Terima Kasih , Anda telah mengunjungi blog saya.

Thank you so much to have you here.
It is about my novels, notes, comments of something, features, short stories and pictures.

Also my products, Furoshiki and Yukata (summer kimono).

Please leave your comments.... thank you
Enjoy it....



Jumat, 30 Januari 2009

Semasa kuliah di Rawamangun

Serial-76-01

Testing masuk UI di Senayan.

Dear Linda & Tina and all my dear friends ‘76,
Ini gue tulis kenangan ketika memulai menapaki Universitas Indonesia. Buat seru-seru an aja. Daripada ngomongin 42seconds YZME atau Aa Gym.
Nggak ada maksud apa apa. Tulis juga dong pengalaman kalian.
Ini cuma pengalaman versi bloon gue! Silahkan baca ya!

Pagi sekali gue sudah berangkat sama adik-adik dianter Babe en Enyak ke Senayan. Mau test masuk UI lho. Gue waktu itu nggak pernah pergi sendirian, apalagi ke Senayan!
Nggak tahu jalan. Gue pernah kesana nonton PON atau nonton Anjas Asmara main bola, di ajak abang sepupu gue. Ajaib kan! Memang Iya, karena gue punya sepupuan ada delapan, cowok semua, yang cewek cuma tiga termasuk gue. Gue yang tertua, gaulnya ama mere ka jadi rada tomboy gitu tapi penakut.

Pagi itu hujan rintik rintik di Senayan, untung gue pake jaket warna pink, rok terusan putih. Sepatu hitam pake kaos kaki putih. Hiik .. hiik! Baju pilihan Enyak, katanya biar kelihatan feminine! Gue heran juga sih! Kaya baju ada korelasi sama hasil test aja ya! Gile beneeerr! Emang ibu gue rada kolot gitu, maklum ortu zaman dulu.

Salah sector

Nah…gue diturunin di Pintu IX Senayan, jadi musti jalan dikit ke stadionnya. Babe langsung ke kantornya di jalan Veteran. Pulang nanti gue akan di jemput sepupu gue. Nggak pede banget deh! Jalan sambil celingak celinguk nyari te man, anak SMA4.
Sayangnya nggak ada satupun!

Takut hujan makin gede, gue lari lari kecil. Pas naik ke atas stadion, lalu menyusuri bangkunya, gue langsung duduk aja. Capek sih!
Eh…. baru aja duduk , ditegor sama mahasiswa yang pake jaket kuning. Melotot pula, biar dia pake kacamata terlihat kok biji matanya!

“Mana kartu ujian kamu haaah! Main duduk aja!” dia membentak gue, bikin gue lompat dari duduk. Ciut lah gue! Yang mem bentak badannya tinggi, gendut, rada item kulitnya, suaranya keras pula! Saking gendut, jaketnya nggak bisa dikancingkan. Gue aduk-aduk tas, nyari kartu ujian, panik pula, jadi susah menemu kannya. Lihat gue ciut dan gugup , dia malah bantuin. Pake kata lembut pula.

“De, lihat kantong jaket, mungkin kamu taro disitu” katanya usul.
Buru-buru gue masukin tangan ke kantong jaket. Bener juga, ada lho. Gue tunjukkin ke dia. Lalu dia betulin kacamatanya yang letaknya rada miring, terus baca kartu gue. Masyaallah! Dia melotot lagi! Aduh Enyak…. Babe tulungin! Gue ciut lagi. Mati deh gue! Kepikiran waktu itu, masuk UI susah banget ya! Jantung gue bunyi dag.. dig … dug. Kaya di ER aja (emergency room di rumah sakit)

“Kamu salah sector nih! Sana tuh, seberang! Dasar! Anak kecil!” gue dengar lagi suara keras si gendut ngomel sambil nunjuk2. Pas gue lihat telunjuknya. “Wwadooow!” Dia menun
juk arah depan gue berdiri. Lapangan luas terbentang, yang duduk di sebrang juga terlihat kecil-kecil. Jauuh banget! Buset dah! Untuk ke tempat test yang benar, di seberang sana, gue harus mengelilingi hampir setengah stadion!
Memangnya gue atlit!
Sebagian peserta test udah pada duduk. Gue mikir, kalo keluar dulu, pasti lebih jauh. Tapi lewat da lam, jangan-jangan dima rahi orang lagi.
Karena nggak pede, gue tanya si gendut. “Kak, kalo lewat dalam, ngelewatin yang duduk itu boleh nggak?” Dia mulai senyum, meski buat gue nggak kelihatan manis sich! Tapi udah nggak galak lagi. Sudah menurunkan ritme jantung gue.

Mungkin karena kasihan lihat gue tampak putus asa, dia bantuin gue. Dia panggil mahasiswa berjakun (berjaket kuning, maksudnya) lain yang berdiri nggak jauh.
“Eh… Ali, anterin nih. Salah sector!” perintahnya ketika mahasiswa itu mendekat.
“Ikut dia sana!” kata si gendut, gue manggut. Lupa bilang terima kasih. Nggak sopan deh! Gue berjalan di belakang si Ali, persis kaya calon bedinde yang baru turun bis AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) di Pulogadung! Ngikutin si Ali ke tempat test yang benar.
Hari itu gue ikut test masuk UI, dijalan yang benar!

Hasilnya, sekarang gue jadi bagian dari angkatan ’76. Itu pengalaman pertama gue menjadi calon maha siswa UI. Mau tahu nggak siapa dua maha siswa yang membentak dan nganterin gue itu?

Ternyata si gendut adalah Ketua Senat FIS UI waktu itu (1976), yaitu bang Zulfikar Ghazali dan Ali itu adalah wakilnya dia, bang Ali Masbar Akbar. Dua-dua nya mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Politik di FIS UI. Mereka yang ’Pentab’ kita, angkatan ’76.

Mas mhmhmh
Kemarin (12/12/2006) gue ketemu sama bang Zulfikar ini di kampus FISIP UI, Depok setelah sekian lama tak pernah jumpa. Masih tetap gendut. Masih pake kacamata. Jadi dosen di Departemen Ilmu Politik. Dia masih inget sama gue, malah inget gue angkatan ’76.
“Ida, ini teman seangkatan kamu kan, mhmhmh” katanya menyebut nama, sambil menunjuk seorang pria bertopi yang berjalan di sampingnya. Namanya nggak usah disebut ya. Biar selalu jadi rahasia milik gue. Gue coba kasih senyuman akrab ke Mas mhmhmh itu, khas anak Kommas! Sok dekat sok kenal. Gue kasih bonus malahan, pake ngangguk gaya Jepang gitu pula! (gue serasa masih ngantor aja deh, kebiasaan kalo ketemu atau dikenalkan sama orang).

Alamaak! Nggak bersam but lho! Dia diem aja! Nggak senyum, nggak ba les ngangguk. Apalagi ang kat topi, gaya Cowboy ma suk saloon & bar di film Wildwest! Mungkin juga si Mas mhmhmh nggak inget gue, teman seangkatan nya! Tapi emang semasa kuliah gue juga nggak pernah ngobrol sama dia kok. Cuma tetap aja malu. Sama bang Zul terutama, karena dia yang semang at. Gue tengsiiin abis! Mau ngomong ’apa kabar’ jadi males!

Sayur, Sayuti, Sayang , Sayonara

Kejadian itu bikin gue langsung kangen dan inget Imam, Henk, Tono yang selalu menyambut gue dan teman-teman lainnya deng an ceria! Malah kalo Henk, selalu panggil kita Say! Entah maksudnya Say ur atau Say uti atau Say ang , Say onara nggak jelas. Tapi hangat gitu deh.

Atau teringat sambutan teman-teman ‘76 lain kalo baru ketemuan. Dengan salam dan senyum pro fessionalnya seperti kang Anton, Khrisna, Bambang Basri, Bambang ‘Pilot’ Subiantoro, Bambang Irawan, Bang Asronald, Mas Harry Parwanto, Mas Djoko Gede, Bung Arief, Yunus, Bahrul, Buddy , Ardy,  Ary , Doel, Dolly, Ilef, Nurbahri, Lubis, Thamrin, Harland dan lain lain.

Teringat juga cium kangen teman-teman cewek ‘76 lainnya. Anak-anak Kommas, Administrasi seper ti Fitje, Ita, Erni, Hanny, Lies, Tita, Anita, Anna. Teman2 dari Sosio, Evelyn, Etun, mbak Yuni, Ria Yudho, Ibu Hadi. Anak-anak Politik, Binky, Baby and Diana. Anak-anak Krim: Tutut, etc.

Melihat begitu banyak daftar nama teman teman itu, gue jadi nggak sedih kok. Nggak jadi kecewa. Cuma satu dua orang yang mungkin melupakan kita. Ya nggak?
Menurut Pschology; Decay Theory (Teori pemudaran), informasi yang kita terima memang akan memudar bersama waktu. Pemudar an itu karena kita secara terus menerus menerima stimulus. Yang paling lama berada dibagian paling jauh. Tertumpuk. Artinya kita sudah tua kok.

Decay & Retrieval
Cara mempertahankan memory atau informasi dari pengaruh pemudaran ada lah dengan meningkatkan Retention yaitu proses men transfer stimulus/informasi dari ingatan jangka pen dek menjadi ingatan jangka panjang. Salah satu nya dengan Rehearsal (pengulangan). Kalau ka sus kita, dengan sering reuni, ngumpul, bertemu teman, pemudaran akan berkurang. Waktu Retrieval (perolehan kembali infor masi) akan lebih cepat. Nggak mudah lupa! Meto de peningkatan retention antara lain dengan visual (ketemu), audio (suara, kita ngobrol), dll.
Yang ini teori beneran, bukan karangan gue. Biasanya dipakai dalam rancangan pemasaran, terutama periklanan. Bagi an Consumer Behaviors. Nah.. dengan cara itu, kita pasti tidak kehilangan ingat an pada teman.

Ada kutipan yang pas untuk kasus pertemanan atau gue pas-pas in aja:
Three things in life that, once lost, hard to build up:
respect, trust, and friendship.

Gue sok pakai teori segala ya! Padahal gue cuma mau bilang:
Ngumpul sama teman teman itu seru banget! Asyik.
GLU (Group Lupa Umur)


Salam gue,

Ida
Depok, Mulai musim hujan, 14 Desember 2006


Serial-76_02


Pentab, TVRI Dunia Dalam Berita

Dear Linda,Tina & my dear friends 76.
Ini aku tulis sambil mengingat saat kita Pentab. Tetap dengan sisi ‘bloon’ gue.
Bukan untuk ‘hebat-hebatan’. Silahkan tertawalah, mudah-mudah an teringat cerita lucu lainnya di dalam kehidupan kalian.
Bersyukurlah, kita masih dapat tertawa!


Tahun 1976, pertama kali di UI perpeloncoan terhadap mahasiswa baru dihapus kan. Keputusan Rektor UI, Prof Mahar Mardjono itu menuai protes senior-senior kita. Angkatan 75 dan angkatan-angkatan sebe lumnya.
Jadilah angkatan kita bu lan-bulanan. Mereka nggak bisa menggojlok kita, nggak bisa balas den dam. Terutama kita dise belin sama angkatan ’75 yang sudah berharap harap akan bisa nunjukkin pamor ke adik yuniornya. Nggak bisa nyuruh yang aneh-aneh!

Nama bagus & jelek
Kabarnya, dulu, sebelum mulai perpeloncoan, ada acara ‘ pencabutan hak azasi mahasiswa baru (sementara sich!)’. Jadi senior bisa suruh maha siswa plonco-plonci apa aja selama masa per peloncoan berlangsung. Mereka akan kasih nama baru pada mahasiswa baru. Nama yang lucu, aneh, menyebalkan dan itu disebut nama bagus. Sedang nama jelek adalah nama asli kita. Ditulis pada karton, pake tali digantung di leher. Pakenya mulai dari rumah. Kebayang kan sepanjang jalan, pada senyum. Masa ada yang dikasih nama ‘Sandal jepit’, “Jeng Kol”. Tante gue, dikasih nama ‘Miss Pete’, karena ketahuan nggak suka sama pete, nggak tahan baunya. Tiap hari dia harus pakai kalung terbuat dari tali yang digantungi buah pete.

Tirtonadi Mas Bei, Wo ai ni,

Waktu angkatan kita, cuma Pentab aja. Itu pekan orientasi aja. Aca ranya, kenalan sama do sen dan senior, minta tanda tangan mereka. Itupun setelah selesai kuliah dulu. Nyanyi nyanyi, dengerin Mas Kasino, Dono dan Nanu ngebanyol. Kita diajarin lagu Tirtonadi Mas Bei, Wo ai ni, Yel-yel khas FIS UI, Wir… wir yang, wir wir yang. Dok..dok. yang dok dok yang! Sambil badan kita suruh ngegol. Trus kita harus meng eluarkan suara yang seperti meludah atau apa gitu. Wacuiiih! Pokoknya waktu itu jijik deh!

Kalo Plonco-plonci pake baju aneh aneh, kita justru rapi. Seragam warna putih, dasi hitam. Yang cewek pakai pita warna orange pada rambut yang dikucir dua, jaket kuning dan topi hitam, sepatu hitam, kaus kaki putih dan tas kain warna putih.

Memang ada tugas tugas yang harus kita kerjakan. Satu yang gue inget, kita musti bawa kayu bakar dan menulis isi siaran Dunia Dalam Berita TVRI yang jam sembilan. Padahal sampai rumah sudah malam sekali, capek seharian di kampus. Kayu bakar beres, nggak ada masalah, karena ada yang bisa bawa di kelom pok gue. Siapa waktu itu gue lupa. Mungkin Buddy Shambazy, karena dia ketua kelompok gue. Gue kebagian tugas nyatet berita TVRI.

Gue buru-buru mandi dan duduk di depan TV sambil siap dengan ballpoint dan buku tulis. Nunggu Tuti Adhitama atau Hasan AsariOramahi (ini nama gue nulis bener nggak ya?) baca berita. Adik-adik gue yang tiga orang sudah gue suruh jangan berisik. Babe gue juga kasih peringatan mereka untuk memperkuat posisi gue.
“Kalian jangan ribut, kakak lagi ada tugas kuliah!” kata Babe, order sambil duduk di sofa. Dulu waktu gue masih SMA, Babe gue selalu bilang Pe Er, sejak gue kuliah jadi ‘tugas kuliah’ beda ya!

Gue liat TV hitam putih di depan, sudah nongol logo TVRI, sebentar lagi acara Dunia Dalam Berita mulai. Wajah Pak Hasan dan Bu Tuti muncul, wajah-wajah mereka serius banget. Gue pegang ballpoint kuat kuat, pasang kuping. Sekali lagi menatapi adik-adik gue, lalu kasih kode telunjuk melintang di bibir gue: DIAM. Pokoknya gue keluarin kharisma sebagai mahasiswa UI deh! Pada hal, gue pake daster gitu, mana ada wibawa!

Weeh….weh! Tegang lho mereka! Buset dah, kalo gue inget sekarang kela kuan gue. Waktu itu kejam banget sama adik gue! Otoriter banget, padahal baru dua hari jadi maha siswa UI! Pegimane kalo gue jadi pejabat ya? Makanya Tuhan nggak kasih jalan gue jadi pejabat atau jadi isteri pejabat! Segitu aja status gue, udah bikin adik gue kagak boleh ngomong! Keterlaluan bloon nya gue…. He …he.

Peeit! Listrik mati
Ini dia, yang bikin gue terkenang selalu kejadian ini. Pas Bu Tuti kasih salam pembuka, mau mulai bacain beritanya.
Peeit! Listrik mati! Rumah gue langsung gelap!
Suara Bu Tuti hilang. Yang ada teriakan adik gue yang cewek. Dia takut ge lap! Sedangkan gue cuma mampu bilang “ Yaa!” Gue meraba-raba jalan ke teras depan, mau lihat box panel listrik. Ternyata jalan di depan rumah gue gelap gulita, semua mati lampu. Rumah tetangga gue juga pada gelap euiy ! !Buddy Shambazy, karena dia ketua kelompok gue.yang dikdang nama jelek adalah nama asli kita.

Lampu baru menyala lagi setelah jam sebelas malam. Nggak ada siaran ulang dong! Jam 12.00 WIB TVRI kan nggak siaran lagi. Gue bawa lilin ke kamar tidur, nangis. Bloon lagi kan?
Abisnya, kebayang kan kalo besok gue dapat hukuman dari senior kita. Teriakan Kak Doris Panjaitan, Yudith, Manenda, Fauziah. Belum lagi bang Zul, Mas Purbo sama Anto.
Huiih, serem deh!!!

Coba kaya sekarang, stasiun TV banyak, berita nya juga sama, on-line dengan radio pula. Pasti gue nggak nangis.

Besoknya, ternyata tugas itu nggak pernah ditanyai sama senior yang ngasih tugas. Padahal gue malam itu udah nangis sampai mata sepet! Sekali lagi gue bloon ya!
Stasiun TV & SMS
So… setelah 30 tahun, kemajuan tehnologi komunikasi makin cepat aja. Dulu nggak kebayang ada RCTI, SCTV, TransTV dll. Jauh rasanya bisa nulis dan baca surat teman tiap hari di milis, soalnya telegram aja baru nyampe lima hari! Kartu lebaran dari Bonita (alm) yang tinggal di Menteng , Jakarta, pernah gue terima dua bulan setelah Idul Fitri. Padahal gue tinggal di Kelapa Dua, masih di sekitar Jakarta.

Sekarang SMS an sama teman tiap hari. Jarak nggak lagi masalah. Oge bisa cuap-cuap dari Belanda. Lenny yang di Amrik bisa terima pesan, di titipin beli buku dan kaus kaki dari teman-teman di Jakarta.
Manfaatkan media dan teknologi komunikasi. Ga-
gap teknologi? Masa sih? Yang penting adalah niat untuk membina hubungan baik dengan teman. Pasti bisa! Belajar sama anak kite juga oke, mereka anak sekarang hebat! Jadi kita dapat sekedar mengu capkan salam, berbagi be rita suka atau duka, meski semuanya sibuk.

Sibuk
Sibuk dengan pekerjaan kantor yang nggak ada habisnya. Mungkin sibuk mikirin ada target tahun depan yang makin tinggi aja. Ada yang sibuk mikirin investasi apalagi ya? Kaya nya semua bidang usaha sudah punya dan sukses semua pula!
Ada yang pura-pura sibuk atau belagak sibuk (kaya gue nih!).

Kita juga sibuk dan ber usaha jaga keharmonisan keluarga. Sama anak, sama suami, sama mantan isteri, sama mantan suami, sama semua orang, teman teman, tetangga, anak buah di kantor, sama Satpam di RT kita, de el el.

Maka, terima kasih buat teman-teman yang telah begitu sibuk dan capek untuk mewujudkan acara pertemuan dengan teman teman ditengah kesibukan mereka.

Bikin reuni lah, tour lah, gathering lah.

Mana bisa kita bayar honor sama mereka.
Lagian berapa?
Semua para professional!

Satu-satunya cara berte rima kasih adalah men doakan mereka.
Semoga kehidupan yang mereka jalani, kini dan selanjutnya selalu sehat dan bahagia. Amin!

Salam, Selamat Pagi!

Ida,
Depok, 15 Desember 2006.


Serial-76_3

Tiket bis & Teman baru.

Dear teman-teman 76.
Aku hari ini nulis lagi. Masih pengalaman Pentab. Masih dengan versi ‘bloon’ juga. Semoga hari ini menye nangkan. Semua untuk kalian.

Yang kerja di kantor,
Yang lagi masak di dapur.
Yang lagi cuti,
Yang lagi kemacetan,
yang lagi bisnis,
Yang lagi duduk manis
Yang lagi shopping,
Yang lagi kasih training,
Yang lagi meeting.
Yang lagi sidang,
Yang lagi presentasi,
Yang lagi negosiasi ,
Yang lagi diuber dead-line, Yang sedang on-line
Baca deh sebentar. Senyumlah, kalo emang terasa lucu.
Maafkan aku bila bikin kalian kesal, karena tulisan ini menuhin milis kita. Delete aja ya.



Bis Ajiwirya
Waktu kita di Pentab ada tugas untuk mengumpul kan tiket bis kota yang harus ada tanda tangan pembantu di rumah kita. Ada-ada aja deh tugas nya. Waktu itu gue sengaja pulang naik bis ke rumah Tante gue biar dapet tiketnya dan nginep disa na. Cuma karena sudah sore hampir Magrib gue rada takut.

Gue berdiri di halte bis jalan Pemuda, depan kam pus kita. Di sebelah gue, ada cowok, pake jaket kuning, teman seang katan kita, gue belum tahu namanya. Ada juga anak-anak FH, tetangga sebelah dan mahasiswa F Psikologi dan Fakultas Sastra.
Kelihatan dari badge jaket mereka. FH, Makara deng an warna dasar merah, FPsi Abu-abu, FS putih, kalo nggak salah tuh.

Tiap ada bis, gue liatin, ragu ragu naiknya. Takut salah jurusan. Gue harus naik yang ke arah Kodam, Cempaka Putih. Bisnya namanya Ajiwirya, warna nya biru tua. Gue dapat info detail ini dari Om gue yang tinggal di komplek IKIP, jalan Daksinapati. Gue catat malah, dan gue pegangin waktu nunggu bis itu. Sewaktu SMA boleh dibilang gue nggak pernah pergi sendiri, karena gue satu sekolah dengan abang sepupu gue. Dia andelan gue, kemana-mana sama dia. Makanya gue grogi banget pulang sendirian.

Ada setengah jam gue nungguin bis, teman kita itu juga nggak naik bis. Tetap ada di samping gue. Tan pa kita usaha saling sapa.

Akhirnya bis Ajiwirya itu datang, mahasiswa maha siswa FH, FPsi ,FS yang juga ada di halte lansung naik ke bis, berebutan. Nah… teman kita itu langsung menuju pintu bis, sambil no leh ke gue.
“ Eh… kamu nunggu bis apa? Ini lewat Kodam!” katanya. Rupanya dia sempat baca catatan yang gue pegang.
Gue gelagapan, karena pas nengok halte udah kosong! Gue nggak jawab dia, langsung teriak. “Tung gu! Tunggu!” bisnya udah mulai bergerak. Gue berlari kejar bis, naik bis dibantuin teman kita itu. Maka sebagai tanda terima kasih, gue kasih senyum ke dia. Kita kenalan deh.

Namanya Djoko Pramono! Orangnya biasa banget. Baik banget deh sama gue, merasa teman seangkatan gitu. Kita dapat tiket dari mas Kondektur. Baya rnya Rp.100,-. Djoko Kecil, itu biasa kita panggil dia, karena kita juga punya teman Djoko Purwongemboro yang gede badan nya.


Titip Kondektur
Dia ajarin gue, malah karena dia turun duluan, gue dititipin sama mas Kondektur. (…Kaya koper kali? ). Kondekturnya mang gut2 nggak jelas. Gue musti turun di Poncol. Sebelum turun bis, dia juga sempat bilang, “Besok kamu pu lang sama-sama aku aja, kita kan ada acara di Salemba”
Wah senangnya, gue besok ada teman pulang bareng. Apalagi besok Babe gue emang nggak akan bisa jemput, dia dapat tugas ke Manado. Makanya gue musti nginep di rumah Tante gue.

Bener, Djoko pegang janji, besok sore hampir Magrib, setelah acara Pentab dengan mahasiswa baru fakultas lain di depan FK, dari Salemba kita pulang sama-sama lagi. Naik mikrolet atau oplet, lewat Senen, Gunung Sahari terus ke arah Cempaka Putih. Dia jadi guide gue, full service. Malah tas gue dia yang tentengin! Jadi inget sepupu gue yang saat itu juga sedang di Mapram di Usakti. Ada yang gantiin tugas sepupu gue nih.

Kali ini gue yang turun duluan. Djoko Pramono masih terus, ke arah Galur. Rumahnya di Jalan Siaga. Gue sangat berterima kasih sama Djoko ini.

He was stand by my side.
Teman baru, tapi kaya udah lama kenalnya. Seperti sahabat.

Kemana mereka?
Kalo nggak salah dia ambil jurusan Politik. Sayangnya, entah sejak tahun ke bera pa, Djoko nggak ke kam pus lagi. Gue nggak pernah kontak sama dia. Djoko Kecil menghilang. Setiap reuni berharap Djoko Kecil muncul. Gue nggak minta dia ngajarin jalan pulang lagi sih. Hanya ingin tahu dia masih ada nggak di dunia ini? Dulu Djoko Kecil akrab sama Nitra (alm), Asyraf dan siapa lagi ya? Di buku kenang-kenangan, juga nggak ada data tentang Djoko Kecil*

Nah… ternyata kita juga masih kehilangan kontak dengan teman kita lainnya. Retno, Rosmala Dewi, Mas Edi Sudarno, Hazairin Holidi, Muharam. Meiharliza Bahar ada dimana? Agung Budisantoso, Edward Pieters, Francis Simon apa kabar? Frans Yukin Tukan dan Ichsan ada dimana?

Santi Pawaka?
Beruntung ada kabar, kata nya sudah ada yang punya kontak sama Dessy Nurnaith. Kita juga baru kehilangan teman untuk selama lamanya, Santi. Waktu kenalan sama gue dia pernah bilang namanya Santi Pawaka. Ini middle name atau apa? Gue lupa juga, dalam acara apa kita pernah sama dia, Yoke, Kumala , Cici pergi ke rumah Stella Kawilarang di jalan Otista. Kita makan siang disana, ngobrol-ngobrol terus ke rumah Yoke, nggak jauh dari situ.

Semoga dengan berbagai upaya, kita bisa bertemu dengan ‘teman-teman’ yang ‘hilang’ itu. Semoga mereka juga sama seperti kita, masih ingin bertemu. Menjalin lagi silaturahmi.

Bersyukur karena kita memiliki teman.

Salam

Ida
Depok, 16 Desember 2006


* data terakir di buku kedua sudah ada, cuma belum pernah hadir di acara ‘76



Serial-76_4



Temans,
Ini masih tentang Pentab 76. Aku nulis, sambil senyum senyum, tapi juga sedih. Karena nama-nama yang terlibat dalam peristiwa ini
telah mendahului kita. Bonita, Susy dan dan Mas Purbo.


Seksi Mampus & Redcross

Waktu Pentab 76 itu diantara mahasiswa baru ada yang kebetulan se dang sakit. Jadi untuk ke giatan tertentu nggak boleh ikut, seperti olah ra ga. Para senior panitia su dah ada data tentang kita. Mereka sebut kelom pok ‘terlarang ‘ olah raga ini adalah Seksi Mampus.
Ajaib ya namanya!
Anggota di kelompok itu yang gue inget adalah gue sendiri, karena baru sem buh dari sakit kuning, Bonita, Susy. Ada lagi yang lain, tapi gue sungguh, lupa. Diana Masduki? Yang cowok siapa ya gue lupa juga. Emang nggak sampai sepuluh orang sih.

Jadi kalo kalian ‘76 ada kegiatan fisik, ke lapangan bola yang dekat mesjid. Kami Seksi Mampus dikum pulin di ruang Senat. Di suruh duduk duduk aja, ditanyai macam-macam. Senior semua! Mereka rupa nya yang nggak doyan olah raga juga. Sebagai tanda untuk kelompok ini, di jidat kita di tempelin ples ter berbentuk redcross.
Ini gue curiga kerjaan Manenda’74. Pernah gue ada rapat HUT Komunikasi sama dia baru-baru ini, terus cerita-cerita tentang Pentab. Gue ingetin masalah ini, dia ketawa ngakak.

Tanda tangan
Sewaktu di ruang Senat itu, senior yang ikut nimbrung banyak banget. Bukan panitia aja. Ada Bang Zulfikar Ghazali, sang ketua SM FIS UI, Ali Masbar Akbar, Doris (Ochis) Panjaitan, Yudith, Ogie, Toni Ardie, Yudha yang nyentrik, Aji Indra, Iskandar, Fauziah yang judes banget, Hasna, Tuti, Syeni, Fitri, Purbo Winoto yang sangar, dia anak Menwa, Anto, Andra, Yeyet Prayitna, May, Meddy, Viraguna, Rohman Achwan, Bram G. Zakir, Sammy Sudjak si kribo, Fachri, Djunaidi Saragih, Lisman Manurung dan banyak lagi.
Kenapa gue inget nama mereka hingga sekarang? Apa coba?

Karena mereka mewajib kan gue, Bonita, Susy berkeliling, bersalaman sa ma mereka dan harus menghapalkan nama me reka saat itu juga. Kalo salah, kena hukuman. Kita semua emang nggak mam pu dong hapal semua. Mereka bikin kaya quiz gitu. Bonita kena hukum, disuruh nyanyi Wir wir yang, ini lagu identitas kita FIS UI waktu itu. Bonita kan pemalu. Selama gue seke las sama dia di SMA4, Bonita nggak pernah gue denger nyanyi! Kebayang kan! Dia nunduk aja. Rupa nya mereka kasihan, jadi Bonita disuruh duduk.

Susy juga nggak berat hukumannya. Tapi gue rada lumayan dikerjai mere ka. Gue disuruh sekali lagi berkenalan dengan Mas Purbo. Harus yang genit, centil, manja. Bingung kan!

Padahal Mas Purbonya pasang tampang serem banget! Baru gue jalan ke dekat dia, dia sudah bentak gue!. Gue jalan pe lan, atur biar kelihatan sopan, eh malah disuruh jalan megol-megol sama audience, para senior itu. Mas Purbo teriak, “Ngapain lo jalan gitu, kaya kecakep an aja. Mahasiswa FIS nggak ada yang genit!“. Berbeda kan dengan permintaan audience, hancur kan gue! Semua yang di ruang senat ketawa, liat gue ciut. Doris Panjaitan yang duduk de kat gue berdiri, langsung periksa bibir gue.
“ Ini anak memang genit!” timpal Ochis, dia teriak.
“Ini, lo liat kan semua, dia pake lipstick” nunjuk ke bibir gue. Padahal. sumpah, gue nggak pake apa-apa di bibir, apalagi lipstick. Tapi gue diputuskan mereka bersalah.

Gue disuruh mengucapkan salam ke Mas Purbo.
“Selamat sore Kak!” gue menyapa dia, gugup bang et. Senior yang lain teriak-teriak. “Mana suara genit lo? Nggak kedengeran! Ulang, ulang” seru mereka. Terpaksa gue ulangi lagi.

Mas Purbo duduk diatas meja, sambil goyang-go yangin sepatu boot ABRI nya, melotot ke gue. “Mau apa!” katanya keras.
Hiih, serem, untung nggak ada taringnya. Gue kaget en paniklah. Jawab dia sekena nya. Kalo nggak jawab dibilang sombong.
“Kak saya mau kenalan sama minta tanda tangan” dia tertawa ngakak!
Kok gitu?

Buku Pentab gue langsung disamber, dia buka ha laman tengah. Lalu dia mengembangkan telapak tangan kirinya diatas buku. Sret…. Sret…sret dengan ballpoint gue, dia ikuti lekuk -lekuk telapak tangan dan jarinya.
Bener bo! Jadi deh gambar tanda tangan. Dasar!

Sebagai tanda terima kasih sama dia, gue harus nya nyi. Lupa lagu apa. Nggak sampai selesai, karena se nior lain sudah nyari sa saran lain untuk dikerjai. Emang kalo mereka terusin, bisa bisa gue nangis!

Sesudah Pentab, semua senior senior kita itu baik kok. Nggak dendam en marahan. Masa perkenal an yang unik semacam itu bagus juga. Jadi kalo pene rimaan mahasiswa baru tanpa ‘inisiasi’ seperti itu hambar sekali. Mereka nggak akrab dengan te man-temannya. Cuek banget. Kadang sama teman sekelas nggak saling kenal. Ajaib kan!

Kita termasuk beruntung, ada Pentab. Akrab deng an teman seangkat an dan senior juga. Malah waktu reuni di Bidakara, rame pada ngumpul sama me reka. Terakhir gue denger Mas Purbo itu sudah me ninggal dunia. Info dari adik gue yang teman sama adiknya dia. Rumah dia emang nggak jauh dari rumah gue, di Cijantung.

Jadi yang terlibat di peris tiwa ini sudah pergi me ninggalkan kita. Bonita pergi karena sakit kanker, Susy komplikasi sakit diabetes, tekanan darah tinggi ada gangguan ginjal juga. Mas Purbo oleh sebab apa nggak ada yang tahu. Ada saat ber temu, ada saat berpisah, tentu saja.

Mumpung masih punya waktu untuk bertemu, kenapa harus menghindar untuk berjumpa.

Hari ini aku menemui kalian, teman-temanku, le wat milis. Menceritakan masa lalu yang lucu lucu. Bukan buat pamer, tapi berbagi kenangan.


Salam dari Depok,


Ida’76


Serial-76

Tim Pelayat & Kampus FIS UI


Dear Endel and all my friends ‘76

Menyusuri jalan di Jakarta sekarang ini memang nggak mudah. Apalagi dari kawasan Jakarta Selatan menuju Jakarta Pusat. Malah lokasi yang dituju nyaris ke Timur dan Utara. Pada jam orang sedang berangkat kantor pula. Selain harus punya kenda raan yang nyaman. Yang setir juga harus ekstra sabaar!

Ini kejadian (13 Des 2006) sewaktu kita (Endel, Debby, Linda dan gue) melayat ke rumah keluarga Laksdewi di Komplek Kodam, jalan Letjen. Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Silahkan baca. Ambil kesimpulan sendiri ya.


Lauw, keju kampong
Telepon dari Linda jam 6.30 WIB bikin gue yang masih tiduran di kamar sambil baca buku rada kaget. Hari ini gue rencananya mau istirahat, kebetulan nggak ada kuliah. Ini waktu menelepon yang nggak biasa dari Linda. Pasti ada kabar penting. Karena gue pegang kas Kommas ’76, sekaligus bertugas untuk kirim bunga atau kartu bila ada peristiwa penting seperti kematian atau ada yang sakit. Sebagai tanda simpati dan ungkapan perasaan turut merasakan kesedihan teman dan keluarganya. Juga bunga itu dapat mewakili perha tian dan rasa simpati dari mereka yang tidak dapat datang.

Kerjaan gampang ini! Gue tinggal angkat telpon ke sebuah florist yang sudah langganan kita sejak dulu, selagi kas masih dipegang Linda. Mereka sudah tahu selera kita, en sudah tahu besarnya budget kita. Tagihannya juga nggak hari itu, pernah sebulan baru datang. Itupun setelah gue telpon berkali-kali. Eh malah dijawab sama Mas-mas yang terima telpon, “Nggak apa apa Mbak, kan Kommas FIS UI ’76 sudah langganan lama, kami percaya kok!”
He… he .. ya udah lah.

Dari Depok ke rumah Linda di Lenteng Agung JAM 7.45 WIB masih okay, jalanan lancar. Tapi dari situ ke rumah Debby yang di Pela Raya butuh waktu 90 menit lebih. Karena belum sarapan , kita beli roti Lauw yang jualan keliling di Jalan Fatmawati. Roti isi keju yang kejunya terburai, keju kampong plus roti gambang yang warnanya coklat ada taburan wijen diatasnya. Masih hangat!

Sambil nyetir Linda makan roti. Gue juga, sambil sesekali beresin keju yang rontok diatas baju gue. Keju kok rontok ya? Kita sudah bekal air putih kok, nggak bakal keselek. Mulai lah kita berdua nostalgia.

“Da, elo tahu nggak, ini roti Lauw kesukaan gue jaman dulu!” kata Linda mendek larasikan atau klarifikasi, kaya artis aja. Wah, gue surprise dong! Linda ternyata sukaannya makan an kampong ya.
“ Sama dong ama gue! Kan memang cuma ada beberapa merk roti yang ngider di perumahan wak tu itu!” sambut gue. Linda tertawa. Kita berdua mulai sebutin itu merk merek roti; Lauw, Tan Ek Tjoan dan Maxims.

Cuma segitu doang! Merek mentega juga cuma dua, Blue Band sama Palmboom. Pasta gigi cuma Pepsodent dan Darkie. Detergent juga cuma Rinso dan Dino, yang slogan iklannya mencuci sendiri! Sabun mandi cuma ada Lux dan Lifebouy.

Tiga perusahaan roti ini melayani sarapan paginya warga Jakarta yang waktu itu cuma kawasan kecil Jakarta Pusat yang terdiri dari Menteng, Tanah Abang, sebagian Kota Lama, Cempaka Putih, Salemba, Monas dst. Jakarta Selatan cuma kawasan Pasar Minggu, Gatot Subroto, Tebet, Keba yoran Baru, Cipete Blok A, Kemang belum jadi. Jakarta Timur baru ada Bypass , Pulomas, Rawa mangun , Jatinegara , Kam pong Melayu, dan Cililitan. Di Barat antara lain Grogol, Tomang, Slipi. Kawasan Kebun Jeruk dan sekitarnya masih hutan. Di Utara, ada Pluit, Ancol, Gunung Sahari, Tanjung Priok, Sandvoort.

Separoh roti keju sudah habis kita makan. Linda dan gue masih perlu cicipin roti gambang. Masih ada sih, buat dimakan nanti atau buat Endel dan Debby. Mereka berdua juga tumbuh pada era yang sama kan, masa nggak kenal sama roti beginian.

“Lin, gue suka roti cok latnya Maxim” gue tambah bernostalgia.
“ Enak ya Da!” sahut Linda mengiyakan, santai aja. Jalanan macet banget! Debby sudah telpon dua kali, dia bingung kita belum juga jemput dia. Endel ngoceh di telpon, dia masih di Puri Indah, macet juga. Ada masuk SMS Anton, soal Bali Tour ang katan ’76. Acara disana mau ngapain? Aduh dia pake bilang harus bales! Iya lah emang pasti dibales , tapi entar ya Kang. Sabar ya!

Dengan kesabaran profess sional, Linda nyetir mobil, nggak marah di serobot Metromini, disalip BMW seri mutahir, Kijang, segala macam merek mobil. Kita ngobrol aja terus , akhirnya berhasil jemput Debby. Endel juga langsung ber gabung, jadi satu mobil dengan kita.



Vrijman!
Kini dengan anggota leng kap tim pelayat berangkat ke rumah Laksdewi; Linda, gue, Debby dan Endel. Kita mulai perjuangan menuju rumah duka. Sepanjang jalan baru ketahuan Endel itu preman (vrijman?)! Padahal si Emak ini cantik , nggak nyangka ya! Dia kebetulan duduk di cabin belakang di samping gue. Setiap mobil Linda di serobot mobil lain dengan cara nggak sopan, Endel langsung sengit! Tahu nggak apa yang dia kerjakan? Gue sampai ketawa, sakit perut, geli ngeliat dia!. Linda dan Debby sama , ketawa aja liat tingkah Endel.

Dia buka jendela mobil, terus teriak ke sopir mobil yang ngawur itu. “WOI… WOI! Otak lo dimana! WOIII! Beberapa kali keja dian itu terjadi. Sopir bis PPD juga dia teriakin pas di Semanggi. Buang energi padahal.
No body pay attentions! Beneran!!! Warga Jakarta kan emang cuek! Disiplin berlalu lintas kita buruk banget. Tapi daripada stress, mending dikeluarin aja, iya kan Ndel?
Katalisator gitu.

Guide amatir
Lewat toll dalam kota, kita menuju ke arah timur dan ke utara, lalu keluar di Cempaka Putih. Lancar, nggak ada masalah. Masuk jalan Letjend. Suprapto okay, tinggal berbalik arah, cari putaran untuk masuk ke komplek Kodam. Di komplek ini rumah keluarga Endel, dia sejak kecil tinggal disitu. Jadi kita menaruh keper cayaan besar untuk jadi guide ke rumah duka. Laksdewi memang tetang ga Endel, teman sekolah di Ursula.

Tapi ini dia, kita tetap salah jalan! He… he kok bisa ya? Bisa dong! Kita karena waktu, sudah mulai banyak lupa! Apalagi jalan sudah berubah banyak. Ada jalur Busway, ada gedung-gedung baru kaya ITC Cempaka Mas, spanduk-dan billboard macam macam. Tulisan petunjuk lalu lintas juga nggak menonjol, kalah kompetisi dengan iklan. Ketutup sama bendera partai-partai, panti pijat, bengkel dll.

Waktu kita ketemu belokan pertama gue sudah teriak. “ Linda, jangan belok yang itu, satunya lagi, ada di depan”
“Ida, salah lho. Emang belokan ini” kata Endel ke gue. Gue mulai bingung. Apa iya? Linda mulai terpengaruh. Debby nggak ikutan ribut ribut soal mau belok atau enggak. Dari awal berangkat sudah bilang nggak pernah ke daerah ini. Jadi nggak bisa kasih saran, petunjuk atau restu.

Endel meyakinkan Linda.
“ Belok Lin, bener kok!” Jadi Linda mengarahkan mobilnya ke belokan itu. Belum jauh dari belokan, kita sudah dapat kepastian, nggak bisa masuk jalur lambat untuk masuk komplek KODAM. Kita semua ketawa sampe keluar air mata! Salah euy!!

“Gimana Ndel, kan rumah elo disitu, kok bisa nyasar?”
Tapi sudah lah, Linda juga sabar ini kok. Jadi gue dapat kepercayaan buat guiding Linda.
“Terus aja Lin, di per empat
an belok kanan lagi, ke Bypass baru kaya tadi lagi masuk jalan letjen Suprapto” gue bilang ke Linda. Endel sudah tahu diri, nggak kasih order lagi ke Linda. Dia duduk manis di sebelah gue sambil atur-atur selendang hitam, perlengkapan melayat. Dia bawa dua , hitam sama putih. Gue bawa slendang warna ungu, asal aja tadi kan gue buru-buru. Endel bilang, pake punya dia aja yang putih! Aduh…. Dasar anak Kommas, masih aja mikirin penampilan, mau ngelayat padahal. Gue manut aja !

Gue masih bilang terus terus ke Linda, padahal posisi mobil dia di tengah. Sudah di dekat lampu merah yang berganti deng an cepat ke hijau. Nggak mungkin belok ke kanan. Ups… mobil meluncur ke arah Jalan Perintis Kemer dekaan!!! Waduh, gue salah kasih order!!!

Tentu aja Endel ngeledekin gue! Debby mulai angkat bicara. “Ida, ini jalan apa ya, kok gue nggak pernah kesini?” kata Debby lembut bertanya.
“ Ai ya , wo bikin salah nih!” gue kelabakan. Linda kebingungan, tapi terus nyetir. Di kanan, jalur sebe
lah macet banget, mobil berderet, mungkin mulai dari Pulogadung atau perempatan Kelapa Gading.

FIS UI, Rawamangun
Sekarang kepercayaan sama gue jadi berkurang. Endel balik lagi jadi guide. Tapi kita mulai kerja sama. Linda dipandu menuju Pulo Mas agar bisa keluar di Rawamangun, depan golf. Tapi dengan beberapa kesalahan, kita belok ka nan, lewat jalan Pemuda.

Nah, ini dia! Begitu diingat kan kita nanti akan mele wati bekas kampus FIS UI dulu, semua jadi semangat dan gembira. Debby ma lah bilang, sejak lulus nggak pernah lagi lewat kampus FIS UI ini.
“Our lovely campus, we are coming!”

Mendekati lokasi Kampus FIS UI, Linda jalankan mobil slow. Seneng ya, bisa lihat kampus kita dulu. Nggak banyak perubahan kok. Gedung F.Psikologi, Ge dung FIS UI yang lama, dua tingkat, jendela kelasnya masih seperti dulu, lalu F.Hukum. Bedanya akses masuk sudah ditutup. Ada rencana renovasi atau apa, nggak jelas. Tapi ada alat-alat konstruksi sih. Masih milik UI atau jadi milik orang lain, kita juga nggak tahu. Moga-moga nggak jadi mall aja! Jakarta kebanyakan Mall!

Setelah sampai di rumah duka hampir jam 12 an, bertemu Laksdewi, tim pelayat pulang. Sudah capek, lapar pula. Semua sepakat ambil jalan lewat Bypass untuk ke Gondang dia, mau makan di Bakmi Godila yang di pinggir rel. Untuk kesini beberapa kali salah jalan lagi. Malah naik ke fly over di jalan Pramuka menuju Senen. Harusnya menuju Menteng. Jadi kita melewati kampus UI Salem ba. FK masih dengan halaman luas dan bangun an kuno. FE sudah jadi Gedung Pasca Sarjana.
Jadi kami melewati dua kampus UI dulu hari itu. Bener-bener jalan kenang an!

Kita terpaksa lewat jalan Raden Saleh untuk men capai Menteng. Tapi ada bagusnya, kita jadi bisa lihat Hias Rias jaman dulu. Itu tempat mangkal anak muda era kita. Di warung apa restoran mie Godila ini Endel sekali lagi terpaksa nunjukin wibawa. Soalnya pelayanan buruk. Kita sudah order dan menanti lama, eh malah ada pria berdasi yang baru aja duduk, belakangan datang nya dari kita sudah dianter in makanan.

Pulang ke rumah juga penuh perjuangan!
Jalanan macet, tukang Koran di Kuningan asongin tabloid. Isinya ‘42 seconds YZ vs ME’, komplit, frame by frame. Hanya di blok se akan-akan sensor, warna hitam di bagian extra ordinary! Bener nener republic BBM ya kita ini.

Denger-denger ada yang mau ralat itu berita? Mau dibuat versi blackmail lah. Versi nggak bersalah. Versi dizolimi. Padahal, kalo lihat yang 42seconds itu, ya emang ‘happy landed’.

Menurut teori komunikasi, ralat itu sebenarnya sudah nggak berguna. Informasi sudah diterima, Mana bisa dihapus dari memory kita. Waktu aja yang memu darkan ingatan.

Tadinya Endel atas anjuran kita mau beli. Tapi dengan cepat memutuskan untuk nggak jadi. Buat apa coba? Yang AV aja ada, gratis lagi! Mustinya yang atur publikasi media cetak begini kan Komisi Penyiaran ya?
Pada kemana mereka? Oh… lagi dikantor masing-masingr!
Oh….lagi pada seminar!

Pantes!


Ida
Depok, 18 Desember 2006

Serial-76

Kotak P3K, beauty case dan dompet!

Dear ‘76

Ini cerita tentang kegiatan kita di Serpong, 1978 dulu. Sewaktu bikin penelitian. Ada hal kecil yang bisa aku bagi sebagai kenang an.
Sebenarnya pernah seba gian cerita ini pernah aku tulis di KOMA.
Sekarang tulisan ini hasil rewrite plus.

Silahkan baca.


Metromini
Semasa kuliah di FIS UI kami , angkatan ’76 pernah meng adakan penelitian ke daerah Serpong. Tahun 1978 kalo nggak salah. Kommas dibagi dua tim, satu di Babakan yang lain di Rawabuntu. Jurusan lain juga berangkat. Di sebar ke seluruh wilayah Serpong. Aku termasuk tim Babakan dengan anggota Susy, Tina, Dhay, Imam, Laksdewi, Cici, siapa lagi Aku lupa. Rasanya Henk dan Mala. Sedang dosen pendamping adalah Mas Setiawan Abadi.

Tim ini berangkat dengan Metromini yang warnanya pas dengan FIS UI.
Perjalanan kesana oke lah! Pokoknya sampe disana sore. Tim bermalam di rumah Pak Lurah atau siapa, pokoknya dia ‘peja bat’ desa itu.
Tim Urban’s generation FIS UI ini mulai gelisah begitu sampai halaman rumah beliau.

Yang pertama towel-towel bahu aku Cici. “Da, kok rumahnya gelap ya” kata nya bisik bisik di telinga aku. Aku nyengir kuda aja. Ya iya… lah, ini kan desa, belum ada listrik! Liat aku cuma reaksi gitu, Cici nervous.

Aku pikir Cici paham, eh malah terusin komentar nya. “Da, rumah nya nggak pake ubin!” kali ini suaranya rada kenceng. Kita emang sudah dipersi lahkan masuk. Aku nebak-nebak sendiri, pasti rumah ‘pejabat desa’ itu dipilih karena dianggap yang paling mewah seantero desa.

Waktu masuk rumah, aku terpengaruh Cici, menatap lantai. Mataku beralih fungsi jadi camera in operation. Mataku pan right & pan left, aku juga zoom in & out posisi posisi tertentu. Memang nggak pake ubin, tapi dipoles adukan semen-pasir.

Disana sini aku lihat polesan lantai sudah retak, tanahnya nyembul. Mungkin nggak tiap hari dibersihkan jadi kelihatan nya kaya tanah semua.

“Ci, bukan lantai tanah kok! Elo bawa sandal?” aku menenangkan Cici. Sok ya, padahal aku juga mikir, kalo dari lubang kecil itu nongol ular gimana? Iih!
Velbed kaya ABRI

Setelah beradaptasi deng an Nyonya rumah, kami mulai atur posisi tidur. Semua kebagian velbed, tempat tidur lipat kaya tentara. Aman, tidur nggak di lantai. Aku sama Cici sudah bisa senyum senyum. Lega!

Tapi hari makin senja, Susy yang dapat tempat di pojok sudah nggak begitu jelas. Ruangan gelap.
Padahal lokasi kami tidur itu di ruang tamu. Nggak ada kabel listrik barang sesenti pun kelihatan. Lilin juga nggak punya.

Apa semalaman pake lampu teplok? Aku paling takut gelap. Terus kalo terlalu lama gelap aku stress, terus sakit asthma ku kumat. Gimana dong!

Lampu Petromaks
Pas menjelang Magrib, sang pejabat tiba. Bawa lampu petromaks. Syukur deh! Lampu itu jadi pemandangan yang mena rik bagi kami. Juga paling penting. Soalnya kami perlu buat saling pandang sama teman-teman dong! Masa kaya di gua, gelap.

Malam itu selain nasi dan lauk yang disediakan Nyo nya rumah, kami menge luarkan bekal masing-masing.

Ada yang bawa roti isi, roti tawar, daging rendang, kari, ikan , selai nanas, meisyes, telur asin rebus, acar, sambel bajak. Akhirnya kita sepakat, stock makanan jangan dibuka semua. Harus diatur. Yang cepat rusak dimakan dulu an.

Malam pertama di sana hujan deras, suasana desa terasa sekali. Nggak ada TV, radio. Yang ada gelap aja. Apalagi pohon jengkol di depan rumah lebat banget. Ini benar-benar ‘in the middle of no where’

Seandainya ada kudeta, perang atau apa saja di Jakarta, kami di Babakan nggak akan pernah tahu. Padahal sebenarnya tidak jauh dari Jakarta. Hanya fasilitas transportasi dan komunikasi, beda banget. Di sini masih fasilitas zaman Belanda.

Survey lokasi hari 1
Untuk mengenal daerah penelitian kami, pagi pagi setelah sarapan, semua anggota Tim Babakan jalan kaki .
Memangnya ada beca?

Semua tim keluar dengan jaket masing-masing, pakai topi atau bawa payung Saat itu memang musim hujan. Bawa tas berisi outline research, formulir lembar questioner & alat tulis.

Kami menyusuri kali kecil, jalanan yang becek tanah merah, lengket di sepatu. Kami melewati bangunan rumah permanent. Sebuah rumah tua itu sudah ko song. Dulunya milik seorang pedagang, warga keturun an Cina. Arsitekturnya khas, campuran gaya Eropah dan Cina, dengan teritis, mengadopsi gaya local.

Aku melongok ke jendela, kaca, ada beberapa pera bot dari kayu, meja altar untuk sembahyang. Ber debu, gelap tentu saja! Asyik melihat lihat gitu ter nyata aku sendirian,
Rupanya… teman-teman sudah jalan tinggalin aku! Cepat-cepat aku kejar mereka, dengan sepatu yang sudah berat dengan tanah.

Setelah agak lama berja lan, menyusuri pinggir parit atau kali itu, kami mene mukan beberapa cluster rumah-rumah penduduk.

Rumah rumah desa, dari bamboo, atap genteng, dinding anyaman dari bamboo (gedek), Lantai dari tanah tanpa polesan semen pasir.
Hampir di setiap rumah, kita akan menemukan bale -bale dari bamboo. Bangku semacam ini seperti kursi tamu, berada di depan rumah.

Penduduknya ramah, terdiri dari suku Sunda Tangerang dan warga keturunan Cina yang memang sejak lahir tinggal di sana. Menurut Tina, bahasa Sunda mere ka agak berbeda dengan bahasa Sunda dari daerah Priangan, Cianjur, Bogor atau Sukabumi. Memang aku dengar juga agak lain.
Nada atau apa, nggak tahu lah.

Paraji
Hari kedua Tim dibagi bagi, jadi jalan berpencar. Aku sama Tina dan Dhay. Salah satu responden kita adalah Paraji, seorang dukun yang membantu kelahiran bayi. Dia terkenal di seantero Babakan.

Susah payah kami akhirnya sampai di rumah bu paraji, yang aku lupa namanya. Perjuangan berat ke rumah dia, karena harus melewati tanggul2 yang licin dan becek, sawah yang luas terus menyeberangi parit dan tentu saja semuanya tanah yang becek dan lengket.

Tina yang Sundanese seba gai guide, karena Bu Paraji nggak bisa berkomunikasi dengan baik dalam baha sa Indonesia.

Baru aja questioner mau dibuka, seorang pemuda kampong datang. Aku nggak ngerti dia ngomong apa ke Bu Paraji. Yang pasti, Tina bilang bu Paraji mau pergi saat itu juga, ada yang mau melahirkan. Kami diminta ikut aja!

Sambil jalan cepat di tanah yang becek lengket, mela lui tanggul sawah, rasanya capek banget. Hujan pula rintik-rintk, kami sampai di sebuah rumah kecil.

Rumah yang kami datangi terdiri dari dua ruang, Ruang depan untuk tidur, dan bagian belakang untuk memasak. Ada teras kecil dengan sebuah bale-bale.

Keseluruhan rumah berlan tai tanah. Dinding nya dari anyaman bamboo, sudah lapuk, suasana ruang agak temaram. Sinar matahari hanya masuk dari pintu depan. Satu satunya jende la di ruang itu tertutup rapat. Atap genteng nya terlihat jelas, karena rumah itu tanpa plafond.

Sementara itu, dua pria tua duduk-duduk di teras sam bil mengobrol, santai. Ada dua anak kecil juga ber main di sekitar tempat tidur calon ibu. Ada kucing dan kambing berbulu hitam putih yang turut berteduh di teras karena hujan rintik masih saja turun. Ayam-ayam juga keluar masuk! Benar-benar tidak hieginis buat pelayanan pasien!

Pintu rumah terbuka lebar. Ketika kami masuk rumah itu, persis di samping pintu bergerombol tiga wanita. Mereka mengelilingi se buah tempat tidur kayu. Di atasnya, berbaring wanita muda yang sedang kesakit an, mau melahirkan.
Wanita muda itu berbaring beralaskan jas hujan plastic! Tubuh, dari perut nya yang buncit sampai bagian bawah hingga lutut diselimuti kain batik lusuh.
Rambut panjangnya ter urai, wajahnya berkering at, menahan sakit!

Itu ‘pengalaman’ pertama ku sebagai seorang perem puan melihat wanita yang akan melahirkan! Mungkin Dhay dan Tina juga.

Too young to be married!
Dari ngobrol dengan dua wanita pendamping, aku tahu wanita yang akan melahirkan ini sudah dua kali melahirkan. Ini adalah anak ke tiga. Padahal usianya masih muda. Mungkin belum dua puluh tahun. Wanita itu di usia 14 tahun sudah melahirkan anak pertama nya. Dua anak kecil yang bermain di sekitarnya itu adalah putri-putrinya.

Suaminya adalah pemuda yang tadi menjemput Bu Paraji. Juga masih muda. Dia jadi petani, meng garap sawah milik mertua nya. Bertanam padi dan singkong. Saat isterinya berjuang melahirkan anak mereka, dia bergabung dengan kedua pria tua tadi, ngobrol di depan rumah. Tak terlihat dia khawatirkan isterinya sama sekali. Wanita melahirkan, itu biasa!
Sudah kodratnya!

Proses melahirkan sangat mudah, tak memakan waktu berjam-jam. Tidak perlu hitung ’pembukaan’ segala atau suntikan ‘induksi’.

Bu Paraji mengeluarkan peralatan medisnya dari kotak yang dibawanya. Kotak itu katanya hadiah dari Puskesmas, karena dia telah mendapatkan ’training’ dua hari dari bidan dan dokter Puskesmas di Tangerang.

Isi kotak adalah gunting, obat-obatan, plester, ka pas, verband, entah apa lagi. Aku juga lihat di kotak itu ada uang, sebungkus sirih dan perlengkapan nya. Haah?
Ya… Bu Paraji pemakan sirih. Gigi dan bibirnya merah, merona, seperti pakai lipstick!

Entahlah, mungkin lho Bu Paraji pikir lebih baik kotak itu jadi ‘multi purpose’ jadi kotak P3K, beauty case dan dompet!

Rp.100,-
Bayi yang lahir segera di urus sama Bu Paraji. Tali pusar si bayi setelah diikat dengan tali di dua tempat kemudian dipotong dengan sebilah bamboo tipis tapi tajam. Gunting pemberian Puskesmas nggak dipakai!

Yang unik adalah, sebagai alas dan penadah pemotongan tali pusar itu, adalah uang kertas seratus rupiah! Uang kertas berwarna merah itu ditem pelkan ke tali pusar si bayi. Kemudian tes…..! Tali pusar dipotong diantara dua pengikat. Ada sedikit darah menetes di uang kertas. Segera dikasih obat merah sama Bu Paraji bagian yang menempel pada pusar bayi, kemudian diverband dan diplester. Nggak higinies banget!
Pasti prosedur itu nggak masuk bagian materi training di Puskesmas!

Menurut Bu Paraji, itu suatu tradisi di Babakan. Katanya itu suatu harapan agar si bayi nantinya hidup ba nyak uang, jadi orang kaya!
Tapi, bagaimana bisa kaya? Uang yang buat alas aja hanya Rp.100,- Itu cuma jumlah satu kali naik bis kota di Jakarta, dari Rawamangun ke Blok M waktu itu. Atau ongkos bemo dari Kampus UI Salemba ke kampus UI, jalan Pemuda, Rawamangun
Lalu kalo pakai cheque Rp.1 juta??? Beda nggak ya?
Melihat proses melahirkan yang begitu sederhana dan kondisi yang begitu menyedihkan, aku jadi teringat Serpong sekarang.

Setiap Rabu, aku melewati daerah Serpong, menuju Karawaci. Serpong tidak lagi hutan perkebunan karet, persawahan dan gelap gulita kalau malam.

Serpong, sekarang terma suk desa Babakan, Jadi kota modern, Bumi Serpong Damai City (BSD).
Kota modern, penuh dengan rumah mewah dengan berbagai aliran gaya arsitektur, ruko, mall, jalan licin hotmix dengan taman-taman indah.
Malam pun terang ben derang, mobil mewah import berbagai merek milik penghuninya berseliweran di Serpong.

Kemana perempuan desa yang melahirkan itu seka rang? Masihkan dia tinggal di Babakan, Serpong?

Bayi laki-laki nya itu, kira-kira sekarang sudah usia 28 tahun,
Semoga kini dia jadi orang kaya dan menempati salah satu rumah mewah di BSD City.
Semoga saja.

Ida Syahranie

Depok, Desember 2006


Serial-76_09

Obat sakit kepala

Dear temans KOMUNIKASI

ini tentang riset di Babakan tahun 1978. Kali ini pengalaman men dam pingi bu Paraji (dukun yang membantu kelahiran). Dia seperti dokter di rumah sakit ’visit’ pasien tiap pagi di RS.
Menjenguk wanita muda yang baru melahirkan.

Baca aja ya.


Social campaign
Riset di Serpong untuk Tim Kommas FIS UI di tahun 1978 punya pengalaman menarik. Ada kenangan ‘menggelitik’ bagaimana Social Campaign yang dirancang apik di tingkat departemen pemerintahan di Jakarta harus dilaksana kan di lokasi. Harus ada ’akrobat’ dari tim pelak sana di lapangan. Apalagi yang tak faham budaya local.

Saat itu, yang jadi ‘pesan kampanye’ yang dilaksana kan adalah penggunaan pil KB dan ‘kesehatan ling kungan’

Salah satu pelaksana pe nyuluh adalah para maha siswa FKUI yang kebetulan telah berbulan bulan bertu gas Puskesmas, sebagai pembantu dokter, di sekitar Serpong, termasuk di Babakan.

Aku, Tina dan Linda Wahyudi, yang anggota tim Babakan sekali lagi mengikuti bu paraji[1], mengunjungi seorang pa siennya, yang belum se minggu melahirkan.

Jalan menuju rumah wani ta itu tak mudah untuk ukuran kami. Jalan berlum pur, tanah liat lempung merah, lengket dan mem berati langkah dan di sepatu kami. Kemudian melalui pematang sawah, beberapa bukit kecil, dan tanggul. Tapi tidak masalah bagi bu paraji. Dia berjalan sangat cepat dan lincah. Padahal, terlihat jelas usia nya mungkin sudah lebih dari 50 tahun!

Rumah yang kami datangi khas rumah di desa Ser pong waktu itu. Ukuran ke cil saja, berdinding anyam an bamboo, atap genteng dan lantai tanah.

Jendela Rumah kita!
Wanita yang kami kunjungi sedang menyusui bayinya di dalam ruang satu-satu nya di rumahnya. Putrinya yang ke tiga, yang baru lahir, masih dibedong (diba lut kuat) dengan kain batik.

Dia duduk dekat ayunan yang bergantung dengan seutas tali yang diikatkan di bamboo yang melintang di atap rumah. Di ayunan kain batik itu tidur nyeyak seorang bayi, mungkin be lum berusia dua tahun. Itu putra keduanya.
Wanita itu masih sangat muda, malah mengaku pada kami usianya belum delapan belas tahun. Putra perta manya sedang re wel, pilek. Saat itu berbaring di bale-bale dengan ayahnya. Seorang pria muda, petani peng garap sawah di desa itu.

Saat kami datang, dua mahasiswa FKUI sedang berada di sana. Nama mereka berdua , aku lupa! Rupanya sedang meme riksa anak yang sakit.
Kami berkenalan dengan mereka, dan saling tukar informasi soal kondisi desa Babakan.

Mereka dalam missi yang kurang lebih sama.
Memberikan penyuluhan pada penduduk agar hi dup sehat. Misalnya, bagai mana merawat lingkung an rumah agar nyaman dan sehat.
Contohnya agar udara segar dan sinar matahari masuk ke dalam rumah, jendela harus dibuka!

Aku tanya sama kedua mahasiswa itu, bagaimana
Hasilnya? Sukses?
Mereka berdua meng geleng, tertawa kecut. Malah bilang pada kami. “Anak FIS bantuin dong!” Lho?
“Kenapa? Emang kalian nggak sanggup?” aku balik bertanya.

“Itu anak yang sakit jadi korban ‘kampanye rumah sehat’ kita” jawab salah satu dari mereka.
“ Anak ini pilek, masuk angin, batuk, karena ayah nya sangat patuh dengan anjuran kita. Jendela ru mah dibuka, tidak ditutup lagi kalau malam!” jelas yang lainnya. Wow….!!!

Berhubung se-almamater, aku nggak berani menter tawakan mereka! Senyum2 aja! Mau bilang apa coba? Bego? Mereka kan calon dokter!

Dokter Ilmu Sosial
Bagi warga desa di Babakan, para mahasiswa kedokteran itu sudah jadi dokter betulan. Mereka dipanggil juga Pak Dokter! Atau Bu dokter. Kita mahasiswa FIS UI juga di panggil Bu Dokter!
Ada cerita dari Benny Pangemanan (Adm Niaga’ 72??) yang KKN bareng mahasiswa FK dan meng inap di Puskesmas, dia dipaksa penduduk untuk mengobati mereka juga. Karena bingung, dia kasih vitamin aja!

Bagi penduduk, para mahasiswa itu panutan. Jadi, apa yang dianjurkan mereka pasti dituruti.
Masalahnya adalah kalau ‘pesan iklan’ nya jendela tidak ditutup, mereka tentu saja tidak menutupnya mes ki malam tiba!

Jadi ‘message’ harus dike mas sesuai dengan ‘frame of reference’ local. Komplit dengan sisdur (sistim dan prosedur).

Obat sakit kepala.
Bagaimana dengan ‘pesan iklan’ mereka ten tang pil KB. Kasus ya sama. Kesuksesan yang tertunda.
Ada kepatuhan, tapi tidak sesuai sisdur tadi.

Yang diterima audience, para akseptor KB adalah pil harus KB diminum. Itu tandanya peserta KB, dan mengambilnya setiap bu lan di Puskesmas atau petugas penyuluhan.
Pengertian itu diterapkan di rumah secara spesifik.

Aku jadi penasaran deng an ibu muda yang baru melahirkan itu.
Apa kah dia akseptor KB juga?
Singkat cerita, aku akhirnya tahu mengapa program KB nya gagal.

Ikuti wawancaraku dengan nyonya muda itu, kira-kira begini.

“Bu, ikut KB nggak? Kok jarak kelahiran anaknya dekat banget?”
Dengan mantap sang Nyonya mengangguk, ada tersirat kebanggaan di wajahnya.
“Saya mah sudah ikut 5 tahun lebih, pake pil” ja wabnya sambil menunjuk ke dinding dekatnya ber sandar.
Kulihat beberapa strip obat berbentuk pil kecil-kecil terselip di antara anyaman gedek. Itu pil KB.
Ya dia akseptor KB! Kok?

Aku penasaran, kepingin tahu bagaimana pil-pil itu bisa masih berada di sana? Kenapa program KBnya gagal?

“Ibu minum pilnya teratur kan?” aku balik bertanya.
Jawaban Nyonya muda itu menarik. Sekaligus meya kinkan!
Maksudku kegagalannya pasti! Yakin.
“ Ya teratur! Saya minum pil nya kalo sakit kepala” katanya kalem.
Kami semua, para maha siswa hanya terdiam.
Mau apa lagi coba???
“Selamat HARI IBU”

IDA S SYAHRANIE
idasyahranie@yahoo.co.id
[1] Dukun special membantu melahirkan (Sunda)


Terminal bis Rawamangun

Window shopping di terminal.
Terminal bis kota ini tak jauh dari kampus UI di Rawamangun. Bis dari berbagai jurusan ada disini.
Dari depan asrama mahasiswa UI Daksinapati, kita bisa cegat bis atau beca untuk ke terminal. Dekat terminal ada pasar, toko2 electronik, rumah makan, salon, apotik, toko fotocopy dan mini market ‘Terminal’

Aku, Tina dan Linda punya kenangan lucu di mini market Terminal. Kami ke terminal ini selalu sore, karena pagi biasanya dianterin kalo ke kampus. Pulang, pakai public transport, bis.

Sepulang kuliah, kita biasa kesini dulu sebelum naik bis. Kami naik bis yang sama, tapi aku turun duluan di daerah Halim,Bypass sebelum bis menuju ke arah Pancoran. Tina turun di jalan Gatot Subroto, Linda ke Blok M sendirian.

Di mini market, kita suka dengerin kaset lama2, pilih2 accessories, coba-coba cincin, gelang, jepit rambut.tanya-tanya bedak, lipstick, maskara. Kadang beli kadang tidak sama sekali. Kalo di inget inget, lebih sering nggak beli sih. Yang paling sering kita beli ya minuman lah. Haus, sudah sore pula.

Jerawatan!
“Da, Tin, abis kuliah ini kita ke Terminal dulu yuuk” ajak Linda suatu hari. Itu artinya, kita mau liat2 di mini market tadi. Belum ditanya mau beli apa Linda udah jelasin. “Gue mau beli obat jerawat” kata Linda mantap, bisik2 ke gue. Itu pas kuliah Pak Budyatna, Teori Komunikasi 1, sessi siang.

Wah,... gue jadi semangat. ”Ayo, obat apaan? Gue mau juga ah!” sambut gue. Kasus gue dan Linda kan sama, muka kite jerawatan! Linda masih mending, cantik. Lha gue??? Nggak cantik, jerawatan pula! Maka , diajak cari obat jerawat, gue semangat banget!

Singkat kata, kita langsung ke bagian kosmetik! Linda langsung tanya ke pramuniaga. ” Mbak, mbak, ada Yeastafort nggak?”

Sang pramuniga bengong! Nggak tahu rupanya dia. Linda lalu jelasin, ”Itu obat jerawat Mbak, seperti salep, tubenya dikotakin, warnanya kuning putih” kata dia rinci banget. Si Mbak mendengarkan dengan takzim, tapi akhirnya tetep menggeleng. Nggak ada jual itu.

Tina dan gue nunggu aja disamping Linda. Kita berdua emang belum pernah liat itu barang yang namanya Yeastafort. Tina keliatannya minat juga.
”Sayang, nggak ada Da. Kita musti beli di apotik kali ya?” keluh Linda. Meski kecewa, tapi dia tetap semangat ngasih saran ke gue. Gue juga semangat dan sudah terpengaruh dia, demi menghilangkan jerawat yang nyebelin banget!
”Obatnya bagus banget Da” kata Linda, ”Cepet nyembuhin. Formulanya ada unsur yeast, itu kaya ragi roti atau ragi yang ada di tape! Bikin jerawat kabur! Makanya Da, sering sering makan tape” kata Linda promosi. ”Makanya gue seneng sekali ama tape Da” kata Linda melanjutkan, seakan menjelaskan mengapa kalo pesen es di Tamsas dia selalu pilih es tape.
” Wah, itu mah enak banget, gue suka tape Lin” sambut gue berterima kasih. Gue menerima saran Linda, seakan dia dewi Kwan Im gitu, lagi turun ke bumi membisikkan wangsit rahasia kecantikkannya. Soal jerawat, tentu saja. Berharap pipi gue nantinya selicin boneka porselen Cina! Ha..ha...he geblek banget! Tapi... sejak itu, gara-gara Linda, gue emang makin seneng tape sih.

Nah... penjelasan sepanjang itu dia sampaikan dihadapan si Mbak pramuniaga lho! Si Mbak dengerin aja, mungkin dia juga curi ilmunya Linda!

Singkat cerita, besoknya pas sebelum kuliahnya Pak Alwi Dahlan, kalo nggak salah , gue dan Linda sama-sama pamerin obat jerawat kita, Yeastafort! Laksdewi tertarik, Tina liat2 kotaknya. Bonita ama Susy baca lembar etiketnya. Beredar deh itu obat. Kita berdua kaya Detailman, itu para wakil pabrik obat yang mendatangi pedagang besar obat atau dokter! Menjelaskan ke teman-teman Kommas. Padahal gue baru pake satu kali, tadi malem. Belum tentu berhasil.

Makanya waktu Linda pulang dari Amrik, gue rada heran, mukanya mulus. Pasti bukan gara-gara Yeastafort lah. Pasti ’penyembuh’ yang lain. Misalnya tenang, udah nggak dikejar-kejar skripsi, paper dan ujian. Gue denger sih ada love story juga disana yaa. Pantes nggak perlu Yeastafort

Kalo kumpul-kumpul, aku, Tina dan Linda selalu ketawa pas ingat terminal Rawamangun. Banyak kenangan disana buat kita.

Depok, Nov 12, 2008

Ida


Nonton film di US Embassy

Dosen Amrik yg dikirim untuk kasih kuliah anak2 Kommas angkatan ’76 adalah Duncan Holiday . Mata kuliahnya Komunikasi Visuil, waktu itu tahun 1978 an akhir kayanya.

Salah satu topic bahasan adalah film klasik yg diproduksi di US, film bisu dan film2 penomena lainnya, seperti Gone with the wind, The all president’s men, Charlie Chaplin.

Karena akses dia ke embassy, maka kita diajak nonton di kedubes AS di jalan Merdeka Selatan itu. Yang mau diceritain adalah cara kita pergi ke sana.

Cowok2, mungkin naik bis atau motor, entahlah. Kita cewek2, waktu itu selalu komplit, terdiri dari Astari, Bonita, Debby, Dewi, Ida, Jusi, Luki, Linda W, Linda T, Mala, Renny, Rika, Susy & Tina, plus teman2 angkatan ’75 seperti Santi, Kenny, Hana , Nellie, Helmi Taher & Debbie Sianipar. Kita semua naik taksi.

Naik taksi ber 7
Dengan jumlah sebanyak itu, kita pake cuma 3 taksi aja. Temen2 ’75 naik 1 taksi, 2 taksi lainnya temen ’76. Standar yang benar kan penumpang maksimum 4 orang.

Ini illustrasi doang. Di taksi yang aku tumpangi, duduk cabin depan, aku sama Tina, di cabin belakang, ada Linda, Jusi, Renny, Susy & Dewi. Kebayang lah, waktu itu kita masih small size, jadi muat. Agak miring2 dikit, dempet2 an

Sepanjang perjalanan, yg pasti kita berisik banget (Sssst..sampai sekarang nggak berubah kok, tetap bercandaan terus!) .Karena gue duduknya di samping pak supir, jadi liat wajah dia yang sebel banget sama kita. Kali dia mau teriak deh, BRISIK! Sementara para penumpangnya cueek banget!

Gue sama Tina, malah munggungin dashboard, biar komunikasi dengan penumpang di belakang lancar. Cekikikan terus hingga sampai di depan kedutaan.

Sebelum sampai, di taksi kita betulin dandanan dulu. Lipstick tuker2an, nyisir rambut dsb. Tina sejak masuk daerah Menteng udah nyisir rambut dengan sisir Vidal Sassonnya. Linda dengan lipstick merah meronanya. Gue juga sibuk, aduk2 tas, ternyata bedak talc gue ketinggalan di rumah.

Cabin belakang nggak kalah sibuk. Renny asyik melototin kaca! Susy idem dito. Jusi mengamati pipinya yang mulus. Dewi asyik mematut-matut bajunya. Kan kita bentar lagi mau ketemu bule2 Amrik! Ha...ha... ha. Norak ya!

Route yang dilalui jauh juga, dari jalan Pemuda menuju Pramuka, terus ke arah Menteng, ke Prapatan langsung ke Jalan Merdeka selatan. Kira2 lebih dari ½ jam lah. Selama itulah pak supir, terpaksa bungkam.

Setelah kita bayar ongkos taksi, pak supir langsung tancap gas euy! Kabur dia, mungkin menenangkan diri. Atau malah langsung memanjatkan puji syukur pada Tuhan, sudah terlepas dari siksaan di kupingnya. Amit-amit, jangan sampai dapat penumpang yang bacotnya ampuuun deh!

Depok, 15 nov -08
Ida Syahranie