Terima Kasih , Anda telah mengunjungi blog saya.

Thank you so much to have you here.
It is about my novels, notes, comments of something, features, short stories and pictures.

Also my products, Furoshiki and Yukata (summer kimono).

Please leave your comments.... thank you
Enjoy it....



Kamis, 15 Juli 2010

Kotak P3K, beauty case dan dompet!

Kotak P3K, beauty case dan dompet!

My Notes|Notes about Me|Ida's Profile

Serial-76 Kotak P3K, beauty case dan dompet!
Share Friday, September 18, 2009 at 9:32am | Edit Note | Delete

Dear my FB friends,

Notes ini tentang kegiatan ku dan teman2 FIS UI di Serpong, 1978 dulu. Sewaktu bikin penelitian. Ada hal kecil yang bisa aku bagi sebagai kenangan. Sebenarnya sebagian cerita ini pernah aku tulis di KOMA, koran dinding mahasiswa FIS UI dulu. Sekarang tulisan ini hasil rewrite plus untuk teman2 di FB
Kejadian 2 saat aku dan teman2 turlap riset dulu, sekian tahun yang lalu.
TENTANG PERISTIWA KELAHIRAN MANUSIA & HARAPAN.

Semoga dapat menjadi kado bagi kalian yang terlahir kembali, menjadi sosok fitrah nan suci setelah menjalani Ramadhan. Sekaligus harapan ku untuk dimaafkan segala kesalahan lisan, tulisan dan tindakanku.
Minal Aidin Walfaizin

Silahkan baca. Semoga nggak bosen ya.



Metromini

Semasa kuliah di FIS UI kami , angkatan ’76 pernah mengadakan penelitian ke daerah Serpong. Tahun 1978 kalo nggak salah.Jurusan Kommas dibagi dua tim, satu di Babakan yang lain di Rawabuntu. Jurusan lain juga berangkat. Di sebar ke seluruh wilayah Serpong, di Panunggangan, Pondok Jagung, etc. Aku termasuk tim Babakan dengan anggota Susy, Tina, Dhay, Imam, Laksdewi, Cici, siapa lagi Aku lupa. Rasanya Henk Saroingsong dan Kumalawati. Sedang dosen pendamping adalah Mas Setiawan Abadi. Tim Urban’s generation FIS UI

Tim ini berangkat dengan Metromini yang warnanya pas dengan FIS UI, orange. Perjalanan kesana oke lah! Belum ada jalan tol, jadi melalui jalan Daan Mogot. Pokoknya sampai disana sore. Tim bermalam di rumah Pak Lurah atau siapa, pokoknya dia ‘pejabat’ desa itu.
Tim Urban’s generation FIS UI ini mulai gelisah begitu sampai halaman rumah beliau.

Yang pertama towel-towel bahu aku Cici. “Da, kok rumahnya gelap ya” kata nya bisik bisik di telinga aku. Aku nyengir kuda aja. Ya iya… lah, ini kan desa, belum ada listrik! Liat aku cuma reaksi gitu, Cici nervous, pambil memeluk bantal kecilnya, khusus bawa dari rumah.

Aku pikir Cici paham, eh malah terusin komentarnya. “Da, rumah nya nggak pake ubin!” kali ini suaranya rada kenceng. Kita emang sudah dipersilahkan masuk rumah. Aku nebak-nebak sendiri, pasti rumah ‘pejabat desa’ itu dipilih karena dianggap yang paling mewah seantero desa.

Waktu masuk rumah, aku terpengaruh Cici, menatap lantai. Mataku beralih fungsi jadi camera yang in operation. Mataku pan right & pan left, aku juga zoom in & out posisi posisi tertentu.Malah extreem close up segala! Memang nggak pake ubin, tapi dipoles adukan semen-pasir.

Disana sini aku lihat polesan lantai sudah retak, tanahnya nyembul. Mungkin nggak tiap hari dibersihkan jadi kelihatannya kaya tanah semua.

“Ci, bukan lantai tanah kok! Elo bawa sandal?” aku menenangkan Cici. Sok ya! Padahal aku juga mikir, kalo dari lubang kecil itu nongol ular gimana? Iih!


Velbed kaya ABRI

Setelah beradaptasi dengan Nyonya rumah, kami mulai atur posisi tidur. Semua kebagian velbed, tempat tidur lipat kaya tentara. Aman, tidur nggak di lantai. Aku sama Cici sudah bisa senyum senyum. Lega!

Tapi hari makin senja, Susy yang dapat tempat di pojok sudah nggak begitu jelas. Ruangan gelap. Padahal lokasi kami tidur itu di ruang tamu. Nggak ada kabel listrik barang sesenti pun kelihatan. Lilin juga nggak punya.

Apa semalaman pake lampu teplok? Aku paling takut gelap. Terus kalo terlalu lama gelap aku stress, terus sakit asthma ku kumat. Gimana dong!

Lampu Petromaks
Pas menjelang Magrib, sang pejabat tiba. Bawa lampu petromaks. Syukur deh! Lampu itu jadi pemandangan yang menarik bagi kami. Juga paling penting. Soalnya kami perlu buat saling pandang sama teman-teman dong! Masa kaya di gua, gelap.

Malam itu selain nasi dan lauk yang disediakan Nyonya rumah, kami menge luarkan bekal masing-masing. Ada yang bawa roti isi, roti tawar, daging rendang, kari, ikan , selai nanas, meisyes, telur asin rebus, acar, sambel bajak. Akhirnya kita sepakat, stock makanan jangan dibuka semua. Harus diatur. Yang cepat rusak dimakan duluan.

Malam pertama di sana hujan deras, suasana desa terasa sekali. Nggak ada TV, radio. Yang ada gelap aja. Apalagi pohon jengkol di depan rumah lebat banget. Ini benar-benar ‘in the middle of no where’

Seandainya ada kudeta, perang atau apa saja di Jakarta, kami di Babakan nggak akan pernah tahu. Padahal sebenarnya tidak jauh dari Jakarta. Hanya fasilitas transportasi dan komunikasi, beda banget. Di sini masih fasilitas zaman Belanda.


Survey lokasi hari 1

Untuk mengenal daerah penelitian kami, pagi pagi setelah sarapan, semua anggota Tim Babakan jalan kaki .
Memangnya ada beca?

Semua tim keluar dengan jaket masing-masing, pakai topi atau bawa payung Saat itu memang musim hujan. Masing2 bawa tas plastic berisi outline research, formulir lembar questioner & alat tulis.

Kami menyusuri kali kecil, jalanan yang becek tanah merah, lengket di sepatu. Kami melewati bangunan rumah permanent. Sebuah rumah tua itu sudah kosong. Dulunya milik seorang pedagang, warga keturunan Tionghoa. Arsitekturnya khas, campuran gaya Eropah dan Tionghoa, dengan teritis, mengadopsi gaya local.

Aku melongok ke jendela, kaca, masih ada beberapa perabot dari kayu, meja altar untuk sembahyang sudah tak ada lampunya. Kursi kayu, beberapa lukisan kaligrafi khas Tionghoa , Terlihat berdebu, gelap tentu saja! Asyik melihat lihat gitu ternyata aku sendirian, Rupanya… teman-teman sudah jalan tinggalin aku! Cepat-cepat aku kejar mereka, dengan sepatu yang sudah berat dengan tanah lempung.

Setelah agak lama berjalan, menyusuri pinggir parit atau kali itu, kami mene mukan beberapa cluster rumah-rumah penduduk.
Rumah rumah desa, dari bamboo, atap genteng, dinding anyaman dari bamboo (gedek), Lantai dari tanah tanpa polesan semen pasir. Hampir di setiap rumah, kita akan menemukan bale -bale dari bamboo. Bangku semacam ini seperti kursi tamu, berada di depan rumah.

Penduduknya ramah, terdiri dari suku Sunda Tangerang dan warga keturunan Tionghoa yang memang sejak lahir tinggal di sana. Menurut Tina, bahasa Sunda mereka agak berbeda dengan bahasa Sunda dari daerah Priangan, Cianjur, Bogor atau Sukabumi. Memang aku dengar juga agak lain. Nada atau apa, nggak tahu lah.


Survey hari ke 2: Bu Paraji

Hari kedua Tim dibagi bagi, jadi jalan berpencar untuk memulai wawancara responden kita. Aku sama Tina dan Dhay. Salah satu responden kita adalah Paraji, seorang dukun yang membantu kelahiran bayi. Dia terkenal di seantero Babakan.

Susah payah kami akhirnya sampai di rumah Bu paraji, yang aku lupa namanya. Perjuangan berat ke rumah dia, karena harus melewati tanggul2 yang licin dan becek, sawah yang luas terus menyeberangi parit dan tentu saja semuanya tanah yang becek dan lengket.

Tina yang Sundanese sebagai guide, karena Bu Paraji nggak bisa berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Indonesia. Dhay besar di Jakarta, sedangkan aku asli Kalimantan gede di Jakarta, buta bahasa Sunda.

Baru aja questioner mau dibuka, seorang pemuda kampong datang. Aku nggak ngerti dia ngomong apa ke Bu Paraji. Yang pasti, Tina bilang bu Paraji mau pergi saat itu juga, ada yang mau melahirkan. Kami diminta ikut aja! Mulai lah perjuangan mendekati responden, rapport. Soalnya Bu paraji akan diwawancarai, open questioner. Dia bukan isi form! Mana bisa dia nulis….!

Setelaah berjalan cepat di tanah yang becek lengket, melalui tanggul sawah, rasanya capek banget. Hujan pula rintik-rintk, kami sampai di sebuah rumah kecil. Rumah yang kami datangi terdiri dari dua ruang, Ruang depan untuk tidur, dan bagian belakang untuk memasak. Ada teras kecil dengan sebuah bale-bale.

Keseluruhan rumah berlantai tanah. Dinding nya dari anyaman bamboo, sudah lapuk, suasana ruang agak temaram. Sinar matahari hanya masuk dari pintu depan. Satu satunya jendela di ruang itu tertutup rapat. Atap genteng nya terlihat jelas, karena rumah itu tanpa plafond.

Sementara itu, dua pria tua duduk-duduk di teras sam bil mengobrol, santai. Ada dua anak kecil juga ber main di sekitar tempat tidur calon ibu. Ada kucing dan kambing berbulu hitam putih yang turut berteduh di teras karena hujan rintik masih saja turun. Ayam-ayam juga keluar masuk! Benar-benar tidak hieginis buat pelayanan pasien!

Pintu rumah terbuka lebar. Ketika kami masuk rumah itu, persis di samping pintu bergerombol tiga wanita. Mereka mengelilingi se buah tempat tidur kayu. Di atasnya, berbaring wanita muda yang sedang kesakitan, mau melahirkan.
Wanita muda itu berbaring beralaskan jas hujan plastic berwarna hijau kehitaman! Tubuhnya, dari perut nya yang buncit sampai bagian bawah hingga lutut diselimuti kain batik lusuh. Rambut panjangnya terurai, wajahnya berkeringat, menahan sakit!

Itu ‘pengalaman’ pertama ku sebagai seorang perempuan melihat wanita yang akan melahirkan! Mungkin Dhay dan Tina juga.

Too young to be married!
Dari ngobrol dengan dua wanita pendamping, aku tahu wanita yang akan melahirkan ini sudah dua kali melahirkan. Ini adalah anak ke tiga. Padahal usianya masih muda. Mungkin belum dua puluh tahun. Sepantaran kami waktu itu. Wanita itu di usia 14 tahun sudah melahirkan anak pertama nya. Dua anak kecil yang bermain di sekitarnya itu adalah putri-putrinya.

Suaminya adalah pemuda yang tadi menjemput Bu Paraji. Juga masih muda. Dia jadi petani, menggarap sawah milik mertua nya. Bertanam padi dan singkong. Saat isterinya berjuang melahirkan anak mereka, dia bergabung dengan kedua pria tua tadi, ngobrol di depan rumah. Tak terlihat dia khawatirkan isterinya sama sekali. Wanita melahirkan, itu biasa! Sudah kodratnya!

Proses melahirkan sangat mudah, tak memakan waktu berjam-jam. Tidak perlu hitung ’pembukaan’ segala atau suntikan ‘induksi’.
Bu Paraji mengeluarkan peralatan medisnya dari kotak yang dibawanya. Kotak itu katanya hadiah dari Puskesmas, karena dia telah mendapatkan ’training’ dua hari dari bidan dan dokter Puskesmas di Tangerang.

Isi kotak adalah gunting, obat-obatan, plester, kapas, verband, entah apa lagi. Aku juga lihat di kotak itu ada uang, sebungkus sirih dan perlengkapan nya. Haah? Ya… Bu Paraji pemakan sirih. Gigi dan bibirnya merah, merona, seperti pakai lipstick!
Entahlah, mungkin lho Bu Paraji pikir lebih baik kotak itu jadi ‘multi purpose’ jadi kotak P3K, beauty case dan dompet!

Rp.100,-
Bayi yang lahir segera di urus sama Bu Paraji. Tali pusar si bayi setelah diikat dengan tali di dua tempat kemudian dipotong dengan sebilah bamboo tipis tapi tajam. Gunting pemberian Puskesmas nggak dipakai!

Yang unik adalah, sebagai alas dan penadah pemotongan tali pusar itu, adalah uang kertas seratus rupiah! Uang kertas berwarna merah itu ditempelkan ke tali pusar si bayi. Kemudian tes…..! Tali pusar dipotong diantara dua pengikat. Ada sedikit darah menetes di uang kertas. Segera dikasih obat merah sama Bu Paraji bagian yang menempel pada pusar bayi, kemudian diverband dan diplester. Nggak higinies banget!
Pasti prosedur itu nggak masuk bagian materi training di Puskesmas!

Menurut Bu Paraji, itu suatu tradisi di Babakan. Katanya itu suatu harapan agar si bayi nantinya hidup banyak uang, jadi orang kaya!
Tapi, bagaimana bisa kaya? Uang yang buat alas aja hanya Rp.100,- Itu cuma jumlah ongkos satu kali naik bis kota di Jakarta, dari Rawamangun ke Blok M waktu itu. Atau ongkos bemo dari Kampus UI Salemba ke kampus UI, jalan Pemuda, Rawamangun
Lalu kalo pakai cheque Rp.1 juta??? Beda nggak ya?
Melihat proses melahirkan yang begitu sederhana dan kondisi yang begitu menyedihkan, aku jadi teringat Serpong sekarang.

Setiap Rabu untuk tugas mengajar di sebuah universitas swasta, aku melewati daerah Serpong, menuju Karawaci. Serpong tidak lagi hutan perkebunan karet, persawahan dan gelap gulita kalau malam.
Serpong, sekarang termasuk desa Babakan, Jadi kota modern, Bumi Serpong Damai City (BSD).
Kota modern, penuh dengan rumah mewah dengan berbagai aliran gaya arsitektur, ruko, mall, jalan licin hotmix dengan taman-taman indah. Malam pun terang benderang, mobil mewah import berbagai merek milik penghuninya berseliweran di Serpong.

Kemana perempuan desa yang melahirkan itu sekarang?
Masihkan dia tinggal di Babakan, Serpong?
Bayi laki-laki nya itu, kira-kira sekarang sudah usia 28 tahun atau lebih,
Semoga kini dia jadi orang kaya dan menempati salah satu rumah mewah di BSD City.
Semoga saja.

Ida Syahranie

Depok,18 September 2009


Written about 2 months ago • Comment • LikeUnlike

Dodot Maridot Hehey, Servo Caesar Prayoga and Toni Munajat like this.

Servo Caesar Prayoga
' Semoga semua yang membaca tulisan ini dapat kembali menjadi sosok fitrah nan suci setelah menjalani Ramadhan. Amin... '

Tulisannnya bagus banget & sangat inspiratif, mbak...terimakasih sudah berbagi cerita menakjubkan ini ya, mbak...semoga bayi Rp100,- itu sekarang sudah sukses dan mendapat kesempatan untuk membaca kisah kelahirannya... x)
September 18 at 2:30pm • Delete

Farida Sendjaja
Ida say, gue selalu menikmati tulisan2 kamu. Pingin juga nulis pengalaman serupa tapi berbeda saat di serpong dulu. Sama sepert kamu, gue dan teman2 jurusan Politik juga "geger budaya" saat masuk ke rumah tempat menginap selama di Serpong. Gue dan Adjeng, ga bisa tidur di dalam kamr yang disediakan untuk para cewek. Kami berdua bergabung dg para ... See Morecowok di beranda rumah, dg veldbed. Foto saat tidur dan suasana menjelang tidur gue tempel di album fb gw, sebagai pengingat.

Kapan ada waktu, gue tulis deh pengalaman tak terlupakan saat survey "sosiologi politik" di serpong itu. Sekarang gue mau lanjut nulis artikel. Masih nunggak kerja dan blm libur lho gue ini.

Met Idul Fitri juga ya. Maaf lahir batin pula. Gue tunggu tulisan2 menarik lo selanjutnya ya. Salam kangen.
September 18 at 4:10pm • Delete

Siti Mariyani
Bagus sekali mba Ida cerita pengalamannya....boleh juga ditulis dlm rangkuman cerita dan dibukukan......karena kisah2 dibalik kegiatan penelitiannya yg jadi menarik dan menggelitik utk dibaca....selamat ya mba cantik...?!
September 19 at 10:41am • Delete

Ida Syahranie
Avo: Thanks a lot. Harap maklum ya... aku bisanya nulis itu doang buat share di Fb ini. Mungkin aja anak muda spt Avo tak mengalaminya. Jadoel banget soale. He...he..he

Baby: Spt teori sosiologi,akin tua, ingetan selalu ke belakang. Aku tulis sdh lama, sekarang anakku sdh mhs, jadi kalo dia mengeluh ada tugas dari dosen dsb, dia bisa ingat bahwa kita dulu mengalami hal yang sama. Nulis aja pake metik manual.

Mbak Ani; Betul, beberapa saran teman juga ada untuk dipublikasikan notes saya via buku. Tapi belum tahu mbak jalurnya dan marketnya apa siap terima tulisan semacam ini. ... See More

Stock tulisan saya ada 20 an kali, 3 novel, dan beberapa draft yang masih write and rewrite. Thank you aniway.
September 20 at 2:22pm • Delete

Alexandro Di Augusto Sumartono
Ida,selamat Idul Fitri, maaf lahir & batin. Hebat, daya ingat loe kuat sekali ... Lanjutkan!
September 21 at 7:32am • Delete

Ida Syahranie
Ton, thank you! Liburan kemana nih? Salam sama kelg ya
September 21 at 7:34am • Delete

Alexandro Di Augusto Sumartono
Ok, gak kemana-mana di Pa - Depok - an aja ... Salam juga utk Abang & anak-2 ya.
September 21 at 7:38am • Delete

Siti Mariyani
Mba Ida, aku ada teman..masih muda...kebetulan dia anaknya teman kantor, namanya Senda...dia suka nulis dan tulisannya dibukukan...nanti aku tanya dia ya mba...krn dia pastinya sdh sering berhub dg penerbit.
September 22 at 11:47am • Delete

Ida Syahranie
Mbak Ani, thanks ya.
September 22 at 6:05pm • Delete

tarting wage is Rs 1300 per hour.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar