu benar-benar top ya? Sudah berapa kali aku dapat kejadian begini” kata Harry mengaku. Tadi waktu di lift menuju kantor clientnya di lantai 10, seorang karyawati cantik menyapa Harry dan menanyakan hal itu dalam bahasa Inggeris. Lalu ketika memasuki kantor clientnya, resepsionis juga terbengong-bengong memandangnya. Juga saat presentasi, sekretaris kantor client Harry selalu memandangnya. Meski sudah tahu namanya Harry, dia tetap bertanya apakah dia keturunan Korea. Lucu sekali!
”Kayanya memang lagi top! Tapi yang berani tanya Mas Harry pasti cewek semua ya?” kata Ade. Harry mengangguk, tersenyum. Ade malah cemberut.
”Awas ya kalau berani meladeni mereka!” ancam Ade galak, ucapan yang tak disangka Harry. Apa dia cemburu, pikir Harry senang.
”Ah... Ade, jangan kaya anak kecil dong!” Harry tertawa melihat tingkah Ade. Dia senang melihat Ade begitu. Paling tidak ada tanda dia ingin aku selalu bersamanya, pikir Harry. Tepat saat itu dua pramugari lainnya lewat, secara sengaja memandangi Harry. Keduanya kemudian mengangguk pada Harry, yang dengan sopan membalas dengan senyuman. Kemudian seorang gadis yang kembali dari toilet juga menatap Harry, tersenyum-senyum. Harry selalu membalasnya dengan senyuman. Ade melihat hal itu, menjadi benar-benar kesal, entah mengapa dia begitu sensitif. Harry melingkarkan tangannya di pundak Ade, kemudian memeluknya.
”Jangan marah dong!” kata Harry membujuk Ade.
”Menyebalkan! Kalau Mas Harry begitu lagi, aku mau pulang ke Jakarta malam ini juga!” kata Ade mulai tersenyum. Harry tertawa geli, yakin Ade tidak akan bertingkah sekonyol itu.
”De, tapi selama ini kan orang juga sering kira kamu artis! Aku kan nggak apa-apa! Tadi waktu di ruang tunggu, lihat nggak bapak-bapak memandangi kamu terus! Aku malah senang, biar aja, mereka kan tak seberuntung aku!” kata Harry.
”Iya, tapi aku kan nggak pedulikan mereka! Mas Harry kan lain! Malah pamer dan bagi-bagi senyuman gitu!” sahut Ade, rupanya Ade serius ngambek. Baru sekarang Harry tahu kalau Ade kesal wajahnya terlihat lucu. Ade berpaling dan menutupi wajahnya dengan scarf. Harry jadi teringat Sheila, jadi tertawa. Harry membisiki Ade.
”De, buka dong scarf nya, kalo nggak aku cium disini!” ancam Harry sambil tertawa kecil. Ade cepat-cepat membuka scarf yang menutupi mukanya, khawatir Harry akan benar-benar menciumnya di dalam pesawat. Ade tahu Harry dapat saja membuat kejutan semacam itu. Kini dia tahu, Harry juga sangat keras kepala. Bisa heboh satu pesawat!
”Hm... takut juga ya!” ejek Harry seraya tertawa ketika melihat Ade segera membuka scarf yang menutupi wajahnya. Ade melipat kembali scarf nya dan melilitkan di kerah bajunya. Rupanya pria muda yang duduk di samping Harry mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Dia tersenyum-senyum sendirian.
Tak terasa pesawat yang mereka tumpangi sudah mendarat di bandara Ahmad Yani, Semarang. Ketika hendak turun dari pesawat, Harry sengaja menggandeng Ade, agar dia tidak terganggu dengan pandangan para pramugari dan beberapa wanita yang menyadari kemiripannya dengan aktor itu. Dia tak ingin Ade kesal lagi. Rupanya taktik itu berhasil, tak satupun yang menanyainya. Mereka hanya menatapnya saja. Juga menatap Ade.
Di pintu keluar, Pak Warno, supir keluarga Harry sudah menunggu. Dia mengangguk hormat pada Ade dan Harry, kemudian mengambil trolley yang berisi dua koper kecil yang di dorong Harry, menuju mobil.
”Pak Warno, Mama sedang apa tadi?” tanya Harry sambil berjalan di samping Ade.
”Sedang tunggu Opa-Oma, Den!” jawab Pak Warno. Mereka sudah sampai ke sebuah mobil sedan berwarna putih. Pak Warno memasukkan koper-koper ke bagasi. Harry membuka pintu belakang mobil mempersilahkan Ade masuk. Kemudian dia duduk di samping Ade. Segera mobil bergerak meninggalkan bandara, di sore menjelang malam.
Kota Semarang sudah semarak dengan lampu jalan yang menyala. Mobil melewati bundaran kota yang biasa disebut Simpang Lima, lalu menuju ke daerah atas kota. Rumah keluarga Harry berada di bagian atas kota, di daerah berbukit yang lebih sejuk.
”Aku biasanya nginap di situ!” kata Ade menunjuk sebuah hotel yang belum lama berdiri. Bangunan modernnya menonjol.
”Tapi kalau sama Papa-Mama, dulu kami menginap di hotel di atas bukit itu!” kata Ade menunjuk hotel tua yang jika kita berada di Simpang Lima kelihatan jelas.
”Kau sering ke sini ya?” tanya Harry. Ade mengangguk, memandang keluar jendela, pepohonan lebat dengan rumah-rumah besar dan pagar tinggi terlihat indah. Kemudian tak berapa lama mobil berbelok, memasuki sebuah halaman penuh tanaman rindang. Mobil berhenti di samping rumah bergaya kolonial Belanda bercat putih.
Ade dan Harry keluar dari mobil, Ade memandang sekeliling halaman rumah. Halaman berumput luas yang rapi tertata dengan satu set kursi kayu bercat putih berada di tengahnya. Di pagar sedang berbunga tanaman merambat, stefanut dengan gerumbul bunganya yang berwarna ungu muda. Sedangkan bunga alamanda dengan warna kuning cerah merambat di teras samping menghadap sebuah kolam ikan. Sebuah sofa rotan dengan bantal-bantal. Lalu anggrek yang bergantungan sedang berbunga.
”Teras itu seperti di rumahku ya!” kata Ade sambil menunjuk teras itu. Harry tertawa saja. Pada saat itu Ny. Reiko Setyanto muncul di pintu depan, mendekati mereka. Ade langsung mendekat, mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ny. Reiko Setyanto menyambutnya, lalu memeluknya hangat, kemudian mencium pipi Ade.
”Selamat datang! Terima kasih sudah mau kesini menengok Tante” katanya halus. ”Tak menyangka bisa lebih cepat kesininya, Tante sampai kaget karena senang!” lanjutnya.
”Ya Tante, kebetulan akhir minggu ini saya tidak ada kegiatan”
jawab Ade. ”Mas Harry juga lagi nggak sibuk” lanjut Ade. Harry mendekat, mencium ibunya.
”Ayo masuk, Opa Oma sudah menunggu kalian!” kata Ny. Reiko Setyanto. Lalu membimbing Ade memasuki rumah.
Ruang tamunya besar mereka lewati langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana di sofa besar, duduk kakek dan nenek Harry, menunggu. Opa Harry, Pak Sudarmanto berusia sekitar delapan puluh tahun, masih terlihat sehat untuk orang tua seusia dia. Kulitnya bersih, berkacamata, rambutnya yang berombak sudah memutih. Dia mengenakan kemeja lengan pendek warna biru muda bergaris-garis dengan celana panjang biru tua, dengan selop kulit berwarna hitam. Di sebelahnya duduk isterinya, Ny. Rey Sudarmanto, mengenakan rok semata kaki dari batik dasar putih dengan motif biru dengan blus warna putih dari katun berenda. Wajahnya masih terlihat cantik. Matanya sipit berkacamata. Kulit kuningnya terlihat sangat halus terawat baik. Rambutnya lurus, di sanggul kecil. Keseluruhan penampilannya rapi dan lembut.
Begitu dekat kedua Opa-Omanya, Harry kemudian segera tegak berdiri di samping Ade. Ny. Reiko Setyanto melepaskan tangan Ade, berdiri sedikit mundur. Harry berdiri tegak, kemudian memberi hormat dengan gaya Jepang. Melihat itu Ade juga segera meletakkan tasnya, turut mengikuti Harry memberi hormat. Dia pernah mempelajari itu di kantornya. Hampir setiap Senin dalam rapat mingguan di kantornya melakukan hal itu, jadi Ade tidak canggung lagi. Kedua orang tua itu senang sekali melihatnya.
”Opa, Oma, Komban wa, ! Ade-san o shokai shimasu! ” kata Harry memperkenalkan Ade. Mereka berdua mengangguk dan tersenyum pada Ade dan Harry. Harry tak menterjemahkannnya untuk Ade karena dia kini tahu Ade faham sedikit bahasa Jepang.
”Selamat malam, nama saya Alexandra Lusiana” kata Ade sambil tersenyum pada kedua orang tua itu.
”Irasshaimase! Hajimemashite, dozo yoroshiku! Kau cantik sekali! Apakah Harry mengajarimu cara kami tadi?” tanya Ny. Rey Sudarmanto berdiri mendekati Ade. Ade menggeleng, Harry cepat-cepat menjelaskan pada neneknya.
”Oma, dia kerja di perusahaan Jepang, jadi sudah biasa! Dia juga mengerti sedikit bahasa Jepang” kata Harry tertawa. Ny. Rey Sudarmanto tersenyum mengangguk senang.
”Dozo, o-kake kudasai! Mari, silahkan duduk, capek ya?” kata Ny. Rey Sudarmanto. Ade faham apa yang dimaksud nenek Harry itu, karena sering mendengarnya jika para bos kantornya datang. Pak Sudarmanto sama sekali belum mengucapkan apa-apa, hanya memandang Ade dan Harry. Entah apa yang dia pikirkan.
”Domo, Arigato!” sahut Harry berterima kasih. Ade mengucapkannya dalam bahasa Indonesia. Keduanya duduk di sebuah sofa kosong, bersama dengan kedua orang tua itu. Ny. Reiko Setyanto masuk ke ruang dalam rumah.
Kemudian seorang pembantu wanita menyuguhkan minuman hangat untuk mereka di ikuti Ny. Reiko Setyanto yang kemudian menuangkan teh bagi mereka.
”Ade, silahkan diminum tehnya!” kata Pak Sudarmanto ramah mengangkat cangkirnya. Ade mengangguk, lalu mengangkat cangkirnya, minum pelan pelan. Kemudian meletakkan cangkirnya kembali. Mereka sedang menatapku seperti aku ikan dalam akuarium, pikir Ade. Gawat! Kalau nggak sesuai dengan standard mereka? Out of the list? Mereka yang menentukan atau aku? Keluarga Alan tak pernah melakukan ini padaku, pikir Ade. Kenapa aku begitu khawatir tidak diterima mereka? Aneh!
”Ade asalnya dari mana?” tanya Pak Sudarmanto tiba-tiba.
”Papa dari Malang sedang Mama asal Kalimantan - Magelang” jawab Ade gugup.
”Oh... kau bukan Indo?” tanya Ny. Rey Sudarmanto.
”Oma saya memang Indo Belanda” jawab Ade menenangkan diri.Mereka mulai investigasi, pikirnya.
”Ya, masih terlihat jelas dari wajahmu” kata Pak Sudarmanto manggut-manggut.
”Sebaiknya kalian istirahat dulu, nanti kita makan malam sama sama. Reiko, antar Ade ke kamar dulu!” ujar Ny. Rey Sudarmanto. Ibu Harry mengangguk.
”Mari, Tante antar ke kamar!” kata Ny. Reiko Setyanto mengajak Ade. Ade bangkit juga Harry, keduanya mengangguk sebelum meninggalkan kedua orang tua itu. Ade merasa mereka berdua mengamati punggungnya, ketika berjalan mengikuti ibu Harry.
”Dia cantik dan tahu sopan santun!” puji Ny. Rey Sudarmanto. Suaminya mengiyakan.
”Pantas saja Harry kasmaran delapan tahun lebih!” suaminya menimpali ucapan isterinya. Keduanya tertawa pelan.
”Harry cerita pada Reiko, dia itu anak pensiunan jenderal” kata Ny. Rey Sudarmanto.
Ade, Harry dan ibunya menuju sebuah kamar. Harry membuka pintunya, menyalakan lampu, sehingga ruangan terang. Kamar untuk Ade.
”Malam ini Jeng Ade tidur disini ya. Maaf sederhana sekali” kata Ny. Reiko Setyanto merendah. Kamar itu besar, bercat putih dengan sebuah tempat tidur besar tertutup bed cover warna biru muda pucat dengan bunga putih kecil-kecil. Ade melihat koper kecilnya sudah terletak di atas meja kecil di sudut kamar. Nuansa warna putih pada tirai dan bantal-bantal di tempat tidur membuat kamar itu terlihat indah dan hangat. Meja rias dengan cermin berada di sudut di depan tempat tidur. Di atasnya sebuah kotak tissue yang dibungkus dengan kain satin putih dengan hiasan bunga kain berwarna putih dan hijau muda. Di samping meja rias terlihat kamar mandi kecil yang juga bernuansa putih biru. Di bangku kecil di depan meja rias, dalam baki rotan diletakkan handuk putih terlipat rapi serta selembar bathrobe , semacam kimono untuk ke kamar mandi, dari bahan handuk. Terlihat sangat lembut. Memang terkesan sederhana, tidak meriah. Tetapi kamar ini nyaman. Mungkin lebih dapat dikatakan sebagai less is more
Dari kamar ini lewat jendela kaca bisa melihat sebagian halaman depan, melandai dengan rumput yang terawat baik. Bahkan jalan besar juga terlihat karena rumah ini lebih tinggi posisinya dari jalan raya. Berada di atas bukit kecil di atas kota Semarang.
”Kamar ini bagus sekali!” puji Ade spontan membuat Harry dan ibunya senang.
”Nggak takut kan tidur sendirian?” tanya Harry. Ade tertawa, ibunya juga turut tertawa.
”Sini De, aku kasih tahu kran air panas buat mandi!” kata Harry, menarik tangan Ade menuju kamar mandi. Kemudian bersama ibunya meninggalkan Ade. Harry masuk ke kamarnya sendiri di sebelah kamar yang di tempati Ade. Dia berpapasan dengan Mbak Yem, pembantu ibunya.
”Den Harry, waduh cakep sekali dia!” kata Mbak Yem pelan, menunjuk ke kamar Ade dengan jempol tangan kanannya. Harry tertawa.
”Terima kasih Mbak, doakan ya!” kata Harry.
”Inggih Den! Semoga cepat menikah!” kata Mbak Yem, kemudian perlahan meninggalkan Harry.
Harry kemudian masuk ke kamarnya. Kamar yang di tempatinya sejak masih kecil. Kamar tidur Harry berwarna putih.Tempat tidur tunggal dari kayu jati dan meja belajarnya dan lemari pakaiannya serta rak masih pada posisi yang sama. Sekarang tirai dan bed cover nya berwarna biru muda dengan garis-garis putih. Mamanya tetap merawat kamar Harry, meski Harry jarang pulang ke Semarang.
Foto kolase seukuran poster itu masih di sana. Harry tersenyum memandanginya. ”Benar-benar keajaiban, aku bisa menemukannya! Kini dia sedang berada di kamar sebelah” gumam Harry. Harry melihat di rak bukunya masih tertata rapi album foto. Dua album besar penuh dengan foto-foto Ade yang sama dengan foto kolase. Cuma yang di album lebih lengkap.
Makan malam berlalu dengan meriah, rupanya Opa dan Oma suka ngobrol dengan Ade, jadi Harry membiarkannya bersama mereka. Ibunya juga turut bergabung sambil membawakan teh hangat. Harry mencoba menghubungi beberapa temannya yang tinggal di Semarang. Mengobrol asyik dalam bahasa Jawa. Sesekali Ade mendengar namanya disebut Harry, tapi ia tak begitu faham. Lagi pula dia sedang asyik berbincang dengan Opa dan Oma. Mereka benar-benar terkejut ketika Ny. Reiko Setyanto memberitahu cara Rizal berkenalan dengan Ade.
Saat itu Ade menyerahkan oleh-olehnya. Untuk kedua wanita itu Ade memberikan pashmina , selendang lebar gaya India dengan motif klasik berwarna merah manggis dan putih gading. Ade membeli itu di toko langganannya di belakang Pasar Baru, pada seorang India yang berdagang semua barang asal negaranya. Jadi, kain itu benar-benar asli dari India. Motifnya antik dan terasa hangat jika dipakai. Ade sering beli perhiasan etnik, untuk melengkapi pakaiannya. Jika ada barang baru datang, Sunil, teman Indianya itu selalu menelponnya. Yuriko juga suka titip minta dibelikan accessories di toko Sunil. Sedangkan untuk Opa, Ade menyerahkan kotak kacamata dengan design yang elegan, berwarna hitam pekat, dengan sebuah logo kecil berwarna perak. Mereka senang menerima hadiah Ade.
”Harry sini! Lihat, Oma dapat selendang cantik!” panggil Ny. Rey Sudarmanto. Harry yang memang telah selesai bicara di telpon mendekat.
”Bagus Oma! Eh, De nggak bilang bilang bawa hadiah buat Omaku” kata Harry lalu duduk dekat Ade. ”Kebetulan ya! Oma kan paling suka sama kain lho!” kata Harry, Ade hanya tersenyum.
”Harry, Mama juga dikasih Jeng Ade lho, bagus kan!” kata Ny. Setyanto memamerkan selendangnya.
”Opa juga nih!” Kata Pak Sudarmanto gembira. ”Kau bawa apa untuk Opa?” tanyanya. Harry garuk-garuk kepala.
”Bawa dia Opa!” katanya menunjuk Ade, kemudian merangkul Ade. Semua jadi tertawa.
”Bagus! Bawa dia masuk ke keluarga kita ya!” kata Pak Sudarmanto. Harry mengangguk takzim, Ade hanya berdiam diri. Apakah ini tanda mereka menerimaku? Kenapa aku benar-benar begitu khawatir tidak diterima mereka? pikir Ade.
”Harry, besok ajak Ade menginap di rumah Opa. Hari Minggu pagi, kebetulan ada pertemuan rutin, Eyang Pandu dari Solo juga mau datang. Semua keluarga mau kumpul sekalian membicarakan rencana acara Halal Bihalal katanya. Kalian pulang sore kan?”kata Pak Sudarmanto.
”Ya, Opa” jawab Harry. ”Sekarang kami mau keluar dulu, aku janji sama teman-teman di Simpang Lima” kata Harry. ”Opa menginap disini?” tanya Harry lagi.
”Oke, kalian jalan jalan lihat Semarang, Opa dan Oma mau pulang. Opa tunggu besok di rumah ya Ade?” kata Pak Sudarmanto.
”Baik Opa” kata Ade.
”Ayo De, kita pergi!” ajak Harry.
”Sebentar, aku ambil tas dulu!” kata Ade, kemudian pamit ke kamar.
Ade kembali menenteng tas kecil, berwarna hitam. Juga sebuah pashmina, berwarna biru tua dengan motif yang sama dengan hadiah untuk Ny. Reiko Setyanto. Ade mengenakan selendang itu di bahunya, sebagian menutupi rambutnya. Selendang itu sangat pas dengan celana panjang warna biru tua dan blus biru langit lengan pendek yang sedang dipakainya. Ade memakai selop hitam bertumit sedang. Tanpa sebuah perhiasan apapun. Riasan wajahnya juga hanya bedak tipis dan lipstick warna merah muda. Rambutnya yang kecoklatan dibiarkan tergerai di bahunya. Meski demikian, tampilannya benar-benar cantik, anggun dan klasik. Harry, ibu dan kedua kakek neneknya sampai terperangah melihat penampilan Ade, sangat klasik.
”Opa, Oma, Tante, saya pergi dulu” kata Ade pamit. Harry juga pamit.
”Hati-hati di jalan!” kata Ny. Rey Sudarmanto mengingatkan mereka, dia berdiri bersama putrinya mengantar Ade dan Harry berangkat.
”Aku suka dia, Opa juga” kata Ny. Rey Sudarmanto.
Ketika mobil yang dikendarai Harry keluar dari halaman hujan mulai turun lebih deras. Sudah jam sembilan, tapi malam Sabtu ini kota Semarang terlihat meriah dengan banyaknya kendaraan yang menuju ke daerah Simpang lima.
”De, apa komentarmu lihat Opa Omaku?” tanya Harry sambil memegang tangan Ade yang duduk disampingnya matanya lurus memandang jalanan yang basah di depan.
”Oh... mereka ramah! Oke juga, aku jadi ingat Opaku di Malang!” jawab Ade.
”Kapan ajak aku ke Malang?” tanya Harry.
”Kapan-kapan deh! Beres urusan ini dulu” kata Ade tertawa.
”Apakah setiap bertemu mereka kau harus menghormat seperti tadi?” tanya Ade teringat pertemuan mereka dengan kakek nenek Harry. Harry mengangguk.
”De, Opa sangat sayang sama Oma. Demi Opa, Omaku meninggalkan keluarganya, negaranya, budaya dan kebiasaan, keyakinannya, tentu berat. Supaya Oma tidak merasa tercerabut dari akar budayanya, maka Opa ingin tradisi menghormat itu tetap di pertahankan. Lagi pula kalau kami bertemu keluarga Oma jadi nggak canggung lagi. Tidak berat kok!” kata Harry menjelaskan.
”Tapi kami juga tetap mempertahankan tradisi Jawa” kata Harry lagi.
”Dimana mereka bertemu?” tanya Ade ingin tahu.
”Di Amerika, Opa sekolah bisnis di sana. Oma anak dosennya” kata Harry tersenyum.
”Oh.. begitu! Apakah kalian juga bisa bahasa Jepang dan menulis Kanji?” tanya Ade.
”Bahasa? Mama masih bisa. Aku dan Mas Rizal hanya terbatas untuk memperkenalkan diri, salam, selamat makan. Nulis Kanji nggak bisa, susah! Bahasa aneh aku bisa, diajari Akio kalau lagi chatting ” kata Harry tertawa. Teringat sepupu Jepangnya yang kocak.
”Kalau nggak sibuk memang niatku mau kursus di Pusat Kebudayaan Jepang. Relasiku banyak Jepang sih. Jadi perlu” lanjut Harry.
”Oh.. bagus dong! Aku kan sudah daftar di sana untuk kursus merangkai bunga gaya Ikebana! Seminggu dua kali, mulai bulan depan! Kursus bahasa menyusul, belum dibuka term baru” kata Ade.
”Heh... kau suka merangkai bunga? Nggak sangka!” kata Harry kaget.
”Iya, selain hobby itu untuk tugas kantor, biar Visual Merchandising dan Display produk kami jadi unik dan nuansa Jepangnya terasa! Makanya aku kursus, buat kasih ide stafku!” kata Ade menjelaskan.
”Kalau sudah bisa, aku pesan satu ya buat taruh di meja kerja kantorku!” kata Harry tertawa.
”Tenang bos! Pasti aku bikin yang spesial untukmu!” jawab Ade tertawa.
Mobil telah memasuki halaman hotel di dekat Simpang Lima, Harry memarkir mobil kemudian mereka berdua menuju lobby hotel. Hujan masih gerimis. Ade menarik pashminanya menutupi kepalanya, Harry menggandengnya menuju pintu utama.
”Selamat sore! Ibu Alexandra kan? Apa kabar?” seorang petugas yang menyambut tamu, menyapa Ade. Rupanya dia mengenali Ade yang memang sering menginap di sana jika sedang bertugas ke Semarang. Ade mengangguk, tersenyum padanya.
”Oh baik! Selamat malam Mas Tris! Apa kabarmu?” sapa Ade ramah.
”Baik Bu, silahkan!” katanya kemudian mengangguk hormat pada Harry. Mereka kemudian masuk ke lobby.”De, kau ngetop ya disini!” komentar Harry. Ade hanya tersenyum.
Tiba tiba Harry melambaikan tangan ke sudut lobby. Di sana, tiga orang pria dan dua orang wanita teman-temannya sedang duduk. Mereka membalas lambaian Harry.
”De, itu mereka!” katanya. ”Kau pasti dulu pernah bertemu mereka!” kata Harry. Harry menggandeng Ade menghampiri mereka.
”Hai! Apa kabar semua!” Harry menyalami teman-temannya. ” Kenalkan ini Ade!” kata Harry. ”De, Ini Mukti!” kata Harry, memperkenalkan seorang pria berkulit coklat dengan senyum ceria. Rambutnya keriting dengan mata yang ramah. Ade tak ingat pernah bertemu dengannya. Ade bersalaman dengan Mukti.
”Ini Yayuk dan Silvy” Harry memperkenalkan kedua wanita itu yang langsung mengulurkan tangan menyalami Ade. Yayuk berpenampilan menarik dengan wajah khas Jawa, sedangkan Silvy, berperawakan kecil, terlihat lincah. Kulitnya putih bersih, mungkin wanita asal Sulawesi Utara atau malah masih berdarah Tionghoa.
”Hallo, apa kabar!” sapa Ade pada mereka berdua.
”Wuih Mbak Ade, malah makin cantik aja ya” kata Yayuk mengomentari Ade, sambil menyalami. Ade hanya tersenyum.
”Nah, yang ini Kunto dan ini Yosef” lanjut Harry memperkenalkan teman lainnya.”Ini Bowo” Harry memperkenalkan pria bertubuh tinggi besar. Yang disebut Kunto, pria berperawakan sedang dengan rambut lurus , berkacamata minus, sedangkan Yosef adalah seorang pria, berkulit putih dengan mata sipit yang ceria dan tampak ramah.
”Kita ngobrol di restoran aja yuk!” ajak Harry. Kemudian mereka beramai ramai menuju tempat itu.
”Harry, hebat kau! Akhirnya ketemu Mbak Ade dimana?” tanya Mukti begitu mereka sudah duduk di restoran itu, sambil menepuk pundak Harry.
”Mbak Ade, aku sempat bilang dia gendheng lho! Soalnya dia tuh ngotot mau cari Mbak Ade meski ke seluruh dunia!” lanjutnya tertawa.
”Nah terbukti kan! Aku ora gendheng!” jawab Harry senang, Mukti tertawa juga teman-teman lainnya.
”Eh... Har, gimana kamu menyingkirkan pacarnya Mbak Ade, siapa tuh yang dulu sama-sama ke kampus kita. Yang nempel terus sama Mbak Ade kaya perangko?” kata Yayuk. Yang lain menunggu jawaban Harry, tapi Harry hanya tersenyum saja, memandang Ade. Harry sendiri masih belum jelas tentang Richard.
”Oh... dia? Richard …. kalian kira dia pacarku ya?” Ade tersenyum. “Waduh.....bukan! Dia abang sepupuku! Mana aku punya pacar waktu itu” kata Ade geli. “Waktu itu, kalau Richard nggak ikut , aku nggak boleh ikut tour itu. Papaku tentara, galak banget! Mamaku apalagi! Makanya kemana-mana sama Richard terus. Aku mana bisa kabur dari Richard!” kata Ade menjelaskan.
Uh... rupanya sepupu! kata Harry dalam hati. Harry sungguh menyesal mengapa waktu terakhir bertemu Richard tidak menanyakan Ade.
”Uh.... ya ampun, kalau tahu gitu....!” Silvy nyeletuk tapi tak meneruskan ucapannya, membuat yang lain tertawa.
”Iya, kan cewek-cewek kampusku patah hati lihat Mbak Ade sama Richard terus!” ujar Yosef, ”Termasuk Silvy sama Yayuk tuh!” membuat Silvy dan Yayuk berderai tawa.
”Ah.. … itu sudah masa lalu! Sekarang kan sudah tua! Lagi pula Mukti juga oke!” kata Yayuk, rupanya dia telah menikah dengan Mukti. Mukti tertawa senang.
”Tapi Richard sekarang dimana?” tanya Silvy.
”Di Amsterdam! Sedang ambil program doktor di Nijmegen Universiteit. Untung juga dia di sana, ada dia di rumah pusing! Dia protective banget! Dia selalu aja bilang, kuanterin ya De! Pulang jam berapa De, nanti kujemput? Pergi sama siapa De? Tadi ada yang godain kamu nggak? Aku sudah segede gini masih diawasi juga! Rada kurang kerjaan gitu deh!” kata Ade lagi.
”Pantes kok Richard cerewet, kalo aku jadi dia juga gitu!” kata Josef sambil tertawa.
”Eh... mau ketemu dia nggak? Nanti Januari ke Jakarta kok!” lanjut Ade. Sylvi tertawa saja. Yayuk malah terbahak.
”Jangan panggil aku Mbak ya, Ade aja deh, biar setara gitu” kata Ade.
”Harry, kok nggak mau cerita sih! Kapan kalian berdua ketemu lagi?” tanya Kunto penasaran. ”Itu....the mission imposible!” lanjutnya.
”De.... si Kunto ini salah satu fans kamu lho!” kata Harry pada Ade, membuat Ade tertawa. Kunto tertawa. ”Cuma dia cepat menyerah!” lanjut Harry.
”Mas Harry, ngawur ah!” kata Ade.
”Mbak Ade, itu benar kok.... itu Yosef juga! Iya kan Yos?” kata Kunto membenarkan, menunjuk Josef. Yosef tertawa tawa, tak menjawab.
”Aku ketemu Ade tidak sengaja! Dia berkenalan dengan Mas Rizal, lalu Ade datang ke ulang tahun anaknya Mas Rizal, ketemu aku! Langsung aja aku tangkap!” kata Harry menceritakan pada teman-temannya. Ade memperhatikan Harry yang begitu gembira berada diantara teman-temannya.

”Ditangkap! Kriminal sekali kesannya!” ucap Yosef bercanda.
”Lho, kalo nggak ditangkap dia terbang jauh! Bisa bisa delapan tahun lagi baru ketemu dia. Aku sudah tua renta! Makanya sekarang kan juga aku culik!” kata Harry mengimbuhi canda Yosef.
”Oh ... iya kalian dalam rangka apa pulang ke Semarang? Awas lho, jangan diam-diam! Jangan lupa undangannya, kami pasti datang ke Jakarta!” kata Mukti lagi.
”Kesini nggak ada acara khusus, nengok Mama aja. Ade kan paling sering ke sini. Tugas kantor, makanya tadi petugas hotel aja langsung salami dia!” kata Harry menjelaskan.
”Oh... sering toh! Lain kali kalau kesini lagi telpon kami aja! Kerja dimana?” kata Yayuk.
”Oh, terima kasih. Saya kerja di perusahaan garment, bulan depan kesini dua hari, terus ke Jogya dan Solo. Nanti saya telpon ya!” jawab Ade.
Mereka ramai mengobrol, saling bertukar informasi. Hingga akhirnya bubar setelah waktu menunjukkan jam sebelas lewat. Sebelum berpisah Kunto sempat mencandai Harry.
”Harry, foto kolase yang di kamarmu masih di perlukan nggak?” kata Kunto.
”Kenapa? Mau?” tanya Harry. ”No way, buddy!” katanya lagi, sambil tertawa. Sebenarnya Ade ingin tahu apa yang dimaksud Kunto dengan foto kolase tadi. Sepertinya rahasia masa lalu diantara mereka.
Ketika di mobil dalam perjalanan pulang, Harry menyetir mobil perlahan. Dipegangnya tangan Ade. Ade bersandar di kursi mobil, memandangi wajah Harry dalam penerangan lampu jalanan. Tiba tiba telpon di dalam tasnya berdering. Ade mengambilnya, melihat nama Alan tertera di monitor telponnya.
”Hallo Alan!” sapa Ade sambil memandang Harry. Harry melirik. Ade mendengarkan Alan bicara, lalu kemudian menjawab.
”Al, iya rumahku kosong, tadi telponku dalam tas, nggak dengar ada yang telpon. Sekarang? Aku lagi di Semarang sama Mas Harry, ada acara keluarga di rumahnya!” kata Ade. Ade kemudian menekan tombol speaker pada telponnya, tradisi yang Ade dan Harry ciptakan berdua jika salah seorang diantara mereka menerima telpon, sehingga ucapan Alan saat ini terdengar. Dia tersenyum pada Harry, menunjuk ke telponnya.
”Acara keluarga apa? De, kamu serius sama dia? Dear honey, dont forget our sweet times! We have four years! Oh.. please listen to me, I promise to be with you, always! Ade, do you hear me? Honey!” kata Alan merayu, tapi juga terkesan panik ketika mendengar Ade sedang di Semarang dengan Harry. Alan tidak menyadari bahwa Ade mendengarkan ucapannya bersama Harry.
”Harland, I am listening! I put our four years behind! I am only remember the end, you hurt me! You hurt me Al, really! Now, I am here with Harry to get our dreams come true! Alan...., wait!..wait! You, just listen to me, carefully! In my dreams or my next dreams, without you, anymore! Okay...Al! Don’t call me honey, darling, or sweety, that Harry’s! See you then! Have a nice week-end! Bye!” kata Ade, dalam nada serius, tegas meski tidak berteriak. Suara Ade tenang dan mantap ketika mengucapkannya.
Harry tak menyangka Ade dapat bertindak sangat tabah menghadapi Alan. Dia menyuruh Alan melupakannya. Dari pilihan kata-katanya, Ade sangat tegas, apalagi diucapkannya dalam bahasa Inggeris yang pasih dengan tekanan yang pas. Harry kini tahu bahwa Ade rupanya sangat keras, dan melihat pengalaman Alan malam ini, Harry berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menyakiti Ade. Dia takut Ade akan meninggalkannya. Terdengar suara Alan lagi
”Ade, you cann’t do that! De, listen to me, please honey! Forgive me Dear! Ich liebe dich!!” kata Alan lagi, makin terdengar panik.
”Sudah Al, jangan diteruskan! Ucapan yang sama aku nggak mau ulangi. Lagipula aku lagi sama Harry sekarang. Daag!” kata Ade kemudian menutup telpon.
Ade berpikir, sekarang aku bukan di simpang lima, aku berjalan lurus ke depan menuju cahaya. Di sana Harry telah menunggu sejak dulu, lama sekali, aku tak mau mengabaikannya! pikir Ade. Alan sudah masa lalu! Sekarang aku sudah berani menjawab pertanyaan Harry!
Mobil sudah memasuki gerbang rumah , Harry memarkir mobil di depan garasi, Rumah sudah sepi, Ade dan Harry keluar dari mobil menuju pintu samping. Terasnya mirip dengan teras samping rumah Ade. Harry membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Dia menoleh pada Ade yang dilihatnya duduk di sofa dengan merapatkan selendangnya ke tubuh. Udara memang sudah dingin pada jam dua belas malam itu. Harry duduk di samping Ade.
”Ade, ada apa? Capek ya?” tanya Harry khawatir, kemudian menyentuh dahi Ade. Ade menggeleng, dia terlihat serius berfikir.
”De, ada apa? Alan lagi?” tanya Harry, menggandeng Ade, mengajaknya masuk ke dalam rumah. Harry bertekat malam ini harus memperlihatkan foto di kamarnya. Telpon Alan malam ini dapat membuat Ade jadi bimbang, pikir Harry lagi.
”De, sebelum tidur, aku mau kasih lihat sesuatu! Mau kan?” kata Harry sambil menggandeng Ade berjalan menuju kamarnya. Persis di depan pintu, Harry berhenti. Ade memandang Harry, tapi kemudian meyakini Harry bukan bermaksud buruk. Karena dia pernah bersama-sama Harry jadi sudah memahami sikap Harry.
”Masuklah sebentar!” ajak Harry. Ade masuk dan melihat kamar yang rapi dan bersih. Tirai jendela belum ditutup, sehingga jalanan yang sepi di malam hujan gerimis itu terlihat dari tempat Ade berdiri. Harry mendekat, berdiri di belakang Ade, memeluk pinggangnya.
”De, bukan jalanan itu yang aku mau kasih lihat! Tapi itu!” kata Harry, kemudian memutar tubuh Ade menghadap ke dinding sisi meja tulis.
”Foto itu! Lihatlah!” katanya menunjuk foto kolase yang dibingkai kayu terpasang di dinding di atas meja tulis. Ade mendekat, mengamati dan terkejut ketika menyadari semua potongan-potongan foto yang disusun sangat artistik itu adalah wajahnya. Foto-fotonya semua bertopi putih, wajahnya ketika masih mahasiswi. Ade berbalik menghadap Harry yang berdiri dibelakangnya.
”Sejak kapan foto itu disini? Semua foto tour kesini kan?” tanya Ade, dia memang tadi mendengar canda Kunto tentang foto, tapi tak menyangka foto itu seperti ini.
”Aku buat waktu di Sulawesi. enam tahun lalu. Soalnya aku sudah gila banget! Aku benar-benar rindu, tapi nggak bisa bertemu kamu! Sekarang percaya kan aku nggak rekayasa?” kata Harry tertawa. Ade jadi tertawa juga.
”Benar kata temanmu, Mas Harry gendheng! Kok bisa seperti itu?” kata Ade, sebenarnya dia terharu mengetahui hal ini. Oh... alangkah senangnya jika aku sudah mengetahui ini delapan tahun yang lalu! pikirnya. Kemudian Ade terdiam, membayangkan tahun-tahun Harry menatap foto itu. Ade juga merasa betapa konyolnya tingkah Harry, karena tak sedikitpun Ade teringat pada Harry, meski pernah bertemu.
”Mas Harry, aku mau tanya, bagaimana kalau tidak pernah bertemu denganku?” tanya Ade. Harry menggeleng.
”De, aku tidak punya jawaban! Yang pasti foto itu pasti disitu terus!” jawab Harry jujur. Sudah dua tahun terakhir dia merasa hampir putus asa. Banyak kemungkinan yang terjadi yang dia pikirkan. Mungkin gadis itu telah menikah dan bahagia, mungkin juga sudah pergi keluar negeri. Atau yang paling pahit, mungkin dia sudah meninggal. Sejujurnya Harry tak tahu, bagaimana jika dia selamanya tak menemukan Ade.
”Mas, kamu bener bener ya, keras kepala!” kata Ade. Harry tersenyum, maju, mendekati foto itu lebih dekat.
”De, dulu tiap malam, sebelum tidur, aku biasanya berdiri di depan foto ini, selalu berharap kamu masih hidup dan menungguku! Gila kan! Sejak tinggal di Jakarta, foto ini disini, dilarang Mama dibawa ke Jakarta. Aku kan nggak bego. Bikin baru, reproduksi dan dibuat kaya lukisan warnanya dibuat sevia gitu. Ada di kamar di Jakarta. Aku tetap tiap hari selalu berdoa agar kita bertemu, setidaknya sekali saja sebelum aku mati” kata Harry. Ade terharu mendengar pengakuan Harry. Ade makin yakin akan keputusannya. Apakah aku masih perlu pengakuan dan pembuktian lain? pikir Ade.

”Mas, foto itu dibuang nggak kalau kita sudah menikah?” kata Ade sambil berbalik menghadap Harry. Ucapan Ade membuat Harry terkesima, Ade menatap Harry, sungguh-sungguh.
”De... jadi kau mau menjadi isteriku? Iya kan?” kata Harry gembira, memeluk Ade. Ade merasakan detak jantung Harry. Ade mengangguk.
”De, semua orang selalu bilang, aku tak akan mungkin bertemu denganmu. Jika bertemup un, pasti tidak mungkin kau tertarik sama aku, apalagi mau jadi isteriku. Jadi aku sebenarnya sudah putus asa. Tapi... ternyata.......terima kasih! Tuhan menjawab permohonanku” kata Harry. Didekapnya Ade dengan kuat, seakan takut Ade tiba-tiba meloloskan diri. Dilepaskannya selendang dari bahu Ade, kemudian dengan lembut di ciumnya bibir Ade. Kali ini Harry dan Ade benar-benar larut dalam ciuman panjang yang menggairahkan. Bibir Harry kini telah menjelajahi pipi Ade kemudian ke lehernya yang putih dan jenjang. Ade menyelusupkan tangannya ke leher Harry.
Ketika ciuman itu berakhir , Harry teringat foto yang dibawanya dari Jakarta. Dilepaskannya Ade, buru-buru membuka koper kecilnya. Harry mengeluarkan sebuah kotak karton. Lalu kembali mendekati Ade yang masih menatap fotonya sendiri.
”De, karena kau sudah bersedia jadi istriku, maka foto ini aku taroh di sini ya” kata Harry, membuka kotak di tangannya, mengeluarkan foto Ade yang diambilnya ketika memakai yukata. Sudah dibingkai dengan frame dari kayu dicat warna putih. Harry meletakkannya di atas meja tulis dibawah lampu baca. Foto Ade berdiri di teras samping dengan yukata hadiah ibu Harry. Di sebelah foto itu sudah ada foto Harry, dengan pakaian karate. Foto saat dia memenangkan kejuaraan karate sewaktu masih mahasiswa. Kedua foto itu menjadi serasi sekali.
”Besok Mama akan masuk kesini, membangunkan aku untuk sholat subuh. Dia lihat fotomu disini, tahu artinya kau bersedia menerimaku!” kata Harry.
”Kalau aku tidak bersedia, foto itu tidak di pajang disini ya?” tanya Ade menatap Harry. Dia menyadari, keluarga ini suka berkomunikasi dengan lambang, dan isyarat. Rupanya yukata yang diterimanya juga suatu isyarat.
”Ya, dengan terpaksa harus aku bawa pulang lagi ke Jakarta. Karena hanya foto keluarga yang bisa di pajang di rumah kita, betul kan? Foto teman tidak di pajang di kamar kan?” kata Harry. Ade mengangguk.
”Okay, sekarang kau istirahat” kata Harry, membimbing Ade keluar kamarnya menuju kamar Ade yang persis di kamar sebelah. Harry membuka pintu kamar tamu itu, mempersilahkan Ade masuk.
”Mas Harry, terima kasih!” kata Ade kemudian mencium pipi Harry. Harry memeluknya, berbisik.
”Good night! I love you” kata Harry, Ade melepaskan diri dari pelukan Harry, masuk ke kamar tidur, menutup pintu kamarnya.
Di luar pintu, Harry memandangi pintu kamar yang tertutup pelan. Masih membisikkan ”Ade, I love you! Have a nice dream!” kemudian memasuki kamarnya sendiri. Menatapi dua foto yang kini berada di meja tulis, tersenyum bahagia. Mencoba tidur.


KABUT PAGI DI HALAMAN RUMAH


Setelah masuk ke kamar tidur, Ade mengganti pakaiannya dengan celana panjang, legging berwarna biru langit dari bahan lycra, ketat membungkus kakinya yang langsing serta blus kaus lengan pendek berwarna putih. Ade berbaring di tempat tidur dengan lampu belum dimatikan. Dia belum merasa mengantuk. Pikirannya hanya tertuju pada Harry yang kini mungkin sedang berbaring juga di kamar sebelah.
Ade kemudian bangkit dan duduk di depan meja rias. Dia melihat di meja itu diatas sebuah baki, tersedia termos air dan gelas, toples kecil berisi kue kering. Ade menuang air ke gelas, rupanya air es. Ade meminumnya pelan, sambil memandangi wajahnya. Dia terus memikirkan Harry. Aku telah memilih Harry! Karena aku menyukainya! Tidak, bukan suka. Sebenarnya aku mencintainya! Banyak pertanyaan muncul dari dalam dirinya sendiri.
Setelah menikah dengannya apa Harry akan berubah?
Aku juga akan berubah?
Bagaimana pekerjaanku? Aku menyukai pekerjaanku! Aku tak tahu pendapat Harry tentang isteri yang bekerja.... huh... bagaimana ini? keluh Ade pada diri sendiri.
Tahun depan aku akan sangat sibuk! Ade ingat program kerjanya untuk tahun depan. Target buka 15 outlet di seluruh kota besar Indonesia, artinya aku akan pergi setiap bulan minimal sekali. Belum lagi acara rutin promosi, internal exhibition yang harus disiapkannya empat kali dalam setahun. Lalu pelatihan yang harus diberikannya untuk para manager penjualan juga untuk SPG yang harus diberikannya. Rencana kursusnya. Ade benar-benar kaget menyadari dampak keputusannya menerima Harry. Apakah aku akan menikah dengan kondisi sesibuk ini?
Dapatkah perkawinan berjalan normal sementara aku akan bepergian terus?
Tapi kemudian Ade mendapat jawaban, banyak juga perkawinan gagal, padahal isteri tinggal di rumah! Jadi bagaimana? Dapatkah diteruskan?
Aku juga masih ingin melanjutkan kuliah ke jenjang S2.
Aku sudah berjanji untuk kuliah lagi bersama-sama Tania. Ambil jurusan Manajemen Pemasaran di Pasca FEUI. Kuliah sore setelah pulang kantor. Malah sudah ambil formulir untuk ikut test masuk. Berat memang, tapi Ade bertekad untuk menjalaninya. Apalagi Tania akan bersamanya. Pasti lebih mudah, setidaknya mereka bisa saling membantu. Sahabatnya Yuriko akan mempertimbangkan pindah kerja ke Jakarta, agar bisa kuliah bersama.
Apa Harry akan selamanya bisa menerima kegiatanku yang begitu padat seperti sekarang? Untuk makan siang bersama Harry saja aku sulit sekali cari waktu! Perubahan status dari teman menjadi kekasih saja sudah sangat sulit, bagaimana jika sudah jadi isteri?
Huuh ..... aku bisa apa? keluhnya
Ada kewajiban yang aku belum bisa bayangkan betapa rumitnya! Mendampingi suami untuk acara sosial, kantor, keluarga besar entah apa lagi!
Lalu pasti tentang anak? Hah... bagaimana ini?
Tapi mengapa ketika bersama Alan, aku tak pernah memikirkan hal hal ini? pikir Ade merasa heran. Sekarang Ade juga merasa heran dengan perasaannya, mengapa dia tak sakit hati lagi pada Alan? Tadi, waktu bicara dengan Alan dia begitu logis, tegas dan tak sedih seperti biasanya? Apakah karena Harry benar-benar bisa menggantikan Alan?

Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Alan sangat terbuka dengan tindakannya. Lebih ekpresif, mengungkapkan cinta dengan ucapan, bunga dan hadiah. Harry justru tersamar, sabar, secara perlahan memperlihatkan cintanya, dengan tindakannya, kelembutan dan pengertian. Alan bagai pohon cemara yang diterpa angin, menimbulkan bunyi seperti lengkingan atau bahkan suara pluit. Harry bagaikan pohon bambu, desiran angin diantara daun dan batangnya yang bergoyang memberikan suara musik alam, hening dan tentram.
Ade terus melamun dan berpikir.
Pikiran Ade terus berputar hingga tak terasa sudah jam dua lewat dua puluh menit. Ade merasa sangat lelah, lalu kembali berbaring di tempat tidur, sebelumnya mematikan lampu kamar. Dia berbaring dalam gelap hingga terbangun ketika alarm di telponnya berbunyi. Ade bangkit dari tempat tidur, lalu ke kamar mandi. Kemudian melakukan sholat subuh.
Ade membuka tirai jendela. Lampu jalanan masih menyala, kendaraan belum banyak yang lewat, mungkin karena ini hari libur. Kabut tipis masih mengambang di sana. Tapi kabut justru lebih tebal di halaman yang melandai di halaman depan kamar. Dua kursi kayu bercat putih di halaman sana terlihat samar, juga rumpun bunga lily di pojok. Bunga berwarna ungu yang merambati pagar juga tak terlihat jelas warnanya. Alangkah enaknya berjalan di halaman berkabut pagi ini, pikir Ade. Ade sering melakukannya, berjalan pada subuh berkabut, bersama keluarganya. Itu sebabnya dia sangat suka udara dingin. Udara segar dan bersih, hening dan sepi.
Ade bergegas menyisir dan mengikat rambutnya, kemudian keluar kamar. Di depan pintu kamar Ade bertemu dengan pembantu yang menyapanya ramah, sedang membersihkan lantai.
”Mbak, tolong nanti kasih tahu Mas Harry dan Tante, saya mau jalan-jalan di halaman ya!” kata Ade pelan. ”Mereka masih tidur kan!” lanjut Ade.
”Inggih, nanti saya sampaikan” jawab Mbak Yem, kemudian membukakan pintu teras samping bagi Ade.
Ade berjalan melewati teras kemudian menuju halaman depan. Gerbang kayu di pinggir jalan yang dinaungi rambatan bunga stefanut orange masih tertutup rapat, Ade berjalan menuju ke halaman, menyusuri jalan setapak dari susunan bata conblock . Bata-batanya masih basah, ketika sandal Ade menapakinya. Ade teringat rumahnya, meski halamannya tak sebesar ini, tapi ketenangan suasananya mirip, terutama di hari libur.
Ny. Reiko Setyanto mengetuk kamar Harry, karena tidak dikunci dia masuk dan menyalakan lampu kamar. Dilihatnya Harry tidur menelungkup, di tepuknya pundak Harry. Harry terbangun.
”Mama! Oh... sudah pagi ya!” kata Harry berbalik dari telungkup.
”Sholat subuh!” kata Ny. Reiko Setyanto kemudian berjalan menuju jendela membuka tirai. Matanya tertumbuk pada sosok Ade yang sedang berdiri di halaman depan. Ade sedang berdiri memandangi rumpun anggrek tanah. Diam seakan melamun.
”Harry! Sini!” kata Ny. Reiko Setyanto menunjuk keluar jendela. Harry segera bangkit mendekati ibunya. Harry tersenyum melihat apa yang di tunjukkan ibunya.
”Cepat sholat, bawakan jaket, pasti dingin!” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Mama, dia suka udara dingin! Makanya pagi sudah bangun dan keluar rumah!” kata Harry.
”Oh.... begitu! Bagus, bawakan yukata saja, nanti Mama ambil!” kata Ny. Reiko Setyanto meninggalkan Harry.
Harry baru selesai sholat dan mengenakan yukata miliknya. Yukata Harry berwarna biru tua dengan motif berwarna putih di bagian tomoeri (kerah)nya. Dari bahan katun yang nyaman di pakai. Bila pulang ke Semarang, Harry selalu memakainya. Di Jakarta dia punya satu yukata, tapi jarang pakai. Tapi Rizal paling suka pakai.
”Harry, ini siapa tahu Ade dingin! Suruh pakai punya Mama!” kata Ny. Reiko Setyanto sambil menyerahkan yukata yang masih terlipat pada Harry. Harry menerimanya, kemudian bergegas menyusul Ade di halaman.
Ny. Reiko Setyanto berdiri di depan jendela kamar Harry, memperhatikan Ade yang masih tak bergerak dari dekat pagar. Dilihatnya Harry sudah mendekat, kelihatannya Ade tak menyadari kedatangan Harry. Ny. Reiko Setyanto memperhatikan reaksi Ade ketika Harry memeluknya dari belakang. Tampak gembira dan manja.
Ny. Reiko Setyanto berbalik ingin meninggalkan kamar Harry, ketika melihat di atas meja tulis Harry foto Ade dalam bingkai putih terletak di samping foto Harry. Kemarin foto ini belum ada. Diambilnya foto Ade, diamatinya. Ny. Reiko Setyanto faham foto ini berada di kamar Harry hanya karena Harry telah mendapat kepastian dari Ade.
”Oh.... dia akan mendampingi anakku!” kata Ny. Reiko Setyanto senang, dia kembali ke jendela, di bawah sana.

”Sedang apa disini? Kukira kau kabur!” kata Harry bercanda. Diciumnya pipi Ade, terasa dingin, pasti sudah lama dia berada diluar, pikir Harry.
”Aku suka, udaranya sejuk!” kata Ade melepaskan pelukan Harry.
”Ya, tapi pakai ini dulu, sudah kedinginan kan, nanti flu” kata Harry membuka lipatan yukata yang dibawanya.
”Apa itu?” tanya Ade kemudian melanjutkan ”Mas Harry pakai yukata itu oke juga! Jepang banget jadinya!” kata Ade.
”Ayo pakai dulu, ini punya Mama! Dia suruh pakai, takut kamu kedinginan!” kata Harry, membantu Ade memasang yukata itu.
”Terima kasih! Aduh, dia baik sekali! Dia nggak tahu aku memang suka dingin!” kata Ade sambil merapikan ikat pinggang menjadi simpul pita. Ade berjalan pelan, meninggalkan Harry. Harry menyusulnya dari belakang.
Ny. Reiko Setyanto kembali memandangi halaman yang masih berkabut, Harry masih memeluk gadisnya. Kini dilihatnya Ade sudah mengenakan yukata merah muda dengan motif bunga bunga kecil berwarna putih, milik Ny. Reiko Setyanto. Sedang berjalan di depan Harry. Tanpa terasa airmatanya mengalir, rasa syukur. Tapi juga terkenang suaminya. Dari kejauhan, sosok kedua putranya memang sangat mirip ayah mereka.
”De, tadi malam bisa tidur nggak?” tanya Harry, Ade berhenti berjalan, kini Harry sudah berada di sampingnya.
”Bisa, aku tidur jam setengah tiga!”kata Ade, tersenyum.
”Oh... sama dong! Tadinya aku mau telpon kamu aja, tapi takut kamu sudah tidur!” kata Harry tertawa.
”Kenapa?” tanya Ade jadi ingin tahu apa yang terjadi pada Harry.
”De, aku memikirkan aku orang paling beruntung dan bahagia saat ini. Tapi aku juga khawatir tidak mampu membahagiakanmu! Aku tidak tahu banyak apa yang kau pikirkan, yang kau inginkan!” kata Harry serius.
”Lalu kenapa kau juga tidak bisa tidur?” tanya Harry.
Ade terdiam, Harry membimbing tangan Ade berjalan menuju kursi putih di tengah taman. Dibaliknya bantalan jok kursi, sehingga bagian yang kering berada diatas. Lalu mengajak Ade duduk. Kabut sudah mulai berkurang, tapi suasana masih sepi pagi ini.
”Ada apa De? Menyesal?” desak Harry, menatap Ade.
”Tidak! Tapi ragu! Karena begitu banyak yang akan kulakukan! Khawatir semuanya tak bisa kulakukan dengan baik” kata Ade pelahan.
”Mas aku takut ambisiku membuat hubungan kita tak sesuai harapanmu. Pekerjaanku akan membuat kita akan jarang bertemu. Jika di Jakartapun aku pasti sibuk terus seperti selama ini” kata Ade, menarik nafas kemudian meneruskan bicara. Harry mendengarkan Ade bicara, sambil menggengam tangan Ade.
”Mas, tahun depan akan lebih parah, program kerjaku selama setahun benar-benar padat. Aku juga akan sekolah lagi, setelah jam kerja, ambil S2, sudah ambil formulir untuk test masuk. Semua ini membuat aku ragu. Rasanya waktu untuk kegiatan pribadi hampir tak ada. Bagaimana aku nggak ragu!” kata Ade, menatap Harry yang masih menunduk mengamati tangan Ade.
”Mas Harry, sungguh tadi malam aku memikirkan ini, tak tahu apa Mas Harry sudah memikirkannya bila bersamaku. Yang pasti aku bukan tipe orang yang tinggal di rumah setelah menikah. Aku juga terbiasa mengambil keputusan sendiri, jadi Mas Harry harap memikirkannya sebelum kita melangkah lebih jauh! Apa isteri semacam itu yang kau inginkan?” kata Ade mengakhiri pembicaraannya.
”Ade, jangan bodoh! Aku selama ini sudah tahu pekerjaanmu. Jadi silahkan kejar impianmu, aku mendukung! Seharusnya pernikahan kita tidak menghalangimu kan?” kata Harry sambil menatap Ade.
”Lagi pula kau fikir apa aku akan duduk-duduk menunggumu di rumah, lalu frustasi! Kita sama-sama sibuk kan! Kau juga tahu aku mengejar clientku ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri” lanjut Harry kemudian meneruskan ucapannya.
”De, perusahaanku masih perlu perhatian, target belum tercapai. Ada enam proyek besar tahun depan. Lalu kini giliranku sekolah lagi, karena Imran, partnerku sudah selesai S2nya bulan lalu! Jadi kenapa aku harus ragu memilihmu jadi pendampingku?” kata Harry lagi.
”Tapi, kita memang harus menyediakan waktu untuk mempertahankan hubungan kita! Aku pikir kuncinya kita harus selalu berkomunikasi. Sesekali mungkin aku yang mengalah untuk mendatangimu. Lain kali giliranmu” kata Harry.
”Nah bagaimana, apa aku sudah menjawab semua yang masih gelap bagimu?” desak Harry, melingkarkan tangannya di bahu Ade.
”De, aku tahu pikiranmu, kau takut aku akan menyuruhmu tinggal di rumah. Total jadi isteri yang mengurus rumah, suami dan anak-anak saja kan? Iya kan?” desak Harry, tapi sambil tertawa. Ade mengangguk, mantap.

”Bodoh! Kalau isteri yang seperti itu yang aku mau, sudah lama aku nikah De! Ngapain delapan tahun wara wiri cari kamu! Malahan, jadi bahan ejekan Mas Rizal, sepupu-sepupuku, teman-temanku. Tahu nggak alamat emailku aja ghost’s lover” Kalau ketemu teman-teman seperti tadi malam, mereka selalu ejek aku dengan the mission imposible. Yang lebih parah aku dikira gay, punya kelainan orientasi seksual. Wajar sih, karena mereka tidak pernah lihat aku punya pacar!”kata Harry.
”Okay, jadi ini komitmen ya! Awas kalo nanti Mas Harry ngomel-ngomel isteri nggak urus suami!” jawab Ade sambil berdiri. Harry hanya tertawa mendengar ancaman Ade. Ade malah membelalakkan matanya yang indah.
”Ini serius! Kenapa tertawa!” tanya Ade gemas melihat Harry tersenyum senyum.
”Weh.... isteriku galak juga ya!” jawab Harry sambil berdiri.
Matahari mulai muncul, meski udara masih sejuk. Ade berdiri memandang jalanan. Harry juga turut berdiri disamping Ade. Jalanan di depan yang mulai banyak dilalui kendaraan yang turun ke arah pusat kota. Tiba-tiba mendadak hujan rintik rintik. Karena itu Harry menarik tangan Ade mengajaknya berlari menyeberangi halaman berumput. Ade agak kerepotan dengan yukata yang dipakainya. Tapi mereka akhirnya tiba juga di teras samping tanpa keburu basah kuyup.
Ade mengibaskan lengan yukata yang lebar, tiba-tiba tertawa geli melihat Harry yang juga sudah basah rambutnya. Saat itu Harry sedang mengusap wajahnya yang basah terkena air hujan. Harry bingung mengapa Ade tertawa begitu geli.
”De, kenapa ketawa? Apa yang lucu sih?” tanya Harry tangannya masih mengusap rambutnya yang basah. Saat itu Ny. Reiko Setyanto dari dalam rumah muncul di pintu. Dia juga heran mendengar Ade tertawa, begitu riang, jadi ia ingin tahu lalu keluar.
”Tadi waktu kita lari kesini.........ha....ha....ha !” Ade kembali tertawa terpingkal-pingkal. ”Kita kaya sepasang pendekar silat pakai baju begini! Sayang nggak bawa pedang!” lanjut Ade tak kuat menahan tawanya. Tawanya begitu lepas, riang dan manja. Ny. Reiko Setyanto dan Harry akhirnya juga tertawa. Mereka berdua sebenarnya tertawa karena tak menyangka Ade memiliki imajinasi seperti itu. Selama ini, jika memakai yukata tak pernah mereka berpikir sebagai pakaian masa lalu. Dunia para pendekar silat, apalagi!
Tiba-tiba Ade menyadari tindakannya mungkin melukai perasaan ibu Harry. Segera berhenti tertawa, memasang muka serius.
”Maaf Tante! Saya tidak bermaksud menghina atau merendahkan” kata Ade buru-buru.
”Oh... tidak apa-apa! Memang lucu juga lihat kalian berlarian pagi begini! Seperti film silat Mandarin!” kata Ny. Reiko Setyanto tertawa senang.
”Sekarang masuklah! Sebentar lagi sarapan sudah siap” katanya.
Kabut pagi memang telah hilang, kini hujan rintik-rintik saja. Menyenangkan memandang hujan seperti ini. Kabut yang menyelimuti pikiran Ade dan Harry juga menghilang pagi ini.




GELANG


Hujan masih saja rintik rintik. Dari meja makan rumah ini, Ade dapat memandang sebagian teras samping, lalu halaman dan jalur menuju gerbang ke jalan besar. Sarapan pagi telah selesai, Ade, Harry dan Ny. Reiko Setyanto masih duduk di sana. Masih ada sisa kopi susu di cangkir Ade. Harry duduk di samping Ade, sedang membicarakan Sheila pada ibunya.
”Mam, sudah dengar dari Mas Rizal tentang Tante Pram?” tanya Harry.
”Tidak! Ada apa?” tanya Ny. Reiko Setyanto tertarik. ”Tentang Sheila?” tanyanya lagi. Harry mengangguk.
”Mungkin nanti Mas Rizal juga akan kasih tahu Mama” kata Harry.
”Ya, tapi cerita aja, biar Mama sudah punya gambaran kalau Rizal nanti telpon” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Mungkin Tante Pram termakan gosip aja. Dia telpon Mas Rizal, kalau dia dengar Mas Rizal mau menikah lagi. Jadi minta Sheila dia yang rawat, di bawa ke Semarang aja. Dia takut Sheila terlantar dengan ibu baru” kata Harry, tersenyum. ”Mungkin ada yang lapor ke Tante Pram, lihat Mas Rizal bawa gadis” kata Harry melanjutkan.
”Apa memang sudah punya pacar dia?” tanya Ny. Reiko Setyanto.
Ade dan Harry berpandangan, kemudian saling tersenyum. Harry menggeleng. Ade berdiam diri tidak ingin melibatkan diri dalam urusan keluarga Harry.
”Ma, setahuku dia sama sekali nggak punya pacar. Pulang kantor di rumah, Sabtu Minggu sama aku dan Sheila. Paling makan siang dia bebas. Tapi dia bukan orang yang punya rahasia sama aku” kata Harry.
”Oh... begitu, coba nanti Mama cari tahu dari Jeng Pram” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Ma... jangan gegabah!” kata Harry mengingatkan ibunya. Ny. Reiko Setyanto malah sudah berdiri. Dia berjalan menuju meja telpon, memencet nomor-nomor.
”Hallo, Selamat Pagi! Eh... Jeng Pram, sudah lama ndak ketemu ya, apa kabar? Sehat toh? Iya.... minggu lalu aku dari Jakarta, nengok Sheila. Oh... panjenengan mau ke Jakarta juga? Kapan? Oh... besok Senin, sama Mas Pram? Kebetulan ini Harry pulang, anu... Sheila sehat-sehat katanya. Tadinya mau kesini sama Rizal, tapi hari Minggu besok mau latihan menari untuk pementasan Hari Ibu. Weh.... aku denger ya nelangsa ...... anak itu ndak punya ibu malah merayakan Hari Ibu!” kata Ny. Reiko Setyanto pada Ny. Pramono, ibu almarhum Pris. Kemudian dia diam mendengarkan jawaban Ny. Pramono. Ade dan Harry mendengarkan pembicaraan itu, karena Ny. Reiko Setyanto memberi isyarat pada mereka untuk tetap duduk saja.
”Harry, kemarin datang, nanti suruh mampir kesana saja. Oh... itu lho sama Jeng Ade! Ya.... sekarang sudah terbuka pikirannya! Mudah mudahan saja, dia sudah tiga puluh lebih gitu kok!” kata Ny. Reiko Setyanto. Setelah mendengarkan lawan bicaranya Ny. Reiko Setyanto bicara lagi.
”Rizal? Oh saya malah ndak tahu punya rencana apa tidak! Masih ingat Pris barangkali! Hah.... kata siapa? Wah malah belum tahu saya! Dari siapa? Oh..... Jeng Tomo? Oh...memang waktu itu saya bertemu dia di sana. Dia malah duluan datangnya! Oh disitu ketemu Rizal katanya. Cantik katanya....... oh dia?” kata Ny. Reiko Setyanto, mulai cerah wajahnya. Dia mendengarkan lagi, kini malah makin sumringah wajahnya.
”Begini Jeng Pram, itu memang gosip tapi ada benarnya juga. Rizal memang datang sama gadis cantik. Iya..... ya Indo, rambutnya coklat! Wah malah dikasih tahu Jeng Tomo detail ya! Pakai baju coklat waktu itu! Kalau dia, bukan Jeng, dia bukan calon isteri Rizal. Itu malah calonnya Harry. Sekarang lagi di sini. Iya, itu sedang sarapan. Ya...... berkenalan dengan keluarga saja! Iya, nanti Harry ajak dia kesana saja! Ndak..... ndak, jangan marah sama Jeng Tomo lho! Biasa gosip saja!” kata Ny. Reiko Setyanto, sekarang malah tertawa-tawa. Entah apa lagi yang dia bicarakan, kemudian memutuskan pembicaraannya. Kembali ke meja makan bergabung lagi dengan Harry dan Ade.
”Hm... sudah beres! Itu Jeng Tomo lapor sama Mama Pris, katanya Rizal memperkenalkan calon isterinya di ulang tahun Mas Suryo. Lha yang datang bareng Rizal kan Jeng Ade, ya toh! Salah faham saja. Nanti kalian mampir ke rumahnya dulu sebelum ke rumah temanmu. Biar tenang, maklum dia kan juga sayang sama Sheila!” kata Ny. Reiko Setyanto tertawa.
”Ada-ada saja Jeng Tomo itu! Baru sekali lihat, sudah punya pikiran macam-macam” keluh Ny. Reiko Setyanto. Kemudian dia menatap Ade yang dari tadi berdiam diri, menunduk memandangi cangkirnya.
Kejadian seperti ini pernah dialami Ade, ketika dia beberapa kali pergi menemui Pak Haryanto, seorang Manager Pemasaran sebuah mall. Sebenarnya Ade sedang mengurus rencana kontrak sebuah tempat untuk di jadikan outlet Women’s Diary. Pak Haryanto mengajaknya makan siang di mall itu, sambil berkeliling mall untuk menunjukkan situasi kepada Ade sebagai calon Tenant , penyewa ruangan. Agar Ade dapat menentukan pilihan, lokasi yang tepat, mereka berkeliling tentu saja berdua dan sambil ngobrol. Rupanya ada yang melihat, lalu lapor ke keluarga tunangan Pak Haryanto. Untungnya tunangan Pak Haryanto seorang yang bijak, jadi tak yang termakan gosip. Menyebalkan, tapi Ade tak bisa apa-apa.
”Jeng Ade, nanti sama Harry ke rumah nenek Sheila ya ! Itu ... biar dia kenalan saja sekalian bantu Mas Rizal, biar gosipnya mau nikah cepat hilang. Maaf lho... belum apa-apa sudah di pusingkan urusan keluarga kami” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Baik Tante, memang kemarin Mas Harry juga mau ajak saya ke sana. Katanya mau cerita soal Mbak Pris gitu lho!” kata Ade sambil melirik Harry yang duduk disampingnya. ” Ya kan Mas?” tanya Ade. Harry mengangguk ragu-ragu, mengiyakan, meski rasanya belum pernah ingin mampir ke rumah Pris apalagi bersama Ade. Harry mengerti maksud Ade, dia tak mau ibunya sungkan.
”Oh... jadi kebetulan sekali” kata Ny. Reiko Setyanto. ”Kalian hari ini ada rencana kemana saja? Makan siang di rumah?” tanya Ny. Reiko Setyanto.
”Ma, jam sebelas nanti kami mau ke rumah Ton, makan siang disana. Pulang ke rumah kira-kira jam dua, istirahat. Sore baru ke rumah Opa. Mama sama-sama saja kalau mau pergi” kata Harry.
”Oh... nggak usah, Mama nanti mau pergi sama Fumiko. Itu urus pesan makanan buat besok. Oh iya, Jeng Ade belum bertemu Fumiko ya? Adik Tante, Mamanya Daniel. Sebentar lagi sudah datang jemput” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Hm........ pasti heboh!” kata Harry mengkomentari ucapan ibunya.
”De, Tanteku itu paling rame! Dia kaya Tante Lien, kerjaannya teriak-teriak saja, usil banget, kaya Daniel” kata Harry menjelaskan. ”Hati-hati aja, dia pasti langsung tanya macam-macam” kata Harry lagi. Ade tertawa saja, juga Ny. Reiko Setyanto.
Ade memandang ke halaman, hujan sudah reda. Matahari sudah terlihat lagi. Rumput basah berkilat, rasanya nyaman untuk dilewati, pikir Ade. Udara diluar pasti segar.
”Tante, saya boleh melihat lihat taman belakang?” tanya Ade. Harry mengerti pasti Ade tertarik pada tanaman. Sekarang dia tahu, minat Ade pada bunga.
”Oh.... boleh, ayo sama Tante!” ajak Ny. Reiko Setyanto langsung berdiri. Ade segera berdiri juga.
”Mas Harry, aku pergi dulu ya” kata Ade. Harry mengangguk.
”Oke, aku mau baca koran, jangan lama-lama ya!” kata Harry.
Ade dan Ny. Reiko Setyanto berjalan berdampingan menuju teras samping kemudian menuruni dua anak tangga kecil menuju ke belakang rumah. Ternyata rumah ini berdiri di tengah lahan, jadi setiap sisi rumah dapat memandang halaman. Khas rumah zaman dulu, bagian dapur berada agak terpisah dari rumah induk, dihubungkan dengan koridor beratap. Kamar Ny. Reiko Setyanto berada di sisi kanan rumah, sedangkan kamar yang di tempati Ade dibagian kiri. Jendelanya yang besar terbuka lebar, terlihat kamar yang rapi, hampir sama dengan yang di tempati Ade. Mereka berjalan terus ke arah belakang, menyusuri jalan setapak berupa susunan bata conblock merah bata.
”Jeng Ade, Tante dengar orang tuamu sedang di Belanda, kapan kembali?” tanya Ny. Reiko Setyanto.
”Rencana Januari Tante” kata Ade ”Tante, itu koleksi anggrek kan?” kata Ade menunjuk sebuah bangunan beratap jaring dari plastik hitam, paranet, berada di sudut halaman belakang. Ny. Reiko Setyanto mengangguk.
Mereka berdua memasuki bangunan itu. Ade sangat gembira melihat ratusan anggrek yang sedang berbunga. Sebagian bergantung dalam pot-pot, sebagian menempel pada tiang tiang sebagian lagi berada di atas empat buah rak panjang.
”Tante anggreknya bagus sekali!” kata Ade sambil menebar pandang ke sekelilingnya. Tersenyum ceria. Mengamati beberapa anggrek.
”Tante ini Cattleya kan? Wah... besar sekali bunganya! Aduk cantik banget!” kata Ade menunjuk anggrek berwarna putih dan ungu berbunga besar. Ny. Reiko Setyanto tertawa senang. Ade menunduk mengamati bunga itu, penuh minat dan kagum. Kemudian menegakkan tubuhnya, berpaling ke sebuah tiang yang penuh dengan pot gantung dengan bunga kuning semarak.
”Ini Golden Shower kan? Ini jenis yang besar ya? Aduh Miltonia ini cakep sekali” kata Ade menghampiri anggrek berwarna kuning cerah dengan bunga yang ramai pada tangkainya yang panjang itu yang berdekatan dengan pot anggrek lainnya berbunga besar. Ny. Reiko Setyanto mengangguk. Sekarang dia makin senang atas pilihan Harry. Gadis ini rupanya punya hobby yang sama denganku, pikir Ny. Reiko Setyanto.
”Ade rupanya suka bunga ya?” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Oh iya Tante! Keluarga saya suka bunga. Mama punya juga anggrek, tapi tak sebanyak ini. Wah kalau saya punya anggrek sebanyak ini.......” kata Ade tanpa meneruskan ucapannya. Mata indahnya berpindah dari satu bunga ke bunga lain.
”Ohaiyo gozaimasu! Hallo, selamat pagi!” terdengar suara lantang seorang wanita. Ny. Reiko Setyanto memberi isyarat pada Ade, menunjuk keluar. Ade melihat seorang wanita dengan wajah mirip Ny. Reiko Setyanto. Sedang berjalan dengan Harry menuju ke arah mereka. Ny. Reiko Setyanto menarik tangan Ade, mengajaknya keluar bangunan.
”O..... ini dia si cantik Ade! Hm.... dari dulu Daniel selalu bilang aku... cantik lho Ma pacar Mas Harry! Ternyata..... wah... wah Har, nggak percuma nunggu lama!” kata Ny. Fumiko sambil menyambut tangan Ade yang menyalaminya.
”Tante, apa kabar?” sapa Ade santun.
”Baik Ade! Nanti ajak ke rumah ya Har!” kata Ny. Fumiko. ”Eh... ini sedang apa? Kok malah di kebun?” katanya lagi.
”Ini Jeng Ade ingin lihat kebun belakang! Katanya ingin punya kebun anggrek juga” kata Ny. Reiko Setyanto.
”Ah itu cuma menghayal aja kok Tante!” kata Ade. Harry mendekati Ade.
”Bagus, bunga bikin kita senang! Anti stress! Minta aja sama Harry!” kata Ny. Fumiko membuat Ade tersipu. Harry malah tertawa mendengar ucapan tantenya.
”De, nanti kita mampir ke rumah Tante, bunganya juga banyak lho” kata Harry.
”Ma, Ade katanya bulan depan ikut kursus Ikebana di Pusat Kebudayaan Jepang” kata Harry.
”Oh ya.. bagus!” kata Ny. Fumiko hampir bersamaan dengan Ny.Reiko Setyanto.
”Iya Tante, itu tugas belajar dari kantor! Tapi saya memang senang bunga, jadi ya kebetulan. Dulu pernah juga kursus waktu SMA tapi gaya Eropa” kata Ade.
”Ya ....memang beda gaya. Eropa lebih meriah, banyak bunganya” kata Ny. Fumiko.
”Ikebana lebih sedikit bunga” kata Ny.Reiko Setyanto.
”Ya, saya suka juga, karena memandangnya lebih tenang, meditatif gitu Tante” kata Ade
”Betul” kata Ny.Reiko Setyanto, dia senang sekali ternyata Ade pengamat yang baik. Harry juga mendapat informasi baru tentang Ade. Ade tidak hanya suka bunga tapi juga berusaha memahami makna gaya rangkaian bunga.
”Reiko-san mau pergi sekarang? Nanti ke supermarket dulu beli pesanan Mama” ajak Ny. Fumiko pada kakaknya.
”Ayo, aku ganti pakaian dulu” kata Ny.Reiko Setyanto. ”Jeng Ade, Tante tinggal dulu ya! Nanti sore kita ketemu lagi” katanya. Ade mengangguk kemudian mereka meninggalkan Harry bersama Ade.

”De, masih mau lihat bunga lagi?” tanya Harry. Ade ternyata sudah kembali berjalan masuk ke rumah anggrek. Menuju ke sudut bangunan, ke rak yang berisi pot pot anggrek phalaenopsis yang berbunga sangat banyak . Bunganya yang putih dengan semburat warna kuning sangat indah. Yang berwarna pink, ungu dan kuning juga semarak. Ade berdiri di dekat rak, tanpa menyentuh bunga bunga itu. Harry menyusulnya, berdiri tepat di belakang Ade.
”De, rupanya kau benar-benar suka bunga ya! Mau punya seperti ini?” tanya Harry sambil memeluk Ade. Ade bersandar di tubuh Harry. Segera wangi parfum Ade tercium, lembut dan segar. Harry sudah tahu merknya.
”Mau banget! Tapi mana aku punya tanah seluas ini?” kata Ade balik bertanya pada diri sendiri.
”Nanti ya non, kita buat di rumah kita! Aku juga suka kok!” kata Harry.
”Ah Mas Harry, jangan dulu mikir macam-macam, nanti kalau gagal malah jadi sedih banget” kata Ade.
”Okay.... sekarang aku sudah tahu kau suka apa, jadi nanti aku akan mewujudkannya satu persatu, pelan-pelan” kata Harry, mencium pipi Ade. Ade berbalik menghadap Harry. Balas mencium pipi Harry. Tentu saja Harry meneruskannya dengan mengecup bibir Ade, perlahan kemudian sangat bersemangat. Mereka berada di sudut, diantara anggrek dalam siraman sinar matahari yang masuk lewat jaring atap peneduh.
”De, ini!” kata Harry mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya dan menyerahkan pada Ade. Sebuah kotak kecil berwarna biru. ”Terimalah! Ini hadiah tanda kita saling menerima” kata Harry. Ade menerimanya, sedikit terkejut.
”Mas Harry! Lagipula belum resmi, itu hanya diantara kita. Aku belum tahu pendapat Papa Mama. Jalan masih panjang kan?” kata Ade memandangi kotak yang berada di tangannya.
”Tentu saja, ini bukan pertunangan! De, ini hadiah saja, karena aku sangat bahagia! Aku telah menemukanmu. Oke, buka saja” kata Harry.
Ade membuka kotak dan menemukan sebuah gelang. Gelang dari emas kuning dan putih itu bersinar dengan disain sederhana. Bentuknya seperti dua tali saling menjalin, di ujung simpulnya terdapat sebutir berlian kecil. Harry mengambilnya, menarik tangan kanan Ade, memasangkan gelang itu. Ade memandangi tangan kanannya, gelang itu indah, tidak mencolok, elegan sekali.
”Bagaimana, suka?” tanya Harry menatap Ade. Ade mengangguk
”Thank you!” kata Ade ”Aku suka sekali, bagus” kata Ade bergelayut manja pada Harry. ”Tapi pasti ini mahal, aku nggak enak hati! Aku nggak punya apa-apa untukmu” kata Ade.
”Syukurlah! Jangan lihat harganya. Aku sudah lama mau kasih itu, tapi cari waktu yang tepat” kata Harry. ”Pakai selama kau masih menyukaiku” kata Harry lagi.
”Jadi kalau aku nggak pakai ini apa artinya aku ....?”tanya Ade menggoda Harry.
”Ade, kalau itu tanda kebersamaan, saling membimbing” kata Harry.
”Ok, aku pakai deh! Cuma aneh nggak? Aku jarang pakai perhiasan!” kata Ade. Harry tertawa, dia merasa Ade begitu polos.
” Yuk, siap-siap, kita jalan-jalan. Katanya mau lihat Gereja Blenduk sama Sam Poo Kong dan rumah rumah kuno di Semarang!” ajak Harry. Mereka berjalan kembali ke rumah. Kali ini masuk rumah lewat pintu belakang. Mbak Yem sedang mencuci piring, tersenyum melihat keduanya begitu mesra. Baru kali ini dia melihat Harry dengan seorang gadis. Gadis itu tidak sombong , pikir Yem.
Ade masuk kamar, berganti pakaian. Kali ini dia mengenakan blus katun warna putih dengan kerah bulat rendah tanpa lengan. Terlihat renda kecil di tepi kerah dan lengan dan keliman bawah blus. Kancing-kancingnya yang berbentuk bunga menambah cantik baju Ade. Kali ini mengenakan celana panjang hijau telur asin, menyandang tas besarnya yang berwarna putih. Rambutnya di ikat dengan jepit rambut membentuk ekor kuda. Riasannya tipis, untuk jalan-jalan liburan sangat cocok. Sepatu pantopelnya yang putih juga nyaman untuk jalan.
Harry sudah menebak, pasti Ade akan muncul dengan blus putih! Pas, katanya dalam hati, begitu Ade keluar dari kamar. Sudah sering mereka pergi, Ade hampir selalu muncul dengan blus warna putih, terutama bila acara siang hari. Rupanya dia punya koleksi cukup banyak baju warna putih. Harry sendiri sudah siap, jeans dan polo shirt putihnya dan sepatu olah raga.
”Ayo kita berangkat! Ke rumah Pris dulu ya sebentar” ajak Harry. Sudah hampir jam sebelas siang, kota Semarang sudah ramai. Rumah Pris ternyata tak jauh, boleh dibilang bertetangga. Harry segera mengajak Ade memasuki rumah dari pintu samping. Rumah itu juga besar, terasa sepi sekali. Harry mengetuk pintu, tak lama keluar seorang wanita sebaya ibu Harry. Masih mengenakan daster dari batik berwarna coklat, kontras dengan kulitnya yang putih. Wajahnya masih terlihat cantik.
”Ah.... Harry, ayo masuk! Ayo Jeng, silahkan masuk!” sambutnya sangat ramah.Harry menyalami wanita itu.
”Tante Pram, kenalkan ini Ade, kawanku!” kata Harry. Ade mengangguk hormat, kemudian menyalaminya.
”Oh... ini Jeng Ade itu! Ayo duduk! Jeng jangan sungkan, ini sama saja dengan rumahnya Harry” katanya mengajak Ade dan Harry duduk di ruang tamu.
”Sebentar ya!” kata Ny. Pram, kemudian meninggalkan Harry dan Ade. Masuk ke ruang dalam. Terdengar memanggil suaminya. Tak lama kemudian seorang pria tua muncul, bercelana pendek putih dengan baju kaus putih.
”Hallo! Apa kabar? Kapan datang Har? Oh... ini Jeng Ade? Pasti Mbakyu senang sekali kalian datang ya!” sambut Pak Pramono begitu memasuki ruang tamu. Langsung mengulurkan tangannya bersalaman dengan Harry dan Ade.
”Sehat Om?” tanya Harry. Pria itu mengangguk, terus memandang Ade.
”Sehat Har! Cuma berdua Tante, ya sepi begini. Kalian semua di Jakarta, jarang pulang” jawab Pak Pramono lebih pada diri sendiri. Kembali memandang Ade. Kemudian Ny. Pramono muncul dengan baki minuman. Menatanya untuk Ade dan Harry.
”Minumlah!” kata Ny. Pramono mempersilahkan.
”Terima kasih” jawab Ade hampir bersamaan dengan Harry.
”Ade, menginap disini ya!” ajak Ny. Pramono ”Banyak kamar kosong kok! Ya Har menginap disini dong!”
”Terima kasih Tante! Malam ini bermalam di rumah Opa, Minggu sudah pulang” jawab Harry. ”Lain kali deh, kalau pulang lagi, ya kan De?” kata Harry.
”Oh,... boleh... boleh, janji lho!” kata Ny. Pramono. ”Jeng Ade, masih kuliah atau sudah bekerja?” tanya Pak Pramono.
”Kerja Om, di perusahaan garment” jawab Ade.
”Eh.... Harry, ini dalam rangka apa ke Semarang? Kenalin pacar ya?” kata Pak Pramono tertawa. Harry tersenyum melirik Ade. Ade juga tersenyum.
”Wah.... kami turut senang sekali! Sejak Pris pergi, rumah ini sepi sekali! Biar Jeng Ade sering datang ya Har!” katanya. Isterinya menunduk, Harry terdiam sementara Ade tak tahu harus menjawab apa.
”Jeng Ade, dulu rumah ini ramai sekali waktu Harry dan Pris masih disini. Mereka berteman sejak kecil. Hampir tiap hari bertengkar tapi juga mudah berbaikan. Mereka bawa teman-teman sekolah, dari main petak umpet, layang-layang sampai waktu SMP main band, main pingpong di samping rumah” kata Pak Pramono mengenang.
Ade merasa terharu, kunjungan mereka lebih membuka luka lama ditinggal putri tunggalnya. Pantes Harry tak pernah mengungkit masalah Pris. Ade tahu, Harry sangat sedih, sama sedihnya dengan Rizal, juga kedua orang tua ini ketika Pris pergi. Lalu mereka berharap aku menempati posisi Pris, pikir Ade. Mungkinkah?
”Om, kami nggak lama, ada undangan teman, terus nanti mau ke Opa! Jadi pamit dulu! ” kata Harry memecah kesunyian. ”Ayo De, kita pamitan” ajak Harry, bangkit dari kursi. Menyalami kedua orang tua itu. Ade menyalami Ny. Pramono yang tiba-tiba memeluknya, menangis. Ade tentu saja kaget, tak tahu harus berbuat apa.
”Sering kesini ya Nak!” kata Ny. Pramono. Suaminya segera mendekati mereka. Menepuk pundak isterinya perlahan. Ny. Pramono segera melepaskan pelukannya dari Ade.
Ade masih termangu ketika mobil yang dikendarai Harry meninggalkan rumah Pris. Masih terbayang di matanya lambaian tangan kedua orang tua Pris tadi. Penuh harapan Ade bisa kembali ke rumah mereka. Ade sekali lagi tak memahami, mengapa keluarga ini begitu banyak berharap darinya. Teringat permintaan Rizal untuk menemani Sheila ke toilet waktu itu, keinginan Sheila dan Om Suryo agar dia datang ke ulang tahun mereka. Isyarat yang mulai nyata keinginan Rizal untuk mendekatinya, acara candle-light dinner yang tak terlaksana. Lalu Harry yang membuka matanya tentang cintanya. Ibu dan kedua Opa Oma Harry. Kini orangtua Pris! Kebetulankah atau memang takdirku? pikir Ade.
Ade melirik Harry, masih berdiam diri sambil mengemudikan mobil. Ade tak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan Harry. Sejak mengenal Harry, Ade tahu Harry bukan orang yang mudah untuk mengungkapkan perasaannya. Lebih suka menyimpannya sendiri. Hanya mata Harry tak bisa menutupinya. Sedih atau gembira terlihat disana. Seperti saat ini, yang dilakukan Ade adalah menunggu saja, begitu biasanya. Bila saatnya tiba, Harry akan bicara pada Ade. Bagi Ade yang biasa terbuka, gaya Harry memang mulanya menyebalkan. Tapi sikap itulah yang ternyata membuat Ade menyukai Harry.
Ade teringat saat dia dirawat di rumah sakit, Harry berkali-kali menyaksikan bagaimana Alan begitu mesra memperlakukan Ade. Ciuman, pelukan dan hadiah hadiah dari Alan di saksikannya dengan diam. Tanpa protes dengan sorot mata tak terduga, tenang. Waktu itu Ade tidak mengetahui Harry telah menyintainya sejak lama. Mengherankan, Harry tak terbakar emosinya.
”De, mikir apa? Kok melamun!” kata Harry mengagetkan Ade. Ade menggeleng.
”De, itu tadi kenangan kami tentang Pris! Aku tidak mau kamu jadi Pris atau menggantikan Pris” kata Harry.
”Oh....tentu saja! Mana bisa” kata Ade.
”Aku mau kau ingat ya! Pris mungkin my puppy love , cinta monyet! Tapi untuk Ade My First Love” kata Harry sungguh-sungguh. Ade mendekat, mencium pipi Harry cepat-cepat. Harry menoleh.
’Eit.... nyetir yang bener dong! Ayo... hati-hati! Sopir dilarang bicara sama penumpang! Apalagi ngajak pacaran!” kata Ade menggoda. Menyitir peringatan di bus umum agar penumpang dilarang bicara dengan supir. Harry tertawa.


BERITA SURAT KABAR

Sejak pulang makan siang dari rumah Tono, Ade merasa perutnya terasa sakit. Tapi Ade mendiamkannya saja. Sesampai di rumah Harry, Ade pamit untuk istirahat di kamar. Ade berbaring di kamar tanpa mengganti pakaiannya. Telpon genggamnya berbunyi lagi. Sudah dua kali hari ini telpon dari Alan. Masih belum menyerah juga orang ini, pikir Ade. Ade tak memperdulikan telpon itu berdering terus. Ade menelungkup, menekan perutnya yang sakit dengan bantal.
Ade tahu, sakit seperti ini gejala awal yang dialaminya menjelang haid. Sakit pada perut bagian bawah hingga pinggang, tungkainya linu dan kepalanya sakit. Makin terasa sakit karena telpon itu berbunyi terus. Sudah dua kali di matikannya. Semuanya dari Alan. Ade bangkit, mencari pembalut yang selalu dibawanya sebagai persediaan dari kopernya. Ternyata dugaan Ade benar. Setelah dari kamar mandi, Ade kembali berbaring menelungkup. Posisi itu paling disukainya, mengurangi rasa sakit di perutnya. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya, rasanya kali ini lebih sakit dari biasanya. Ade rasanya ingin menangis saja.
Biasanya Mbok Piah akan memberinya botol berisi air hangat untuk kompres agar rasa sakit berkurang. Tapi disini, di rumah orang? keluh Ade sambil bangkit, lalu menambahkan sebuah bantal lagi ke atas bantal yang tadi di dekapnya. Ade kemudian menelungkup lagi. Terkadang Ade meringkuk sambil memijiti perutnya tapi tak berani mengerang, khawatir terdengar dari luar. Mungkin Harry di kamar sebelah tidak tidur. Ade tak mau merepotkan Harry.
Sementara itu Harry sudah masuk kamarnya. Lalu menelpon Imran membicarakan beberapa hal urusan pekerjaan. Kemudian berbaring mendengarkan lagu dari DVD player yang ada di kamarnya. Juga memandangi foto Ade di meja tulis. Harry sama sekali tak mendengar suara apapun dari kamar Ade. Dia mengira Ade tidur.

Harry hampir tertidur ketika dia mendengar suara nyaring Tante Fumiko memanggilnya. Rupanya mereka sudah kembali. Harry segera keluar kamar, menemukan ibunya dan tantenya sedang berdiri dekat meja makan. Sedang meletakkan dua kotak besar, entah apa.
“Har, Ade mana?” tanya Ny. Fumiko melihat Harry sendirian.
“Di kamar, mungkin tidur” kata Harry. Ny. Fumiko berjalan ke kamar yang di tempati Ade. Di dorongnya pintu kamar itu, ternyata tidak di kunci dari dalam. Dia menjenguk ke dalam. Dilihatnya Ade menelungkup, tak bergerak.
“Ade!” panggil Ny. Fumiko. Ade kaget, segera menoleh. Saat itu Ny. Fumiko melihat Ade begitu pucat. “Hey, Ade kenapa? Sakit?” tanya Ny. Fumiko segera masuk kamar, meraba dahi Ade begitu dekat dengannya. Ade menggeleng, mencoba tersenyum.
“Mens Tante!” kata Ade. Saat itu Ny. Reiko Setyanto muncul, dia juga kaget melihat kondisi Ade. Lalu dia kembali keluar.
“Harry, sejak kapan Ade sakit?” tanya Ny. Reiko Setyanto pada Harry yang sedang membuka lemari es.
“Hah…..sakit?” tanya Harry bingung, tak mengerti pertanyaan ibunya.
“Kamu nggak tahu itu Ade kesakitan di kamarnya?” tanya Ny. Reiko Setyanto heran. Harry menggeleng, menutup kembali pintu lemari es. Dia segera masuk ke kamar Ade. Kaget melihat Ade begitu pucat, sedang berbaring meringkuk dengan kedua tungkainya hampir menyentuh dagu, Tantenya duduk di samping Ade.
“Ade, sakit apa? Kok tadi sehat-sehat aja!” kata Harry berjongkok dekat Ade, memegang tangan Ade, khawatir.
“Nggak apa-apa, sebentar lagi sembuh! Ini rutin kok Mas!” kata Ade pelan, menggigit bibirnya.
“Aduh kamu ini, kenapa nggak bilang kalau sakit. Ke dokter ya, dekat rumah ada” bujuk Harry.
Ny. Reiko kembali ke kamar Ade, membawa botol untuk kompres. Meletakkannya di bagian bawah perut Ade.
“Ade, ini haid hari pertama ya? Luruskan kakimu, jangan tegang ya! Har, ambil balsam olesi kaki Ade!” kata Ny. Reiko. Ade mengangguk, Harry baru mengerti, rupanya Ade sakit karena haid. Harry buru-buru keluar mencari balsam dari kotak obat. Kembali lagi Harry tahu, Ade selalu tidak pernah mengeluh kalau dia sakit. Harry menyesali, mungkin sejak tadi saat mereka berjalan-jalan, Ade sudah sakit, tapi dia tak tahu.
“Ada obat penahan sakit! Mau ya?” kata Harry. Ade mengangguk. Harry keluar lagi mencari obat, kembali dengan segelas air. Ade menelan obatnya.
“Harry, sekarang tunggui Ade ya! Keterlaluan, pacarnya sakit nggak tahu!” kata Ny. Fumiko menepuk pundak Harry.
“De, Tante keluar ya! Biasanya sebentar lagi sudah berkurang sakitnya” katanya. Keluar bersama kakaknya.
“Ade kenapa selalu nggak bilang aku kalau sakit?” sesal Harry, duduk di tempat tidur. “Nggak percaya aku?” desak Harry. Ade memejamkan matanya, tak menghiraukan ucapan Harry.
“Ade, kita sudah janji kan, saling terbuka. Jadi kalau ada masalah bicara ya! Meski cuma sakit karena haid! Oke?” lanjut Harry menatapi Ade yang sekarang berbaring menghadapnya. Matanya masih terpejam, tangan Harry menekan kompres di perut Ade.
“Maaf Mas!” kata Ade pelan, dari sudut matanya mengalir air mata. “Sebenarnya aku tak mau merepotkan kalian, ini sudah biasa. Setiap bulan” kata Ade.
“Ya sudah, sekarang coba istirahat dulu. Kalau dua jam ini belum sembuh juga, kita ke dokter aja” kata Harry menghapus airmata Ade.
“Jangan cengeng ah! Sudah gede!” kata Harry bercanda.
“Mas keluar aja!” kata Ade, mungkin merasa sungkan berduaan di kamar.
“Heh…! Berani mengusir aku ya! Nggak, ah…. Kamu yang tidur, aku tunggu disini” kata Harry tertawa. Harry baru meninggalkan Ade ketika dia sudah tertidur, mungkin karena pengaruh obat tadi.
Ibu dan tantenya terdengar ngobrol di teras samping. Harry mendekat mereka. Duduk di kursi plastik dekat mereka.
“Sudah bisa tidur dia?” tanya Ny. Fumiko begitu melihat Harry. Harry mengangguk tersenyum, garuk-garuk kepala.
“Kalian nggak lagi bertengkar kan?” tanya Ny. Reiko Setyanto. Harry menggeleng.
“Tapi kenapa kamu nggak tahu dia kesakitan? Aneh, kan kalian pergi bersama!” desak Ny. Reiko Setyanto.
“Mam, itu sifat Ade, nggak pernah mengeluh sakit. Dulu juga gitu. Tiba-tiba kabur ke toilet, muntah-muntah, pingsan, akhirnya dirawat di rumah sakit”kata Harry.
“Mungkin maksudnya tidak mau merepotkan orang” kata Ny. Fumiko lalu melanjutkan “Padahal kudengar dia bungsu, biasanya suka manja”
“Dia beda Tante, maunya urus apa-apa sendiri, mandiri banget! Dia sangat takut kalau orang mengira bila di tolong orang, apalagi laki-laki, mengira dia memanfaatkan kecantikkannya. Dia nggak nyaman dengan sikap orang yang menganggap gadis Indo itu gampangan, bebas dan genit, cuma bisa memanfaatkan tubuh keren mereka. Orang mengira kalau bisa dekat sama mereka lalu bisa bebas dengannya, padahal tidak. Sampai hari ini, saya baru masuk ruang keluarga dan ruang makan di rumahnya, padahal orang tuanya tidak ada, cuma ada pembantu. Dia sangat menjaga dirinya, makanya dia tertutup begitu. Padahal dia sama seperti kita juga, untuk sukses perlu kerja keras, disiplin dan punya etika. Memang Ade terkadang kesannya agak sombong” kata Harry menceritakan.
“Nah, sudah tahu dia begitu, kamu yang musti lebih perhatian. Harus hati hati jangan sampai dia merasa dilecehkan, atau cuma tertarik karena dia cantik. Orang seperti dia biasanya akan simpan perasaannya juga. Jadi suatu saat kau bikin kesalahan atau menyakiti dia, dia akan diam saja. Dia akan tumpuk terus, lalu bila dia sudah tak mampu menahannya, dia akan pergi saja. Bahaya itu, mengerti kan maksud Mama?” ujar Ny. Reiko Setyanto.
“Ya Mam!” kata Harry, dia teringat Alan.
“Nggak sangka, gadis secantik dia juga punya kerugian. Kita memang suka kagum sama mereka, cantik-cantik sih! Kita tak tahu mereka juga punya beban pada pandangan orang yang negative” kata Ny. Fumiko, pelan.
“Harry, itu di meja ada dua kotak, Tante titip ya. Satu untuk Ade dan satu untuk Sheila” kata Ny. Fumiko.
“Buat Daniel nggak ada Tante?” tanya Harry heran.
“Nggak usah, minggu depan katanya mau pulang. Aku pulang dulu, besok ketemu di rumah Opa ya. Aku malam ini ada undangan pernikahan anak temannya Mas Tanjung, jadi nggak bisa ikut menginap di sana” kata Ny. Fumiko, kemudian bangkit berdiri, masuk ke dalam rumah mengambil tas tangannya.
Ade terjaga dari tidurnya ketika Harry masuk ke kamarnya. Dia merasa sudah lebih nyaman. Perutnya sudah tidak sakit lagi, hanya tungkainya agak linu. Rupanya dia tertidur cukup lama. Sinar matahari memudar, tirai bergoyang di tiup angin. Ade menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Mungkin dua jam lebih. Harry duduk dekat Ade.
“Masih sakit De?” tanya Harry. Ade menggeleng, bangkit lalu duduk, menyisiri rambutnya dengan jarinya. Terdengar ketukan pintu yang separuhnya terbuka, kemudian seorang pembantu muncul membawakan secangkir teh hangat. Dia meletakkannya di meja samping tempat tidur, tanpa suara.
“Terima kasih Mbak!” kata Ade. Pembantu itu mengangguk hormat.
“Silahkan di minum” lalu berbalik meninggalkan mereka berdua. Harry mengambil cangkir teh, menyerahkannya pada Ade. Ade minum sedikit, karena masih panas, jadi meletakkannya kembali.
Ny. Reiko Setyanto muncul di pintu kamar, tersenyum melihat Ade sudah duduk.
“Sudah baikan De?” tanya Ny. Reiko Setyanto, kemudian duduk di samping Harry. Ade mengangguk.
“Sudah Tante, maaf jadi merepotkan! Terima kasih” kata Ade.
“Ade, lain kali kalau sakit atau apa saja musti bilang ya! Itu gunanya pasangan kita! Saling mendukung, jangan menanggungnya sendiri!” kata Ny. Reiko Setyanto, memegang tangan Ade.
“Memang bisa saja De mengatasi sendiri, tapi sangat berat! Lebih baik berbagi kan. Ini juga nasehat buat Harry lho. Kalau kita mengharapkan uluran tangan pasangan kita, dia merasa berharga dan di butuhkan kehadirannya. Itu bukan manja namanya”kata Ny. Reiko Setyanto.
“Satu lagi, meski kami belum melamarmu, panggil aku Mama saja ya! Sudah lama tak ada gadis yang memanggilku seperti itu, sejak Pris pergi” kata Ny. Reiko Setyanto lagi tersenyum, Harry melirik ibunya.
“Baik Tante… eh Mama!” kata Ade malu, masih kaku menyebut kata Mama. Melihat itu Harry tertawa.
“Hm…. Anak manis! Penurut juga dia ya Mam!” kata Harry menggoda Ade. “Ayo minum, sudah dingin tuh!” katanya melanjutkan.
“Setelah makan malam, kita pergi ke rumah Opa. Mama ikut kan?” kata Harry.
“Ya , kita makan di luar saja, sudah lama juga nggak makan di restoran” kata Ny. Reiko Setyanto “ Aku mau siap-siap dulu” katanya, kemudian meninggalkan Ade bersama Harry.
Ade bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju meja rias, menyisir rambutnya. Kemudian mendekati jendela. Berdiri di sana, mengamati jalanan. Sudah hampir senja, lampu jalanan sudah menyala. Harry berdiri di belakang Ade, memeluknya. Wangi shampoo rambut Ade merambat ke hidungnya. Lembut dan segar, wangi buah apel. Harry mencium pipi Ade, Ade mendiamkannya, tangannya memegangi tangan Harry yang memeluk pinggangnya.
Dari samping Harry melihat senyum Ade. Harry ingat, gara-gara senyum itulah aku jatuh cinta padanya. Senyum Ade itu menarik karena sedikit tertahan, seakan akan menawarkan keindahannya sedikit demi sedikit, tapi bertahan lama. Senyum yang ramah, tapi tak tampak menggoda.
Senja telah turun, kamar sudah mulai gelap. Ade dan Harry masih berdiri di depan jendela. Ade melepaskan diri dari pelukan Harry, meraih daun jendela untuk menutupnya. Jendela itu besar, karena rumah itu memang bangunan tua. Harry buru-buru menolong Ade, menguncinya. Ade berbalik, kini wajah Harry berhadapan dengan Ade. Harry memeluknya lagi, kali ini dengan sebuah ciuman yang panjang di bibirnya. Ade melingkarkan lengannya di leher Harry, dia tahu pilihannya pada Harry sudah pasti. Dia tak akan berpaling atau menghindar.


Ade, Harry dan Ny. Reiko Setyanto tiba di rumah Pak Sudarmanto hampir jam sembilan malam. Mobil yang di kemudikan Harry memasuki halaman yang sangat luas, tetapi rumah yang berada di tengah itu justru lebih kecil dari rumah Harry. Sebuah rumah dengan dominasi bahan dari kayu. Jendelanya juga besar. Tirainya belum di tutup, jadi melalui kaca terlihat jelas situasi di dalam ruang tamu. Terasnya lumayan besar dengan satu set kursi kayu. Lampu menyala terang di teras, sedang di dalam rumah hanya menyala dua buah lampu
Di sudut halaman ada bangunan lagi, seperti sebuah studio dengan atap joglo , lampunya menyala terang. Ade berjalan mengikuti Ny. Reiko Setyanto menuju teras, di belakangnya Harry menyusul dengan menenteng sebuah tas pakaian ganti miliknya dan Ade. Rumah itu terasa hangat, karena sebagian dindingnya dari kayu dengan warna terang. Tak banyak barang di ruang tamu itu. Satu set sofa besar berwarna putih susu, sebuah meja hias dengan dua lampu duduk dari kayu berukir dengan kap dari bahan kain berwarna putih susu juga. Sinar yang muncul dari kedua lampu itu lembut menerangi ruangan. Di sudut ada sebuat pot besar dari keramik putih berisi tanaman berbatang langsing, tanpa daun seperti bambu. Di dinding terdapat lukisan pemandangan alam. Lukisan gaya Jepang, warnanya lembut, mungkin pemandangan musim semi.
Ny. Reiko Setyanto mengajak Ade masuk ke ruang dalam melalui pintu geser. Rupanya sebuah ruang keluarga. Opa dan Oma Harry sedang duduk di sofa menonton acara televisi. Mereka berdua tersenyum menyambut kedatangan Ny. Reiko Setyanto bersama Ade dan Harry. Kali ini Ade sudah tahu, sehingga dia sudah bersiap di samping Harry dan ibunya untuk memberi hormat dulu. Tata cara keluarga ini tak membebaninya, dia suka rela melakukannya.
“Dozo o-kake kudasai! Ayo, Ade silahkan duduk!” kata Ny. Rey ramah. Ade dan Harry duduk di kursi mengelilingi meja pendek, ibunya langsung masuk ke bagian dalam rumah. Di belakang mereka sebuah lemari pendek dari kayu, semacam meja console . Diatasnya terdapat beberapa foto dalam frame dari kayu. Foto Andre, Anton, Rizal, Harry dan Daniel ketika mereka masih kecil dan setelah mereka dewasa. Juga foto mereka dalam busana Jawa dan Jepang. Rupanya memang tidak ada cucu perempuan. Wajah mereka mirip semua.
“Hari ini pergi kemana saja? Oma kira kalian datang siang tadi?” kata Ny. Rey lagi.
“Ke Tante Pram, makan siang sama teman-temanku, lihat gereja Blenduk, lihat rumah-rumah tua terus ke klenteng Sam Po Kong. Lalu istirahat” kata Harry.
“Sudah makan malam?” tanya Pak Sudarmanto.
“Sudah Opa” jawab Ade.
Mereka asyik mengobrol, pada umumnya Ade lebih banyak menjawab pertanyaan kedua orang tua itu tentang dirinya. Rupanya mereka benar-benar ingin tahu siapa Ade. Ade menjelaskan dimana dia tinggal, latar belakang keluarga ayah ibunya, sekolahnya dan pekerjaannya. Hanya ketika sampai cerita pertemuannya dengan Harry, Ade mulai kekurangan bahan. Harry faham, karena saat bertemu Harry, Ade tak punya kesan apapun. Harry tahu itu, karenanya dia menggunakannya untuk bahan bercanda.
“Opa, waktu aku ketemu Ade, dia masih kecil. Itu ikut kakak sepupunya kunjungan mahasiswa ke kampusku. Jadi makanya dia nggak banyak ingat aku! Waktu itu kemana-mana masih di gendong Richard!” kata Harry.
Sebenarnya Opa dan Oma Harry sudah tahu cerita sesungguhnya tentang bagaimana Harry pertama kali bertemu Ade dan langsung menyukainya. Bahkan selama delapan tahun lebih mencari Ade hingga akhirnya bisa bertemu kembali. Mereka semua tertawa, kecuali Ade yang cuma meringis, memelototi Harry.
“Mas Harry bohong Opa! Dia waktu itu sibuk jadi ketua panitia, dia sibuk sama gadis-gadis lain. Mana dia ingat aku, waktu salaman juga nggak mau bilang namanya siapa!” kata Ade membalas canda Harry.
“Oma tahu nggak, aku ajak Mas Harry ke reuni fakultasku, Mas Harry ketemu lagi sama teman-temanku, pengagum dia dulu. Wow…..dia senang banget! Jadi dia ngaku-ngaku aja delapan tahun cari aku, biar dramatis gitu! Padahal sebenarnya bukan cari aku aja! Ketemu ya syukur, nggak juga masih ada yang lain!” lanjut Ade, tertawa-tawa senang menggoda Harry.
Ny. Reiko Setyanto yang sedari tadi berdiam diri, tak tahan tertawa terbahak mendengar canda Ade. Sudah lama sebenarnya dia ingin mentertawakan Harry. Dulu dia tak tega melihat Harry begitu kasmaran pada gadis impiannya. Sekarang dia tahu, Harry tak akan terganggu, hanya karena ditertawakan.
“Heh… kamu kalau jadi pengarang bagus deh!” kata Harry pura-pura sewot. “Opa, dia nggak pernah percaya lho cerita itu! Dia bilang tingkahku nggak logis! Aneh anak ini, dia pikir cinta itu hal yang logis! Nggak kan?” kata Harry. Opa dan Oma Harry tersenyum.
“Ya kalau dipikir memang nggak logis! Tapi yang tak logis itulah intinya cinta. Berbeda bangsa, berbeda budaya, berbeda bahasa tapi karena hal yang tak logis itu bersatu juga. Opa dan Oma kan begitu” kata Pak Sudarmanto.
“Oh iya, Oma, waktu itu kenapa jatuh cinta sama Opa?” tanya Harry, pertanyaan yang tak pernah diajukannya pada neneknya.
“Jangan tertawai Oma ya, karena tak logis juga. Aku suka Opamu karena matanya bulat besar, badannya tinggi dan rambutnya berombak. Pria Jepang kan sipit, rambutnya lurus, jarang yang tinggi waktu itu!” kata Oma tertawa berderai.
“Oh, sudah malam mungkin kalian masih mau ngobrol. Opa sama Oma mau istirahat duluan” kata Pak Sudarmanto berdiri mengajak isterinya bangkit.
“Reiko, kasih tahu Ade dulu kamar tidurnya” kata Ny. Rey pada putrinya.
“Ayo De, Mama kasih tahu kamarmu!” ajak ibu Harry, Ade berdiri, juga Harry sambil menenteng tas. Mereka menuju kamar tamu yang berada tak jauh dari ruang duduk tadi. Mereka memasuki kamar itu. Sebuah kamar yang cukup luas, sebuah tempat tidur besar dengan penutup berwarna putih berrenda biru muda pucat. Jendela kaca besar dengan tirai putih berbunga-bunga. Di sudut sebuah kamar mandi kecil. Di meja rias sebuah lampu duduk dengan kap putih susu dan sebuah foto berbingkai keramik. Foto Ny. Reiko Setyanto dengan Harry, Rizal dan Ayahnya yang berpakaian militer.
“Ade tidur disini malam ini ya, Harry tidur di sebelah. Mama tidur di sebelah kamar Opa”kata Ny. Reiko Setyanto.
“Kalau ada perlu atau sakit lagi, panggil Harry ya” katanya lagi. Ade mengangguk. Kemudian Ny. Reiko Setyanto meninggalkan Ade dan Harry.
“Ade, sudah ngantuk?” tanya Harry. “Kita ngobrol di teras yuk” ajak Harry, sambil menggandeng Ade keluar kamar. Ny. Reiko Setyanto baru saja hendak mematikan lampu ruang duduk. Harry mencegahnya.
“Mam, biarkan menyala, kami mau duduk di teras dulu!” kata Harry.
“Oke, Mama duluan tidur ya!” kata Ny. Reiko Setyanto, kemudian bergantian memeluk Ade dan Harry sebelum meninggalkan mereka.
Harry meraih bahu Ade, mengajaknya duduk di teras. Halaman sangat sepi, pintu gerbang sudah terkunci rapat. Lampu taman menyala terang pada bagian sudut halaman. Teras sebagian agak gelap terlindungi rambatan bunga bougenville aneka warna. Ade dan Harry duduk di sofa besar sambil berpelukan.
“Ade sebenarnya kau masih nggak percaya ya tentang itu…yang delapan tahun itu?” tanya Harry. Ade menggeleng.
“Tapi kenapa masih ragu?” tanya Harry lagi.
“Ini, kalau aku ragu, aku nggak akan pakai!” kata Ade mengangkat lengan kanannya memperlihatkan gelang yang tadi pagi di hadiahkan Harry padanya. Gelang itu berkilau dalam gelap.
“Mas Harry, gelang ini akan kupakai terus kecuali kau menghianatiku! Kalau sampai itu terjadi seperti Alan, bukan gelangnya yang akan kubuang, tanganku! Itu isyaratku bahwa cintaku juga nggak logis! Nggak logis kan! Hey, Mas Harry…kok diam sih!” kata Ade. Harry sebenarnya kaget mendengar ucapan Ade.
“De, aku berterima kasih kau menerimaku akhirnya! Tapi jangan potong tangan ya! Aku nggak punya niat menyakitimu seperti itu. Lagi pula bagaimana kau bisa memelukku kalau nggak punya tangan!” kata Harry mencandai Ade.
“Eh… kok nggak ngerti sih! Sudah berhianat, masih juga minta dipeluk peluk! Aduh… keterlaluan sekali!” kata Ade tertawa. “Sekarang aja deh pelukannya, takut aku sudah nggak punya tangan lagi nanti” katanya manja, sambil memeluk Harry.
“Boleh, nanti aku kasih bonus! French kiss!” jawab Harry.


OLEH-OLEH


Ade masuk kamar tidur sekitar jam dua belas setelah duduk duduk di teras bersama Harry. Hujan gerimis ketika Ade naik ke tempat tidur. Tertidur hingga alarm dari telponnya berbunyi pada subuh ini. Ade bangkit, menyalakan lampu tidur di meja samping. Dibukanya tirai jendela, masih gelap, tapi pohon-pohon cemara yang berfungsi sebagai pagar halaman sudah terlihat jelas. Ade menyalakan lampu kamar. Ade mendengar suara-suara dari luar kamarnya, rupanya sudah bangun semua. Setelah selesai mandi Ade merapikan rambutnya, tanpa make up dan keluar kamar menuju ruang keluarga.
Pak Sudarmanto dan isterinya sedang duduk menonton televisi
“Selamat Pagi Opa, Oma” sapa Ade memberi salam.
“Selamat pagi De, bisa tidur nyenyak nggak?” Pak Sudarmanto, isterinya hanya tersenyum memandang Ade. Ade mengangguk. Dari belakang Ade muncul Ny. Reiko Setyanto, membawa baki berisi minuman hangat dan roti.
“De, bangunkan Harry, dari tadi Mama panggil belum juga keluar kamar!” kata Ny. Reiko Setyanto.
“Baik Ma” jawab Ade berjalan kembali ke arah kamar Harry. Di ketuknya kamar Harry sambil mendorong pintunya. Pintu terbuka, ternyata Harry sedang membaca majalah sambil berbaring di tempat tidur.
“Masuk De!” ajak Harry sambil bangkit melambaikan tangannya menyuruh Ade masuk dan mendekatinya.
“Mas Harry!Dipanggil Mama!” kata Ade masih berdiri di ambang pintu.
“Iya, Nanti dulu, lihat ini!” kata Harry menunjukkan majalah yang sedang di pegangnya. “Ada berita tentang pendapat eksekutif perusahaan garment tentang usaha retail nih!” kata Harry tersenyum. Ade jadi tertarik dan mendekati Harry.
Ade membaca judul berita pada halaman majalah berita terkenal itu.
“Design pakaian jadi Indonesia punya nilai plus sebagai produk ekspor”
Ade melanjutkan membaca isi berita. Dra. Alexandra Lusiana, Promotion Manager sebuah perusahaan pakaian jadi merek terkemuka mengatakan: Bisnis pakaian jadi sangat potensial bagi perekonomian Indonesia. Dia mengemukakan itu ketika di temui reporter media ini di seminar “Prospek pakaian jadi untuk retail dan ekspor” yang di selenggarakan Asosiasi Produsen Garment pada Kamis minggu lalu. Menurut Alexandra Lusiana, industri ini banyak menyerap tenaga kerja, tidak hanya level buruh tapi juga yang lebih khusus, orang-orang dengan kreatifitas yang tinggi.
Jadi pengusaha perlu menciptakan kesempatan yang luas agar ide kreatif berkembang baik, sehingga produksi pakaian jadi punya nilai plus dan khas dibandingkan dengan produksi negara Asia lainnya. Menurut gadis cantik yang telah menekuni pekerjaannya sebagai eksekutif perusahaan pakaian jadi sejak lulus dari kuliahnya ini, keunggulan produk Indonesia adalah disain yang unik. Sedangkan kelemahan produk adalah dalam ketepatan waktu pengiriman pesanan dan konsistensi antara produk contoh dengan produk yang dikirim.
Menurut Alexandra Lusiana yang sering dipanggil Ade ini, jika ingin mengembangkan sektor ini lebih serius perlu membenahi beberapa hal yang dirasakan saat ini sangat menghambat. Antara lain dia sebutkan, prosedur pengiriman yang berbelit dan lama, kemudahan dalam investasi peralatan produksi, perlindungan hak cipta, dukungan politis bagi produk ekspor dan imbalan yang memadai bagi disainer tekstil dan pakaian itu sendiri.
Ade yang wajahnya mirip seorang top model Ibukota, juga menyatakan produsen harus melakukan riset agar tidak sembarang produksi. Karena menurut Ade, meski untuk negara-negara Asia, produk Indonesia harus dapat menentukan desain yang tepat sesuai dengan selera masyarakat negara tujuan. Sebagai contoh, untuk pakaian jadi ke Malaysia berbeda dalam hal disain, warna dan assessoriesnya dibandingkan untuk Korea Selatan atau Jepang. Demikian juga ada perbedaan produk untuk negara-negara Amerika Selatan dan USA atau Eropa. Lalu batik juga begitu, batik pesisir modern yang lebih warna warni mungkin cocok untuk negara Asia, sedangkan jumputan, sasirangan atau kain songket, tapis dan kain bordir perlu pendekatan khusus agar sama dengan batik, dikenal sebagai tekstil Indonesia.
Masih ada lanjutan berita utama itu, berupa pendapat eksekutif puncak beberapa perusahaan lain, tapi Ade tak meneruskan membacanya. Ade kemudian melihat fotonya dibagian samping teks berita berdampingan dengan foto seorang eksekutif puncak group perusahaan pakaian jadi yang sangat terkenal. Harry masih berdiri disamping Ade yang mengamati majalah. Harry melihat Ade tersenyum, kemudian menyerahkan majalah itu kepada Harry.
“De, siap-siap ya jadi pengusaha garment!” Harry sambil mengajak Ade keluar kamar. Ade segera meletakkan majalah itu di meja samping dan mematikan lampu. Tapi Harry justru mengambilnya kembali.
“Kasih lihat Opa” kata Harry. Mereka berdua keluar kamar bergabung dengan kedua kakek, nenek dan ibu Harry.
“De ayo, ini minum dulu, masih hangat” kata Ny. Rey Sudarmanto menyambut Ade. “Sini duduk disini!” lanjutnya menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Ade duduk.
“Kok, Mama panggil dari tadi nggak keluar, tidur lagi Har?” tegur Ny. Reiko Setyanto.
“Nggak tidur Mam, baca majalah, ada berita tentang Ade tuh!” kata Harry tersenyum.
“Oh… tentang apa?” tanya Pak Sudarmanto tertarik, isterinya juga menoleh pada Ade.
“Itu berita kecil Opa, hanya menjawab pertanyaan wartawan saja” kata Ade serius.
Harry menyerahkan majalah pada Opanya, membukakan halaman yang memuat artikel itu. Ny. Reiko Setyanto segera mendekati ayahnya, sementara Ny. Rey juga bergeser mendekati suaminya. Kepala mereka hampir beradu. Ade memperhatikan mereka bertiga membaca berita itu, menunggu komentar. Harry malah duduk disamping Ade sedang menuang kopi dan menambahkan susu ke cangkirnya. Kemudian menyerahkannya pada Ade.
“Wah, kau punya visi pengusaha! Pendapatmu bagus! Apa Ade memang mau jadi pengusaha garment?” kata Pak Sudarmanto.
“Saat ini cari pengalaman dulu dan belajar pemasaran, Opa” jawab Ade lalu melanjutkan “Kalau ada dana sebenarnya saya mau juga jadi pengusaha, soalnya gemas, peluang ekspor besar sekali belum digarap dengan baik” kata Ade.
“Klop sudah! Ini yang Opa mau. Ade, Opa dan Oma punya usaha garment di Ungaran dan Pekalongan yang problemnya seperti pendapat yang kau sampaikan di artikel itu” kata Pak Sudarmanto. Kemudian melanjutkan bicaranya “Harry, coba nanti kalau ada waktu ajak Ade lihat bisnis Opa. Apa dia tertarik untuk mengembangkan. Jadi konsultan juga boleh!” kata Pak Sudarmanto.
Ade tertawa mendengar ucapan Pak Sudarmanto itu, merasa tersanjung.
“Opa, sebenarnya saya belum apa-apa, masih minim pengetahuan” kata Ade merendah, tapi juga sungguh-sungguh.
“Itu baik De, kau harus terus belajar, tapi juga harus berani untuk memulai. Opa pikir kamu punya visi pengusaha dan punya pengamatan yang baik terhadap bisnis ini” kata Pak Sudarmanto, masih memegangi majalah.
“Untuk jadi pengusaha tinggal belajar dan fokus saja. Latar belakang pendidikan dan pengalaman cukup” Pak Sudarmanto.
“Oma setuju saja soal bisnis. Tapi yang penting urusan mereka beres dulu. Kita harus ketemu orang tua Ade. Nanti dikira kita tidak punya sopan santun” kata Ny. Rey.
“Betul kata Oma. Ade, orang tuamu kapan kembali ke Indonesia?” tanya Pak Sudarmanto.
Ade tak menyangka arah pembicaraan pagi ini menjadi serius tentang hubungan dia dan Harry. Harry menatap Ade tanpa bicara.
“Papa dan Mama pulang pertengahan Januari bersama kakak dan anak-anaknya” jawab Ade.
“Tapi Opa, mereka belum mengetahui apa-apa tentang hubungan saya dengan Mas Harry” lanjut Ade agak bingung.
“Karena itu De, kami harus berkenalan dulu. Jadi bukan langsung melamar, kalau langsung bisa kaget mereka” kata Ny. Reiko Setyanto.
“Tentu saja sebelum itu Harry harus lebih dulu memperkenalkan diri” lanjut Ny. Reiko Setyanto. Ade dan Harry mengangguk setuju.
Matahari pagi sudah mulai muncul. Dari jendela ruang keluarga tempat mereka duduk sarapan pagi terlihat deretan pohon cemara yang menjadi pagar hijau halaman. Hamparan rumput yang luas dengan beberapa gerumbul tanaman berbunga biru. Embun pagi masih mengambang. Ade selalu tertarik untuk berjalan jalan di pagi hari. Kebiasaan yang dilakukan orang tuanya, sejak dia kecil sekali jika hari libur, setelah sholat subuh mengajak Ade dan kedua kakaknya jalan pagi sebagai olah raga. Biasanya mereka sekalian beli untuk makan pagi. Bubur ayam, lontong, ketupat sayur atau nasi uduk.
“Oma, saya boleh jalan-jalan lihat kebun ya?” tanya Ade meminta izin.
“Oh… tentu boleh, pakai jaket dulu, di luar dingin” jawab Ny. Rey.
“Oma, Ade paling suka udara dingin” kata Harry tertawa. “Satu lagi, dia paling suka jalan pagi pagi” lanjut Harry.
“O begitu toh!” kata Pak Sudarmanto. ”Itu kebiasaan bagus, udara pagi itu kan segar, sehat” lanjutnya.
“Kami sekeluarga bangun pagi sekali, subuh malah. Setelah sholat bersama, kami keluar jalan-jalan atau lari, baru sarapan. Papa Mama sangat disiplin, jadi kami tidak bisa bangun siang-siang, akhirnya sudah terbiasa. Mau kembali tidur juga sudah nggak bisa lagi” kata Ade menjelaskan.
“Kalau kami ke Semarang, subuh sekali kami lari-lari dari hotel Siranda ke arah Simpang Lima, terus mengelilinginya baru kembali lagi ke hotel” kata Ade melanjutkan ceritanya.
“Oh… Ade sering ke Semarang ya?” tanya Pak Sudarmanto. Ade mengangguk.
“Adik perempuan Papa, Tante Irma tinggal di sini” jawab Ade.
“Ayo deh, sama Oma jalan-jalannya!” ajak Ny. Rey, Ade segera bangkit.
“Kami pergi dulu ya!” kata Ade pamit, berjalan dengan Ny. Rey ke halaman rumah.
Udara dingin akhir bulan Oktober yang basah menyambut mereka. Segar dan ada wangi rumput serta bunga bakung yang ramai berbunga ditanam diujung teras. Bunga bakung yang putih kontras dengan daunnya yang lebar dan hijau segar. Ade menghirup udara segar dengan merentangkan kedua tangannya. Ny. Rey tersenyum melihat ulah Ade.
Ternyata Ny. Rey mengajak Ade berbelok ke samping kiri rumah, menapaki jalan setapak berbatu kerikil warna putih menuju ke ujung halaman. Tadi malam Ade sudah melihat bangunan itu, tak mengira ternyata sebuah bangunan yang luas beratap joglo. Lebih seperti bangunan wantilan di Bali yaitu bangunan yang sebagian tanpa dinding. Bagian yang tertutup dinding sekitar sepertiga dari luas bangunan. Sedang kan bagian yang terbuka biasanya untuk duduk berangin-angin dan ngobrol.
“Ade, ini studio Oma. Masuklah! Oma punya koleksi batik tulis dan tekstil Indonesia juga bordir” kata Ny. Rey menaiki tangga bangunan itu, kemudian mengambil kunci dari saku jaketnya. Ade mengikuti Ny. Rey masuk ke dalam ruangan yang cukup luas dan takjub melihat koleksi yang indah, tertata rapi.
“Oma, ini bagus-bagus! Sejak kapan Oma mengumpulkan ini?” kata Ade kagum.
“Sejak Oma menikah dan tinggal disini. Beberapa batik antik adalah hadiah dari mertuaku, batik Solo” jawab Ny. Rey. “Oma tertarik dengan ragam hias tekstil di Indoensia. Sangat banyak dan indah” lanjutnya.
Di lemari yang berderet di dinding, Ade juga melihat koleksi songket dalam gulungan dengan di bungkus kertas putih tipis. Songket Bali, Palembang, Sumatera Barat, kain Tapis dari Lampung, sarung Bugis dan sarung Samarinda. Beberapa batik gaya Cirebon, Sukapura, Solo, Pekalongan, Lasem dan tentu saja Yogya. Kain jumputan dan Sasirangan asal Kalimantan Selatan dan kalin pelangi dari Palembang yang tehnik pembuatannya mirip. Juga terdapat beberapa kain dari pulau-pulau di daerah timur Indonesia. Beberapa koleksi foto tua mereka yang memakai kain-kain itu dengan bingkai kayu terpaku di dinding. Pada sudut lain Ade melihat rak buku tinggi hingga ke atas plafon. Isinya berupa buku tentang tekstil. Satu diantaranya tentang batik yang di tulis seorang designer Indonesia, tentang tekstil dan ragam hias dari India, Jepang dan Skotlandia. Buku tentang smook , cara menghias kain, bordir. Hampir semuanya dalam bahasa Inggris. Ade menemukan juga buku tentang Ikebana dan Origami, cara melipat kertas, dalam hurup Kanji. Ny. Rey senang memperhatikan Ade yang penuh minat pada koleksinya.
“Oma, apa nggak ada niat buat dipamerkan?” tanya Ade. “Koleksi ini bagus sekali” lanjutnya. Ny. Rey tertawa kecil.
“Pernah terpikir. Tapi sekarang ini banyak yang datang untuk studi saja. Biasanya designer atau mahasiswa” kata Ny. Rey.
“Ade, masih mau jalan-jalan?” tanya Ny. Rey.
“Oh, iya Oma, jadi asyik nih!” jawab Ade lalu bangkit dari duduknya bersama dengan Ny. Rey meninggalkan bangunan itu menuju ke arah belakang. Masih menyusuri jalan berbatu. Rupanya halaman belakang jauh lebih luas dari pada halaman depan. Seluruhnya berupa lapangan berumput, dengan pagar pohon pinus yang sudah cukup tinggi.
“Ade, olahraga kami ya berjalan pagi setiap hari mengitari halaman. Cukup capek juga. Kalau Harry biasanya lari empat kali, tapi hari ini mungkin dia lagi malas. Dia kalau pulang ke Semarang pasti menginap disini. Kau juga begitu ya De! Bisa di studio Oma lebih lama” kata Ny. Rey.
“Ya Oma! Pantes Oma dan Opa sehat, halaman ini kan luas sekali” kata Ade.
“Iya, nanti pertemuan juga diadakan di halaman. Nah itu Pak Yon lagi siap-siap” kata Ny. Rey. Ade melihat dua orang pria sedang mengembangkan payung taman dan menyusun kursi plastik putih. Sebuah meja kayu persegi panjang sudah terpasang. Ade dan Ny. Rey mendekati mereka. Mereka mengangguk hormat, rupanya keduanya pembantu keluarga itu. Seorang tukang kebun dan supir.
“Nyonya, orang catering sudah datang” kata Pak Yon. “Itu sedang menurunkan barang” katanya melanjutkan.
“Oh begitu, masih tiga jam lagi. Mereka sudah tahu tempatnya kan?” kata Ny. Rey. “Saya tinggal ya Pak Yon” kata Ny. Rey sambil mengajak Ade meneruskan menyusuri sisi lain halaman hingga ke samping kanan rumah. Mereka menemukan Pak Sudarmanto dan Harry sedang berada di teras samping sedang ngobrol, di atas meja terbentang sebuah surat kabar pagi edisi nasional.
“De! Nih lihat kamu jadi berita lagi!” kata Harry tersenyum melambaikan koran begitu Ade dan Ny. Rey sudah dekat.
“Hebat, malah jadi selebritis!” kata Harry lagi. Pak dan Ny. Sudarmanto tertawa.
“Ah…. Mas Harry bercanda!” kata Ade tak percaya, karena dia merasa saat wawancara hanya berkaitan dengan isi seminar saja, tidak ada hal lain.
“Betul De, Opa juga baca!” kata Pak Sudarmanto. Harry mendekati Ade, menyerahkan surat kabar. Ade memang menemukan fotonya yang sama dengan foto dia di majalah tadi, hanya kali ini besar dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda. Itu sebuah kolom tentang profile tokoh atau orang ternama. Ade heran dia bisa muncul di rubrik itu, membaca teks dibawahnya.
Alexandra Lusiana, eksekutif perusahaan garment yang hadir pada sebuah seminar Kamis lalu, sempat jadi pusat perhatian para wartawan. Bukan wartawan ekonomi saja tapi juga wartawan mode. Pasalnya, dalam seminar itu, dia yang tampil sebagai nara sumber tidak saja terampil menjawab pertanyaan soal industri pakaian jadi dan mode. Tapi juga karena penampilannya sangat pas dengan dunia usaha yang di gelutinya. Cantik, mungkin berdarah campuran asing, matanya coklat muda terang dengan hidung mancung, tinggi langsing dan berpakaian modis, bak model. Kabarnya gadis alumni perguruan tinggi negeri ternama ini sewaktu masih mahasiswa pernah menolak ditawari menjadi model oleh seorang disainer top, Kamajaya. Disainer itu mengaku pada wartawan bahwa dia waktu itu sangat kecewa, karena melihat potensi Alexandra yang begitu besar sebagai peragawati dan model. Tapi kini Kamajaya ketika bertemu kembali dengan Alexandra di seminar itu mengakui bahwa keputusan Alexandra sungguh tepat. Kini Alexandra makin matang, cantik dan bahkan tampil prima membahas masalah dunia usaha pakaian jadi.
Saat di rubung wartawan, gadis yang mengenakan setelan blazer dan celana panjang biru tua dengan bros biru langit berbentuk daun menempel di dada, sangat serasi dengan dirinya. Rambut coklatnya sebatas bahu, riasan wajahnya tipis saja, cuma lipstick merah muda saja. Sayangnya Alexandra tidak bersedia menjawab pertanyaan yang bersifat pribadi. Padahal salah satu pertanyaan wartawan adalah apakah dia sudah punya pacar? Malah seorang wartawan mengaku dapat titipan pertanyaan itu dari salah seorang pengusaha muda yang juga putra seorang konglomerat yang hadir di seminar itu. Ada-ada saja! Tapi reporter tidak kecewa karena penolakannya. Soalnya mereka sudah berhasil memotret gadis itu. Senyumnya itu lho, seperti lirik lagu pedangdut terkenal….. terbayang-bayang dimata…..
Ade selesai membaca artikel kecil itu, kemudian mengangkat wajahnya. Harry tertawa melihat Ade jadi lesu. Dia tahu Ade tak suka dengan berita semacam itu.
“Ade tahu nggak, Pak Kamajaya itu sering kesini, itu lihat koleksi tekstil Oma di studio. Sudah seperti keluarga saja” kata Pak Sudarmanto.
“Oh ya! Dia sering mengajak saya lihat tekstil langka ke Semarang. Rupanya kesini!” kata Ade. “Nanti kalau ketemu dia lagi, saya akan cerita saya sudah kesini” lanjut Ade.
“Oh jadi dulu kamu bilang pernah ikut fashion show itu sama dia? Ya ampun De….. aku cari kamu delapan tahun! Nyatanya Mas Kamajaya malah dekat sama kamu!” kata Harry menyesali.
“Padahal hampir tiap bulan ketemu dia, nggak pernah cerita apa-apa! Buset deh…. Nasib gue!” kata Harry tertawa. Opa dan Omanya tertawa mendengar keluhan Harry.
“Ah Mas Harry, gitu aja menyesal! Itu tolongi aku biar wartawan nggak bikin gosip” kata Ade. “Kalau berita yang di majalah oke aja, yang kolom gosip ini nggak seru ah! Mana nanti Rabu ada seminar lagi!” lanjut Ade.
“Gampang, bilang aja terus terang, calon suamimu Harry. Berani nggak?” kata Harry menantang Ade.
“Apa? Mau jadi inceran wartawan juga? Apa nggak cukup top jadi artis Korea?” tantang Ade sambil tertawa. Pak Sudarmanto dan Ny. Rey tak mengerti arah pembicaraan Ade, jadi mereka hanya memandang Ade dan Harry.
“Opa, Oma, Mas Harry kan sekarang kalau di tempat umum jadi pusat perhatian wanita, dia mirip bintang film top asal Korea! Apalagi sekarang sering ikut seminar, heboh!” kata Ade menceritakan. Harry hanya tertawa saja.
“Biar bagaimanapun Ade sudah dikenal umum lewat pemberitaan dua media, jadi tindakan kalian berdua harus hati-hati. Jangan sampai muncul berita negative” kata Pak Sudarmanto. “Maka itu Opa pesan, jaga hubungan kalian baik-baik! Jangan sampai jadi konsumsi publik!” katanya melanjutkan.
“Dikenal prestasi kita lewat media pasti bagus, urusan mungkin lebih mudah. Jadi jangan juga menjauhi reporter. Kerjasama, apalagi seperti Ade di bidang promosi gitu” kata Ny. Reiko yang datang bergabung di teras.
“Betul Ma, dua bulan lagi, bagian yang saya koordinir diganti nama dan tugasnya jadi Divisi Komunikasi Pemasaran. Beberapa bagian bergabung, Iklan, Sales Promotion, PR. Jadi lebih berat dan lebih banyak kontak sama reporter dan media massa” kata Ade.
“Jadi kau dapat promosi jabatan dong!” kata Harry tersenyum. Ade mengangguk.
“Iya, restrukturisasi semua bagian. Tambah lagi ada program ISO, jadi di kantor lagi panik gitu deh” ujar Ade menjelaskan.
“Ada yang tersingkir nggak? Hati-hati lho, soalnya kamu kan termasuk orang baru terus naik lagi!” ujar Harry memperingatkan. Pak Sudarmanto memperhatikan wajah Ade yang terlihat santai.
“Sudah dua, Pak Bob dan Bu Like, GA sama Purchasing . Memang sekarang mereka lagi bergosip. Berhubung bidang tugas beda jadi dia sulit cari kelemahanku. Kalo menyindir sih ada!” kata Ade tersenyum. “Sedang yang bergabung di bawah aku dulu program mereka banyak yang aku bantu. Jadi sungkan sama aku. Sementara ini aman kok Mas!” kata Ade lagi optimis.
“Oh bagus kalau gitu!” kata Harry.
“Oh sudah jam delapan lewat nih, ayo siap-siap. Nanti jam sembilan tamu pada datang lho!” kata Ny. Reiko Setyanto mengingatkan. Mereka semua bangkit, masuk kedalam rumah. Udara pagi sudah mulai hangat, langit terlihat cerah. Awan gelap sudah sirna. Siang ini mungkin cerah, tanpa hujan.


ROMUSHA


Ade masuk ke kamar tidurnya, menutup pintunya. Merebahkan dirinya di tempat tidur. Meski tidak menangis, Ade merasa sangat sedih. Dia tak menyangka Mama tak bisa menerima hubungannya dengan Harry. Alasan Mama sangat sulit dimengerti Ade. Selama ini Mama tak pernah membedakan siapapun. Mengapa Harry berbeda baginya? Perdebatan dengan Mama di depan Papa di meja makan tadi membuat Ade bingung. Ada apa dengan Mama?
Sebulan lalu ketika Harry bersama Ade menjemput Mama dan Papa di bandara, tak ada kesan Mama tidak suka pada Harry. Malah asyik ngobrol bertiga dengan Papa. Juga sangat berterima kasih pada Harry ketika mendengar Harry yang membawa Ade ke rumah sakit, ketika Ade kena typus. Malah menyuruh Harry sering-sering datang ke rumah.
Harry memang sering datang ke rumah Ade. Mama dan Papa melihat hubungan khusus Ade dan Harry. Sampai ketika Sabtu malam, seminggu lalu, mereka berempat pergi makan malam ke sebuah restoran di kawasan Kemang. Bukan makan malam resmi, hanya untuk bersantai. Restoran itu terkenal makanannya enak dan suasananya menyenangkan, tidak berisik. Lebih banyak dikunjungi keluarga atau pebisnis. Kesitulah Ade dengan orangtuanya dan Harry malam itu.
Mereka segera mendapatkan tempat duduk dan memesan makanan. Papa terlibat obrolan serius dengan Harry soal politik. Mama menceritakan soal Tante Frida, ibu Richard yang mulai sakit sakitan. Terutama sakit rematiknya yang makin terasa di musim dingin seperti bulan Desember lalu. Mama memintanya pulang ke Indonesia saja. Lagi pula Mama lebih senang dia disini bersamanya.
”Saya permisi, ke mobil dulu, telpon saya tertinggal di mobil” kata Harry, ketika teringat telepon genggamnya tertinggal di mobilnya. Kemudian berjalan ke arah pintu. Tepat saat itu empat pria Jepang justru mau masuk. Salah seorang diantara mereka mengenali Harry. Langsung menyapanya. Rupanya dia Okada, bos Ade.
”Harry san! Selamat malam!” sapa Okada lalu membungkuk menghormat dengan gaya Jepang. Harry tentu saja membalas salam hormat itu dengan gaya yang sama. Dari jauh Ade melihatnya, Mama dan Papanya juga melihat ketika Harry juga dikenalkan Okada dengan pria lainnya. Mereka bicara sebentar, bertukar kartu nama kemudian Harry menunjuk ke arah Ade duduk. Ade terpaksa berdiri, karena bagaimanapun Okada atasannya. Dia menghampiri mereka, memberi hormat juga dengan gaya Jepang.
Ketika makan malam sudah selesai, Mama bertanya pada Harry.
”Nak Harry, tadi memberi hormatnya luwes sekali. Apa memang sering bergaul dengan warga Jepang?” tanya Mama. Harry tertawa. Tak mengira yang disampaikan akan membuat keadaan berubah, Ade langsung bercerita.
”Mam, dia memang punya nenek orang Jepang, makanya sudah nggak canggung!” kata Ade.
”Oh ya! Pantes kau mirip Jepang. Tadinya Mama kira keturunan Tionghoa! Apakah nenekmu tinggal di Indonesia?” tanya Ny. Jatmiko lagi.
”Ya, Oma tinggal di Semarang sejak menikah dengan Opa” jawab Harry. ”Oma sudah jadi warga negara Indonesia” lanjut Harry.
”Oh, kau sama seperti Ade, punya nenek bukan asli Indonesia” kata Ny. Jatmiko lagi tertawa.
’Betul Tante, tapi Oma sangat cinta Indonesia lho” kata Harry.
”Ibuku asal Belanda, dari keluarga Van Gelder. Biasanya Jepang juga punya nama keluarga, apa nama keluarga nenekmu?” tanya Ny. Jatmiko lagi.
”Hiraoka, Tante” jawab Harry ”Nama Oma saya Rey Hiraoka” lanjut Harry.
”Apa? Hiraoka! Oh..... Hiraoka!” kata Ny. Jatmiko lagi, terkejut. Wajahnya berubah muram.
Ade dan Harry jadi terkejut, tapi tak tahu apa penyebab Ny. Jatmiko kaget. Mulai menangis sambil menutupi wajahnya. Ade memandang Mamanya. Memegangi pundak Mamanya.
”Mama, apa Mama kenal? Ma?” kata Ade. ”Pa, ada apa ini?” tanya Ade bertanya pada ayahnya. Pak Jatmiko hanya terdiam, kemudian menepuk nepuk pundak isterinya.
”Mam, tenang! Ada banyak nama Hiraoka, pasti bukan dia” kata Pak Jatmiko. Mendengar itu Harry bertanya.
”Om, ada apa dengan keluarga Hiraoka?” tanya Harry.
”Harry, nanti saja Om jelaskan! Kita pulang saja!” jawan pak Jatmiko.
Sementara itu Ny. Jatmiko sudah mulai tenang. Tetapi tidak mau bicara lagi. Ade benar-benar bingung. Mereka kembali ke rumah dalam suasana tertekan. Ny. Jatmiko sama sekali tidak berbicara apapun. Duduk diam di jok mobil belakang. Masuk ke dalam kamarnya begitu tiba di rumah. Harry duduk di teras samping di temani Pak Jatmiko.
”Om, sebenarnya ada apa dengan Tante. Sepertinya tadi nama keluarga nenek saya membuat Tante jadi begini” kata Harry memulai bicara.
”Benar Harry, Om minta maaf! Tante tadi emosi. Itu berkaitan dengan ayahnya yang hilang ketika pendudukan Jepang di Indonesia” kata pak Jatmiko.
”Oh.... tapi apa hubungannya dengan Oma saya?” kata Harry bingung. Dia menunduk terdiam, pikirannnya berkecamuk pada beberapa kemungkinan. Harry mulai khawatir kejadian ini akan mempengaruhi hubungannya dengan Ade. Seandainya itu terjadi... uh Harry tak berani memikirkannya. Saat ini, hubunganku dengan Ade begitu jelas arahnya.
”Harry, nama keluarga nenekmu pasti mengingatkan dia dengan tentara Jepang yang menculik ayahnya. Sampai sekarang ayahnya tidak kembali, mungkin sudah meninggal. Dipaksa jadi romusha ” kata pak Jatmiko menjelaskan.
”Om tolong kasih tahu Tante, Oma saya tidak ada hubungan dengan tentara Jepang itu” kata Harry.
”Baik Harry, Om akan berusaha menjelaskan sama Tante. Hanya Om kira perlu waktu. Tapi Om juga harus tahu siapa sebenarnya keluargamu, jika memang tak ada hubungan dengan Kempetai itu kita akan bisa membuat isteriku tenang” kata Pak Jatmiko.

”Setahu saya Oma bukan dari keluarga militer, ayahnya seorang dosen. Pernah mengajar di universitas di Amerika. Oma punya kakak laki-laki, juga menjadi dosen, menikah dengan wanita Amerika. Oma punya adik perempuan, Yoko menikah dengan keluarga Fukawa, sekarang tinggal di Kyoto. Oma bertemu dan menikah dengan Opa di Amerika. Nama Jepang Oma Rey Hiraoka sejak menikah dengan Opa dan jadi muslim mendapat nama Annisa. Malah Oma sudah menunaikan ibadah haji” kata Harry.
”Opa namanya Sudarmanto sebenarnya asal Solo, karena usahanya tinggal di Semarang. Ibu saya Reiko Setyawati adalah anak nomor dua. Ayah saya asal Semarang, justru seorang tentara, sudah meninggal karena kecelakaan helikopter waktu saya masih sekolah dasar” lanjut Harry menceritakan.
”Harry, tadi kau bilang ayahmu tentara, siapa namanya?” tanya Pak Jatmiko, rupanya dia tertarik karena dia juga pensiunan tentara.
”Nama ayah Imam Setyanto, Om! Masuk akademi militer tahun enam puluh dua!” jawab Harry. Harry memang tahu ayah Ade pensiuan militer.
”Oh...Imam Setyanto..... apakah yang kecelakaan di Palembang?” tanya Pak Jatmiko.
”Iya Om” jawab Harry, heran.
”Hm... aku ingat, letnan kolonel Angkatan Darat kan? Kau tahu, peti jenazahnya Om yang antar sampai Jakarta. Waktu itu Om pilot pesawat Hercules Angkatan Udara” kata Pak Jatmiko tertawa senang seperti menemukan teman lama saja. Dia dengan hangat menepuk nepuk pundak Harry.
Harry tak menyangka menemukan fakta ayahnya almarhum malah pernah berkenalan dengan ayah Ade. Menurut beliau, mereka bertemu dalam suatu latihan gabungan. Meski tidak akrab, tapi saat itu mereka pernah saling bercerita dan menunjukkan foto keluarga mereka masing-masing. Tapi kemudian tak pernah bertemu lagi.
”Memang takdir, kau bisa bertemu Ade. Jadi waktu upacara penyerahan jenazah, kita sudah pernah bertemu dong. Om ingat sekarang ” kata Pak Jatmiko. Mereka meneruskan bicara hingga Ade muncul.
Ade masuk kekamar ibunya, mendapati Ny. Mathilda Jatmiko, Mamanya sedang menangis. Ade tak pernah melihat Mamanya begitu sedih.
”Ma, sebenarnya ada apa? Mama, kami bingung sekarang” kata Ade sambil duduk di tempat tidur ibunya. Ibunya mengangkat wajahnya, menatap Ade.
”Ade, dengarlah, Mama ingin ceritakan mengapa Mama begitu membenci mereka” kata Ny. Mathilda Jatmiko.
”Ma, mereka itu siapa? tanya Ade tak sabar.
”Mama punya masa kecil yang sedih De!” kata Ny. Mathilda Jatmiko memulai kisahnya, meski masih terisak isak.
Aku lahir tahun 1941 di Magelang. Tempat kelahiran ibuku. Ibuku, Sophie Van Gelder wanita Indo, ayahnya pria Belanda, sedang ibunya wanita Jawa. Kakek meninggal ketika pulang dari kunjungan tugasnya ke daerah. Demam tinggi, mungkin kena malaria, kemudian meninggal.
Meski masih belum sekolah, tapi aku sudah mulai diajari ibuku menulis dan membaca. Juga berhitung dan menggambar. Selain belajar, kerjaanku bermain dengan tetanggaku Ani, anak seorang priyayi. Di rumah aku suka bermain dengan si Pon, anak pembantu kami. Aku suka sekali bermain congklak. Anak congklak kami kumpulkan dari batu kecil dari halaman rumah. Kami pilih yang bulat dan licin. Pokoknya waktu itu aku sangat bahagia.
Ayahku, kakekmu bernama Ichsan, dia berasal dari Kalimantan. Dia sekolah guru di Jogya kemudian menikah dengan ibuku. Hampir setiap sore aku diajak naik sepeda oleh ayahku mengelilingi kota Magelang. Bagi anak kecil se usia tiga tahun, ayah ibuku waktu itu adalah segalanya. Kami tak pernah berpisah.
Suatu malam, itu tahun 1943, aku sedang duduk di pangkuan ayahku mendengarkan dia membacakan buku cerita dongeng, ketika pintu rumah diketuk. Ibuku membukakannya, ternyata beberapa orang berdiri dengan pakaian tentara Jepang. Kempetai, lengkap dengan samurai mereka. Seorang diantaranya, mungkin komandan mereka menyuruh ayahku keluar.
Memang di tahun itu Jepang sudah menduduki pulau Jawa. Ayahku pun menurunkan aku dari pangkuannya. Aku mengikutinya dari belakang ke depan pintu. Ketika melihat komandan itu, ayahku rupanya mengenalnya, makanya dia memberi salam. ”Selamat malam Hiraoka san!” Dia tak menjawab salam ayahku, tapi mendorong ayahku untuk segera berjalan mengikutinya. Aku mendengar ibuku berteriak-teriak. ”Ichsan....Ichsan......!” juga aku mendengar ibuku berteriak berkali-kali memohon ”Hiraoka-san, jangan bawa suamiku!”
Ayahku, menurut kabar di bawa ke kapal yang berlayar menuju ke Selat Malaka. Kami pernah mendengar dia ada di Thailand, katanya berhasil melarikan diri. Tapi itu cuma kabar. Dia dijadikan romusha, hingga kini tak pernah ada kabar berita. Hilang! Kami tak pernah bertemu lagi sampai sekarang.
Setelah itu hidup kami benar-benar menyedihkan. Ibuku sakit berkepanjangan. Untung keluarga banyak membantu. Tapi pada tahun setelah Jepang pergi, kami juga masih bermasalah. Karena ibuku sebagai wanita berayah Belanda maka harus pergi meninggalkan Indonesia. Sedangkan aku tak bisa ikut bersamanya karena ayahku orang Indonesia. Keluarga ayahku ada di Kalimantan, tak bisa datang menjagaku. Saat itu alat transfortasi juga sangat sulit. Apalagi telepon. Aku di titipkan pada keluarga pihak nenekku di Magelang.
Kau bisa membayangkan kehidupan macam apa yang dialami gadis kecil usia belum sepuluh tahun, dipisahkan dari ibunya sedangkan ayah hilang tak tentu rimba. Aku bisa bertemu ibuku setelah perjuangan keras ibuku dan keluarga di Kalimantan agar kami bisa bertemu dan berkumpul kembali.
Bertahun-tahun, setiap malam aku menangisi ayah ibuku! Dua tahun kemudian Bude Sri, keponakan nenekku, tempatku bernaung juga meninggal, aku berpindah lagi pada keluarga lain, orang tua Tante Frida, Mama Richard, Aku juga tak punya kakak atau adik, jadi benar-benar sendirian.
Itulah sebabnya aku sangat kaget mendengar nama Hiraoka. Setiap hari aku tak pernah melupakan kejadian itu. Aku masih selalu mendengar suara teriakan ibuku memohon mohon, memanggil nama itu minta belas kasihannya. Nama yang membuat kami luka terkoyak. Aku kehilangan ayah karena dia, ibuku kehilangan suami karena dia. Ayahku entah dimana, kalau mati aku tak tahu makamnya ada dimana.
”Ade, bagaimana Mama bisa menerima kenyataan Harry masih keluarga Hiraoka! Selama ini, kau hanya tahu Opamu meninggal, kami mencoba melupakan peristiwa pengambilan paksa itu. Sekarang entah apa, malah kau jatuh cinta pada orang berdarah Jepang! Malah salah satu keluarga Hiraoka. Aduh De, Mama nggak sanggup” kata Ny. Mathilda kembali menangis.
Ade termangu mendengar cerita ibunya. Opa yang tak pernah di kenalnya ternyata seorang romusha, pekerja paksa. Yang lebih menggetarkan Ade, penyebab Opanya hilang adalah seorang tentara Jepang bernama Hiraoka. Nama keluarga dari nenek Harry, pria yang kini dicintainya.
”Ma, tapi itu kan kebetulan saja sama dengan nama keluarga Oma nya Harry” kata Ade mencoba mengingatkan ibunya.
”De.... jangan coba menghapus sejarah! Ayahku hilang gara-gara Hiraoka. Lalu apakah aku akan membiarkan anak gadisku dekat-dekat dengan anak cucu pembunuh ayahku! Tidak De! Aku tidak bisa!” kata Ny. Mathilda.
”Ma, jangan begitu! Coba kita tanya dulu Mas Harry, dia masih diluar sama Papa” kata Ade.
”Nggak perlu! Suruh dia pulang saja dan jangan datang lagi” kata Ny. Mathilda.
”Ma, hubunganku dengan Mas Harry bukan main-main. Aku tidak bisa mengusirnya begitu saja! Aku tidak mau!” bantah Ade.
”Oh.... sekarang kau sudah tidak peduli sama Mama ya De? Baik... silahkan, Mama tidak ingin dengar lagi urusan kamu. Sekarang keluar, Mama mau tidur!” kata Ny. Mathilda.
”Ma! Mama!” kata Ade, mencoba memeluk ibunya. Ny. Mathilda. berbaring memunggungi Ade, tak mempedulikannya hingga Ade memutuskan untuk keluar kamar ibunya. Ade mencoba untuk tidak menangis, dia tak ingin Harry jadi resah.
Ade menemui Harry yang sedang bicara dengan ayahnya di teras samping. Ade menyadari Harry telah mendapat informasi dari ayahnya.
”De, sini, Papa mau bicara!” pinta pak Jatmiko begitu melihat Ade.
”Agar masalah ini segera selesai, Papa mengundang keluarga Harry ke rumah kita. Berkenalan saja. Kata Harry keluarganya juga sudah lama ingin kenal keluarga kita. Kenapa Ade nggak pernah cerita?” kata Pak Jatmiko.
”Pa, Mama bagaimana? Tadi dia ....” kata Ade tak mampu meneruskan ucapannya. Papanya mengangguk, mengerti maksud Ade.
”Tenang, Mama urusan Papa. Yang penting Harry harus persiapkan keluargamu. Ceritakan latar belakang masalah ini, jadi tidak kaget kalau melihat sikap Mama” kata Pak Jatmiko.
”Jadi kapan waktunya, kalian yang atur! Sekarang Papa mau bicara sama Mama dulu” kata Pak Jatmiko, bangkit dari kursi meninggalkan Harry dan Ade.
”Jadi runyam begini!” keluh Ade memulai bicara. ”Mas, aku tadi bicara sama Mama, rasanya urusan ini nggak mudah selesai. Aku tahu sifat Mama, dia keras, jadi aku sebenarnya takut sekali” kata Ade. Harry segera mendekati Ade, memeluknya, untuk menenangkan. Ade ternyata malah menangis.
Meski Harry merasa resah juga, tapi mencoba untuk menguatkan Ade. ”De, tadi aku sudah bicara sama Papamu, dia mendukung kita. Kita harus minta dukungan juga dari Mbak Lola dan Mas Andy. Kalau mungkin Mas Lucky, meski dia baru aku kenal” kata Harry.
”Mas Harry, itu belum cukup. Bisakah kita mendapatkan family tree , silsilah milik Oma? Mungkin hanya dengan itu kita bisa membuktikan Kempetai yang menculik Opaku bukan keluarga dekat Oma. Bisa? tanya Ade.
Harry menggeleng, ragu ragu. Dia tak pernah melihat dokumen semacam itu di rumah Omanya. Selama ini tak sekalipun ada masalah dengan asal usul Omanya. ”Sejujurnya aku tidak pernah tahu” kata Harry.
”Bagaimana kalau Minggu depan mereka datang?” tanya Harry. Ade menggeleng lesu. ”Jadwalku padat, malah masih di Medan. Kalau Minggu berikutnya bisa. Sore-sore, jadi bisa sekalian makan malam bersama” jawab Ade.
”Mas, tolong jaga jarak dulu dengan Mamaku. Dia masih emosi” kata Ade mengingatkan Harry.
”Baik De. Besok sore aku pulang ke Semarang, mau menjelaskan pada keluargaku. Susah kalau bicara lewat telpon. De, tadi sebenarnya aku sudah melamarmu pada Papamu. Dia tidak keberatan” kata Harry mengagetkan Ade.
”Aku sudah cerita, kita sudah mendapat restu dari keluargaku. Mamaku pasti akan gembira bertemu dengan ayahmu, Papamu yang jadi pilot pesawat Hercules yang angkut peti jenazah Papaku. Dunia ternyata sempit, tapi juga ruwet banget.” kata Harry mencoba lebih tenang agar Ade merasa berkurang kegelisahannya.
”Aku benci sekali! Kenapa urusan zaman perang dulu masih aja mempersulit kita. Kita kan nggak ikut-ikutan. Mau Belanda, Jerman, Inggris, Jepang harusnya kan jangan ribut lagi. Coba bisa ganti nama keluarga, aduh!” Ade mengeluh.
Harry membiarkan Ade menumpahkan kemarahannya. Dia sendiri juga merasakan akibat perang ini. Setelah delapan tahun mencari Ade, kemudian hanya urusan nama keluarga ini, masa aku harus menyerah, pikir Harry. Tapi aku juga tak mungkin mencuci darahku, mengurasnya lalu mengganti dengan yang baru untuk menghilangkan asal usul nenekku yang Jepang. Sama seperti Ade, Ibunya atau mereka yang berdarah campuran lainnya. Aku tidak harus menanggung beban dan dosa yang dibuat Kempetai itu, meskipun jika benar dia memiliki hubungan darah dengan nenekku, pikir Harry.
”De, tenang, kita akan usahakan selesaikan sebaik-baiknya. Oma pasti bisa menjelaskannya pada Mamamu” kata Harry menenangkan, meski diri sendiri diliputi keraguan juga.
”Besok kita batal pergi berenang ya, aku mau ke Semarang atau kau mau ikut?” Ade menggeleng.
”Aku mau ke rumah Kak Lola dan Bang Lucky. Kita bagi tugas ya” kata Ade.
Setelah Harry pulang, Ade masuk ke rumah. Rumah sepi, karena itu Ade mendengar suara keras Mamanya dari kamar sedang berdebat dengan Papa nya. Terdengar juga isak tangis ibunya. Tapi yang menggetarkan Ade adalah ucapan ibunya.
“Aku tidak mau punya mantu Harry, anak cucu Hiraoka!”
Ade bergegas meninggalkan ruangan masuk ke kamarnya. Dia tahu, urusan akan makin ruwet. Tak mudah bagi Papanya untuk meruntuhkan pendirian Mamanya. Ade tahu itu! Jadi Ade menyadari dia akan mendapat masalah besar jika meneruskan hubungannya dengan Harry. Tak pernah dalam pikiran Ade untuk meninggalkan Harry, jadi kini dia merasa panik. Gelisah di kamarnya, lalu mencoba menelpon kakaknya, Lola.


Dia, siapa


Ade masih mengetik pesan pesannya untuk Wiwik ketika telpon genggamnya menyuarakan lagu Nina Bobo, nada panggil khusus dari Harry. Lagu itu merupakan SMS Harry ketika dia berada di Ujung Pandang. Setelah dekat dengan Harry, maka setiap telepon atau SMS dari Harry, lagu itu akan terdengar. Ade menekan tombol bicara. “Hallo Mas Harry, aku lagi di kantor, sebentar lagi mau berangkat ke Kelapa Gading, ada rapat. Mas Harry lagi dimana? tanya Ade.
“De, aku lagi di jalan Sudirman nih! Nggak sempat makan siang sama-sama ya? Kita bicarakan rencana hari Minggu nanti” kata Harry.
“Opa, Oma, Mama datang Jum’at. Tante Fumiko sama Om Tanjung Sabtu. Mama bilang Om Pram juga ada kemungkinan datang, sekalian nengok Sheila. Semua berkumpul di Om Suryo. Detailnya lebih baik ketemu De, lagipula aku sudah kangen!” kata Harry.
“Aduh… rasanya nggak sempat nih, aku lagi di utara, Mas Harry di selatan. Siang gini macet banget. Nanti sore aja aku pulang kantor ke rumahmu, bagaimana?” jawab Ade.
“Okay, kalau gitu aku batal janjian sama Rudy dan Andre ke Senayan” kata Harry.
“Uh… dasar! Katanya sudah ketemu gadis yang kamu cari, kok malah ke Senayan terus?” kata Ade mencandai Harry.
“Waduh…. Jangan ngawur ah!” kata Harry. “De, baca koran pagi tadi nggak? Wah Alan sekarang pengacara top ya!Itu clientnya pengusaha dan artis top. Minggu ini dapat kiriman apa dari Alan?” kata Harry balas mengganggu Ade.
“Belum, tapi bagus deh dia jadi pengacara top. Nanti kalau aku punya masalah sama Mas Harry aku pakai jasa dia aja! Gratis dan pasti menang! Sekarang kan dia benci banget sama Mas Harry!” balas Ade tak mau kalah. Harry tertawa mendengarnya.
“OK, kita ketemu di rumah ya!” jawab Harry, kemudian memutuskan sambungan teleponnya.
Harry makan siang di sebuah mall sambil menunggu waktu untuk pertemuan dengan calon clientnya di daerah Menteng, jam satu nanti. Imran, partner kerjanya juga akan datang. Setelah itu Harry akan ke Salemba untuk mengurus registrasi untuk melanjutkan kuliah S2 di fakultas tehnik. Harry berharap sebelum jam enam dia sudah berada di rumah. Sambil menunggu Ade datang, dia bisa main computer games dengan Sheila.
Sheila sekarang lagi senang belajar computer, malah minta agar kamar Harry jangan di kunci supaya dia bisa menggunakannya. Sebetulnya di kamar Rizal juga ada computer, tapi game yang disukai Sheila tidak ada di computer Rizal. Harry mengizinkannya dengan bantuan Mbak Pur, tapi hanya satu jam setelah pulang sekolah dan satu jam pada sore hari.
Ade juga memiliki kegiatan yang padat hari Senin ini. Setelah rapat di Kelapa Gading, dia kan bertemu dengan Pak Trisna dan Bu Christin di Pondok Indah sekitar jam tiga. Kali ini pertemuan dengan seluruh supplier departemen store. Ade menduga ada kaitannya soal promosi dan renovasi counter. Jika tak ada masalah serius, Ade berharap jam enam sudah bisa ke rumah Harry. Dia harus kesana, karena untuk sementara Harry dimintanya tidak datang dulu ke rumah. Agar Mamanya tidak teringat lagi insiden di restoran hampir dua minggu lalu.
Kalau beres urusan dengan Harry, Rabu ini Ade akan ke Denpasar. Peresmian outlet khusus di daerah Kuta dan Jimbaran. Jum’at sore sudah bisa kembali ke Jakarta lagi. Sabtu siap siap untuk acara Minggu. Makanya Ade mempersiapkan pelimpahan tugas pada stafnya. Ade menulisnya di dalam mobil yang mengantarnya menuju Kelapa Gading.
Sudah jam dua lewat ketika urusannya dengan Tenant Manager di Kelapa Gading usai. Ade bergegas ke lobby depan menunggu Pak Yono supirnya untuk segera menjemputnya. Ade harus ketemu Bu Christin jam tiga. Ade masuk ke mobilnya.
“Pak Yono, saya ada janji di Pondok Indah jam tiga. Masih ada empat puluh menit lagi. Nggak usah ngebut” kata Ade. Ternyata jalan toll menuju ke Jagorawi macet. Lepas kemacetan memasuki arah Pondok Indah lancar, jadi meski terlambat setengah jam, Ade bisa tetap ikut. Rupanya hampir semua terlambat datang karena macet. Rapat usai sekitar jam empat lebih.
Ade bergegas meninggalkan ruang pertemuan. Dia ingin segera ke rumah Harry. Setelah membeli roti untuk Sheila, Ade meminta Pak Yono mengantarkannya ke rumah Harry. Selagi di jalan, Ade menghubungi Harry.
“Hallo Mas, aku sedang menuju ke rumahmu, sekarang Mas Harry lagi dimana? Tanya Ade.
“Lagi di toll diatas Bypass, macet. Tunggu aja, mungkin sejam lagi sampai” kata Harry.
“Okay! Daag!” jawab Ade, menyimpan telponnya ke saku blazernya. kemudian menyandarkan tubuhya ke jok kursi. Lelah.
Untungnya jalan menuju ke rumah Harry belum terlalu macet. Jam lima Ade sudah tiba di rumah Harry. Ade menyuruh Pak Yono untuk langsung pulang, karena dia nanti pulang bersama Harry. Ade membuka pagar pelan-pelan, ingin membuat kejutan untuk Sheila. Masuk dari pintu garasi, memberi kode pada Mbak Atun, pembantu yang sedang memasak agar tak memberitahu Sheila. Ade masuk ke ruang keluarga, meletakkan kotak roti di atas meja. Mbak Pur muncul dari ruang tamu, memegang lap dan sebotol cairan pembersih kaca. Ade berbisik menanyakan Sheila. Mbak Pur menunjuk ke kamar dekat ruang keluarga yang pintunya sedikit terbuka, kamar Harry.
“Lagi main computer” bisik Mbak Pur.
Ade mendekat, menguakkan daun pintunya. Yang Ade lihat bukan hanya ada Sheila yang sedang main computer. Seorang gadis berbaring, memeluk guling di atas tempat tidur. Ade kaget tentu saja, gadis itu juga kaget, kemudian bangkit dari tempat tidur, berdiri. Ade semakin kaget melihat apa yang dipakai gadis itu. Mengenakan yukata milik Harry yang terkuak saat dia bangkit. Di balik yukata yang belum sempurna di pakai, gadis itu mengenakan celana jeans ketat dan T-shirt warna putih milik Harry! Baju itu hadiah Ade ketika dia ke Manado, ada tulisan Bunaken dibagian dada. Tentu saja kebesaran untuknya.
Ade sebenarnya kesal, tapi cepat menguasai diri. Segera tersenyum pada gadis itu.
“Hallo! Aku cari Sheila!” kata Ade. Sheila menoleh ketika mendengar suara Ade.
“Tante Ade!” kata Sheila girang, kemudian meninggalkan computer, mendatangi Ade.
“Tante bawa roti, Sheila mau? kata Ade, kemudian membimbing Sheila keluar kamar.
Gadis itu hanya berdiam diri ketika Ade meninggalkannya ke ruang keluarga. Ade melihat Mbak Pur berdiri seperti orang bingung. Kemudian gadis itu muncul, sudah merapikan rambutnya, tidak lagi mengenakan yukata. Hanya baju tetap melekat di tubuh mungilnya.
“Kenalkan, namaku Yanti” katanya mengulurkan tangannya. Ade menyalaminya. “Namaku Ade, maaf tadi mengganggumu lagi tidur” kata Ade.
“Oh..nggak apa-apa kok, aku cuma tidur tiduran sambil menemani Sheila” katanya. “Moga-moga Mas Harry cepat pulang, aku mau minta diantar ke Tante Lien” katanya.
“Mbak Yanti memang dari mana?”tanya Ade ingin tahu.
“Semarang, tadi pagi baru datang” katanya tersenyum. Gadis ini manis kalau tertawa. Rambutnya hitam agak berombak panjang sebahunya. Tidak terlalu tinggi. Yang mencolok adalah cara dia membentuk alis, agak berlebihan untuk wajahnya yang bulat.
“Liburan ya?”tanya Ade lagi. Sebenarnya dia ingin menyudahi pembicaraan dengannya. Tapi jawaban gadis itulah yang membuatnya terkejut.
“Ya…gitu deh! Kangen sama Mas Harry aja!” kata Yanti manja, tersenyum pada Ade. Ade mencoba senyum juga, sementara hatinya panas juga. Sialan Harry!
“Memang jarang bertemu?” selidik Ade lagi.
Yanti rupanya sama sekali tak menyadari ucapannya di dengar Mbak Pur dan Mbak Atun yang berdiri menguping. Mereka khawatir Ade akan marah, karena mereka sudah tahu hubungan Ade dan Harry. Tadi mereka tak bisa menolak ketika gadis itu minta istirahat di kamar Harry dan berganti baju dengan baju Harry.
“Sering juga, tapi ya kangen terus! Kita gantian. Kadang saya kesini atau Mas Harry yang ke Semarang” kata Yanti menjelaskan. Ade mengangguk-angguk, pura pura faham.
“Oh iya, ini aku bawa roti, mau?” kata Ade menawari Yanti. Dia tersenyum.
“Terima kasih Mbak!” kata Yanti kemudian memilih sebuah roti sosis. Karena roti dibungkus dengan plastik, Yanti terpaksa meletakkan telepon genggamnya di atas meja dekat kotak roti. Telepon model baru. Ade menahan senyum, melihat screen saver telepon Yanti. Wajah Harry!
“Tante Ade, itu Papa pulang” kata Sheila, ketika mendengar suara pagar di buka. Benar juga, tak lama Rizal muncul di pintu depan. Ade segera berdiri, menyambutnya bersama Sheila.
“Sudah lama De?” tanya Rizal, kemudian dia kaget melihat Yanti yang sedang duduk di ruang keluarga.
“Yanti, kapan datang?”tanya Rizal, wajahnya berkerut melihat Yanti memakai baju adiknya. Rizal juga mendapat baju seperti itu dari Ade, tapi warnanya biru.
“Tadi pagi Mas!” jawab Yanti menunduk, tapi kelihatan sangat kaku atau mungkin takut. Ade memperhatikan perubahan sikap Yanti. Tadi bersamanya sangat percaya diri, kini dihadapan Rizal, Yanti begitu gugup.
“De, aku ke atas ganti baju dulu ya” kata Rizal bergerak meninggalkan Ade.
“Mas Rizal, aku mau pamit ah, sudah sore” kata Ade membuat Rizal menghentikan langkahnya. Rizal heran, tadi Harry bilang padanya Ade akan makan malam bersama mereka, kenapa sekarang mau pulang? Rizal meletakkan tas kantornya di kursi, mendekati Ade, menarik tangannya ke ruang tamu.
“De, ada apa? Kenapa mau pulang? Bukannya kita mau bicara soal rencana hari Minggu nanti?”tanya Rizal, menatap Ade.
“De, ada apa?” tanya Rizal lagi curiga.
Ade menatap Rizal, selama dia dekat dengan Harry, baru kali ini dia melihat betapa Harry dan Rizal begitu mirip.
“Mas Rizal, tolong sampaikan sama Mas Harry, aku tidak bisa meneruskan rencana semula. Pulang dulu. Terima kasih!” kata Ade, mencium pipi Rizal cepat cepat dan menyambar tasnya yang terletak di kursi tamu, keluar melalui pintu depan. Rizal mengejar Ade yang sudah di teras, menarik tangan Ade, memeluknya.
“Ade jelaskan dulu ada apa? Tidak bisa begini!” bujuk Rizal, dia melihat wajah lembut Ade, ada sedikit airmata yang tertahan di sudut matanya. Tapi pertahanan dan penguasaan diri Ade begitu kuat, tangisan itu tidak meledak jadi isakan. Rizal benar-benar khawatir, masalah berat akan dihadapi Harry. Jika Ade pergi dan membatalkan rencana, Harry akan hancur. Rizal masih ingat betapa dia begitu rindu pada Ade, tapi demi kebahagiaan Harry, dia bersedia mengalah. Lalu kalau Ade meninggalkan Harry, pengorbanannya jadi sia-sia!
“Mas Rizal, tidak ada yang bisa kujelaskan, sebaiknya Mas Harry yang memberikan penjelasan pada saya. Mas Rizal istirahat deh, lagipula ada tamu tuh!” jawab Ade sangat datar, perlahan melepaskan diri dari pelukan Rizal. Ade melangkah menuju pintu pagar tanpa bisa dicegah Rizal. Ketika hendak memasuki rumahnya, Mbak Pur mendekati Rizal.
Cerita Mbak Pur tentang ulah Yanti membuat Rizal benar-benar kaget. Rizal ingin sekali marah saat itu juga, tapi ini urusan Harry, dia tak bisa begitu saja mencampurinya. Cara satu-satunya adalah menunggu Harry pulang. Seandainya dia tahu lebih awal, dia akan sekuat tenaga mencegah Ade pulang. Masalah Yanti akan dapat diselesaikan malam ini juga. Rizal sangat menyesal. Yanti sialan! Umpatnya dalam hati saja.
Harry baru datang jam setengah tujuh malam dengan wajah riang. Rizal sudah menunggu di teras dengan gelisah. Begitu Harry tiba, Rizal mengajaknya duduk di kursi taman di halaman rumah.
“Ada apa Mas?” tanya Harry heran, duduk di samping kakaknya sambil melonggarkan ikatan dasinya.
“Ade sudah pulang Har! Yanti ada di rumah, tadi menurut Mbak Pur dan Mbak Atun dia mengaku-ngaku pacarmu. Malah Ade melihat dia tidur di kamar kamu dan sekarang pakai baju kamu yang dari Ade. Aku sudah cegah Ade supaya nggak pulang. Aku rasa dia marah dan membatalkan rencana malam ini” kata Rizal menjelaskan.
“Wah…. ini gawat!”kata Harry kaget, kemudian mengambil telpon dari saku celananya menghubungi Ade. Telepon Ade bisa dihubungi, tapi tidak dijawab. Ketika Harry menelpon ke rumah, Papa Ade memberitahukan Ade belum pulang. Akhirnya Rizal juga mencoba menghubungi Ade, hasilnya juga sama. Harry mencoba menghubungi Lola, ternyata Ade tidak di rumahnya. Lola malah mengira Ade justru sekarang sedang di rumah Harry. Harry menceritakan masalah yang terjadi dan berharap Lola mau membantunya. Setiap sepuluh menit Harry menghubungi telepon Ade, tetap tersambung tapi tidak menjawab. Akhirnya Harry dan Rizal masuk rumah.
Harry benar benar tidak bisa menahan diri ketika dia masuk rumah mendapati Yanti bersama Sheila di kamarnya. Masih dengan baju Harry. Yanti menyambutnya dengan senyuman manis. Harry mau muntah! Mbak Pur buru-buru mengajak Sheila keluar kamar Harry.
“Mas Harry, apa kabar?” sapa Yanti genit.
“Keluar!” bentak Harry mengagetkan Yanti dan Mbak Pur serta Sheila yang belum jauh dari kamar Harry. Mbak Atun berlari dari dapur ingin tahu. Sedang Rizal masih berdiri dekat sofa di ruang keluarga.
“Mbak, ajak Sheila ke atas” kata Rizal, dia tak ingin Sheila ketakutan, kalau kalau Harry makin marah. Mbak Pur bergegas menggendong Sheila naik ke lantai atas. Sementara itu Yanti keluar kamar Harry, berdiri dengan wajah ciut, tak menyangka Harry membentaknya. Harry keluar dari kamarnya bergabung dengan Rizal.
“Duduk!”perintah Rizal sama galaknya dengan Harry. Yanti segera duduk di kursi membelakangi televisi. Harry mematikan siarannya.
“Sekarang jelaskan,kamu ngomong apa sama calon isteriku!”kata Harry gemas.
“Saya nggak ngomong apa-apa” kata Yanti.
“Jangan bohong! Atau aku panggil Mbak Pur sama Mbak Atun?”kata Rizal.
Yanti mulai menangis ketika Mbak Atun dipanggil Rizal.
“Saya bilang saya kesini kangen sama Mas Harry!” kata Yanti.
“Kenapa ngaku-ngaku pacarku! Aku nggak pernah tertarik sama kamu! Dari dulu aku sudah bilang kan! Kok pamer-pamer! Kamu bikin masalah sekarang, tahu!” kata Harry memarahi Yanti.
“Maaf Mas, tadi saya kira dia pacarnya Mas Rizal” kata Yanti berdalih.
“Alasan, tadi kamu sudah di kamarku, ada foto dia kan segede poster! Jadi kamu sengaja! Dasar!” umpat Harry. “Awas ya, kalau sampai kami putus gara-gara kamu, aku bikin kamu menderita seumur hidup!” ancam Harry.
Yanti menangis ketakutan, juga sedih. Rizal memandang kotak roti di depan meja, kemudian melihat telepon genggam milik Yanti. Gila, pantes Ade marah!
“Yanti ini telpon kamu?”bentak Rizal. ”Kamu sengaja pamerin ini sama Ade juga? Hah!” kata Rizal lagi, kali ini dia tak dapat menahan marahnya . Harry mengamati telpon Yanti. Cepat diambilnya, dan semua file yang berkaitan dengan image di hapus Harry. Yanti sama sekali tak bisa protes lagi. Masih khawatir ada file lain, Harry menghancurkan semua data di telpon Yanti. Benar-benar marah.
“Yanti, sekarang ganti baju, kamu ke rumah Om Suryo, aku antar!” kata Rizal. Rizal menelpon Tante Lien, meminta dia menunggu karena akan berkunjung kesana.
“Har, aku yang jelaskan ke Om Suryo urusan Yanti ini. Kau coba hubungi Ade dari rumah”kata Rizal.


Ade berjalan cepat-cepat keluar dari halaman rumah Rizal. Dia beruntung menemukan taxi yang sedang mangkal. Ade meminta diantarkan ke kantornya. Saat ini Jun sedang lembur mengerjakan dua disain untuk outlet baru di Palembang dan Pekanbaru. Daripada memikirkan Harry, Ade berencana menemani Jun sambil menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Ade ingat, ada setumpuk proposal permintaan sponsorship yang belum sempat dibacanya. Laporan riset dari effektivitas kampanye periklanan sesi pertama yang belum dibacanya. Pokoknya dia akan sangat sibuk.
Ketika Ade tiba di kantornya, Ade melihat supirnya Pak Yono sedang ngobrol dengan Pak Bandono, rupanya belum pulang setelah memarkir mobil Ade.
“Kok bu Ade balik ke kantor lagi? tanya Pak Yono heran. Ade mengangguk.
“Banyak kerjaan Pak” jawab Ade.
“Saya tunggu Bu?” tanya Pak Yono.
“Nggak usah kalau Pak Yono sudah capek pulang saja. Saya setir sendiri aja” jawab Ade.
“Ah… nggak apa-apa bu, saya tunggu aja” kata Pak Yono.
“Oke deh, tapi bisa malam sekali lho”kata Ade.
Ade telah menyetel telpon genggamnya ke posisi silent , sehingga dia tidak akan terganggu dengan bunyi telepon saat bekerja nanti. Ade meletakkan tasnya di atas meja, kemudian menuju ruang disain, menengok Jun yang sedang asyik menggambar
“Halo Jun, aku temani ya lemburnya” sapa Ade “Sudah makan malam?” tanya Ade.
“Sudah Mbak, terima kasih” jawab Jun. Ade meninggalkan Jun, kembali ke ruang kerjanya, mulai membukai dan membaca proposal penawaran. Ade menyalakan komputernya. Sambil menunggu Ade mengamati telpon genggamnya. Ada sebelas panggilan dari Harry, dua kali dari Rizal, dua kali dari Lola dan empat kali dari bang Lucky. Ade tersenyum, pasti Harry sudah di rumah, lagi mencari tahu sebab Ade membatalkan acara malam ini. Lalu dia membuka file SMS yang masuk. Hampir semua dari Harry. Isinya sudah diduga Ade. Minta dihubungi. Minta telponnya di jawab. Minta bertemu. Minta maaf soal Yanti. Ingin tahu Ade sedang berada dimana. Setelah membaca semuanya, Ade cuma bergumam. “Dasar pengemis! Minta semua!”
Ade membuka file komputernya, ingin mengerjakan perencanaan divisinya yang baru. Ada beberapa point yang ingin dia tambahkan. Juga beberapa kebutuhan untuk di ajukan. Ade melirik telpon genggamnya, sebuah SMS masuk lagi, Ade membacanya. Lagi-lagi dari Harry, sekarang meminta emailnya di jawab. Harry benar-benar sedang sibuk! Kau akan tahu kalau aku marah! gumam Ade sebal. Tapi dia juga ingin tahu apa yang ditulis Harry di emailnya.
Ketika membuka kotak surat emailnya, Ade melihat ada empat surat Harry, semuanya hanya dalam waktu satu jam ini. “Gila, mau jadi pengarang?” ejek Ade, mulai membaca email Harry yang pertama:
Ade sayang! Kenapa pulang? Aku bisa menjelaskan siapa Yanti. Dia keponakan Tante Lien. Dari dulu dia suka sama aku. Kami tidak pernah pacaran. Aku bersumpah demi Allah. Aku tidak pernah mengizinkan dia masuk ke kamarku. Ade sendiri kan belum pernah masuk ke kamarku kan? Pakai bajuku apalagi. Dia lancang aja. Tadi aku marah sekali sama Yanti. Sekarang dia diantar Mas Rizal ke rumah Tante Lien. Maaf ya De! Sekarang aku menunggu kabarmu.

Email kedua, berupa sebaris kalimat:
Apapun yang terjadi kita tidak bisa dihancurkan oleh Yanti.

Email ketiga adalah:
sebuah foto saat mereka berada di halaman rumah Opa. Wajah mereka berdua sangat ceria. Harry memeluk Ade dengan latar belakang payung taman dan pohon pinus.Tanpa tulisan apapun, rupanya Harry ingin membangkitkan kenangan paling indah saat mereka di Semarang.
Ade menatap foto itu, sambil menahan air mata yang hampir saja meluncur. Pedih sekali hatinya. Pertahanannya hampir jebol, ingin rasanya berteriak menangisi nasib buruknya.

Email ke empat:
Foto Ade semasa mahasiswa, bertopi putih dan mengenakan baju olahraga. Sebaris kalimat Harry sangat menggetarkan Ade.
“Kalau delapan tahun aku bisa mencari Ade, maka jika diperlukan seumur hidupun aku akan melakukannya. Tidak peduli akan berkeliling dunia. Jika memang ada re-inkarnasi, aku akan tetap ingin jadi diriku, akan mencarimu terus. Sampai kita bisa bersama.
I love you!
Harry

Meski Ade telah membaca email dan pesan Harry, Ade masih marah dan tak ingin memberikan respon apapun pada Harry. Ini adalah pertengkarannya yang pertama dengan Harry.
Ade ingin menenangkan diri, memilah informasi, mungkin saja Yanti benar tapi bisa jadi Harry benar. Kini tak ada seorangpun yang memberinya informasi siapa Yanti selain Harry. Mana dia bisa percaya. Sosok Yanti begitu tiba-tiba muncul, seakan selama ini berusaha ditutupi rapat-rapat.
Ade kini memikirkan apakah benar selama delapan tahun itu Harry tidak pernah punya hubungan apapun dengan gadis lain. Yanti tak mungkin muncul tiba-tiba seperti dirinya yang belum setahun mengenal Harry. Tak banyak yang dia tahu latar belakang Harry.
Jam dua belas lewat sepuluh menit baru Ade meninggalkan kantor. Pak Yono mengantarnya. Ade meminta di jemput jam sembilan pagi karena dia akan rapat di jalan Darmawangsa, kemudian akan bergabung dengan Manager Pemasaran untuk rapat di pabrik. Tadi malam dia sudah memberikan tugas-tugas untuk stafnya. Ade juga meminta sekretarisnya dan Lanny untuk tidak memberitahukan kegiatannya meski Harry memintanya. Dia mengirimkan SMSnya tadi malam kepada Wiwik dan Lanny.
Ketika Ade masuk ruang keluarga, dia melihat Papanya duduk di menonton televisi. Papanya menunggu Ade, seperti biasa.
“Papa, kok belum tidur? Maaf Ade pulang malam sekali, lembur”kata Ade sambil mendekati ayahnya. Pak Jatmiko menatapnya, dia tahu apa yang terjadi dari Harry. Makin banyak dia berdialog dengan Harry, Pak Jatmiko merasa suka dengannya. Merasa Harry tulus pada Ade. Dia berusaha tidak mencampuri dulu, agar keadaan tidak makin kisruh.
“Banyak kerjaan ya? tadi Harry telpon, katanya telpon kamu nggak jawab” kata Pak Jatmiko.
“Oh…iya, baterenya low Pa! Lupa bawa charger ” jawab Ade berkilah. “Pa, Ade tidur dulu ya, capek sekali” kata Ade lagi, mencium pipi ayahnya, kemudian masuk ke kamarnya. Pak Jatmiko berdiri dan berjalan ke teras samping rumah, menilpon Harry.
Sepanjang hari Selasa Ade menerima tak terhitung panggilan telpon dari Harry. Ada empat kali dari Rizal. Ade tak memungkinkan mematikan telpon genggamnya karena diperlukan untuk urusan kantor. Agar tak terlalu terganggu, Ade menggunakan fungsi getar saja. Kini dia tahu, Harry tidak ke kantor, karena nomornya dari telepon rumah. “Rasakan!” umpat Ade pelan, takut terdengar Pak Yono yang sedang mengemudi.
Aktivitasnya berjalan lancar. Besok, Rabu siang dia akan ke Denpasar untuk persiapan pembukaan outlet di Kuta dan Jimbaran itu. Kali ini staf dari Surabaya yang membantunya. Para bos nya datang Kamis sore. Jum’at setelah peresmian akan langsung ke Lombok bersama keluarga mereka , liburan. Ade masih menimbang-nimbang untuk kembali ke Jakarta hari Senin saja. Dia akan menghindari Harry, sampai dia benar-benar mampu mengambil keputusan. Atau ambil cuti dan ke Perth atau Melboune. Bisa urus dari Denpasar.
Sepulang kantor ini Ade bertemu Tania untuk olah raga di Senayan. Kemudian akan ngobrol di cafe, kebiasaan rutin mereka berdua bertahun-tahun, juga dengan Yuriko, sambil ngobrol apa saja. Ade, Yuriko dan Tania tak suka ke diskotik, lebih suka café atau restoran. Makan dan ngobrol puas.
“Tania, sudah baca emailku?” tanya Ade begitu mereka duduk di kursi sebuah restoran di kawasan Kemang.
“Ih….kok bisa gitu! Tapi De, jangan buru-buru marah sama Harry. Coba ketemu, omongin dulu. Kalau bohong kan ketahuan dari wajahnya” ujar Tania, menasehati.
“Tan, sekarang rasanya lebih sakit daripada waktu Alan dulu” kata Ade sendu. “Percuma! Pasti akan bilang bukan pacar gue, teman dekat aja! Mana gue percaya! Mas Rizal atau sepupunya yang lain juga pasti sama” kata Ade. “Dari pihak gue kan belum kenal lama sama mereka. Ingat nggak waktu elo sama Kurniadi? Nggak kenal banget latar belakangnya” kata Ade lagi.
“Ah… De, sabar dong! Different case! ” kata Tania.
“Ah… udah deh, kita ngobrol lain aja! Eh… aku besok ke Denpasar, bakal ketemu Yuri. Asyik kan!” kata Ade.
“Oh… salam ya sama dia! Coba aku bisa cuti, mau deh gabung kesana” kata Tania.
“Wah seru! Ayo dong Tan! The three musketeers sudah lama nggak jalan bareng nih. Usaha dong Tan! Udah lama kita nggak keluyuran di Bali. Jum’at, Sabtu, Minggu pulang Senin pagi langsung ke kantor. Balas jasa dong, dulu kan gue nemenin elo tugas ke Bandung!” ajak Ade bersemangat.
“Aduh, gue banyak kerjaan nih!” kata Tania.
“Sabtu, Minggu off, jadi nggak perlu cuti dong! Senin datang telat dikit kan oke aja , elo kan boss” kata Ade lagi membujuk.
“Yes, and my big boss is my Mother, do you remember that? She will sent me to the street! Habis gue!”tangkis Tania, menolak ikut karena pekerjaannya sulit ditinggalkan, apalagi ibunya sendiri yang jadi pimpinan perusahaan tempatnya kerja.

Jam sepuluh lebih Ade sudah pulang ke rumah, setelah bertemu Papa dan Mamanya. Ade pamit ke kamarnya, memasukkan pakaiannya ke koper untuk berangkat pagi besok. Mematikan teleponnya dan mencoba tidur. Ternyata tak mudah, pikirannya hanya terfokus pada Harry. Ade ingat, secara perlahan dia menyukai dan kemudian mencintai Harry. Kemudian memutuskan untuk menerima lamaran Harry. Mengenang beberapa bulan ini dia begitu bersemangat dan ceria bersama Harry.
Lalu betapa pedihnya kemarin dan marah juga ketika melihat Yanti menggeliat di tempat tidur Harry, seakan itu tempat tidur yang biasa ditidurinya. Pengakuan Yanti! Ade merasa heran, dulu karena Alan, dia menangis. Entah mengapa kemarin, hari ini, Ade seperti menyiksa dirinya tak mau menitikkan airmatanya. Padahal hatinya begitu sedih, hingga niat untuk menceritakan masalah lainnya dengan Tania pun dia tak mampu. Kali ini aku akan menyimpannya sendiri. Aku tidak ingin orang lain terlibat. Dulu Tania membelaku, ribut dengan Alan hingga kini masih belum berbaikan dengannya. Ade bertekat tak setetes air matapun untuk Harry! Padahal seharusnya aku menangisi kehancuran ini. Meski bersama Harry begitu singkat, tapi kenangan bersamanya begitu banyak. Banyak melibatkan keluarga Harry, tentu saja. Aku akan kehilangan mereka semua! Terlalu banyak yang harus kutangisi! Air mataku terlalu sedikit untuk mereka!

Sahabat

Rabu malam ini Ade sudah berada di Denpasar. Sedang mengawasi persiapan outlet produk Women’s Diary. Bagian dalam hampir selesai, sedangkan window display sedang dalam pengerjaan oleh petugas lokal. Outlet yang di Kuta ini lebih cepat selesai, besok sudah bisa pasang materi promosi. Saat yang sama outlet di Jimbaran juga sedang di persiapkan. Spanduk, umbul-umbul, POP dispenser untuk brosur dan light-box untuk foto produk dengan model seorang artis terkenal sudah terpasang semua.
Tadi Ade sempat bertemu dengan pejabat bagian pariwisata juga dari Kantor Departemen Perdagangan. Mereka berjanji akan hadir pada peresmian kedua outlet itu. Ade memang telah menyurati mereka. Selain acara peresmian yang bersifat terbatas, akan ada program sales promotion yaitu pemberian voucher belanja dan diskon. Ade telah mengundang tiga majalah wanita terkemuka, dua stasiun televisi dan suratkabar lokal untuk meliput program ini. Besok pagi Ade akan mengisi acara inter-aktif dengan sebuah stasiun radio komersial untuk membahas event ini. Dari Jakarta, Lanny sudah memastikan iklan muncul besok pagi di koran lokal, Bali Post.
Sejak pagi, Harry terus menelpon Ade, tak sekalipun Ade mau menerima. Email juga sama, sekarang Ade malah tidak mau membacanya. Ade khawatir dia akan luluh, karena dalam email Harry lebih leluasa mengungkapkan perasaannya. Ade tahu, sudah empat hari dia memutuskan tidak berkomunikasi dengan Harry.
Malam ini, selagi ngobrol dengan Yuriko, teman dekatnya yang menjadi PR Manager hotel tempat Ade menginap Ade juga menerima empat SMS Harry, tak satupun yang dia baca. Hampir jam dua belas baru Ade masuk kamarnya dan tidur. Ade mencoba tidur, besok adalah hari yang berat. Dia ingin segera tidur. Kamis akan ada temu wartawan media massa jam tiga sore, in-site tour khusus reporter ke kedua outlets, pemotretan untuk model dan menemui tiga bos beserta keluarga. Setelah acara peresmian, para boss beserta keluarga akan berlibur ke Lombok. Ada persiapan acara besok dengan Event organizer lokal, lalu malamnya dia akan bebas ngobrol dengan Tania dan Yuri. Ade senang sekali Tania bisa datang! Persetan dengan Harry! umpat Ade dalam hati, karena dia masih mendengar telepon genggamnya menyayikan lagu Nina Bobo. SMS dari Harry!


Telpon pagi hari Rabu ini dari Pak Jatmiko membuat Harry benar-benar kaget. “Harry, jam sebelas ini Ade ke Denpasar, katanya ada urusan kantor! Om nggak ada sewaktu dia berangkat, sedang jalan pagi sama Tante” kata Pak Jatmiko, terdengar khawatir. Harry melihat jam tangannya, sembilan lewat tiga menit!
“Ke Bali?” kata Harry tergagap. Sekarang keadaan benar-benar sudah tak terkendali. “Om saya akan coba susul ke kantornya” kata Harry.
“Harry, Om mau pesan satu hal. Kalau kau benar-benar mencintai Ade, harus berusaha keras. Anak ini kalau sudah marah sulit dikendalikan, apalagi kalau dia merasa benar. Mengalah dulu ya! Tadi Om periksa meja tulisnya, dia bawa buku tabungan dan pasportnya, jadi Om benar-benar khawatir dia merencanakan kabur” ujar Pak Jatmiko.
“Terima kasih Om, saya akan berusaha. Nanti saya telpon lagi” kata Harry. Harry memijit kepalanya, tiba-tiba terasa sakit.
“Ini gila! Dia akan bikin aku hancur!” keluh Harry, masih duduk dekat meja telepon.
“Ada apa?” kata Rizal yang berdiri dekat Harry.
“Dia ke Bali hari ini jam sebelas. Om Jatmiko khawatir dia akan ke luar negeri, sudah bawa passport dan dokumen penting. Aku mau ke kantornya, mudah mudahan dia masih ada” kata Harry.
Rizal ternganga, benar-benar kaget. Dia menyesal kenapa hari itu tidak membujuk Ade lebih keras agar mau menunggu Harry. Kini Ade akan makin jauh. Harry masuk ke kamarnya buru buru berpakaian, sementara Rizal mencoba menelpon kantor Ade.

“Selamat Pagi! Saya Joko, bisa bicara dengan ibu Alexandra?” kata Rizal berbohong kepada penerima telepon di kantor Ade. Operator telepon menyambungkan ke telepon di ruang kerja Ade, tapi tak ada yang mengangkat sehingga kembali tersambung ke operator.
“Pak, maaf tidak ada yang orang di ruang kerja Promosi. Tadi baru dikasih tahu Bu Ade berangkat ke Denpasar” kata operator itu.
“Waduh, padahal janji bertemu sama saya hari ini jam sepuluh. Boleh tahu naik pesawat apa, biar saya susul ke bandara, soalnya penting sekali”kata Rizal lagi berbohong.
“Sebentar Pak, saya sambungkan ke Mbak Lily, sekretaris marketing, mungkin dia tahu” jawab operator. Rizal tersambung dengan Lily yang ternyata sangat koperatif.
“Pak Joko, Bu Alexandra berangkat ke Denpasar jam sembilan pagi ini pakai pesawat Garuda, mungkin sekarang sudah take off. Kalau susul ke bandara mungkin percuma” kata Lily. Rizal tak putus asa, terus mengorek keterangan dari Lily. Sementara Harry sudah siap untuk berangkat. Rizal memberi kode untuk menunggunya. Harry menunggunya, duduk di kursi dengan gelisah.
“Di Denpasar Bu Alexandra menginap di hotel apa? Nomor telpon kantor di sana ada?” kata Rizal.
“Biasanya memang kami pesankan di Sanur, tapi kali ini dia mau atur sendiri, katanya kawannya ada yang jadi Public Relations Manager hotel di sana sih, jadi gampang. Maaf di Bali kami belum ada sambungan telpon karena outlet baru, jadi hubungi HP Bu Alexandra. Minggu depan baru ada telpon disana. Bisa tanya sama bagian Promosi ya Pak” kata Lily lagi.
“Terima kasih! Tapi bisa titip pesan nggak untuk stafnya dia? Kalau nggak salah namanya Ani” kata Rizal, teringat pernah diperkenalkan dengan beberapa staf Ade sewaktu bertemu di mall beberapa bulan lalu.
“Oh boleh Pak! Mungkin Lanny Pak, kalau Ani nggak ada” kata Lily lagi.
“Oh..ya…ya, Lanny, minta dia hubungi Pak Rizal atau Harry, bilang penting sekali” kata Rizal. “Atau sebaiknya saya minta nomor telpon genggamnya bisa?”kata Rizal coba-coba. Lily menolak.
“Maaf Pak, saya tidak bisa berikan, karena itu nomor pribadi Mbak Lanny. Kalau nomor Bu Alexandra boleh, karena memang untuk keperluan kantor” kata Lily menjelaskan.
“Okay, kalau begitu tolong catat nomor Pak Rizal dan Harry ya Mbak” kata Rizal, mendiktekan nomor teleponnya dan telepon Harry. Rizal mengucapkan terima kasih pada Lily dan memutuskan sambungan.
“Semoga Lanny mau menghubungi kita” kata Rizal. “Harry, nggak usah ke kantor atau ke bandara, dia sudah take off jam sembilan tadi!” lanjutnya. Harry terduduk lemas. Cara menghindar yang cermat, sama bapaknya aja dia bohong jam berangkat ke Bali, pikir Harry.
Rizal dan Harry duduk di ruang keluarga menunggu telpon dari Lanny dengan gelisah. Rizal menunda berangkat ke kantornya, kasihan melihat adiknya.
“Mas, aku kenal sahabat Ade, Tania. Dulu pernah sama Ade antar dia pulang, tapi aku nggak punya nomor telpon dia”kata Harry.
“Okay sekarang kita atur cara untuk mencari Ade. Kita data aja, coba tulis teman-teman Tania yang kau tahu, staf dia dan keluarga, minta info mereka. Lalu kalau dalam satu jam Lanny tidak menghubungi, kamu ke kantor Ade, kan sudah kenal beberapa anak buahnya. Aku akan cari rumah Tania kalau bisa dapat informasi dari dia. Juga aku sebaiknya ke Tante Lien lagi, minta bantuan dia hubungi Ade, sekalian bicara masalah ini dengan Mama” kata Rizal. Harry mengangguk, sambil terus mengingat beberapa teman dekat Ade yang sudah di kenalnya.
“Nanti kita sama-sama ke Om Jatmiko, menjelaskan perkembangannya. Seandainya dia bilang acara Minggu perlu ditunda, ya sudah terpaksa tunda” kata Harry pasrah.
“Ow…ow, Tania kan sahabat Ade sejak SMA, mustinya ada nomor telponnya di buku telpon rumahnya. Coba aku minta sama Om Jatmiko!”kata Harry senang. Dengan mudah Harry mendapat nomor Tania dari Pak Jatmiko, nomor rumah, kantor, telpon genggam. Lengkap! Sayangnya menghubungi Tania tak mudah. Tidak ada di kantor, sedang keluar rapat dengan client. Harry butuh tiga jam untuk bisa berbicara dengan Tania. Selama tiga jam Harry mungkin sudah berjalan berkilo meter mengitari kamarnya.
“Hallo Selamat siang Tania! Ini aku Harry, sorry aku mengganggumu! Aku mau minta bantuan, bisa kan?” kata Harry ketika Tania menerima panggilan telpon Harry.
“Oh Harry! Aduh kacau sekali sih kamu! Belum tahu ya sifat Ade kalau marah, makanya jangan bikin masalah! How poor you are! You must be worry! She ‘ll to kick you out, really!” jawab Tania sambil mentertawakannya. Harry sebenarnya sebal mendengar Tania mentertawakannya, sedangkan dia sudah sangat panik begini.
“Tania, soal itu sudah tahu kan! Yanti itu benar-benar bukan pacarku! Gila apa! Kalau suka sama Yanti, sudah dari dulu aku nikah sama dia, untuk apa delapan tahun keluyuran cari Ade. Ngapain coba, nggak logis kan?” kata Harry. Tania tertawa lagi. Sebal, sebal….. umpat Harry dalam hati, masih menahan diri. Aku perlu bantuan Tania! pikirnya.
“Tania, kok ketawa? Dulu Yanti juga pernah bikin ulah seperti ini sama sepupuku Rudy. Tapi waktu itu nggak separah ini, jadi Amelia, pacar Rudy nggak ngamuk. Yanti ke rumah Rudy anter-anter makanan gitu! Ade nggak mau berkomunikasi sama aku, jadi bantu aku dong, Ade di Bali nginap di hotel apa?” pinta Harry.
“Emang kamu mau susul dia? We have dinner last night at cafĂ© in Kemang! No single words talked what hotel she live in! She invited me to joint there! I am preparing to go! But a little bit difficult in my office. Aku lagi atur kerjaan, soalnya satu asistenku cuti melahirkan” jawab Tania.
“Tania, aku harus ketemu Ade menjelaskan semuanya, gara gara Yanti dia membatalkan rencana keluargaku ke rumahnya hari Minggu ini. Gawat kalau dia nggak pulang! Padahal Opa, Oma sama Mamaku Jum’at sudah di Jakarta. Tolong dong!”kata Harry, sangat berharap.
“Hah! Jadi…… Oh my God! Ade malah nggak cerita soal keluarga kalian mau ketemu! Waduh ini gawat! Oh my God! She loves you, I know it, but how come she ……? Artinya dia benar-benar marah lho Harry! No…., no! She can not skip her’s special moment in her life like that! Okay Harry, I ‘ll call her later, and give me a call in hour! Bye! kata Tania kaget, seperti kebiasaanya spontan.
“Thanks ya Tania! Satu jam lagi ya aku telpon!” kata Harry sangat berharap. Harry menceritakan pada kakaknya. Mengetahui ada perkembangan baik, Rizal memutuskan berangkat ke kantor dan berjanji akan saling memberi info dengan Harry. Harry memberi tahu Imran, dia ada di rumah tak ke kantor dulu. Harry teringat besok dia harus kembali ke Salemba untuk menyelesaikan registrasi, karena dua minggu yang akan akan datang ada test masuk untuk Program S2 yang akan diikutinya.
Harry sambil menunggu telpon Lanny atau Tania mempersiapkan pakaian untuk dibawa, dia akan susul Ade ke Bali. Sesekali Harry memeriksa emailnya kalau-kalau ada balasan dari Ade. Nihil! Tiba-tiba telepon genggam Harry berdering, dari Rizal yang mungkin masih di perjalanan.
“Lanny telpon! Ade ke Bali memang ada peresmian dua outlet baru di Kuta dan Jimbaran. Peresmian Jum’at, tapi dia juga nggak tahu Ade nginap dimana. Kata Lanny, dia akan kontak Ade lagi. Ade minta cuti satu minggu mulai Senin depan! Jadi dia bisa pergi jauh. Sebenarnya Ade minta Lanny tidak memberikan info apa-apa sama kita. Terpaksa aku rayu habis-habisan deh!” kata Rizal sedikit lebih lega meski ada rasa cemas.
“Aku berangkat cari dia sore ini atau besok pagi, cari info detail hotel tempat dia menginap. Mas Rizal tolong atur disini ya” kata Harry, bersemangat lagi. Kemudian teringat Tania, sudah satu jam, jadi dia menghubungi Tania. Telpon Tania sedang sibuk. Berkali kali di hubungi sedang sibuk. Telpon kantornya juga sangat sibuk. Harry menahan diri agar tidak gugup. Setelah hampir dua jam baru Harry berhasil menghubungi Tania.
“Harry, aku sudah coba telpon Ade. Sekarang dia sedang sibuk banget disana, sebaiknya jangan diganggu dulu. Kasihan! Dia sendirian urus macam-macam, padahal dua outlet yang harus diresmikan. Kamis sore dia bikin jumpa pers, malam ini dia ada wawancara di radio lokal. Bos-bosnya datang Kamis sore,dia harus menemani. Jum’at setelah peresmian mereka ke Lombok. Jadi sampai Jum’at dia pasti masih disana. Kondisi kaya gitu, kamu datang bawa masalah, bisa dia makin marah. Aku kan kenal dia banget. Tadi dia sih bilang kalau aku ke sana katanya dia mungkin nggak jadi ke Perth, dia cuti satu minggu. Kayanya dia lagi sedih!” kata Tania.
“Tania, tolong bilang Ade kamu akan kesana, supaya dia nggak pergi ke Perth. Aku besok sore berangkat. Bisa Tan?” pinta Harry. “Kalau perlu kita berangkat sama-sama” kata Harry.
“Oke, aku akan SMS Ade. Soal bisa pergi atau nggak lihat besok siang ya! Cuma kamu mau janji nggak Har sama aku?” kata Tania terdengar serius.
“Tania, apa aja, yang penting aku bisa ketemu Ade”janji Harry.
“Oke, gini ya! Aku mau bantu kamu karena aku tahu Ade memang mencintai kamu. Harry, kita belum lama kenal, jadi aku perlu janji kamu. Pertama kamu nggak bohong soal Yanti dan kedua nggak bikin Ade kecewa. Bisa?” kata Tania, sangat tegas.
“Tania, aku bersumpah soal Yanti, dia tidak punya hubungan apapun denganku! Aku tidak akan menyakiti Ade, kau pegang omonganku!”kata Harry tanpa ragu ragu. Tania tertawa mengejek mendengar ucapan Harry. Harry terkejut mendengar tawa mengejek Tania.
“Harry, jangan main-main ya soal ini! Gue pernah berantem sama Alan lho, nggak ngomong sampai hari ini. Sekarang Alan sedang mengintai Ade terus, tahu kan! Jadi, kalau kamu bohong, gue bersedia damai sama Alan! Biar mereka pacaran lagi! Gue akan jadi sponsor buat hancurin kamu! Faham?” ancam Tania. Harry benar-benar kaget, ternyata Tania belum mempercayainya. Cara bicara Tania sama dengan Ade, lugas sekali, pantas mereka bersahabat. Cocok!
“Tania, aku sungguh-sungguh, jadi aku mohon bantuanmu” kata Harry dengan suara sudah pasrah lagi.
“Okay Harry, I ‘ll ring you up tomorrow! Keep this conversation just for two of us. If she find out, I’ll die! Have a nice day, bye!” kata Tania tertawa renyah sekali.
Cepat sekali perubahan suara Tania dari suaranya yang begitu tegas menjadi akrab dan bersahabat. Harry benar-benar takjub. Para perempuan tangguh! Mereka pantas untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup mereka. Tidak sekedar cantik, tapi berusaha hidup layak dan terhormat dengan cara terhormat pula, pikir Harry. Harry berjanji dengan Tania untuk mengubunginya lagi besok, kemudian sambungan telpon dengan Harry terputus.
Setelah itu Harry mencoba untuk menenangkan diri. Berganti pakaian karena merasa gerah, dia mengetik email untuk Ade. Menghubungi kantornya untuk mengatur tugas stafnya dan memberi tahu Imran soal rencananya ke Bali. Imran maklum setelah tahu masalah Harry, karena sejak kuliah dia bersahabat dengan Harry. Jadi Imran tahu betapa berartinya Ade bagi Harry. Imran sangat terkejut ketika diberitahu masalah lain sedang menunggu berkaitan soal asal usul Harry yang menyebabkan ketidak sukaan ibunya Ade.

Malam tadi dilalui Harry sungguh berat. Tidak ada yang dapat dilakukannya kecuali berdoa dalam sholatnya, mencoba menghubungi telpon Ade, tanpa hasil. Lalu melakukan pembicaraan dengan kakak-kakak Ade. Meski mereka sangat koperatif, tapi Harry semakin takut kehilangan Ade, karena mereka menggambarkan sikap Ade yang keras. Ade sangat sensitif dan jika sudah kecewa sangat menutup diri.
Meski mencoba untuk tidur, tapi kegelisahan Harry yang membuatnya tak mampu memejamkan mata. Harry juga tak berselera untuk makan, meski sejak siang tadi juga tidak makan. Selama delapan tahun merindukan Ade, malam ini jauh lebih berat dirasakannya. Dulu, ada semangat untuk bertahan, karena berharap untuk pertemuan. Kini, meski sangat berharap bertemu Ade, ancaman untuk terjadi perpisahan sangat besar.
Harry tak tahu apa yang akan terjadi jika hal itu jadi kenyataan. Pasti sangat menyakitkan, seperti sekarang saja sudah sangat sedih. Apa yang akan dilakukannya nanti tanpa Ade. Harry teringat, beberapa rencana bersama yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan pulang dari Semarang dulu. Ade yang tak ingin pesta pernikahan besar-besarnya, lokasi rumah yang mereka incar di kawasan selatan Jakarta. Perjalanan bulan madu yang ingin mereka lakukan. Kini Harry mengharapkan usaha Tania membujuk Ade dan keberuntungan.
Kamis pagi Harry sedang di mobilnya, berada dalam antrian kendaraan menuju jalan Salemba, ketika menerima SMS dari Tania. Harry membaca pesan yang ternyata jawaban Ade atas SMS Tania, forward.
“Thanks Tan! Telat dikit elo sms, gue call Griffith, biar jemput gue di Perth. Datang sore ini apa besok? Langsung ke hotel Yuri aja, gue nginap disana. Ngobrol sama dia sampai jam dua belas. Yuri juga mau off Sabtu Minggu. Kita kluyuran ke Ubud ya! Gue jitak kalo bohong. Satu lagi, gue nggak kasih akses ke abang gue Richard. Bakal batal bikin tim gabungan sepak bola Inggeris-Belanda kan! Asal tau aja, abang gue banyak yang mau! For the time being you are on the top of the list! Sabtu depan dia kan datang. Sun-bathing aja di Lovina ama gue biar keren. He…he!”
Harry menyadari Ade ingin memberi kesan tidak ada persoalan pribadi, hanya sedang sibuk kerja dan ingin liburan. SMS nya akrab, lucu dan riang. Harry benar-benar khawatir cara Ade mengatasi persoalan dengan menanggung beban sendiri itu akan berakibat pada kesehatannya. Menutup diri, tidak berbagi beban dengan sahabatnya, mencoba mengatasi sendiri masalahnya. Seperti kasusnya dengan Alan. Cara Ade menutup diri dan memutuskan berkomunikasi dengan orang lain dapat membuat Ade mengambil keputusan sendiri.
Harry tahu, dalam konfliknya dengan Ade kali ini, beban Ade sangat berat. Dia merasa sangat sendirian, karena hanya sedikit teman dan keluarganya yang mengenal Harry. Latar belakang Harry juga belum banyak diketahuinya. Hubungan merekapun masih dalam hitungan bulan. Jadi tentu saja soal Yanti dia merasa tak tahu apa-apa. Pasti dia menganggap Harry atau keluarganya sengaja menutupi masalah Yanti, yang sebenarnya tidak pernah ada. Aku akan menyelesaikannya, dan Tania bisa diandalkan, pikir Harry. Harry segera menghubungi Tania.
“Tania, bisa berangkat sama sama nggak? Aku akan pesan ticket untuk kita, moga-moga bisa berangkat sore ini” kata Harry.
”Sekarang aku sedang di Salemba, ada urusan sebentar” lanjut Harry.
“Aku bisa kok, aku aja yang pesan ticketnya, ada travel biro yang satu gedung dengan kantorku, tinggal telpon aja, ticket diantar” kata Tania. Harry benar-benar gembira mendengar jawaban Tania.
“Tadi aku sudah check, pesawat ada yang berangkat jam enam sore. Ke kantorku aja ya, berangkat sama-sama!” kata Tania lagi. Wow Harry senang sekali, sampai kemacetan di depan tak terasa menyebalkannya lagi.
“Tania, terima kasih lho! Nanti aku kesana, sebelum makan siang. Sampai ketemu ya, bye!” kata Harry.
“Mas Rizal, aku ke Bali nanti sore sama Tania, kawannya Ade. Doakan ya dan tolong kasih tahu Mama dan Om Jatmiko” kata Harry memberi tahu kakaknya melalui telepon. Rizal senang sekali mendengarnya.
“Oke, beres kalau gitu! Aku tunggu kabar ya”kata Rizal.

Harry dan Tania berpisah di bandara Ngurah Rai dengan menumpang taxi yang berbeda meski menuju hotel yang sama. Mereka khawatir Ade mengetahui dan malah menghindari Tania dan Harry. Tania langsung masuk ke kamar Ade, karena Ade sudah menitipkan pesan pada front office . Harry mendapat kamar dua lantai di atas kamar Ade. Harry berbaring sambil menonton televisi. Selama penerbangan Harry sempat menceritakan soal penolakan Ny. Jatmiko. Tania makin heran, karena selama ini dia sama sekali tak melihat ada beban pada Ny. Jatmiko.
Hampir dua jam Harry di depan komputernya, mengirim email untuk Rizal, para sepupunya Andre, Anton, Rudy, Daniel, Dino, Tommy yang sudah mengetahui permasalahannya. Harry geli dan terhibur membaca email Anton yang masih sempat menanyakan Tania.
“Mas Harry, Tania cantik nggak? Jangan-jangan kalau Ade lepas malah kecantol Tania lagi. Kalo cantik salam ya! Eh, iya, Yanti pulang naik bis, Mami marah banget sama dia. Tadi malam Mami telpon bapaknya Yanti, ngomel-ngomel! Nggak tahunya Yanti itu bukan saudara kita! Dia anak dari adik mantan suaminya Mami gue. Nah bingung kan! Iya, baru tahu aku kalau Mami itu sebelumnya sudah punya suami sebelum kawin sama Papi gue. Mami gue sebaik gitu eh punya keponakan ancur-ancuran!”
Harry juga menelpon Lola, menceritakan semuanya, juga rencana yang dia nanti menemui Ade. Lola mengaku Ade juga tak mau menerima telpon darinya.
“Pasti Ade pikir aku suruh dia dengar dulu penjelasan kamu Har, makanya dia nggak mau terima telpon aku” kata Lola.
Tadi Tania pesan agar Harry jangan sampai bertemu dengannya atau Ade, jadi Harry terpaksa mengurung diri di kamar saja hingga besok siang. Terakhir dia bertemu Ade saat makan siang bersama, Selasa minggu lalu, jadi sudah lebih seminggu dia tak melihat Ade. Rindu sekali sebenarnya, ingin sekali melihat Ade, meski dari jauh. Jadi Harry membukai file images di komputernya. Menatap foto Ade dan dia ketika di Semarang dan beberapa kegiatan lain, di ulang tahun Sheila, ulang tahun Ade yang mereka rayakan dengan bersama-sama keluarga Harry dan keluarga Lola menginap di Puncak. Foto Harry bersama Ima, Sheila dan Ade. Foto upacara tujuh bulan kehamilan isteri Andre, Ade mengenakan busana Muslim, seragam dengan Amelia, Intan, Sinta dan Anita. Harry kangen sekali.
Sudah jam sebelas, ketika telepon Harry berdering, dari Tania.
“Harry, aku lagi di toilet. Kami lagi di lobby, ngobrol sama Yuri. Ade nggak curiga kok. Besok Jum’at jangan keluar sampai jam sembilan ya. Kami ke Kuta jam sembilan dan kembali ke hotel jam dua belas makan siang. Jam dua peresmian outlet di Jimbaran ini. Jadi hati-hati, kalau mau keluar sholat Jum’at , jangan balik segera, nanti kepergok. Coba pas makan malam aja, aku usahakan makan di hotel aja, nanti aku pura-pura nggak enak badan” kata Tania.
“Beres Tan! Kasih kabar terus ya. Thanks Tan” kata Harry.

MAKAN MALAM

“Tania, sudah jam tujuh, pergi cari makan yuk! Ngapain datang jauh-jauh malah tiduran!” kata Ade mengajak Tania. Sejak sore sore Tania sudah pasang aksi, tiduran sambil nonton televisi.
“De gue capek nih! Tadi seharian jadi dayang gitu sih! Gila banget kerjaan lo, kenapa nggak bawa staf Jakarta sih?” keluh Tania.
“Tan, sekretaris gue cuti, yang lain persiapan untuk buka outlet Pekanbaru sama Batam. Ah elo, gitu aja bilang kaya dayang! Gue lagi keringat dingin , tadi elo malah ngobrol sama pak pejabat. Kalau nggak, sibuk SMS melulu. Kalo dayang kan nggak gitu sama permaisuri. Kipasin gue!” jawab Ade tertawa.
“De, Pak Made tadi keren lho! Dia tawarin gue lihat ke puri keluarganya.Emang dia pangeran ya?” kata Tania, senyum-senyum.
“Eh, awas lho sampai macem-macem, gue bilang ama Richard elo selingkuh!” kata Ade lagi. Keduanya tertawa berderai.
“Ayo dong Tan, gue lapar nih! Telpon Yuri ah, bisa keluar nggak dia? kata Ade sambil mengangkat telpon.
“Yuri, gue sudah bebas nih dari kerjaan! Pergi yuk!”ajak Ade. Tania menunggu, berharap Yuri tak bisa pergi.
“Aduh Yuri! Elo malah lagi tugas? Apes amat sih, gue mau fun , eh kalian lagi nggak bisa. Itu lihat, Tania memeluk bantal dari tadi sore, mau makan di hotel aja katanya! Besok bisa kan Yur, gue kangen Ubud?” kata Ade bujuk Ade.
“Thanks God!” ucap Tania dalam hati, rencana bisa lancar!
“Tania, mau pesan apa? Telpon Room Service deh!”kata Ade sambil duduk di tempat tidurnya.
“Waduh tega lo De! Apa gue udah kelihatan parah atau jompo gitu? Gue masih kuat kalo cuma jalan ke lobby neng! Mana enak makan di kamar, sepi!”jawab Tania, bangkit. Berganti baby doll nya dengan blus kaos warna putih dan celana jeans. Tania mencelupkan kakinya ke sepatu olahraganya.
“Abis makan gue mau ke Gym ah!” kata Tania, menyisiri rambut pendeknya, menyemprotkan parfum ke tubuhnya dan mengoleskan lipstick pinknya.
“Gimana sih, katanya capek, malah ke Gym?” kata Ade sambil mengoleskan lipstick warna peach serta mengoleskan parfum ke belakang telinga, lengan dan lehernya. Tania dan Ade sama sama suka White Musk, wanginya segar. Untuk makan malam santai ini, Ade tak ganti baju. Blus kaos lengan pendek warna putih, celana capri biru dan sepatu bertumit pendek warna putih. Bando putih untuk menghalangi rambutnya terjurai ke dahinya.
“Gue dapat rekomendasi dari Yuri. Di Gym asyik, bisa hunting!” kata Tania, istilah mereka bertiga untuk mengamati pria.
“Ya udah, pergi yuk, ntar gue ikut liat-liat juga!”kata Ade menuju pintu. “Tan, jangan lupa kunci” katanya lagi. Mereka keluar menuju lift. Sambil berjalan Tania masih sibuk dengan tasnya, memasukkan kunci kamar ke dalam dompet.
“De percuma ikut gue hunting, Harry mau dikemanakan?” kata Tania menjulurkan lidahnya mengejek ketika mereka berada di dalam lift yang membawa turun ke lobby hotel.
“Garage Sale!” kata Ade sambil tertawa. Tania tak tahan tertawa berderai.
“Kualat lo!” kata Tania. Ade hanya tersenyum mendengar komentar Tania.
Mereka menuju restoran, sebuah meja bundar masih kosong dibagian agak ke tengah. Meja lain sudah terisi penuh. Memang waktu makan malam dan bersantai. Karena Sabtu malam, jadi ada live music, pemain piano yang sekarang sedang membawakan lagu oldies , lagu lagu lama yang pernah terkenal. Wisatawan asing, kulit putih dan kuning. Mungkin Cina, Jepang, Korea atau Singapura, Malaysia atau Thailand. Beberapa orang Indonesia juga terlihat makan di restoran itu.Yuri bergabung untuk ngobrol saja, tak ikut makan karena sedang bertugas hingga jam sepuluh nanti. Ade dan Tania segera menghabiskan makan malam mereka, lalu mengobrol bertiga sambil mendengarkan musik. Sudah jam delapan lima belas menit, pikir Tania.
“Sorry, gue ke toilet dulu!” kata Tania bangkit. Ade dan Yuri masih asyik bicara soal rencana besok.
“Turun sekarang Har, cepetan! Ade lagi makan sama Yuri di restoran,. Gue mau lama-lama di toilet nih! Grogi tahu! Do the best, okay?” kata Tania, benar benar merasa khawatir. Harry makin gugup menerima telpon Tania. Sejak sore Harry sudah gelisah. Waktu ujian sarjana rasanya tak seperti ini kata Harry dalam hati. Memasukkan telpon genggamnya dan kunci kamar berbentuk kartu, smart key ke saku celananya. Dalam lift Harry merapikan kaos polo putihnya. Celana jeansnya serta mengikat sepatu olahraganya yang berwarna putih. Dari depan pintu restoran Harry sudah melihat Ade sedang asyik bicara dengan temannya. Ade tidak menyadari kedatangan Harry. Yuri melihatnya, tapi karena tidak mengenalnya, jadi tak memperhatikannya hingga Harry berada di depan Ade.
“Selamat Malam De!” sapa Harry. Ade yang sedang bicara menoleh dan menampakkan wajah kagetnya. Tapi dengan cepat menguasai keadaan, tersenyum pada Harry, seakan akan Harry kenalan biasa.
“Eh…. Mas Harry! Selamat Malam!”kata Ade sangat formal. Sama sekali tidak berdiri atau mempersilahkan Harry duduk.
“Boleh aku duduk disini? Aku mau bicara denganmu”kata Harry minta izin, mengangguk hormat pada Yuri. Yuri membalas hormat.
“Yuri, kenalkan temanku” kata Ade. “Mas Harry, kenalkan ini Yuri, PR Manager di hotel ini” lanjut Ade. Harry menyalami Yuri, kemudian duduk di sebelah Ade.
“Silahkan kalian ngobrol, aku ke kantor dulu” kata Yuri bangkit meninggalkan mereka berdua. Di depan pintu Yuri bertemu dengan Tania yang buru-buru menariknya ke sudut tak jauh dari restoran. Yuri faham apa yang terjadi. Mereka berdua mengawasi Harry dan Ade yang masih bicara.
“Ade, kenapa begini? Aku mau jelaskan persoalannya, sudah baca semua email dan SMS ku kan?”kata Harry memulai bicara.
“Mas Harry, nggak perlu repot menjelaskan. Mataku jelas lihat dan dengar, oke!” jawab Ade ketus, memandang Harry dingin.
“Ade jangan sepihak gitu, dengarkan penjelasanku dulu” pinta Harry membujuk Ade. Sepintas Harry masih melihat gelang pemberiannya masih melingkar di pergelangan Ade. Ada harapan, pikir Harry.
“Okay, cepat katakan, aku mau pergi”kata Ade melunak.
“Aku tidak punya hubungan apapun dengan Yanti, jangan hancurkan rencana kita hanya karena Yanti. Satu lagi, keluarga nenekku tidak ada hubungan dengan penculik Opamu” kata Harry berharap ucapannya menyentuh hati Ade. Harry melihat raut wajah Ade mulai tersenyum, senyuman yang dulu membuatnya jatuh hati.
“Mas Harry, terima kasih selama ini menyayangiku! Ini, gelangmu, kasihkan Yanti saja!”kata Ade meletakkan gelang yang tadi masih menghiasi pergelangannya di atas meja. Rupanya dengan cepat Ade telah melepaskannya. Harry kaget sekali hampir tak percaya! Harry ingat ucapan Ade ketika mereka ngobrol di teras rumah Opanya. Artinya Ade memutuskan hubungan.
“Ade, jangan begitu…. Dengarkan aku De!” kata Harry sedikit lebih keras. Ade bergerak bangkit dari kursinya. Tak menghiraukan ucapan Harry.
Harry berpikir, sekali Ade pergi meninggalkan tempat ini, maka selamanya dia tak akan dapat lagi bersama Ade. Harry menangkap tangan Ade, memegangnya dengan dua tangannya. Ade tidak memberi reaksi apapun. Tidak tersenyum atau cemberut, tanpa suara. Ade hanya berdiri tegak dihadapan Harry. Dari jauh Tania melihat dan mulai khawatir ketika Ade berdiri tanpa reaksi dihadapan Harry. Yuri juga mengamati. Berlangsung hampir lebih lima menit. Tania dan Yuri benar-benar khawatir, beberapa pengunjung mulai tertarik melihat tingkah mereka berdua. Harry putus asa untuk membuat Ade bicara dan mendengarkannya.
Tak ada yang menduga ketika Harry melepaskan tangan Ade, mundur beberapa langkah dari Ade berdiri menjauh dari meja makan. Kemudian dengan luwes membungkukkan tubuhnya memberi hormat pada Ade. Lalu duduk berlutut di atas karpet. Harry berusaha mengatur nafasnya yang berdetak kencang. Ini usaha terakhirku, pikirnya. Aku tak lagi peduli pada apapun, selain mendapatkan Ade kembali. Menegakkan kepalanya dengan sempurna, menatapi motif karpet di lantai tempat dia berlutut. Pemandangan yang ganjil disebuah restaurant bertaraf internasional.
Ade kaget melihat tingkah Harry, sementara beberapa pengunjung restoran jadi tertarik melihat Harry duduk berlutut. Tania dan Yuri berlari mendekat. Bingung.
“Mas Harry, bangun! Apa-apan sih!” kata Ade tersadar mulai menarik perhatian orang lain. “Malu kan! Ayo bangun!” kata Ade lagi, mulai khawatir, karena beberapa pengunjung malah ada yang meninggalkan meja mereka. Terutama para wisatawan bule yang merasa suatu kejadian unik sedang berlangsung. Dengan cepat kerumunan mereka terbentuk sebuah lingkaran dengan Ade dan Harry di tengahnya.
“Ade, aku tidak akan berdiri sebelum kamu mau menerima penjelasanku dan pulang sama-sama untuk meneruskan rencana hari Minggu ini. Hari ini keluargaku sudah di Jakarta semua. Oma akan menjelaskan asal usul keluarga Hiraoka” kata Harry sama tegasnya dengan sikap Ade.
Harry sekarang tidak peduli beberapa wisatawan memotretinya. Dia menunduk kepalanya dengan sikap sempurna sebagaimana yang diajarkan neneknya. Aku terpaksa menggunakan cara ini, pikir Harry. Harry mendengar beberapa komentar dari orang-orang yang mengelilinginya. Bercampur dalam berbagai bahasa. Indonesia, Bali, Inggeris, Jerman, Perancis, Tagalog, Spanyol Jepang, Mandarin dan Korea. Harry benar-benar tidak peduli, dia hanya fokus pada sikap Ade. Menunggu, rasanya lama sekali. Ade hanya diam terpaku.
“Oh my God! Harry! Is this the only way?” kata Tania mendekati Harry sambil menguncang bahu Harry. Harry mengangguk. Yuri mendekati Ade yang berdiri mematung. Beberapa orang memotreti Ade. Yuri terpaksa meminta kerumunan untuk bubar. Tapi seorang entah asal Cina, Jepang atau Korea malah memprotes Yuri. Dia menjelaskan mereka tidak terganggu dengan ulah Harry. Bahkan akan menemani Harry di sana, untuk mendukungnya. Padahal mereka tak tahu persoalan apa yang dihadapi Harry dan Ade. Meski protes pria itu dalam bahasa Inggeris yang tak sempurna, tetapi semua ternyata mendukung Harry. Mereka bertepuk tangan. Yuri tak bisa melarang. Para staf restoran juga turut bergabung, sehingga Yuri terpaksa mengusir mereka untuk kembali bertugas. Bagaimanapun ini bukan perbuatan kriminal, ini cara untuk memohon maaf.
Memang di beberapa negara Asia, cara memohon maaf seperti ini lazim saja, terutama masyarakat Cina, Jepang dan Korea. Memohon maaf atau meminta sesuatu agar dikabulkan dengan sungguh sungguh dan tulus. Biasanya cara ini meluluhkan hati, sehingga permintaan maaf diterima atau masalah dianggap telah selesai. Negara Asia lain juga mirip, misalnya dengan menyembah, tapi pada umumnya berlutut seperti ini. Memposisikan diri lebih rendah dari pada yang dimintai. Cara yang dianggap sopan dan lebih bermartabat tinggi.
Ade berharap Harry segera bangkit setelah hampir sepuluh menit. Ternyata dia salah duga. Harry tetap duduk di karpet, diam bagai sedang bersemedi. Ade tak menyangka laki-laki yang dicintainya ini begitu keras kepala. Tania mendekati Ade, memegang tangan Ade.
“Ade, this is crazy! I know you love him so much! Listen his explanation, please! Harry’s grandmother nothing to do with Kempetai who kidnapped your grandfather. In Japan, too many Hiraoka! Do you want him die? Are you really happy to see him fall down on his knees! Are you satisfied? Huh, Ade… listen to me!” kata Tania gugup, memeluk Ade. Tania membujuk agar Ade menerima Harry lagi, tak tega melihat Harry berlutut menjadi tontonan.
Yuri juga mendekati Ade, mengguncang bahu Ade, berbisik, “Reporters! They’ll bites you!” katanya memperingatkan Ade ada wartawan. Sepintas Tania melihat reporter yang siang tadi meliput acara peresmian outlet. Kebiasaan Tania adalah makin panik atau ingin cepat mengungkapkan pikirannya, dia akan bicara dalam bahasa Inggeris, bahasa ibunya. Hal ini membuat para pengunjung yang sedang mengelilingi Ade dan Harry jadi mengerti persoalan yang dihadapi Harry dan Ade. Mendengar bujukan Tania, para penonton sekali lagi bertepuk tangan. Harry benar-benar tidak peduli situasi itu. Tania berbisik pada Ade.
“Look , the reporters taking your pictures! Come on! It’s become a big news for them!” kata Tania memperingatkan lagi, juga mengguncang bahu Ade. Ade tersadar melihat ke depannya, begitu banyak orang. Alunan piano pun telah berhenti terdengar. Suara bisik bisik bagai dengung lebah disekelilingnya. Ade bergerak mendekati Harry, sementara penonton menjadi hening. Para pengunjung telah bersiap dengan camera mereka atau dengan camera telepon genggam, menunggu apa yang akan terjadi. Maklum mereka pada umumnya sedang berwisata, jadi kemana mana membawa kamera.
“Mas Harry, sudah bangun saja! Aku mengerti, tolong kita bicarakan di tempat lain”kata Ade. Harry masih tetap menunduk. Ketika Ade turut berlutut dan menarik tangannya Harry baru mengangkat mukanya. Camera beraksi, sungguh bagai promosi camera produk Jepang! Dari yang tipe amatir sampai yang jenis professional camera. Moment yang mereka tunggu! Harry bagai meledak gembira, meski tetap menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. Dia tahu, masalah belum sepenuhnya selesai. Mengangkat wajahnya menatap Ade.
“Ade, aku minta maaf untuk soal Yanti. Bisa pulang bersamaku? Oma akan menjelaskan semuanya. Hiraoka, nama keluarga Oma tidak ada kaitan dengan hilangnya Opamu. Kempetai yang kirim kakekmu jadi romusha itu Hiraoka lain. Oma tidak kenal”kata Harry. Ade mengangguk, mulai terganggu dengan kerumunan orang yang menontoni mereka berdua.
“Oke, kita pulang! Pertemuan keluarga kita lanjutkan. Sekarang Mas Harry bangun!”kata Ade hampir menangis, susah payah menahan airmatanya agar tidak sampai menetes. Sinar lampu camera terus saja berkilauan.
Seorang pria paruh baya, rupanya orang Indonesia, pengunjung restoran geleng geleng kepala, ketika mendengar ucapan Harry.
“Gila banget, akibat Perang Dunia kedua masih jadi derita anak muda jaman sekarang! Hampir saja mereka bubar!” katanya. Kemudian dia menjelaskan pada tamunya yang tak mengerti yang memintanya menjelaskan karena tak mengerti dialog yang terjadi antara Harry dan Ade. “They love each other. The lady’s grandfather was kidnapped by the Kempetai, Japan’s soldier name Hiraoka, and sent him as romusha in World War 2. Hiraoka is family’s name by the grandmother of this youngman without any relationship with the Kempetai. Unfortunatedly, the lady’s family cannot accept him. So, this night he fought to get his lover back! I am very very proud of him!” katanya menjelaskan pada relasinya. Akhirnya, bisik-bisik saling menjelaskan kepada teman masing-masing terdengar dalam berbagai bahasa. Riuh, berdengung bagai lebah terdengar lagi.
Harry dan Ade, bangkit berdiri, semua penonton bertepuk tangan, gembira. Sebagai tanda terima kasih atas dukungan mereka, Harry memberikan hormatnya dengan membungkuk. Ade menganggukkan kepalanya. Ade segera mengambil tas dan gelang yang tadi dilepasnya, bersama Harry, Tania dan Yuri meninggalkan ruangan menuju lift.
Ternyata benar kata Tania dan Yuri tadi, dua reporter membuntuti mereka hingga ke depan lift. Untung Yuri segera bertindak, meminta mereka menggunakan lift di sebelah.
“Ade, kamu langsung ke kamar Harry”kata Yuri begitu berada di lift. Tania menekan tombol lantai lima. Begitu lift tiba di lantai lima, Yuri mendorong Ade dan Harry keluar lift.
“Cepat lari, wartawan itu mungkin sudah tahu kamar kamu. Aku turun lagi, hilangkan jejak. Jangan keluar sampai aman!” lanjut Yuri.
Harry segera meraih tangan Ade, berlari di sepanjang koridor menuju kamarnya di ujung. Membuka pintu cepat cepat, menarik Ade masuk ke dalam dan mengunci pintunya. Kamar Harry masih gelap, hanya lampu kecil yang menyala di depan toilet persis di depan pintu. Harry menyalakan lampu kamarnya, membimbing Ade duduk di kursi di depan meja rias. Harry menyalakan lampu duduk yang berada di ujung kiri meja rias. Harry menatap Ade, hampir tak percaya bisa melihat Ade tersenyum lagi.
“Ade, kamu bikin aku ketakutan setengah mati!” kata Harry memegang tangan Ade. Rupanya Ade masih mengggenggam gelangnya. Harry mengambilnya, membungkukkan tubuhnya, memasukkan gelang ke pergelangan tangan kanan Ade. Harry merasakan tangan Ade begitu lembut dan lemas. Begitu dia mendongak, Harry melihat wajah Ade yang pucat, matanya tertutup dengan sedikit air mata mengalir di pipinya. Kepalanya bergoyang ke belakang. Harry cepat menangkap Ade, sebelum kepala Ade membentur meja. Ade pingsan!
Harry sangat kaget dan dengan gugup mengangkat Ade ke tempat tidur. Menepuk nepuk pipi Ade. Dia melihat hanya ada aftershave lotion di meja riasnya dan air minum. Harry membasahi handuk kecil dengan air dan aftershavenya, mendekatkan ke hidung Ade berharap Ade tersadar. Harry memeriksa denyut nadi Ade, sedikit lemah tapi tidak mengkhawatirkan.
“Tania, cepat kesini, Ade pingsan!”panggil Harry, begitu Tania menjawab panggilan telponnya.
“Nggak bisa Har! Tangani sendiri dulu. Reporternya masih dekat gue! Nanti malah ikut naik ke atas!”katanya, cepat-cepat menutup telponnya. Harry terus mencoba menyadarkan Ade, hingga akhirnya Ade membuka matanya. Ade melihat Harry duduk di sampingnya dengan wajah khawatir. Ade bergerak akan bangun, tetapi rasanya kepalanya pusing.
“Jangan bangun dulu, istirahat dulu!” Kata Harry menahan Ade. Harry memijiti kepala Ade pelan. Wajah Ade sudah tidak sepucat tadi. Telpon di meja samping tempat tidur berdering, Harry mengangkatnya, suara Yuri.
“Harry, saya Yuri, Ade bagaimana? Katanya pingsan? Perlu kirim dokter?”kata Yuri khawatir.
“Terima kasih Yuri. Sudah sadar kok, shock mungkin!” kata kata Harry.
“Bagus, nanti aku kirim kopi susu sama kue ke sana. Jangan keluar dulu, suruh Ade tidur dulu! Aku sama Tania masih ngobrol sama wartawan. Terpaksa cegat di depan. Mungkin tetap ada pemberitaan tentang kalian, tapi aman kok, aku jamin!”kata Yuri.
“Terima kasih sekali lagi! Moga-moga beritanya nggak pakai foto” kata Harry. Harry merasakan Yuri juga seperti Tania, tulus dan lincah. Dia menyukai kawan-kawan Ade. Padahal baru malam ini dia mengenal Yuri.
“Wah soal itu aku nggak bisa cegah! Camera milik mereka, moment mereka sendiri yang dapat. Mereka nggak memotret restoran kami, jadi aku nggak bisa larang. Yah… jadi selebritis kan nggak apa-apa!” kata Yuri tertawa. Harry kehilangan kata kata, selain mengiyakan saja.
“Okay, nanti aku kabari lagi. Lagipula selesaikan dulu urusan kalian ya!. Aku mau terima undangan resepsi pernikahan paling lambat satu bulan dari sekarang!” lanjut Yuri berderai tawa. Harry jadi ikut tertawa.
Harry kembali ke dekat Ade yang sudah bangkit dari berbaring. Duduk di tempat tidur. Harry duduk menghadapi Ade, menyerahkan gelas berisi air putih.
“Ade, jangan begini lagi ya! Kalau marah sama aku, kita bicarakan, jangan menghindariku. Kalau aku salah aku minta maaf, tapi jangan pergi dulu. Dengarkan alasanku. Okay De?” kata Harry sambil meraih bahu Ade, memeluk Ade. Harry merasakan sudah begitu lama tidak memeluk Ade, tubuh Ade berguncang, menangis.
“Menangis aja De, keluarkan semua! Jangan ditahan. Kalau masih kesal boleh tampar Mas Harry!” kata Harry sambil tertawa. Ade menyusut air matanya dengan punggung tangannya. Harry mengambil handuk yang tadi digunakannya, menghapus pipi Ade. Hidung Ade mencium bau aftershave milik Harry.
“De, Yanti bilang apa sama kamu? Aku penasaran sampai kamu begitu marah dan membatalkan semua rencana”desak Harry.
”Ayo, apa?” kata Harry lagi.
“Aku mau panggil Sheila lagi main computer games di kamarmu ketemu dia” kata Ade singkat.
“Dia lagi apa?”tanya Harry, karena bagian ini Rizal, Mbak Pur atau Mbak Atun tidak mengetahui.
“Tiduran di tempat tidur Mas Harry, memeluk guling” kata Ade. Harry benar-benar heran dengan kenekatan Yanti.
“Pakai baju aku?” kata Harry mencocokkan dengan apa yang dia lihat. Ade mengangguk.
“Dalam pakai T shirt yang dari Manado, luarnya pakai Yukata”kata Ade lagi. Harry menepuk kepalanya.
“Benar-benar gila itu orang!” katanya.
“Ade, aku benar-benar minta maaf soal ini. Aku bukan korban pertama Yanti. Dulu Rudy juga pernah, tapi hanya sampai dikirimi makanan gitu. Nggak sempat masuk kamar, soalnya kan masih ada Tante, jadi dia sungkan. Kemarin itu sama pembantu, jadi dia bebas. Tapi kenapa kamu nggak bilang apa-apa sama dia?”kata Harry.
“Ada gunanya nggak mempertahankan barang sudah busuk? Aku pasti nggak tahan, bau!” kata Ade menatap Harry jadi sengit.
“Waduh… aku sudah dianggap busuk! Sudah tahu kan aku tak sebusuk itu, ya kan?” kata Harry.
“Tadi gila sekali! Mas Harry nggak malu apa ditonton orang begitu banyak? Aku bingung sekali!” kata Ade. Harry menggeleng.
“Kan aku dulu pernah bilang, aku paling keras kepala. Itu cara terakhir untuk menyakinkan kamu atas sikapku” kata Harry.
“Tapi kalau masuk koran bagaimana?” tanya Ade bingung.
“De, aku nggak malu, aku nggak peduli! Aku nggak jadi cacat kok! Sekarang seluruh dunia tahu aku berlutut di depanmu juga nggak apa-apa” kata Harry serius.
“Besok kita pulang ya De!” kata Harry. “Aku mau telpon ke rumah dulu” lanjutnya meninggalkan Ade tepat ketika pintu kamar di ketuk. Harry membukakan pintu, dan petugas hotel mendorong sebuah meja kecil. Kiriman Yuri, makan malam lengkap, sebuah vas kecil dengan bunga mawar warna kuning cantik sekali. Petugas hotel menutup pintu kamar perlahan.
“Dari Yuri” kata Harry. “Ini ada kartunya” kata Harry menyerahkan ke tangan Ade. Mereka membacanya berdua.
“Ade and Harry-san, Thank You for spent your special moments in our beautiful hotel. Happy reunion!” bagian sudut kartu, masih ada tulisan tangan: Special Promotion” : 3 days Honeymoon special disc: 100% for room rate and other facilities. Valid till I die! Yuriko.
Ade dan Harry tertawa membaca kartu itu. Ade mengambil telpon genggamnya.
“Yuri, Thank you, makanan dan kartunya. Kalian dimana? Gue sudah bisa turun nggak?” kata Ade.
“Wah sorry De! Gue sama Tania lagi di jalan mau ke Kuta. Tadi kita ketemu Buche sama Frans, ingat nggak anak Fakultas Tehnik, lagi tugas di sini. Jadi kita mau ke diskotik rame-rame!” kata Yuri santai.
“Hey, kok aku ditinggal? Tadi Tania bilang nggak enak badan! Mana Tania, gue mau ngomong” pinta Ade. Harry berdiri dekat Ade, Ade menekan tombol speaker, sehingga Harry mendengar pembicaraannya.
“Iya De? Ini gue ada apa say? Siapa bilang gue nggak enak badan. Dayang Tania mau bebas dulu ya Bu permaisuri! Urusin raja yang tadi berlutut. Baru sekali ini seumur hidup gue liat ada raja berlutut! Padahal ‘Mak gue dari kerajaan Inggeris! Ke Disko De, Disko! Ow…ow! It’s not for married women like you! Just stay beside your Japanese lovely handsome husband!” kata Tania sambil tertawa-tawa.
“Gila lo! Tania, pulang jam berapa? Kunci dititip front office nggak?” tanya Ade.
“What!…wow… I am so sorry honey! The key is here! In my wallet. Lupa!” kata Tania, dia lupa meninggalkan kunci kamar Ade di front office. Mengakui kunci kamar terbawa dan masih ada di dompetnya.
“Tania! I hate you! I am so tired! I need my room’s key!” kata Ade menyesali kunci kamar yang terbawa Tania. Dia merasa capek, ingin tidur di kamarnya. Tania tertawa berderai derai, juga terdengar suara Yuri yang berteriak nakal, Bye bye.
Harry tersenyum mendengar percakapan lucu tiga sahabat ini. Mereka sangat akrab, terus terang dan saling dukung. Ketiganya juga sangat giat bekerja. Berpikiran maju, setia kawan dan ketiganya cantik. Harry sangat bahagia, seorang diantaranya akan mendampinginya. Harry tadinya mengira Yuriko setidaknya berwajah Asia, ternyata dia salah. Wajahnya mirip dengan Ade, sedikit lebih pendek tubuhnya tapi berkulit lebih pucat dan mata biru bening. Jika bicara suara sengaunya jelas, khas warga Perancis.
“Ayo, kita makan malam sama sama! Steak without red wine!” kata Harry, menatap Ade.


GARAGE SALE

Harry menarik meja kecil berisi makanan kiriman Yuri ke dekat Ade duduk. Ade duduk di kursi meja rias yang tadi di dudukinya. Di meja rias itu hanya ada laptop Harry.
”Kita makan dulu De, setelah itu check email. Mas Rizal lagi nunggu cerita detail. Kita chatting aja nanti” kata Harry. Ade mengangguk.
“Kan aku sudah makan Mas, aku mau buah aja” kata Ade.
“Oke, yang penting temani aja, aku sih lapar banget. Sudah berapa hari makan nggak karuan!” kata Harry. Ade tersenyum melirik Harry.
“Hey, kok ngeledek sih, serius….. aku nggak makan malah nggak tidur tidur” kata Harry. Dia tahu Ade mengejeknya.
“Ya deh” jawab Ade, lalu mengambil piring berisi steak, menyerahkannya pada Harry.
“Duduk disini deh” kata Ade sambil berdiri dari kursi. Menggeser laptop Harry ke sudut kanan meja rias. Harry meletakkan piring steaknya. Ade menyerahkan garpu dan pisau. Menuangkan air pada gelas bersih yang ada di nampan.
Harry memotong daging steak di piringnya, menusuknya sepotong.
“De, coba, makan dulu” kata Harry. Ade menggeleng, tapi dia melihat Harry memohon dengan matanya. “Duduk disini” kata Harry menyuruh Ade duduk dipangkuan Harry. Ade tahu kebiasaan Harry jika makan bersamanya, suapan pertama selalu untuk Ade. Ade ingin memulihkan keadaan yang pernah kacau. Jadi dia mendekati Harry, duduk dipangkuannya, menerima daging yang disuapkan Harry ke mulutnya.
Ade mengunyah daging di mulutnya, kemudian minum air putih. Rasanya sulit menelannya, tercekat di tenggorokannya. Ade merasakan rasa haru lagi, menyesal telah memperlakukan Harry dengan buruk. Ade memeluk Harry.
“Mas, aku minta maaf” bisik Ade, suaranya hilang karena airmatanya mengalir. Harry balas memeluk Ade, tersenyum mendengar bisikan Ade.
“Aku sebenarnya sedih sekali karena Yanti. Rasanya kali ini lebih sakit daripada waktu Alan sama Devy” kata Ade mengakui.
“Mas Harry pasti malu sekali duduk di lantai seperti itu, aku keterlaluan ya” kata Ade lagi. Harry tertawa. Menggeleng.
“De, aku nggak malu kok. Mereka juga nggak mentertawakan aku. Lagipula aku nggak peduli” kata Harry.
“Sekarang jangan coba-coba kabur lagi, jangan menghindariku. Kita masih menghadapi satu masalah lagi, ingatkan?” kata Harry. Ade mengangguk , Harry menyusut airmata Ade dengan jari tangannya.
Ade berdiri meninggalkan Harry, duduk di kursi lain yang ada di kamar itu. Ade mengambil remote control menyalakan televisi, mencari beberapa stasiun, menontonnya tanpa minat. kemudian mematikannya lagi. Ade kembali ke dekat Harry yang hampir selesai makan, menyalakan laptop milik Harry. Menunggunya hingga computer siap digunakan.
“Langsung ke internet De” pinta Harry, Ade mengangguk, menggerakkan telunjuknya ke ikon internet explorer . Ade mengakses alamat email pribadinya. Ternganga melihat begitu banyak surat masuk untuknya. Mailboxnya penuh!
“Mas, apa kau mau jadi pengarang? Bikin email sebanyak itu” kata Ade menunjuk layar monitor. Harry tertawa saja.
“Kamu punya email sebanyak itu apa nggak dibaca? Nggak sangka aku rupanya punya pacar disleksia” kata Harry balas menggoda Ade.
Berdua mereka membacai email yang masuk untuk Ade. Meski email Harry singkat, tapi tak urung bikin Ade terharu. Dia yakin seandainya dia membacanya sebelum ini, Harry tak perlu berlutut seperti tadi. Email Lola dan Bang Lucky juga. Email dari para sepupu Harry dan isteri serta pacar mereka juga mengharukan Ade. Tak menyangka mereka sudah bersiap untuk turut hadir pada acara hari Minggu nanti. Email Rizal yang membuat Ade hampir menangis lagi.
Ade sayang! Sejak pertama kali melihatmu aku sudah memastikan kita akan menjadi keluarga. Kau begitu tulus membimbing Sheila ke toilet, ingat kan? Kau akan jadi iparku! Harry mencarimu sejak dulu, tidak tertarik sama gadis lain, apalagi Yanti!. Kami selalu mengejek Harry punya kelainan jiwa, curiga dia gay, menjuluki ghost lover, the mission impossible man! Dia menyandang predikat itu tanpa protes atau marah supaya bisa bertemu Ade.
Kami sangat rindu, jangan tinggalkan kami karena ulah Yanti. Aku tidak bermaksud membela Harry karena dia adik kandungku. Memang kenyataannya, Harry tidak pernah menginginkan orang lain, apalagi Yanti. Jangan tinggalkan Harry, please! Dengarkan penjelasan kami, pulang dulu.
Aku sudah kehilangan isteriku, Pris. Kalau kau pergi, kami tidak hanya akan kehilangan Ade tapi Harry juga. Bagaimana mungkin dalam tiga tahun, tiga orang yang kami cintai pergi meninggalkan kami? Kami tidak mampu menanggungnya. Kakakmu, Rizal.
Setelah membaca email Rizal, Ade menyusut air mata yang mengalir sedikit di sudut matanya. Ade teringat Rizal dengan mata yang sering terlihat melamun itu. Dia teringat perhatian Rizal yang tak berubah meski dia telah tahu Harry berpacaran dengannya. Merubah posisinya dengan ihlas menjadi calon ipar. Tak pernah menyinggung lagi rencana makan malam hadiah ulang tahunnya yang batal karena Ade mendadak sakit. Dia menunjukan kasih seorang kakak.
Dering telepon di kamar Harry menghentikan Ade membaca email lain. Ade melihat Harry mengangkat telepon.
“Halo! Oh Tania, lagi dimana?” kata Harry.
“Kesini aja, Ade lagi buka email, ok!” kata Harry, meletakkan telepon.
“Tania sebentar lagi kesini sama Yuri” kata Harry.
Begitu pintu dibukakan Harry, Tania dan Yuri masuk dengan wajah ceria, mendekati Ade yang duduk di tempat tidur memangku laptop.
“Lama banget sih! Kemana aja?” tegur Ade. Kedua temannya tertawa-tawa.
“Seru sekali! Nggak jadi ke diskotik! Males gue, bule semua. Ke CafĂ© dan ke pantai!” kata Tania pamer.
Sementara itu Harry tidak turut mengobrol, mengambil alih laptop dari Ade. Dia mengirim email untuk Rizal dan Lola, menceritakan hasil usahanya malam ini. Harry membiarkan ketiga sahabat itu mengobrol dan bercanda. Tak urung dia mendengar juga obrolan ketiga gadis yang kini sudah duduk bersila di tempat tidur Harry.
“Aduh De, gue baru tahu, Buche itu orangnya okey banget! Waktu di kampus kayanya dia menyebalkan banget” kata Yuri.
“Untung deh kalian bikin special event di hotel gue, kalo nggak mana bisa ketemu dia. Tadi dia sama Frans ikutan ngerubungi kalian, eh ketemu deh ama gue!” kata Yuri tertawa-tawa.
“Emang elo yakin dia masih single? Lalu Ucok mau taro dimana?” sahut Ade. Tania kini bersandar pada dua bantal yang ditumpuk di kepala di tempat tidur Harry. Harry melirik mereka, benar-benar the three musketeers, pikir Harry.
“Waduh…. Tania, kenapa Ade jadi kuper gini, ketinggalan berita ya? Di Jakarta sibuk apaan sih dia! De…..gue sudah putus sama si abang itu. Since I moved here, he realized, he could not control on me! Actually, he only need housewife taking of him, kids, big family and home for care! Not my type! And I let him go, free…. like a bird…” kata Yuri enteng.
“Lha dia pikir elo kan Jepang Yur! Mereka kan terkenal sangat patuh sama suami” kata Tania.
“Ah… stupid boy! Kan gue nama doang Jepang sama numpang lahir di Tokyo. Selebihnya Indonesia-Perancis” kata Yuri membela diri.
“Eh, balik lagi! Buche itu gimana? Emang elo nggak sedih waktu mutusin Ucok? ” desak Ade.
“Buche, gue liat-liat aja. Shopping jalan terus, ya kan Tan! De, gue nggak sedih putus sama Ucok. Dia juga nggak minta balik. Tauk deh kalo dia berlutut kaya Harry tadi!” kata Yuri lagi bercanda.
“Eh.. Yur, kalo Ucok bener mau berlutut gimana lo? Mau come back nggak?” goda Tania. Ade tertawa tawa. Harry jadi tertarik ingin mendengar jawaban Yuri.
“Mungkin gue akan ke bagian House-keeping . Ambilin ember sama lap pel. Lumayan kan tambahan pegawai baru di hotel gue!” kata Yuri terbahak. Tania, Ade dan Harry tertawa terbahak bahak mendengar lelucon Yuri.
“Hush! Kita berisik sekali, ntar kamar lain protes!” kata Tania, meski masih juga tertawa-tawa.
“Tenang, kiri kanan kamar Harry kosong. Emang lagi nggak full, weak-season sih!”kata Yuri.
“Tapi udah jam satu lebih. Mau nginep sini emangnya? Apa nggak heboh, Harry nanti dikira super hero, dari kamarnya keluar tiga cewek!” kata Tania.
“Yuk ah pulang!” kata Ade, bangkit. Harry tertawa mendengar olok-olok Tania. Mereka berjalan menuju pintu keluar.
“Mas aku ke kamar dulu ya” kata Ade. Harry mengangguk.
“Oke, kita makan pagi sama-sama besok, sekalian pesan tiket buat pulang” kata Harry.
“Oh iya, ticketmu untuk pulang pergi atau one way?” Kata Harry lagi.
“One way, kan aku tadinya mau pulangnya dari Perth!” kata Ade santai, tersenyum mengejek Harry.
“Eh, Tania pulang sama-sama juga kan?” kata Harry.
“Nggak dong! Rugi kan, sudah kesini, cuma ke pantai aja. Gue ama Yuri mau ke Ubud. Nanti beli sendiri aja. Yang kemarin, makasih lo!” kata Tania, tanpa sadar buka rahasia. Ade tertarik ucapan Tania. Harry tak sempat lagi mencegah Tania.
“Hm…. Ketahuan gue! Elo sama Mas Harry kerja sama ya! Dasar Tania penghianat!” kata Ade gemas, berusaha menangkap Tania yang segera berdiri di belakang Harry, Tania menjulurkan lidahnya sambil memegang bahu Harry. Harry tentu saja tertawa, mereka persis anak kecil sedang bermain.
“Sorry De, kerjaan gue berantakan tauk, gue tinggalin demi elo dan Harry! I told to my mommy. She understood. So I went to Bali with Harry. Just for you!” kata Tania.
“Okay, gue ampuni. Thank you! Cuma, elo nggak jadi top priority lagi ya buat abang gue Richard! Kalo Yuri mau boleh tuh!“ canda Ade. Tania terbelalak. Harry tertawa teringat SMS Ade untuk Tania.
“Oh… nggak apa-apa De, hapus aja deh! Tadi gue lihat Frans boleh juga, siapa tahu dia jadi menteri PU nanti, kan gue jadi ibu pejabatnya. Daripada gue punya ipar kaya elo, tukang ngambek!” balas Tania terkekeh. Ade benar-benar tak tahan tertawa terbahak.
“Ah…. gue nggak percaya Frans, dia kan anak FT” kata Ade. Yuri meledak tertawa, sambil menunjuk Harry.
“De, apa Harry lulusan fakultas dukun? Bukannya dia juga anak FT?” kata Yuri meneruskan tawanya. Tania juga bergabung mentertawakan Ade. Ade mati angin, tak dapat membalas canda temannya.
“De, satu lagi, jadi bikin Garage Sale nggak?” goda Tania. “Produk Jepang kan mutunya oke, iya kan Yur. Biar bekas banyak yang mau, daripada bekas Londo!” lanjut Tania. Yuri tertawa geli, Harry faham yang dimaksud Tania, jadi turut tersenyum.
“Ah…… udah ah! Kacau sama elo berdua! Pulang dulu ya Mas!” kata Ade, menarik tangan Yuri. Tania juga mengikuti dari belakang. Harry mengantar mereka hingga pintu lift.

Ketika kembali ke kamarnya, Harry masih merasakan suasana ceria di kamarnya, meski ketiga gadis itu telah pergi. Harry berniat untuk sekali waktu mengundang Tania dan Yuri ke rumahnya bergabung dengan para sepupunya. Pasti asyik!


OMA DAN MAMA


Ade mengemasi pakaiannya, memasukkan cosmetic pouch nya ke dalam tas, dua novel yang belum sempat dibacanya. Tania masih menyisiri rambutnya yang basah.
“The Davinci Code” nya jangan dibawa dong, buat iseng sebelum tidur” pinta Tania. Ade mengeluarkan lagi buku novelnya dari koper.
“Hari ini kita ke pantai yuk! Kan Yuri bilang pesawat berangkat jam empat” ajak Tania.
“Oke, tapi anter gue ke Sukawati ya, mau cari bed cover” kata Ade, menekan tutup kopernya, mengacak nomor kode kuncinya.
“Wah…. siap siap kamar pengantin nih! Gile bener, nggak nyangka gue!” kata Tania menggoda Ade.
“Syaraf! Beli oleh-oleh buat Mama sama Kak Ria, isterinya Bang Lucky, mau bawa ke Amsterdam” kata Ade tertawa.
“Eh iya, Tania mau kirimi ibu mertua nggak, buat nyogok? Richard pulang minggu depan” goda Ade, sambil masih mengumpulkan dua map, brosur dan management diary dari meja riasnya. Memasukkannya ke dalam tas kerjanya.
“Nggak, soalnya Richard bilang jangan kirim apa-apa, Maminya sudah mau pulang!” kata Tania yang sedang duduk di tepi tempat tidur, mengikat tali sepatunya.
“Kok Richard nggak bilang apa-apa ya!” kata Ade. “Hm… gue tahu sekarang, main belakang ya! Awas ya!”kata Ade, gemas pada Tania, bergerak hendak menggelitik Tania. Tania sudah berlari ke depan pintu kamar, sambil tertawa tawa. Ade mengejar Tania, ketika terdengar ketukan di pintu kamar. Pintu yang memang tak dikunci, terbuka, Harry berdiri diambang pintu dengan wajah segar dan ceria. Ade berhenti mengejar Tania, yang berdiri persis di depan Harry.
“Sedang apa? Bercanda ya!” kata Harry ketika melihat keduanya tertawa tawa. “Kalian sudah siap?” tanya Harry.
“De, kita berangkat jam lima belas tiga puluh. Sekarang makan pagi dulu, jalan-jalan masih sempat sampai kira-kira jam dua” kata Harry, sambil masuk.
“Tania, kita jalan-jalan yuk!” ajak Harry.
“Oke, sebentar ya, keringkan rambut dulu! Yuri juga ikut kok, kan nanti mau ke Ubud!” kata Tania.
“Yuri bawa mobil, dia bilang nggak usah sewa taxi. Full service sampai Ngurah Rai!” lanjut Tania. Terdengar ketukan di pintu, Ade membukakannya. Yuri masuk sambil menyerahkan dua koran ke tangan Ade. Satu koran lokal dan satu terbitan Surabaya.
“Harry, itu ada liputan special event!” kata Yuri tertawa. Harry mendekati Ade, rupanya berita tentang mereka ada di halaman belakang. Meski beritanya pendek saja, tapi fotonya cukup besar. Headlinenya juga menggoda, Provocative headline . Berlututlah, pasti pacarmu kembali lagi! Harry dan Ade membaca lanjutan beritanya:
Seorang pengusaha muda, Harry terpaksa berlutut di hadapan gadis pujaannya, Alexandra, di lantai restoran sebuah hotel berbintang di kawasan Jimbaran, Bali. Kejadian ini sempat disaksikan pengunjung restoran dari manca negara. Dia memohon agar kekasihnya kembali. Rencana pernikahan mereka terancam batal, bukan karena adanya orang ketiga. Kabarnya ibu sigadis, tidak setuju hubungan mereka. Alexandra, adalah eksekutif perusahaan garment, berada di Bali karena untuk persiapan pembukaan dua toko yang menjual produk garment di kawasan Kuta dan Jimbaran.
Pasal ketidak setujuan adalah, Harry berdarah Jepang dari pihak neneknya. Nama keluarga sang nenek sama dengan Kempetai yang menculik dan mengirim kakek Alexandra jadi romusha, saat pendudukan Jepang di Indonesia. Kakek Alexandra hingga kini hilang tak tentu rimba. Rupanya keluarga Alexandra masih sakit hati, akibatnya dua sejoli ini yang menanggung derita. Mengharukan sekali, padahal Perang Dunia kedua itu sudah lebih lima puluh tahun usai. Untungnya upaya Harry berhasil.
Menurut investigasi, ternyata Harry, yang wajahnya mirip bintang film idola asal Korea , semasa mahasiswa adalah aktivis kampus dan pernah memimpin para demonstran asal kampusnya bergabung dengan para mahasiswa lain se Indonesia di Jakarta. Sedangkan Alexandra, alumni perguruan tinggi negeri terkemuka, beberapa kali menjadi nara sumber untuk seminar yang diadakan di Jakarta berkaitan dengan usaha retail, pakaian jadi dan desain. Dia putri bungsu seorang purnawirawan perwira tinggi Angkatan Udara.Ternyata juga pernah jadi model untuk pakaian rancangan desainer top, Kamajaya, tentu saja dia cantik.
Menurut Yuriko, PR manager hotel tempat kejadian, serta kawan dekat gadis itu, Tania, keduanya malam itu juga kembali ke Jakarta. Keduanya menghindar dari usaha wartawan untuk meminta keterangan. Tapi tidak disebutkan menumpang pesawat apa. Ada kemungkinan ikut dengan helicopter milik bos perusahaan garment tempat Alexandra bekerja.
Seorang pengusaha asal Semarang, Susanto yang berada kebetulan berada di tempat kejadian bersama relasinya, mengenali Harry sebagai cucu relasi bisnisnya, seorang pengusaha garment asal Semarang. Dia turut bangga, warga kota asalnya bertindak semacam itu. Menurut Susanto, itu cara yang sangat bermartabat, memohon dengan tulus. Dia tak menyangka, orang muda seperti Harry masih menghormati tradisi itu. “Wah saya angkat topi sama dia” kata Susanto, pengusaha automotive itu mengakhiri keterangannya.
Harry dan Ade melihat foto mereka berdua dengan latar belakang kerumunan para pengunjung restoran. Terlihat juga Tania dan Yuri. Pada koran kedua, beritanya lebih singkat, hanya foto mereka besar dan jelas sekali. Harry tersenyum melipat kedua koran. Dia bingung siapa Susanto yang mengaku mengenalnya.
“Terima kasih Yuri! Buat aku ya, dokumentasi” kata Harry.
“Harry, aku rasa masih ada berita itu di media lain deh, coba nanti kita lihat koran lain atau internet, soalnya tadi malam aku lihat ada wartawan media lain” kata Yuri.
“Wow, selebritis nih sekarang!” goda Tania. “Okay, aku sudah selesai, makan pagi, terus berangkat” lanjut Tania.


Harry mendorong trolley berisi koper Ade, tas kecil pakaiannya dan dua tas laptopnya dan milik Ade serta dua bungkusan besar berisi bed cover. Harry tersenyum melihat tumpukan barang itu. Teringat waktu kemarin berangkat dengan Tania, pulang bersama Ade seperti sekarang benar-benar tak terbayangkan. Dari balik kaca pemisah ruang kedatangan dengan lobby, Harry sudah melihat kakaknya, Rizal berdiri diantara penjemput lainnya. Disamping Rizal, berdiri Lucky, kakak lelaki Ade. Rizal sudah memberitahu akan menjemput di bandara sore ini. Keduanya tersenyum lebar melihat Ade dan Harry muncul. Lucky segera berlari menyambut Ade dengan pelukkan. Dibelakangnya Rizal menyusul tergesa gesa.
“Ade, kamu ini bikin repot semua orang. Masih aja kaya dulu, tukang minggat” kata Lucky mencium pipi Ade sambil menepuk nepuk pundak Ade. Lucky kemudian menyalami Harry dan memeluknya.
“Terima kasih Harry, anak nakal sudah bisa dibawa pulang” kata Lucky, tersenyum. Harry hanya tersenyum ketika Ade mendatangi Rizal yang berdiri di belakang Lucky. Ade menyalami Rizal yang kemudian meraihnya, memeluk Ade.
“De, terima kasih ya, sudah mau pulang” kata Rizal, mencium pipi Ade dengan sayang.
“Mas, aku minta maaf ya merepotkan kalian semua” kata Ade, Harry dan Lucky menatap mereka, tanpa komentar.
“Sudah, ayo kita pulang, Mama sudah tunggu” kata Rizal, kemudian mendekati Harry, memeluk adiknya.
“Kita ke rumah Om Suryo dulu ya De, nanti baru anter ke rumahmu. Mama mau ketemu kamu dulu, pesan tadi sama aku” kata Rizal ketika mereka sudah berada di mobil Rizal yang meluncur keluar bandara Soekarno Hatta di jalan Toll Sedyatmo menuju arah Grogol. Jalanan tak terlalu padat Sabtu sore ini, hanya agak tersendat ketika mereka menuruni Jembatan Semanggi menuju ke arah selatan, ke Kebayoran Baru.
“Rasakan, biar dia dimarahi calon mertua!” kata Lucky yang duduk di depan disamping Rizal, sambil menoleh ke belakang. Ade yang duduk bersama Harry mengepalkan tinju pada kakaknya. Lucky melihat ulah Ade hanya tertawa.
“Waktu kelas empat SD, Ade kan juga pernah minggat ke Magelang. Naik bis sendirian. Ngambek nggak diajak nonton bola sama Papa, aku dan Richard” kata Lucky buka rahasia. Rizal dan Harry tertawa bersamaan.
“Ih…. Bang Lucky!”kata Ade malu, ulah nakalnya di ceritakan.
“Jadi Harry, lain kali kalau ribut sama dia, langsung ikat kaki tangannya aja!” kata Lucky sambil tertawa terbahak. Rizal tersenyum, melirik kaca spion, melihat wajah Ade yang semburat merah, gemas pada kakaknya.
“Emang aku sapi!” kata Ade sewot, Harry menatap Ade, merasa lucu melihat sisi lain sifat Ade yang manja dan kekanak kanakan. Tak menyangka, pribadi yang begitu mandiri, eksekutif handal dan gadis yang cerdas, ceria ini kalau ngambek bisa begitu tertutup. Menahan marah dengan pergi menjauhi orang lain.
“Beres Mas Lucky!” kata Harry, meraih tangan Ade yang duduk disampingnya. Harry teringat dua koran yang dititipnya di tas tangan Ade. Tepat saat itu telepon Harry berbunyi.
“Hallo, Tania! Kami lagi pas lewat depan mesjid Al Azhar nih!” kata Harry, memberi kode pada Ade, bahwa Tania yang menelponnya. Harry menekan tombol speaker pada teleponnya. Harry suka cara bicara Tania, spontan dan lucu. Dia juga ingin Rizal dan Lucky mendengarnya.
“Harry, lihat internet deh, foto dan beritanya lebih seru! Wow… the reporter got a lots. They wrote special feature story with spectacular headline: Harry and Alexandra, The Pacific War’s victims” kata Tania tertawa. ”Harry,you are not victim, but the Winner, remember! lanjut Tania, Lucky dan Rizal mendengar tersenyum senyum.
“Oke, nanti aku lihat. Kalian lagi dimana? Mana Yuri” tanya Harry, Ade melihat dan mendengarkan saja Harry berbicara dengan temannya.
“Lagi di pantai nih, nunggu sunset! Ini Yuri, nih!” kata Tania, kemudian terdengar suara Yuri.
“Harry, kapan honeymoon nya? Cepetan, selagi aku masih di Bali. Lagipula Ade perlu dilabelin aja! Lumayan berkurang competitor gue dan Tania nih!”kata Yuri juga dengan tawa berderainya yang khas. Benar-benar gayanya sama dengan Tania dan Ade kalau sedang bercanda. Ade segera merebut telepon di tangan Harry.
“Yuriko dear! Apa? Gue di labelin? Emangnya barang dagangan! Eh Yur, kesini aja anterin Tania pulang, ntar gue kenalin sama sepupunya Mas Harry, banyak yang nganggur! Nggak jadi competitor deh, sponsor malah!” ejek Ade. Terdengar suara Tania balas tertawa.
“Ntar dulu, jangan kasih barang afkiran ya! Gue ogah apalagi modelnya kaya Ucok! You know my type, tall, good-looking, PD mean President Director, love and care” kata Yuri masih bercanda.
“Okay, gampang, stock gue banyak! Tadi ketemu Buche lagi nggak? Itu Tania, masih minat jadi isteri calon menteri PU?” kata Ade.
“Nggak ketemu mereka De, males dong! Kami kan mau menikmati lukisan di Ubud berdua aja. Nenteng-nenteng cowok ogah ah! Belum tentu satu selera, kalo dia cuma seneng baca komik gimana dong? Kan rugi juga De jalan bareng mereka, siapa tahu ketemu yang lebih keren selagi jalan” kata Yuri lagi, masih bercanda.
“Dasar! Elo berdua, masih hunting aja, gue kira sudah insyaf” kata Ade mengejek. Yuri dan Tania terdengar tertawa keras.
“Elo Komandan sih sudah harus insyaf duluan! Kita berdua belum lah! Wah three musketeer tinggal dua dong!” kata Tania, rupanya telepon sudah berpindah pada Tania.
“Ah… udah ah bercanda terus, abis pulsa nih! Lagian gue hampir sampai di rumah Om nya Mas Harry” kata Ade.
“Lho, emang mau ngapain De?” tanya Tania. “Wah gue rasa elo mau di omelin deh! De, gue kasih saran ya, cepet-cepet sungkem aja! Elo kan sudah bikin anak kesayangannya berlutut. Gue juga pasti marah punya calon mantu kaya elo! Belagu banget! Kalo gue jadi Mamanya Harry, cari mantu lain aja deh! Misalnya Paris Hilton gitu! Kalo repot, ya minimal kaya gue atau Yuri lah, kan lumayan, sudah keren, alim lagi. Gue bisa masak air, Yuri pinter bikin pastry, beli di cafe, elo kan cuma pinter minggat!” kata Tania menggoda Ade.
“Sompret!” kata Ade gemas, sambil tertawa.
Karena Harry, Rizal dan Lucky mendengar dan mengikuti pembicaraan mereka bertiga, mereka jadi tak tahan turut tertawa. Tania mendengar suara tawa itu tersadar, Ade mendengarkannya bersama-sama.
“Ade! Sompret lo, asal deh! Pake speaker ya! Itu yang ketawa bukan Harry doang ya? Kirain naik taksi!” kata Tania sewot.
“Ada Bang Lucky sama Mas Rizal, kakaknya Harry. Makanya jangan ngoceh terus!” kata Ade kalem.
“Ah…. udah dulu ya gue tengsin nih! Daag Bang Lucky, salam sama kakaknya Harry deh! Bye…bye Ade!” kata Tania memutuskan sambungan telpon. Ade terbahak bahak, geli membayangkan Tania dan Yuri yang gemas.
“De, teman kamu lucu banget ya omongannya” kata Rizal berkomentar.
“Waduh, Zal, soal mereka bertiga, ampun! Berisik terus! Bercanda aja kalau mereka kumpul, selalu sok keren” Lucky menimpali “Lagi kaya anak kecil, suka kejar kejaran” lanjutnya.
“Sudah lama bersahabat dengan mereka?” tanya Harry. Ade mengangguk.
“Sejak SMA, pisahnya waktu Tania setahun di Inggeris dan Yuri ke Paris selesai S1. Kumpul lagi, dua tahun, lalu Yuri ke Bali” kata Ade menjelaskan.
“Dulu waktu ke kampusku, Yuri ikut nggak?” Kata Harry
“Nggak, dia ke Paris anter Mamanya” Jawab Ade.

Rizal menghentikan mobilnya di depan rumah Om Suryo. Mereka segera keluar menuju rumah yang pagar depannya masih tertutup. Ade dan Harry berjalan di belakang Lucky dan Rizal. Harry menggenggam tangan Ade, membimbingnya memasuki rumah Om Suryo. Harry melihat, Ade sekarang bersikap serius, sisa senda guraunya dengan Yuri dan Tania segera hilang. Sikapnya anggun, lembut dan ramah. Harry semakin takjub, dua sisi yang berbeda muncul dalam dua hari dengan suasana yang berbeda. Bagaimanapun, Harry bertekad menerimanya, dia mencintai Ade.
Mereka telah memasuki ruang tamu rumah Om Suryo, Rizal meminta pada pembantu yang membukakan pintu untuk memberi tahu kedatangan mereka. Ny. Reiko Setyanto segera keluar dari kamar ketika mendengar kedatangan mereka. Kemudian muncul Om Suryo, Tante Lien dan berikutnya Opa dan Oma Harry.
Tangan Ade masih dalam genggaman Harry. Rizal berdiri di samping Harry sedang Lucky di samping Ade. Lucky terlihat bingung karena Ade tidak segera menyapa atau minta maaf, juga heran melihat Harry dan Rizal juga berdiri saja. Ketika Opa, Oma, Om Suryo, Tante Lien dan Ibu Harry sudah berada di depan mereka, Lucky melihat Harry melepaskan tangan Ade. Lucky sungguh kaget ketika dia melihat Rizal, Harry dan juga adiknya, Ade membungkuk hormat.
Wah, Lucky jadi kikuk, karena suasana jadi sangat formal. Lucky menganggukkan kepalanya. Terlebih kaget lagi ketika dia melihat Harry kemudian berlutut di depan para orang tua itu diikuti adiknya, memohon maaf telah merepotkan mereka semua.
“Gomen nasai” ucap Harry lirih, memohon maaf.
“Sudah, bangun, tidak perlu seperti itu” kata Opa Harry, berdiri mendekati mereka. Kemudian ibu Harry mendekati dan memeluk Ade, menangisinya. Lucky sangat terharu, dia ingin Mamanya berada disini, melihat betapa Ade begitu disayang dan diharapkan oleh keluarga Harry. Lucky juga merasa cocok dengan Rizal, padahal baru kemarin berjumpa dengannya dan tadi ngobrol sambil menunggu kedatangan Harry dan Ade di bandara.
Melihat hal seperti ini, Lucky membandingkan keadaan keluarganya. Pasti begitu bertemu, mereka spontan berangkulan. Tidak mampu menahan diri, memberi hormat dulu, apalagi seperti tadi. Itu bedanya, pikir Lucky, penguasaan diri dan sikap yang tenang. Lucky tahu, Ade mendapatkan orang yang tepat, Harry yang tenang, tegas dan santun. Lucky bertekat akan mendekati Mamanya agar menerima Harry. Dia tahu, Mamanya bisa dia pengaruhi olehnya.
“Mama, Ade minta maaf” kata Ade, ketika Ny. Reiko memeluknya, juga ketika Oma Harry mencium pipinya serta Tante Lien yang merangkulnya. Ade makin tersedu ketika Opa dengan sayang mengelus kepala Ade, mencium pipinya. Om Suryo juga menyalami Ade, menepuk pipi Ade sambil tersenyum ceria.
“Mari, kita makan malam dulu, baru kalian pulang” kata Tante Lien.
“Ayo, Mas Lucky” katanya lagi. Mereka pindah ke ruang makan bersama-sama. Kemudian Lucky membuka pembicaraan.
“Sebenarnya Mama saya sudah tahu keluarga Mas Harry besok mau datang. Kami terpaksa memberitahu Mama, karena kami khawatir Ade benar-benar kabur ke Australia, takut Mama shock. Kami tidak bicarakan Ade kabur karena soal Yanti. Jadi Mama mengira karena dia tidak setuju hubungan Ade dan Mas Harry. Semula dia menolak acara besok, alasannya karena terlalu mendadak, tapi kami meyakinkan acaranya hanya berkenalan saja, bukan melamar Ade. Moga moga besok Mama tidak keras lagi. Papa saya mohon maaf lebih dulu, siapa tahu Mama bertindak kurang sopan besok” kata Lucky.
“Mas Lucky jangan khawatir” kata Opa. Makan malam berakhir dengan sangat ceria hingga Ade, Harry, Rizal dan Lucky pamit pulang.


REY HIRAOKA


“Mama pergi kemana Mbok?” tanya Ade begitu tiba di rumahnya. Rizal dan Harry tak mampir, karena akan mempersiapkan hal lain. Lucky langsung duduk menonton televisi di ruang keluarga, setelah mengangkat koper Ade ke dalam kamarnya.
“Ibu ke supermarket sama Non Lola dan Bapak” jawab Mbok Piah sambil mengambil tas laptop Ade. Ade masuk ke kamarnya di ikuti Mbok Piah.
“Non, besok katanya banyak tamu, jadi Ibu mau belanja kue. Mungkin arisan keluarga. Kata Non Lola makanannya dari catering” cerita Mbok Piah, kebiasaannya menceritakan apa yang terjadi di rumah selama Ade pergi.
Ade gembira, ada perkembangan positif dari ibunya. Paling tidak dia bersiap menyambut tamu.
Ade menemani Lucky menonton televisi, bersandar manja pada abangnya di sofa, ketika ayah, ibu serta kakaknya Lola pulang. Yang masuk pertama adalah ibunya. Begitu melihat Ade, Ny. Jatmiko langsung merangkul Ade, mencium pipinya.
“Ade, bikin Mama takut! Sudah gede masih kabur! Sudah nggak sayang Mama ya? Anak nakal” kata Ny. Jatmiko, persis seperti yang dibayangkan Lucky. Spontan, ekspresif. Kemudian Lola muncul dengan menenteng dua kantong plastic besar, berisi belanjaan. Buru buru meletakkannya, turut merangkul Ade.
“Mama, maafkan Ade” ucap Ade. Ny. Jatmiko tersenyum.
“Sudahlah, yang penting Ade sekarang sudah pulang. Mau apa ninggalin Mama? Marah ya?” ucap Ny. Jatmiko
“Kenapa nggak balas email sama telpon aku” tuntut Lola. Ade tersenyum, melepaskan diri dari pelukan mereka. Tak menjawab pertanyaan mereka.
“Papa mana?” Tanya Ade, hendak pergi mencari ayahnya di garasi. Pak Jatmiko muncul di depan pintu, mengembangkan kedua tangannya, menunggu Ade berlari kepelukkannya. Wajahnya ceria.
“Meiske! kenapa begitu nggak sabar! Masa begitu aja sudah minggat” kata Pak Jatmiko. Ade tak menjawab sama sekali, hanya memeluk ayahnya saja.
“Itu bereskan belanjaan Mama, kue- kue masukkan toples. Papamu bilang keluarga Harry mau kesini, Mendadak sekali! Sampai bingung mau beli apa! Ade sudah tahu?” kata Ny. Jatmiko. Ade mengangguk.
“Ya, karena takut Mama tak suka sih, jadi Ade kabur”kata Lucky yang sedari tadi diam saja.
“Lucky, Mama pikir kan mereka toh belum lama berteman. Lagipula setahu Mama, Ade masih pikir soal Alan. Sejak Mama pulang kan Alan masih telpon dan datang. Mama nggak benci Harry, hanya melihat dia Mama selalu ingat ayahku!”kata Ny. Jatmiko, menjelaskan.
“Ade, Mama mau tanya, apa dia baik sama kamu? Jangan terburu-buru, latar belakang keluarga kita berbeda sekali” lanjut Ny. Jatmiko.
“Mam, beda apa? Sama-sama orang Indonesia toh!” tegur Pak Jatmiko. “Sudahlah, dengar besok dulu baru kita tahu siapa mereka” lanjutnya, kemudian duduk disebelah Lucky.
“Dulu Mama juga ragu sama Ria, nggak suka, sekarang coba lihat!” kata Pak Jatmiko sambil tersenyum.
“Ini untuk Ria, Pa! Kasihan Ria! Ayo ke Amsterdam Pa, Ria hampir melahirkan, Mama Ria malah nggak kebagian peran!” kata Pak Jatmiko lagi, membuat isterinya terdiam. Lola berbagi kode kedipan mata dengan Ade.
“Ya, tapi ini juga Jepang Pa, bukan Holland! Anak kita perempuan!” jawab Ny. Jatmiko lagi khawatir.
“Mam, itu pikiranmu terpengaruh masa perang! Ada anggapan Jepang lebih kejam dari Belanda. Salah Mam! Setiap penjajah itu sama, mengambil hak bangsa yang dijajahnya. Ade atau Harry kan anak muda jaman sekarang. Masa Ade mau ditindas laki-laki! Nggak toh?” Pak Jatmiko masih berusaha memberi pengertian pada isterinya.
“De, bikin teh dong buat Papa, sudah lama nih nggak dibuatkan Ade” kata Pak Jatmiko mengalihkan pembicaraan. Lucky spontan mengacungkan telunjuknya.
“De, aku juga ya!” katanya. Ade menjulurkan lidahnya pada abangnya, segera berdiri.
“Mama sama Kak Lola mau juga? Sekalian nih!” tanya Ade menawari mereka. Lola menggeleng, tetapi ibunya mengangguk.
“Punya Mama jangan dikasih gula ya De”katanya.
“Mam, Ade belikan bed cover, ada di kamar tuh! Oh iya Bang Lucky, titip buat kak Ria juga, katanya mau bawa ke Amsterdam” kata Ade, sambil berlalu ke ruang dalam untuk membuat teh.
“Oh…. Coba Mama lihat!“kata Ny. Jatmiko, kemudian menarik tangan Lola masuk ke kamar Ade. Ny. Jatmiko membentangkan bed cover di atas tempat tidur Ade. Bed cover itu berwarna dasar putih dengan motif bunga Irish berwarna kuning , ungu dan orange, di jahit quilt. Ny. Jatmiko membentangkan bed cover yang satunya lagi. Kali ini sama indahnya, warna dasarnya biru muda dengan lukisan bunga-bunga bakung putih, mawar kuning dan putih serta seekor kupu-kupu kecil. Ade masuk ke kamarnya ketika ibunya sedang merabai jahitan quilt pada bed cover.
“Pilih yang mana Ma?” tanya Ade pada ibunya.
“De, Mama bingung deh, dua-duanya bagus sekali! Ade tahu banget selera Mama” puji Ny. Jatmiko. Lola tertawa melihat ibunya bingung menentukan pilihan.
“Ma, pilih yang ada kupu-kupunya” kata Lola memberi usul. “ Itu model baru, punyaku yang di belikan Ade juga seperti itu. Cuma warna dasarnya warna merah muda” lanjut Lola.
“Oke, Mama pilih itu deh, terima kasih ya De” kata Ny. Jatmiko, mencium pipi Ade.
“Ma, sebenarnya itu bukan Ade yang pilih, tapi Mas Harry!” kata Ade, menatap ibunya, khawatir mungkin akan ada komentar lagi.
“Oh ya…… bagus juga seleranya ya!” kata Ny. Jatmiko tersenyum.
“Aduh Mama! Keterlaluan ah! Memangnya dia kampungan apa?” tegur Lola, melirik Ade, yang rupanya tak terpengaruh dengan komentar sumbang ibunya.
“Lho, gimana sih! Mama bilang bagus, sekarang malah mau langsung pasang di kamar Mama” katanya menarik bed cover dari bentangannya, melipatnya dan berjalan menuju keluar pintu.
“Sebenarnya itu Mas Harry yang beli” kata Ade menambahkan, mungkin ibunya sudah tak mendengarkan lagi. Lola terbahak melihat tingkah ibunya, Ade menutup pintu kamarnya, berniat ngobrol dengan kakaknya.


Untung sore Minggu itu tak turun hujan, jadi sebagian besar keluarga Harry duduk di teras samping dan depan. Mama dan Papa Harry menyambut keluarga Harry persis di depan pagar rumah, begitu mereka tiba. Mereka tiba dengan enam mobil. Pak Sudarmanto dan isterinya Ny. Rey Sudarmanto, ibu Harry Ny. Reiko Setyanto, Om Suryo dan Tante Lien, Ny. Fumiko dengan suaminya, Tanjung, mertua Rizal, Pak Pramono dan isterinya, Rizal dan Sheila, Andre dan isterinya Triana, Anton, Rudy, Dino, Tommy dan isterinya, Sinta serta Daniel. Ditambah dengan Intan, Amelia dan Anita. Tentu saja Harry.
Harry benar-benar gugup ketika berhadapan dengan Ny. Jatmiko, dia tahu ini hari yang menentukan hubungannya dengan Ade. Terakhir dia bertemu dengannya saat makan malam hampir sebulan yang lalu. Uluran tangan Ny. Jatmiko menenangkan Harry. Lalu ciuman Ny. Jatmiko pada pipinya membuat Harry bersemangat lagi. Dia menerimaku dengan hangat, pikir Harry.
“Tante, selamat sore! Apa kabar? Ini semua keluarga saya, kesini ingin berkenalan” kata Harry.
“Selamat sore! Mari ….mari , silahkan masuk!” kata Ny. Jatmiko, kemudian menyalami semua tamunya. Lalu bersama-sama memasuki ruang tamu, mempersilahkan mereka duduk. Pak Jatmiko tersenyum melihat tingkah isterinya, itu tanda yang bagus, pikirnya.
Dari tadi sebenarnya Harry heran, mengapa Ade tidak juga muncul menemui mereka. Ibunya sudah melirik Harry, bertanya dengan matanya. Lucky juga tak terlihat. Ruangan tamu dan ruang keluarga memang sudah ditata untuk menerima lebih banyak tamu, Harry melihat ada kursi tambahan di teras rumah. Sheila sedang di teras samping mengamati ikan. Pak Sudarmanto dan isterinya duduk di sofa berhadapan dengan ayah dan ibu Ade.
“Bapak, Ibu, mohon maaf, malah orang tua yang datang duluan mengunjungi kami yang lebih muda” kata Pak Jatmiko membuka pembicaraan.
“Nggak apa-apa, siapa yang sempat saja!” kata Pak Sudarmanto tersenyum cerah. “Sekarang saya yang tua ada waktu, ya datang saja. Lagi pula saya dengar dari Ade, kalian memang sedang ke negeri Belanda” lanjutnya.
“Betul, terima kasih! Ini juga mohon maaf Ade tidak di rumah, masih di jalan, baru jemput Omanya dari Magelang. Sebentar lagi sudah datang” kata Pak Jatmiko. Harry lega mendengarnya.
“Nah itu, sudah datang! Maaf kami tinggal dulu sebentar” kata Ny. Jatmiko bergegas berdiri diikuti Pak Jatmiko berjalan menyambut ibunya ke depan pintu. Semua mata dapat memandang ke arah halaman. Ade terlihat berjalan menggandeng seorang wanita tua berkulit putih dengan rambut abu-abu, berjalan memasuki rumah. Usia Ny. Sophie mungkin lebih delapan puluh, tapi masih terlihat sehat dan wajah cantiknya masih tersisa meski kulitnya sudah kendur. Ny. Sophie mengenakan celana panjang warna putih dengan blus putih, diluarnya dia mengenakan jaket dari bahan rajut berwarna biru turquoise. Lucky berjalan di belakang Ade, menenteng koper kecil bersama seorang gadis remaja, yang menemani Ny. Sophie.
“Halo, Mathilde, Miko! Hoe gaat het? Apa kabar, sehat semua ya?” sapa Ny. Sophie riang, memeluk anak dan menantunya begitu bertemu mereka di depan pintu, mencium pipi mereka. Ade berdiam diri di dibelakang Omanya.
“Heed goed dank U!” sahut Ny. Jatmiko sambil memeluk ibunya. Keluarga Harry semuanya memperhatikan pertemuan mereka. Tentu saja berbeda dalam tata cara.
“Mami, kenapa mendadak datang! Padahal minggu depan kami mau kesana” kata Ny. Jatmiko.
“Ik kangen toch! Lho, ini banyak tamu. Selamat sore!” sahut Ny. Sophie, begitu memasuki ruang tamu, mengangguk pada keluarga Harry yang membalasnya dengan mengangguk juga.
“Mam, Gaat U zitten, alstublieft! Duduk sini saja, ini mereka keluarga besar Harry, teman Ade” kata Pak Jatmiko, membimbing mertuanya duduk di sofa. Ny. Sophie mengangguk-angguk mengerti. Melirik Ade yang berdiri di sebelahnya, tersenyum.
“Ade, panggil Lola dan Andi, biar kumpul semua disini” kata Ny. Jatmiko. Ade meninggalkan ruang tamu, memanggil Lola dan Andi yang sedang mengatur petugas catering di ruang makan.
Ade kembali bersama Lola dan Andi dan duduk di dekat orang tua mereka. Lucky menyusul duduk disamping Andi. Ria, isteri Lucky juga duduk disamping Lucky.
“Maaf, terganggu sebentar” kata Pak Jatmiko. “Bapak Ibu, perkenalkan ini Omanya Ade, Ibu Sophie Ichsan , mertua saya, beliau tinggal di Magelang. Tadi malam telepon mau datang, jadi kebetulan sekali, bisa bertemu kita semua” kata Pak Jatmiko. Ny. Sophie mengangguk, tersenyum kepada keluarga Harry. Pak Jatmiko melanjutkan memperkenalkan keluarganya.
“Saya Jatmiko, ini isteri saya, Mathilde. Kemudian itu anak saya yang pertama, Lucky Hananto. Itu Ria, istri Lucky, kebetulan mereka sedang pulang cuti. Kemudian itu anak saya yang kedua, Lolita Adriana atau biasa dipanggil Lola, di sebelahnya Andi Permana, suaminya. Tentu saja si bungsu kami Alexandra Lusiana, Ade atau juga dipanggil Aye. Ada tiga cucu saya, itu dua orang sedang bermain dekat kolam, Rhein, putra Lucky dan gadis kecil itu Ima, putri Lola. Adik Rhein, Wiena sedang tidur, baru berusia tujuh bulan. Kami termasuk keluarga kecil, isteri saya anak tunggal, sedang saya tiga bersaudara saja. Satu adik di Malang mengurusi ayah dan satu adik perempuan tinggal di Semarang” kata Pak Jatmiko mengakhiri perkenalannya.
Keluarga Harry mendengar dengan tenang, kemudian Pak Sudarmanto memulai memperkenalkan keluarganya. Dia memperbaiki posisi duduknya, lalu melepaskan kacamatanya.
“Pak Jatmiko, sudah lama kami ingin berkenalan kesini. Terima kasih sudah menerima kami hari ini. Saya bawa anak, menantu, cucu dan besan kesini biar kenal semua. Tak enak, hanya kenal Ade saja, padahal Semarang Jakarta kan ndak begitu jauh” kata Pak Sudarmanto.
“Saya kakek Harry, asli dari Solo tapi sejak menikah tinggal di Semarang. Ini isteriku, Oma Harry, Rey Hiraoka, asal Jepang, sekarang jadi warga Indonesia namanya kini Hajjah Annisa” kata Pak Sudarmanto memperkenalkan diri dan isterinya. Harry melihat wajah Ny. Sophie terlihat kaget, tetapi terlihat menahan diri. Harry juga keluarga lainnya memperhatikan reaksi Ny. Jatmiko ketika Opa mereka menyebut nama Hiraoka.
“Nanti asal usulnya, isteriku akan cerita sendiri. Saya lanjutkan ya. Ini Ken Suryo Kusumo anak saya yang pertama, itu isterinya Lien. Nah ini, Reiko Setyawati, anak saya yang kedua. Ibunya Harry. Imam Setyanto, suaminya, ayah Harry sudah meninggal dunia. Kemudian putri bungsu saya, Fumiko Widyawati dan suaminya Fauzi Tanjung. Sedang disebelah Reiko adalah Wiwik dan Pramono, besannya, mertua Rizal, kakak Harry. Saya tidak punya cucu perempuan. Yang pertama Andre, sudah menikah dengan Triana dan adiknya, Anton, mereka putra Ken Suryo. Lalu itu Rizal dan Harry, putra putra Reiko dan itu Daniel putra Fumiko. Sedang itu Tommy dan isterinya Sinta, Rudi dan Dino adalah putra Sanjoyo, adik Imam almarhum. Sedang tiga gadis itu adalah Amelia, tunangan Rudi dan yang itu Intan teman dekat Daniel, itu Anita teman dekat Dino. Mereka ya cucu saya juga. Ada dua buyut saya, cuma satu yang ikut, Sheila, itu sudah bermain dipinggir kolam” kata Pak Sudarmanto mengakhiri perkenalannya.
“Wah, senang sekali, keluarga Bapak ramai-ramai datang kemari” kata Pak Jatmiko. “Mohon maaf, Ibu rupanya asli Jepang, tak menyangka, seperti wanita Indonesia saja” kata Pak Jatmiko, memberi umpan agar Ny. Rey Sudarmanto dapat menjelaskan jati dirinya. Dia khawatir mertuanya mendadak angkat bicara. Tapi dia melihat, wanita tua itu begitu tenang, seakan tak mendengar nama Jepang yang menjadi momok isterinya. Aneh!
“Memang saya asli Jepang dari keluarga Hiraoka” kata Ny. Rey Sudarmanto memulai ceritanya sambil menegakkan tubuhnya. “Saya lahir di Kyoto, tapi sejak usia dua belas tahun tinggal di Amerika karena ayah saya mengajar di universitas disana. Keluarga ayah saya secara turun temurun bekerja di bidang seni dan tekstil. Ayah saya cuma punya satu saudara perempuan. Ibu saya dari keluarga Tanaka. Saya punya kakak lelaki, jadi dosen di Amerika menikah dengan wanita asal Brazil. Di Kyoto masih ada satu adik perempuan saya ,Yoko. Dia kembali ke Jepang karena menikah dengan bangsa sendiri. Sedang saya sudah menjadi warga Indonesia, orang Jawa Semarang” kata Ny. Rey Sudarmanto, mengangguk hormat.
“Saya selalu ingat nama Hiraoka” kata Ny. Sophie tiba-tiba membuat Ade kaget. Harry kecut menanti kelanjutan ucapan nenek Ade itu dengan berdebar. Demikian juga yang lain, saling tatap.
“Mungkin Tuhan kasih saya kesempatan untuk tobat, jadi sebelum meninggal musti bertemu salah seorang keluarga Hiraoka” lanjut Ny. Sophie tenang.
“Dulu saya suka marah kalau mendengar nama orang Jepang” kata Ny. Sophie tersenyum renyah. Debar jantung Ade kembali mendekati normal. Harry menatap Ade yang terlihat tersenyum tertahan. Kalau bukan senyum itu, aku tak akan kesini, pikir Harry. Semua memperhatikan Ny. Sophie, menunggu kelanjutan bicaranya. Ibu Ade, Ny. Jatmiko, menundukkan mukanya.
“Suamiku, Ichsan, Opanya Ade, sewaktu pendudukan Jepang, ditawan sama tentara Jepang, Kempetai. Dijadikan romusha, dikirim ke kapal yang menuju Selat Malaka. Hilang sampai sekarang. Kempetai namanya Hiraoka, sama seperti nama keluarga Nyonya. Tapi sekarang aku cuma ingat saja. Setelah lima puluh tahun sudah berdamai sama hati sendiri. Kita ini korban perang, jadi aku tidak mau simpan marah lagi. Orang tua seperti Oma ini hanya boleh mendoakan anak cucu yang baik-baik, tidak boleh menitip dendam. Makanya, Harry sebetulnya tidak perlu berlutut seperti cerita di koran. Bukan salahmu!” kata Ny. Sophie menatap ke arah tempat Harry duduk.
“Mami, koran apa? Berita apa? Ik weet niet!” tanya Ny. Jatmiko heran, dia tak tahu. Dia memang belum sempat membaca koran karena sibuk mempersiapkan acara hari ini. Sebetulnya Pak Jatmiko, sudah membaca artikel di koran itu. Dia ingin memperlihatkannya nanti saja. Ny. Sophie menoleh pada putrinya.
“Mami baca di airport tadi, semua orang ramai bicarakan, korannya masih ada sama Inah. Itu Oma justru mau tanya Ade, kenapa bikin itu Harry begitu! Ik begriep het niet! Ade, punya darah Jepang atau Belanda itu nggak salah. Menjajah bangsa lain itu yang salah! Het is belangkrijk!” kata Ny. Sophie.
“Oma, het spiet me! Maaf“ kata Ade, memohon maaf. Semua mendengarkan tanpa berusaha untuk menyela pembicaraan mereka. Tentu saja menangkap inti pembicaraan keduanya.
“ Ah...Ya! Yang mana tadi yang namanya Harry, kok semua mirip, Oma pengen tahu?” lanjutnya menatapi Rizal, Harry, Andre, Anton dan Daniel. Rupanya sewaktu tadi diperkenalkan dia bingung, karena mereka memang mirip baik wajah maupun tubuh.
Keluarga Harry lainnya mulai tersenyum. Harry segera berdiri, membungkuk hormat. Ade menatap Harry, melihatnya ditatapi Omanya. Biar dia tahu Omaku cerewet, ejek Ade dalam hati.
Pak Sudarmanto menengahi. “Anda baik sekali Zus! Berlutut itu tidak apa-apa, itu baik buat melatih kesabaran Harry” katanya. Semua tertawa. Sementara itu Ny. Jatmiko hanya berdiam diri, menatap ibunya yang terlihat ceria.
“Ya…memang tidak apa-apa berlutut minta maaf. Tapi jangan ulang lagi Ade! Kan bisa ngomong saja, ya toch!” kata Ny. Sophie menasehati. Pertemuan itu mencair dari formal menjadi lebih santai.
“Bapak Ibu, sebelum ngobrolnya di lanjutkan, mari kita minum dulu, kebetulan sudah disiapkan di dalam” kata Ny. Jatmiko menawari. Dia segera berdiri, mendekati Ny. Rey Sudarmanto, membimbingnya. Ade tahu sikap ibunya adalah pertanda dia juga telah mengikuti jejak ibunya, berusaha menerima tamunya dengan baik. Semua bangkit menuju ruang makan, untuk mengambil minuman dan makanan kecil.

“Mama Harry, seingat saya kita pernah bertemu lho! Saya juga ingat sama Mas Suryo!” kata Pak Jatmiko ketika mereka duduk kembali mengelilingi meja sambil minum dan makan kue. Ny. Reiko Setyanto tak jadi memasukkan potongan kue ke dalam mulutnya. Ny. Jatmiko juga tertarik mendengar penuturan suaminya. Demikian juga Pak Suryo, mencoba mengingat ingat.
“Sudah lama sekali, di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Saya pilot yang menjemput almarhum di Palembang, betul tidak?”kata Pak Jatmiko.
“Ya ampun Pak! Maaf! Saya malah tidak mengenali Bapak!” kata Ny. Reiko Setyanto. Kakaknya Suryo langsung bertepuk tangan.
“Ya benar, pantas dari tadi saya rasanya pernah bertemu, tapi dimana, ndak ingat” kata Pak Suryo.
“Saya waktu itu malah tak sempat berterima kasih pada Bapak!” kata Ny. Reiko Setyanto terharu, menangkupkan tangannya. Ayah dan ibunya terkejut, juga yang lainnya.
“Waduh, ini kebetulan sekali. Rizal, Harry, ayo, ternyata Pak Jatmiko ini yang jemput jenazah almarhum Papa kalian” kata Ny. Reiko Setyanto. Sebenarnya Harry sudah tahu, tetapi dia tak ingin membukanya, biar terjadi seperti ini, lebih natural. Harry dan Rizal segera meletakkan piring kue mereka. Dia melihat Opanya memberi isyarat, tanda yang selalu mereka lihat sejak kecil. Juga senyum Omanya. Keduanya berdiri sejajar, secara bersama-sama membungkuk hormat.
“Terima kasih” kata mereka bersamaan. Lucky tersenyum melihat hal ini, Lola dan Andi ternganga, heran. Ny. Jatmiko dan ibunya justru menatap tanpa suara. Pak Jatmiko malah jadi salah tingkah.
“Waduh, maaf bukan maksud saya untuk….” katanya tanpa meneruskan ucapannya.
“Papa Ade, biarkan saja, terimalah, itu kewajiban mereka berterima kasih” sahut Ny. Reiko Setyanto.
“Wah…. ini malah jadi kebetulan ya! Jadi sekalian bisa menyampaikan terima kasih!” kata Ny. Rey Sudarmanto, senang.
Akhirnya, pembicaraan makin lancar, karena Ny. Jatmiko juga bergabung turut mendengarkan kisah kecelakaan helicopter yang merenggut nyawa ayah Harry. Sementara itu, Ade berserta kakak-kakaknya, Harry, Rizal serta sepupu Harry lainnya pindah ke teras samping. Ngobrol ramai.
Harry mendekati Ade yang sedang ngobrol dengan Sinta di dekat kolam ikan. Membantu Sheila dan Ima memberi makan ikan mas. Harry melihat sinar bahagia di mata Ade, sinar itu pernah hilang ketika Harry bertemu Ade di restoran Sabtu malam lalu.
Ade berdiri di pinggir kolam dengan toples plastik kecil berisi makanan ikan, mengangsurkannya pada Harry. Mengajak Harry memberi makan ikan peliharaan ayahnya. Kebiasaan Harry kalau datang ke rumah Ade adalah bermain dengan ikan ikan itu dan memberi mereka umpan. Harry melihat gelang di tangan kanan Ade. Berkilau terkena sinar matahari sore. Berharap selamanya Ade memakainya. Komitmen mereka. Hari berat sebagian telah mereka lalui. Sheila, Ima dan Rhein sedang berjongkok di pinggir kolam mengoceh soal ikan.
“Sheila punya ikan dong, ada di Semarang, sama Oma Sheila” kata Sheila pamer juga punya kolam ikan di rumah Omanya di Semarang. “Namanya Kirei , warnanya putih” lanjut Sheila.
“Itu, itu ikan punyaku! Yang kuning, namanya Bolly” kata Ima menunjuk seekor ikan berwarna kuning hitam yang sedang berenang mendekati pinggir kolam. Ketiga anak kecil itu serempak mengamati. Hanya Rhein kemudian terlihat murung, kasihan.
“Rhein ikan tidak ada punya!” keluh Rhein dengan susunan kata yang kacau. Sheila dan Ima kompak mentertawakan Rhein yang tak punya ikan. Kasihan cowok kecil ini pikir Harry.
“Abang Rhein, tinggal sama Opa aja di Jakarta! Biar punya ikan ya?” bujuk Ima pada sepupunya, lucu sekali.
“Iya, Abang Rhein tinggal aja di Jakarta!” Sheila juga menyemangati dan ikut ikutan memanggil abang pada Rhein. Lucu sekali Sheila ini, pikir Harry, langsung akrab. Mereka tidak berprasangka apa-apa! Polos dan tulus.
“Rhein mau ikan nggak?” kata Harry menawari. Rhein melonjak senang. Ade tertawa melihat ulah Harry.
“Sogok ya! Cari massa pendukung!” ejek Ade sambil melirik Harry. Harry cuma tersenyum. Ternyata bukan hanya Rhein yang menjawab. Sheila dan Ima ikut bergabung.
“Mau! Mau! Mau!” teriak mereka bertiga , serempak. Ade mentertawakan Harry yang di kerubuti ketiga anak kecil.
“Good! Ayo keroyok aja Om Harry!” kata Ade. “Rasakan! Tanggung jawab ya!” bisik Ade, Harry tersenyum saja.
“Ikannya tinggal dimana?” tanya Rhein polos menatap Harry, bahasa Indonesia Rhein memang belum begitu bagus. Eh…. mata Rhein seperti Ade, pikir Harry.
“Kita beli!” jawab Harry, membuat Rhein gembira. “Warna merah putih ya!” kata Rhein bersemangat.
“Waar kan ik een vis kopen?” tanya Rhein, menatap Harry. Ade tahu Harry tak faham benar maksud Rhein.
“Rhein, beli ikannya di toko yang khusus jual ikan hias” kata Ade menjelaskan. Rhein mengangguk, Harry tertawa di pelototi Ade. Terbayang nantinya dilingkungan mereka akan ada berbagai bahasa yang digunakan. Indonesia, dialek Jakarta, Jawa Tengah Semarang kalo keluarga Harry berkumpul. Bahasa Jawa yang lembut dari nenek Ade yang besar di Magelang dan Belanda. Bahasa Jawa Timuran dari Pak Jatmiko. Bahasa Jepang yang digunakan nenek dan kakeknya. Tentu saja Inggeris yang sering digunakannya dengan Ade. Belum lagi jika bergabung keluarga Andy yang asal Jawa Barat. Apalagi jika keluarga Om Tanjung yang asal Tapanuli itu bergabung. Wuih!! Riuh sekali, pikir Harry. Ini permulaan, pikir Harry tersenyum menatap Rhein, Sheila dan Ima. Rhein masih bicara dalam bahasa Belanda , entah apa, tapi Ima menanggapinya seolah olah faham. Benar-benar lucu.
“Ini Sheila dan Ima kan sudah punya, masih mau ikan lagi?” tanya Harry. Mereka mengangguk mantap.
“Oke, besok Om Harry belikan ya! Tapi harus di jaga ya jangan sampai mati!” kata Harry. Anak-anak itu bersorak gembira, menarik perhatian keluarga Harry lain yang duduk duduk di teras. Rizal mendekat, juga Lucky.
“Om Harry, ikan naik pesawat, boleh?” tanya Rhein. Harry kebingungan tak tahu harus menjawab apa.
“Rhein, ikan bisa di bawa dalam pesawat asal di kasih oksigen. Tapi dia di Belanda nanti dia kedinginan. Ikan tidak punya jaket. Jadi ikan Rhein di tinggal aja di sini, berteman sama ikannya Ima. Om Harry yang jaga buat Rhein, okay kan?” kata Ade membujuk, Rhein mulai terlihat agak kecewa.
“Goed…... Dank U!” kata Rhein, menatap Harry, tersenyum senang.
“ Om Harry memang mau tinggal disini? Di rumah Tante Ade?” tanya Sheila dan Ima hampir bersamaan.
“Ya……Rhein, Om Harry nanti akan tinggal disini! Menjaga Tante Ade, juga ikanmu! Okay?” kata Lucky ikut menengahi pembicaraan anaknya. Harry dan Ade tertawa, Rizal tersenyum melihat wajah Sheila yang bingung. Pasti sebentar lagi dia akan protes, tebak Rizal.
“Bukan! Bukan gitu!” Sheila protes, membuat Ima dan Rhein menatap Sheila. “Kata Papa, Tante Ade yang tinggal di rumah Sheila!” lanjutnya. “Sama sama Om Harry, iya kan Pa?” kata Sheila mengguncang tangan Rizal. Rizal tertawa, mengangguk. Ima tiba tiba berlari mendekati Ade, memeluknya erat. Lucky tertawa melihat ulah Ima. Rhein berdiri dekat Harry, mengawasi sepupu dan teman kecilnya, tak begitu faham.
“Sheila, sini!” panggil Ade, Sheila mendekati Ade ragu-ragu. Ima menatap Sheila tanpa bicara. Ade khawatir satu diantara mereka akan kecewa, atau malah dua duanya. Ade merangkul Sheila juga, Ima tidak protes.
“Dengar ya! Ima dan Sheila itu sekarang bersaudara! Jadi semuanya keponakan Tante Ade! Tante Ade sayang sama Ima dan juga sayang sama Sheila. Nanti Tante Ade sekali-sekali boleh tidur di rumah Sheila dan di rumah Ima kan?” kata Ade. “ Boleh kan?” tanya Ade lagi, keduanya mengangguk, senang. Rhein agak telat memahami ucapan Ade, tapi akhirnya juga mengerti. Jadi dia juga ingin di perlakukan sama.
“Tante Ade janji ke rumah Rhein, wanneer? Vergeet U niet!” kata Rhein dengan bahasa campur-campurnya.
“Rhein, jangan khawatir! Tante kalau cuti ke sana! Om Harry boleh ikut nggak?” kata Ade. Harry tertawa melihat Rhein mengacungkan jempolnya. Good boy!


Selesai



Depok, 2 Maret 2006

2 komentar:

  1. Bagus mbak... novelnya... top markotop deh... bisa bikin aku tertawa dan menangis :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Silahkan masih ada novel yang lain....

      Hapus