Terima Kasih , Anda telah mengunjungi blog saya.

Thank you so much to have you here.
It is about my novels, notes, comments of something, features, short stories and pictures.

Also my products, Furoshiki and Yukata (summer kimono).

Please leave your comments.... thank you
Enjoy it....



Rabu, 14 Juli 2010

TURQOUISE

Novel ini kupersembahkan untuk 3 orang Ibuku. Wanita-wanita yang melahirkanku, membesarkanku, membimbingku, mendidikku, membukakan mataku tentang kehidupan ini, menuntunku saat menghadapi moment penting dalam kehidupanku. Menghibur dan memelukku saat aku mengalami guncangan. Untuk Mama, Hjh Sarhanah Syahranie ( almh) yang telah pergi menghadap Illahi, untuk Mama Hjh. Asmah Syahruni, yang memberikanku inspirasi peran wanita, serta Mami Hjh Tuti Vermeer (Almh), mertuaku yang menerimaku apa adanya. Inilah terima kasihku untuk kalian Mama, Mama dan Mami.

Kutulis novel ini terinspirasi slice of life salah seorang adik sepupuku , Linda, pernikahan abang sepupuku Adrian, serta moment moment menakjubkan dalam keluarga besar kami.



1. Retak

Kupandangi cermin persegi panjang berbingkai kayu ini. Retak pada ujung bawahnya memang ada sejak pertama kali mau dipasang di kamarku. Dibelikan oleh Anggi, adik perempuanku. Retak di sudut kiri bawah, akibat terjatuh ketika akan dipasang. Hanya retak kecil, disamarkan dengan meletakkan rangkaian bunga mawar merah sehingga sudah tak terlihat lagi kerusakkannya. Kata adikku, cermin itu untuk melengkapi meja rias di kamar pengantinku. Warna kayunya yang coklat tua memang indah. Profil kayunya sederhana, tanpa ukiran apapun. Aku memang suka yang tak banyak ukirannya. Adikku itu memang tahu suasana hatiku saat menjelang pernikahanku itu. Jadi dia rupanya membelikan cermin yang ternyata tak berhasil memantulkan wajahku yang sesungguhnya.
Entah mengapa, aku selalu tak berhasil melihat wajah asliku bila memandang cermin itu. Kadangkala, kulihat wajahku yang murung, sedih, marah, gemas, penasaran, tak sabar. Akhir-akhir ini rautku tak peduli. Hanya beberapa kali aku menemukan pantulan wajahku di cermin itu tersenyum manis dan bahagia. Padahal cermin retakku telah bergantung di dinding kamarku hampir 20 tahun. Jika setiap hari dua kali saja merias diri pagi dan malam ketika akan tidur, maka aku telah lebih dari empat belas ribu empat ratus kali bercermin di situ.
Telah beberapa kali kucoba menyingkirkan cermin celaka ini, tapi juga tak pernah berhasil. Bukan dihalangi oleh orang lain, tapi diriku sendiri. Padahal perabot kamarku telah berganti dengan yang baru. Cermin retak itu masih saja pada posisinya. Jadi bagian kehidupanku, di kamarku. Meski tak serasi lagi dengan spring bed baruku, bahkan meja riasnyapun telah berganti. Cermin itu bagai prasasti atau monumen sebuah kota tua. Tak pernah lagi dikunjungi warga kotanya. Sudah terlupakan. Sebuah kenangan masa lalu. Suatu yang janggal, hanya aku yang memandanginya. Aku bagai peziarah, menyembahyanginya. Hampir setiap hari, ketika merias wajah atau berpakaian.

Di cermin retak itu, dulu aku melihat hasil riasan Tante Mira pada wajahku. Wajah pengantin yang tersenyum bahagia. Cermin itu memantulkan ekspresi yang salah, tak tepat. Mungkin juga karena Tante Mira seorang perias pengantin yang ahli membuat setiap pengantin yang diriasnya terlihat bahagia? Hingga hari ini, 20 tahun sudah, aku tidak pernah memahami senyumku di cermin retak itu. Aku melihat, wanita itu, diriku sendiri dengan riasan seolah ditempelkan sebentuk senyum pada bibirku dengan melukisnya. Mungkin itulah yang menyebabkan aku membiarkan cermin retakku tetap berada di kamarku. Aku masih ingin tahu arti senyumku pada hari itu. Betulkah aku pengantin yang bahagia pada hari pernikahanku? Aku belum menemukan jawaban. Mungkin jika sudah kutemukan, akankah kubuang? Aku tidak tahu.


Kami, maksudku, aku dan Martin memang pernah membicarakan kemungkinan menikah suatu saat nanti. Tapi kami tidak merasa perlu cepat-cepat, seperti yang terjadi pada hari pernikahan itu. Pernah terpikir merencanakannya sekitar di bulan November tahun depan. Aku masih ragu. Aku dan Martin ingin membereskan urusan kami dulu. Terlebih aku, ingin memastikan diriku pada pilihanku. Aku perlu waktu menjawab pertanyaan hatiku sendiri. Siapkah aku menjadi istri Martin? Siapkah aku menjadi ibu bagi kedua anaknya? Benarkah Martin sungguh-sunguh ingin menikah denganku? Benarkah Martin tidak akan kembali pada Siska, ibu anak-anaknya, setelah mereka berpisah hampir lima tahun yang lalu? Bukan karena Martin kecewa pada isterinya tak setia? Benarkah kami sepasang kekasih atau cuma sahabat yang saling mempercayakan problem cinta kami masing-masing? Benarkah aku sanggup melupakan Rinto, pria yang hingga kini masih tak mampu kuhapus dari ingatanku?
Ya.. aku memang harus menyelesaikan masalahku dengan Rinto. Dia masih seperti dulu, tidak bisa menerima keputusanku untuk berpisah. Mengabaikan mimpi-mimpi kami untuk bersama. Rinto masih yakin, bahwa pasti ada cara yang bisa kami tempuh untuk menikah, meski kami berbeda keyakinan. Saat itu pemerintah melarang pernikahan pasangan yang berbeda keyakinan. Peraturan itu tak pernah berubah. Aku kira banyak yang bernasib seperti kami, aku dan Rinto. Menghadapi jalan buntu dan terpisah. Peraturan itu muncul ketika seorang bintang film terkenal dan cantik menikah secara diam-diam dengan kekasihnya, seorang penyanyi juga sangat terkenal. Mereka berdua berbeda keyakinan. Akhirnya pernikahan mereka berbuntut panjang. Menjadi masalah hukum di pengadilan, karena keluarga si bintang film menuntut suami anaknya. Kasusnya mendapat pemberitaan dengan porsi besar di media massa. Lalu muncul larangan menikah bagi pasangan yang berbeda keyakinan itu. Tepat disaat aku dan Rinto mulai sering mendiskusikan rencana pernikahan kami. Gerbang ditutup ketika kami mau melangkah masuk.
Aku tidak berani meninggalkan keluargaku untuk menikah diam-diam di luar negeri seperti saran teman-teman kami. Aku ingin mendapat restu keluarga, agar dapat meninggalkan mereka dengan gembira. Aku faham betul tradisi keluargaku. Restu hanya kudapat bila Rinto mengikuti keyakinan kami. Cara yang ditawarkan teman-teman kami membuatku tak bisa kembali selamanya pada keluargaku. Aku pasti tak dapat menengok mereka. Putus hubungan keluarga. Hal semacam ini pernah terjadi pada seorang sepupuku.
Rinto juga kecewa aku tak bersedia ikut dengannya melanjutkan studi di Belgia. Dia telah menghubungi seorang pamannya yang bekerja di sana untuk mencarikan sekolah untukku. Semua telah disiapkan Rinto, aku tinggal datang saja. Dia berharap, dengan cara itu keluargaku akhirnya akan setuju dan menerima perbedaan kami. Hal ini aku sangat tidak yakin akan berhasil, makanya menolak. Berharap ada cara lain.
Diskusi kami selalu lama, melelahkan dan tanpa hasil. Seringkali berakhir dengan tangisanku karena tak berhasil meyakinkan Rinto. Juga karena Rinto mengambil kesimpulan bahwa aku tak benar-benar mencintainya. Pada dasarnya Rinto tak keberatan untuk berganti keyakinannya. Tapi dia ingin dilakukan setelah kami menikah, perlahan saja. Alasannya, Rinto tidak ingin menyakiti hati ibunya yang merasa telah dikecewakan oleh ketiga kakaknya. Memang, ketiga kakak lelaki Rinto telah menikah dan mengikuti keyakinan isteri-isteri mereka. Sebagai anak, ia ingin menunjukkan baktinya pada orangtuanya. Rinto yakin, dengan menunjukkan kebahagiaan pernikahan kami nantinya, ibunya akan luluh hati. Tidak lagi mempermasalahkan perpindahan keyakinannya. ”Perlu proses dan sabar Lin!” kata Rinto meyakinkanku.

Nyatanya, aku dan Martin harus menikah pada hari itu, di bulan April hampir setahun setelah Rinto pergi ke Belgia. Keluarga besarku, memaksa agar segera dilaksanakan. Semua mereka ambil alih persiapannya. Aku tak punya hak suara di dalam rapat keluarga besarku. Bahkan Papaku pun tidak kuasa. Meski beliau tidak mau aku segera menikah dengan cara seperti itu. Tapi, suara lantang kakak perempuan Mamaku tak bisa dilawannya. Aku selalu menyalahkan Mamaku yang selalu membiarkan kakaknya mencampuri urusan keluarga kami. Tapi kini aku menyesal juga, mana mampu Mamaku melawan kakaknya!
Kakak Mamaku memang perempuan yang sangat kuat. Sebagian besar masalah keluarga besar Mamaku adalah hasil keputusannya. Baginya, yang disebut keluarga bukan hanya suaminya dan anak-anaknya. Tapi semua yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Entah mengapa, adik-adiknya semua menurutinya. Dia suka turut campur saja. Baginya, semua hal dilakukan atas dasar ia sayang pada keluarga dan melindungi martabat kami. Mungkin juga karena ia merasa sebagai seorang petinggi negeri, jadi juga merasa perlu menjadi pemimpin di keluarga besar kami.

”Aku tak ingin melihat kalian selalu bersama tanpa ikatan resmi.” kata kakak Mamaku saat itu. ”Kalian sudah lama bergaul, sudah cukup saling mengenal” lanjutnya. ”Jangan tunda-tunda lagi, keluarga kita akan dapat malu bila kalian terus begini” Demikian beberapa kalimat yang masih kuingat, ketika aku menghadapi keluarga besarku. Tak seorangpun yang membelaku! Karena itu, mereka tidak mau menuruti keinginan Martin agar kami menikah di bulan Desember atau awal tahun berikutnya, sebagaimana isi suratnya padaku. Martin memang sedang berada dil uar kota. Dia bekerja di sebuah perusahaan kontraktor bangunan setelah keluar dari perusahaan tempat kami sama-sama bekerja. Sulit untuk dapat cuti karena sebelum setahun bekerja di sana.
Awal keruwetan adalah ketika surat Martin untukku diterima Mama di rumah hari Jum’at. Karena aku masih di kantor, Mama menelponku, khawatir aku tak bisa pulang Jum’at itu. Karena jarak rumah ke kantor jauh, aku memilih kost di dekat kantorku. Setiap Jum’at sore baru pulang ke rumah. Biasanya Senin kembali ke tempat kost lagi. Aku meminta Mama untuk membuka dan membacanya. Bagiku menunda beberapa bulan lagi pernikahanku dengan Martin tak masalah. Aku sebenarnya senang, karena aku lebih tidak siap dibandingkan Martin. Sementara aku masih juga bimbang padanya. Jadi hari itu aku tenang-tenang saja.
Rupanya Mama lapor pada kakaknya tentang isi surat Martin itu. Maka rapat keluargapun digelar. Rapat keluarga di hari Minggu cuma dihadiri nenekku, kakak kakak Mama, Tante Hanum, Tante Maria, adik-adik Mamaku Om Dicky, isterinya Tante Fitri yang kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta, Tante Netty, Nita, Nila serta suami mereka. Tentu saja sebagai pemimpin rapat adalah, Tante Hanum. Empat anak lelakinya beserta isteri-isteri mereka juga khadir. Tak satupun keluarga Papaku hadir. Mereka tidak diminta datang. Aneh!
Aku memohon sambil menangis agar mereka tidak memaksaku segera menikah dengan Martin. Membiarkan aku membicarakannya sendiri dengan Martin dan menentukannya bersama-sama. Mereka benar-benar tidak peduli. Papaku yang kuharapkan memahamiku dan membelaku hanya berdiam diri. Beliau seperti orang yang kalah. Tak mau memandangku. Menutup diri. Membiarkan urusan keluarganya dicampuri oleh kakak-kakak dan adik-adik iparnya
Besoknya, ketika di kantor, sekitar jam 13.00 aku dijemput abang sepupuku Darma beserta isterinya Lia. ”Kau dipanggil pulang, keluarga sedang menunggu ” katanya. ”Kita jemput Martin di kantornya, ia sudah pulang dari luarkota” katanya pula. Aku mulai panik, pasti ada rencana yang aku tidak ketahui. Di mobil, kami tidak banyak bicara.
Sepanjang jalan ke rumah aku hanya memandang keluar jendela mobil. Martin duduk di sampingku, juga dengan raut yang bingung. Genggaman tanggannya terasa lembut menyentuh tanganku, tapi dingin dan agak gemetar. Rupanya dia juga merasakan hal yang sama. Saat itu aku bertekat untuk menjelaskan pada keluargaku bagaimana hubunganku dan Martin sebenarnya. Aku belum lagi merasa Martin pilihan terakhirku!
Aku kaget setiba di rumah. Semua kerabat dekatku telah berkumpul. Pokoknya, rumah saat itu terang benderang dan ramai dengan keluargaku. Hadir juga abang sepupuku Rudi, keponakan ayahku. Aku senang melihatnya dan berharap dia dapat mendukungku. Usianya lebih tua 17 tahun dariku. Sewaktu kecil, aku paling suka digendong olehnya. Ketika aku duduk di SMA, dia yang pertamakali membelikan bedak dan lipstick.
”Supaya kau jadi gadis yang cantik Lin!” katanya waktu itu. Aku merasa dia sangat memperhatikanku, meski kami jarang bertemu. Aku beberapa kali juga berkunjung ke rumahnya dan akrab dengan isteri dan anak-anaknya. Saat bertemu denganku saat itu dia hanya memeluk dan mencium pipiku. Tak ada kata apapun yang dia ucapkan.
Malam itu rupanya tidak ada diskusi apapun. Mereka telah mempersiapkan pernikahanku. Penghulu telah hadir, seorang pria yang tak kuingat namanya. Malam itu juga. Benar-benar malam itu juga. Duniaku runtuh! Martin tak dapat berkomunikasi denganku. Martin tak pernah minta persetujuanku! Dia setuju untuk menikah denganku malam itu juga. Apa yang kureka untuk argumentasi telah pupus. Mereka tidak butuh pendapatku! Bagi mereka, aku cuma harus menerima.
”Linda, kau kebanggaan kami, makanya kami melakukan ini” kata Tante-tanteku. Bagaimana dengan Mama? Sepanjang acara pernikahan itu, dia menangis. Satu-satunya yang tidak menangis cuma aku. Aku hilang akal, tak percaya hal semacam ini telah menimpaku. Aku ingat pada Rinto sepintas, lalu kembali pada kenyataan melihat Martin dengan baju putih, pakaian kantor yang dikenakannya tadi siang duduk di pojok sedang bicara dengan Bang Luki. Kini dia sudah jadi suamiku, baru sepuluh menit yang lalu!
Sistim kekerabatan macam apa yang melingkupiku? Cukupkah alasan karena aku cucu perempuan pertama hingga mereka, keluarga besarku bisa bertindak seperti ini? Atau karena mereka tahu aku masih punya hubungan dengan Rinto? Mereka menentangnya, karena mereka anggap Rinto mau menang sendiri. Mereka vonis Rinto tak mau berkorban sama sekali. Apakah mereka mencurigai hubunganku dengan Martin sudah kelewat batas? Mungkinkah karena aku pernah ketahuan sakit, muntah-muntah dan diurusi Martin saja? Segala macam pertanyaan yang muncul di kepalaku tak terjawab.
Apakah aku seperti kain tirai yang baru dibeli yang terpasang di jendela? Jadi daun jendelanya harus dibuka agar dapat membanggakannya pada tetangga atau orang yang lewat di depan rumah! Dibuka pada saat yang kurang pas. Hujan badai menghempaskan daun jendela dan merobek tirai baru itu. Itulah aku, tirai jendela yang baru, yang segera tersobek-sobek. Ketika badai reda, pelangi muncul, tirai baru itu tak lagi pantas dibanggakan. Memalukan! Sudah compang camping. Aku harus menjahitnya, menambalnya sepanjang hidupku! Aku merasa tak sebanding lagi dengan Martin. Seolah dia penyelamat, penolongku!
Apa yang hingga kini masih kuingat dari seluruh kejadian itu? Ucapan abang sepupuku Rudi! ”Linda, aku tak mau datang pada resepsi pernikahanmu nanti” kata abang sepupuku Rudi ketika dia berpamitan pulang. Nadanya datar sekali, padahal biasanya dia sangat hangat terhadapku. ”Aku tak suka pernikahan yang dipaksakan” lanjutnya, kemudian mencium keningku, tidak memelukku seperti biasanya. Bahkan tidak menggendongku. Hingga aku dewasa, dia masih suka menggendongku. ”Adik tersayang” katanya, jika ada yang bertanya tentang perlakuannya padaku. Istrinyapun suka mengolok-olokku akan hal ini. Dia tidak menyampaikan selamat atas pernikahanku. Dia kemudian bersalaman dengan Martin, lalu masuk ke mobilnya. Dia tidak membalas lambaian tanganku. Setelah itu, tiga tahun kemudian baru aku bertemu dia lagi. Aku mendengar dari cerita isterinya, dia sangat marah dan membenci Papaku, Omnya sendiri, karena pernikahanku itu. Papa pernah mendatanginya ke kantornya, tapi dia tak bersedia bertemu, malah menyuruh ajudannya saja menemui Papa. Papa juga akhirnya marah karena perlakuannya itu, tapi tak tahu hal yang sebenarnya menjadi pangkal keengganannya bertemu Papa.
Ah...... ternyata dia punya pemikiran seperti itu. Aku menyesal tidak datang padanya meminta bantuan menghadapi keluarga ibuku. Aku menyesal sekali, mengira dia tidak memahamiku. Barangkali, jika aku meminta padanya malam itu, dia mau bersamaku menentang kesewenangan ini. Mungkin dia bisa mencegah pernikahan ini jika aku memintanya. Kusesali terus hingga kini, bahkan setiap aku bertemu dengannya.
Di hari resepsi pernikahanku seminggu kemudian, di awal Mei. semua anganku dan Martin tentang pernikahan yang sederhana, dengan busana yang sederhana tak terwujud. Acara adat yang bertele tele. Busana pengantin yang penuh dengan sulaman benang emas. Perhiasan emas berlian menggantung di telinga, leher bahkan pergelangan kaki dan tanganku. Kepalaku dipasangi mahkota dan kembang goyang dari emas. Ditambah rangkaian bunga melati dan mawar. Kepalaku terasa berat dan sakit sekali.Masih terasa sakitnya hingga beberapa hari kemudian.
Tamu yang datang banyak sekali, rasanya seperti tak habis-habisnya. Pegal aku menangkupkan telapak tanganku, menyalami tamu-tamu yang datang dipernikahanku sambil bersenyum. Sepanjang hari itu aku merasa seperti robot saja. Itu sebabnya aku heran dengan senyum bahagia yang muncul pada cermin retak itu. Kenapa rasa sakit tidak muncul pada wajahku di cermin itu?
Bagaimana Martin menerima keadaan itu? Inilah yang paling kubenci darinya. Rasanya dia gampang menyerah pada keinginan keluarga besarku. Tanpa perlawanan! Rupanya dia menyangka jika dia menolak, aku akan kecewa dan hancur. Dia merasa dengan menuruti keinginan tersebut sebagai tanda sayangnya padaku dan penghormatannya pada keluargaku.
Mungkin juga Martin mengira aku menyukai pernikahan dadakan ini. Bahkan akhirnya dia melupakan acara lamaran yang dia rencanakan dengan meminta Papa Mamanya datang menemui keluargaku. Keluargaku menganggap tak perlu lagi. Benar-benar keterlaluan! Mereka merebut momen indah yang seharusnya jadi milik kami. Yang paling penting adalah merusak rasa percaya diriku bahwa laki-laki yang menikahiku benar-benar mencintaiku. Aku selalu menganggap Martin ingin menolongku saja! Ingatan itu selalu muncul sepanjang pernikahanku. Saat itu aku bertekat untuk menghancurkan pernikahanku ini!


Aku dan Martin semula teman sekantor. Kami mulai bekerja di hari yang sama di sebuah perusahaan. Meski berbeda divisi, tapi kami sering bertemu dalam rapat maupun dalam pelayanan pada klien kantor kami. Menurutku Martin disukai anak buahnya, gampang mendekati klien. Penampilannya menarik, tinggi, ganteng, matanya besar dan irisnya coklat muda sama seperti mataku. ”Kakekku dari Belanda” katanya. Bicaranya terus terang. Kadang-kadang bicaranya memang agak menyakitkan. Tapi dia betul-betul hangat sebagai teman. Itulah sebabnya aku mulai berkawan baik dengan Martin. Padanya aku sering cerita tentang masalahku dengan Rinto. Martin juga banyak bercerita tentang rumah tangganya yang sudah hancur. Dia memang telah berpisah dengan isterinya. Kedua anaknya dirawat oleh ibunya.
Disaat aku jauh dari Rinto, Martin menjadi tempat aku berbagi duka, selain Pris, sahabatku. Bahkan pada saat aku sakit, dia mengantarku ke dokter. Semula aku memang ingin pergi ke dokter sendirian saja, sepulang dari kantor. Tapi dia bersikeras ingin mengantarkanku dengan mobilnya. Dia memang kaget begitu kuberi tahu bahwa aku akan ke sebuah klinik khusus kanker. Kupikir dia akan mengantar sampai di depan klinik saja, ternyata tidak. Dia menemaniku di ruang tunggu. Alasan dia cuma sederhana.
”Lin, kan kalau pulang ke rumah, aku juga bengong, sendirian. Jadi lebih baik temani kamu” katanya. Setelah pemeriksaan tiga kali yang selalu diantar Martin, aku menerima hasilnya dari dokter.
Martin mendampingiku menerima berita buruk dari dokter Chandra, ahli kanker itu. Ada benjolan kecil di payudara kananku dan cukup berbahaya. Martin meyakinkanku bahwa aku harus menerima pengobatan meski akan membuatku sangat tidak nyaman.
”Linda, kau harus coba dan optimis! Aku yakin bisa sembuh!” katanya. Aku memang resah bahkan sedih. Aku banyak membaca dan mengumpulkan informasi tentang penyakit ini. Makin banyak yang kuketahui, aku semakin takut dan putus asa. Tidak yakin bisa sembuh total.
”Martin aku takut ........” jawabku tanpa aku mampu menjelaskan pada Martin ketakutanku.
Aku meminta Martin untuk merahasiakan penyakitku pada keluargaku. Khawatir saja, karena Martin sering berkunjung ke rumahku dan akrab dengan keluargaku. Aku tidak ingin menyusahkan orang tuaku. Aku tidak mau mereka jadi berduka karenaku. Apalagi Mama, pasti dia akan sangat khawatir, soalnya ketika mahasiswa aku juga pernah operasi kecil untuk mengangkat tahi lalat di bahu kiri dan punggung. Waktu itu dokter menganggap berbahaya karena warnanya menjadi merah dan membengkak. Waktu itu Mama sampai stres karena penyakit kecil itu. Aku tak mau terulang lagi, Mama banyak pikiran. Aku merasa sejak itu, mengetahui aku sedang sakit itu, Martin semakin memperhatikanku.
Akhirnya aku memang menjalani pengobatan yang membuatku muntah sepanjang malam di kamar kostku. Aku minum obat dari dokter Chandra sekitar jam enam sore, begitu cepat reaksinya, belum jam delapan malam aku sudah muntah-muntah. Dia tak mau meninggalkanku sendirian di kamar kostku ketika sakitku makin hebat. Lalu meminta izin ibu kostku untuk menungguiku. Martin menjagaku sepanjang malam.
Martin mengompresku dengan es, karena tubuhku demam. Tubuhku lemah akibat obat yang kuminum. Martin memang tak berhasil membujukku untuk tengah malam buta pergi ke rumah sakit. Jadi dia menungguiku di kamar kostku. Itulah Martin, menyimpan rahasiaku baik-baik, merawatku, menyayangiku.


Kuingat hari itu, hari Rabu, tanggal 12 Juni. Aku makan siang bersama Rinto pada jam istirahat kantor. Aku telah minta izin pada atasanku untuk kembali ke kantor lebih lambat dari seharusnya. Pada tanggal itu, selalu kami usahakan makan siang bersama. Tanggal kami bertemu, sekitar 7 tahun yang lalu. Saat itu, aku bersama-sama teman-teman se Fakultas Ilmu-ilmu Sosial mengadakan kunjungan ke kampusnya di Bandung. Rinto sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Fakultas Tehnik. Sedangkan aku, baru semester empat.
Pada acara-acara yang diadakan selama kunjungan itu aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Kami berkenalan pada saat aku berada di dalam bis rombonganku untuk kembali ke Jakarta. Dia bersama seorang mahasiswa menaiki bis kami untuk membagikan sticker lambang perguruan tingginya. Dia menanyakan namaku, dan mengira aku dari Sulawesi Utara. Cara menebaknya asal-asalan saja. Alasannya cuma karena warna kulitku yang terang dan mataku berwarna coklat muda.
Minggu berikutnya, Rinto sudah muncul mencariku di kampusku, sendirian. ”Aku kangen kamu Lin!” kata Rinto. Tentu saja aku mula-mula mentertawakannya. Aku mengajaknya makan siang di sebuah warung favorit mahasiswa di taman kampusku. Kami ngobrol macam-macam. Yang pasti, sejak itu aku dekat dengan Rinto. Tiap Sabtu siang dia sudah di Jakarta, menjemputku kuliah. Dia menginap di rumah kakaknya. Kami menjadi sepasang kekasih hingga aku lulus kuliah dan bekerja.
Kami akhirnya sekota, karena Rinto mendapat pekerjaan di Jakarta. Kalau kami bertemu dengan teman-temannya, Rinto selalu memperkenalkan aku sebagai tunangannya. Memang, Rinto pernah memberiku sebentuk cincin emas putih dengan sebutir berlian kecil. Cantik! Tak tampak seperti cincin pertunangan memang. Kami memang bertukar hadiah. Aku memberinya sebuah dasi berwarna biru dengan garis merah, terasa keren bila dia memakainya. Aku sambil lalu pernah bilang pada Rinto.
”Dasi itu untuk mengikatmu supaya tak meninggalkanku!” kataku. Kuingat Rinto membalasku dengan menjawab ”Okay, nanti aku pakai pada pesta pernikahan kita ya Lin!”
Setiap kali kami bertemu, Rinto selalu menatap mataku berlama-lama.”Aku suka matamu!” katanya. ”Matamu seperti mata boneka” lanjutnya. Itu cara Rinto menyatakan rasa kangennya padaku. Dia sangat santun dan kalem. Dia dibesarkan di lingkungan keluarga Jawa yang masih konservatif. Maksudku, masih berdarah biru. Tubuhnya tinggi, kulitnya kuning langsat. Matanya tak terlalu besar, cenderung sipit. Kalau dia senyum tak pernah tuntas, selalu tertahan. Seperti ada yang menghalanginya. Aku selalu bilang pada Rinto ”Kamu kalau senyum selalu ditahan, apa menyesal senyum sama orang? Senyum itu ibadah!” kataku asal-asalan saja. Biasanya dia hanya tersenyum lagi.
Aku pernah berkenalan dengan keluarga Rinto. Mereka baik dan ramah padaku. Tentu saja karena Rinto telah mempersiapkan pertemuan itu dengan baik. Sebelum mengunjungi orangtuanya, aku sempat mendapat kursus singkat dari sepupu ibu Rinto bagaimana tata-cara yang berlaku di lingkungan mereka. Menangkupkan tangan, menghaturkan sembah dan lain-lain. Malah Rinto kasih tips, ”Lin, nanti kalau melangkah lagi pakai kain panjang, jangan cepat-cepat bergeraknya, supaya kainnya tidak bergesek dan bunyi” katanya. Waktu itu memang ada acara adat yang mengharuskan untuk memakai kain panjang bagi yang hadir. Oh... begitu, bagaimana ya? Aku selalu berjalan cepat cepat.
Pada makan siang bersama kami kali ini, Rinto tak menatapi mataku lagi seperti biasanya.Lebih banyak menunduk atau memandang ke arah lain. Aku merasa pasti ada yang tidak beres padanya. Dia tampak tak menikmati makanan yang kami pesan.
”Linda, aku harap kau mau menyusulku ke Antwerpen” katanya. ”Aku benar-benar mengharapkannya!” lanjutnya.” Aku berangkat dua minggu lagi, antar aku ke airport ya” katanya.
Begitulah, aku dan Rinto berpisah. Aku mengantarnya ke airport, pergi ke Belgia pada akhir Juni tahun lalu. Aku masih sangat berharap bertemu dengannya. Kubiarkan dia menungguku di sana. Ternyata aku malah menikah dengan Martin di sini. Dengan sahabatku, dengan cara tak masuk akal ini.


Ketika membuka kotak perhiasanku di depan cermin retak ini, aku terpana. Cincin pemberian Rinto tampak berkilau lebih terang dibanding beberapa perhiasanku lainnya. Kucoba memasukkannya ke jari manis tangan kiriku. Agak sempit di jariku. Tapi cincin itu masih indah. Kilau berliannya tak pudar. Benarkah aku tak pernah berhenti mencintai Rinto? Aku memandangi jari manis bercincin itu melalui cermin retakku. Mengapa berliannya tak tampak berkilau seperti ketika masih dalam kotak perhiasanku? Perlahan kulepas cincin itu, menyimpannya kembali. Aku selalu merasa bersalah pada Rinto. Tak pernah menjelaskan padanya mengapa aku meninggalkannya dan menikah dengan Martin. Bahkan ketika dia kembali ke Indonesia untuk menjemputku, aku tetap bertahan disisi Martin. Juga tak bisa menjelaskan padanya.
Jari manis tangan kananku tak pernah lagi kupasangi cincin kawinku dengan Martin, setelah lebih lima belas tahun lalu kulepaskan. Kini cincin itu berada di sudut kotak, terbungkus kantong satin biru berpita warna perak. Sejak usahaku bercerai dengannya gagal total, kulepas saja. Martin tidak pernah menginginkan perceraian! Juga keluargaku maupun keluarganya. Martin selalu ingin mempertahankan pernikahan kami. Pakai atau tidak, aku tak dapat lagi menghancurkan pernikahanku.
”Kau akan selamanya bersamaku” kata Martin tak goyah sama sekali.
Kini aku memandangi wajahku di cermin retak itu. Aku tahu, pernikahanku dengan Martin tidak bahagia, tapi juga tidak menderita. Hidupku berjalan tak sesuai dengan rencanaku saja. Sebenarnya aku tahu itu sejak pertama kali mencoba memandang wajahku di cermin retak itu. Selama ini aku cuma mengabaikan perasaanku.

2. PINDAH RUMAH


Aku hanya pernah sekali ke rumah Martin. Itupun hanya sampai di depan rumah. Tidak masuk ke dalam, meski dia mengundangku mampir. Selain sudah terlalu malam, waktu itu aku juga capek. Dua tahun lalu, aku masih sekantor dengannya. Aku mengantar ke rumahnya karena mobilnya mogok. Kami baru selesai rapat, sudah malam, rapat perencanaan menjelang akhir tahun. Kini, setelah menikah dengannya dua belas hari yang lalu, Martin minta aku segera tinggal di sana bersamanya.
”Aku harus bilang Papa dulu” jawabku waktu itu. Kami masih di kamar tidurku, di rumah Papaku, bersiap siap ke kantor.
”Linda, hari ini kita tengok rumah ya, sepulang kantor” kata Martin padaku pagi tadi sebelum dia berangkat kantor. Aku mengangguk, sambil merapikan lipstick dengan selembar tissue.
”Nanti aku jemput ke kantormu jam lima. Mobilmu tinggal di kantor saja” lanjutnya sambil merapikan dasinya di depan cermin retakku, berdiri di belakangku.
”Kemarin aku minta Pak Kun membersihkan rumah. Juga mengeluarkan tempat tidur di kamar” katanya lagi. Aku mengangguk dan mendorong Martin agar bergeser, lalu membereskan tas kerjaku yang tergeletak di ujung tempat tidur.
”Besok beli tempat tidur dan lemari pakaian, Jadi hari Sabtu, kita bisa atur atur. Minggu sudah bisa ditempati” kata Martin berpaling menatapku yang sedang memasukkan bedak padat ke dalam tas kerjaku.
”Okay , aku tunggu jam lima ya” kataku. ”Tapi Martin, mungkin kita tidak bisa pindah secepat itu” lanjutku pada Martin.
”Hey, kenapa Linda?” katanya kaget. ”Kau tidak mau, masih ingin disini?” bertanya, menatapku heran. Aku menggeleng.
”Oh.. bukan!” jawabku. Kulihat Martin tersenyum lega.
”Begini, sebaiknya kita bicarakan sama Papa dan Mama dulu” jawabku.
”Tentu saja, nanti malam bisa kan?” kata Martin,sambil meraih tas kantornya.
”Martin, tadi Mama bilang hari Minggu nanti ada syukuran di sini, keluargaku akan berkumpul di rumah. Itu semacam tradisi setelah acara pernikahan.Untuk berterima kasih pada keluarga yang telah membantu penyelenggaraan pernikahan kita. Biasanya sekalian makan siang bersama, lalu menyerahkan bingkisan kecil” kataku menjelaskan. ”Oh, kalau gitu sekalian saja kita beritahu mereka kita akan pindah” kata Martin.

Kami tiba di rumah Martin sekitar jam enam sore, hampir gelap. Meski agak jauh dari kantorku, kelihatannya jalanan cukup lancar kesana. Rumah masih gelap, hanya lampu teras dan taman yang sudah menyala. Lingkungan rumah masih sepi, karena ini perumahan baru. Masih sedikit penghuninya, juga rata-rata keluarga muda, suami isteri bekerja. Itu cerita Martin mengenai beberapa warga di sekitar rumahnya.
Martin membuka pintu pagar, aku masih di dalam mobil. Martin memarkir mobil di samping teras. Aku turun dari mobil, menuju teras, menunggu Martin yang sedang menutup pintu pagar. Martin membuka pintu rumah, menyalakan lampu ruang tamu. Martin menarikku tanganku mengajak masuk.
”Linda, ini rumah kita!” katanya. Aku senyum saja, menebar pandang ke sekeliling ruang tamu. Aku spontan bertanya pada Martin.
”Martin, kenapa ruang ini kosong?” kataku, karena melihat hanya ada satu kursi warna putih dengan meja kecil di sampingnya.Dinding tanpa hiasan apapun.
”Aku tidak pernah ada tamu Lin, jadi nggak perlu kursi tamu” katanya memberi alasan.
”Itu kursi juga jarang aku duduki” lanjut Martin. Kami tertawa bersama. Ya, bagaimana tamu bisa datang berkunjung. Martin jarang di rumah! pikirku. Senin hingga Jum’at di kantor. Lebih sering sampai di rumah malam sekali. Sabtu mungkin sudah pulang ke rumah orang tuanya, di Bandung. Senin dari Bandung langsung ke kantor.
”Linda, kau boleh menata rumah kita sesukamu, okay?” katanya sambil menggandengku masuk menuju ruang keluarga merangkap ruang makan.
Rumah ini dibangun dengan bentuk persegi panjang, sejajar jalan. Sisi kanan untuk dua kamar tidur. Bagian tengah, dibagi dua dengan penyekat dari kayu berwarna coklat muda, natural. Bagian depan untuk ruang tamu menghadap teras dan halaman. Dindingnya sebagian besar dari kaca. Bagian belakang menjadi ruang keluarga merangkap ruang makan. Ruang ini menghadap taman belakang dengan jendela kaca besar-besar hampir seluruh dinding. Bagian kiri bangunan adalah garasi untuk dua mobil berjajar, dapur dan kamar untuk pembantu. Martin sudah tiga tahun tinggal di sini, sendirian.
Di ruang keluarga, hanya ada satu rak kayu. Di atasnya satu set televisi dan video player dan telepon. Di depan televisi ada satu sofa kecil, biasanya untuk di kamar tidur, atau sering di sebut love seat. Di sudut ruang, kulihat kulkas berwarna putih, agak menonjol, karena cukup besar. Ruang terasa besar, karena perabotan sedikit. Tidak ada hiasan dinding apapun. Martin mengajakku melihat kamar tidur. Kosong!
”Tadi Pak Kun kuminta memindahkan tempat tidurku, pasang di kamar depan saja, buat tamu. Kita beli yang baru aja” katanya.
Aku membuka pintu kamar mandi yang berada di kamar itu. Terlihat peralatan mandi. Sabun, shampo, pasta gigi, aftershave lotion dan eu de toilette. Terang dan bersih sekali. Martin mengajakku ke dapur. Ada kompor listrik satu tungku dengan sebuah panci bertangkai, panci susu. Beberapa peralatan makan, gelas, piring, mangkok dan sendok garpu dalam kotak plastik besar. Rak gantung di dinding kosong, berdebu. Martin berdiri di sampingku. Aku berbalik, menertawakan perabotannya.
”Kau, nggak pernah masak atau nggak bisa?” tanyaku. Martin memelukku.
”Aku juga mau tahu, isteriku apa bisa masak?” katanya balas bertanya. Mati aku! ”Ayo jawab dong!” desak Martin tertawa mengejekku.
”Bisa!” jawabku yakin, meski sebenarnya aku tahu kemampuanku. Martin juga tahu, dia cuma ingin menggodaku.
”Masak air bisa kan Lin, seperti dulu?” katanya memasang wajah jenaka. Aku tak tahan, tertawa terbahak-bahak. Aku ingat dulu, sewaktu dia berkunjung ke rumah. Kebetulan tidak ada pembantu, aku masak air untuk membuatkan Martin kopi. Karena aku tinggalkan ngobrol dengannya, air yang dijerang habis, panci juga gosong. Tidak jadi bikin kopi untuknya. Waktu itu aku habis-habisan di ejek Martin. Martin akhirnya bikin kopi sendiri.
Kami kembali ke ruang keluarga. Martin mengajakku ke kamar tidur depan. Sebuah tempat tidur untuk satu orang berada di sisi dinding. Rak buku dan meja tulis di sisi lainnya. Sebuah lemari plastik, berisi pakaian Martin. Tak ada barang atau perabot lainnya.
”Kamar ini kita jadikan kamar tamu atau ruang kerja saja Lin” kata Martin.
”Lin, kau sudah lihat semua ruang. Sekarang tentukan, kita mau beli apa besok?” katanya lagi, mengajakku duduk di sofa depan televisi. Martin meraih remote control, menyalakan televisi. Siaran berita.
”Yang pasti tempat tidur!” kataku. Martin langsung tertawa.
”Iya dong, aku kan nggak mau malam pengantin kita tidur di lantai!” katanya.
Aku tersentak dengan sindiran Martin. Ya Tuhan! Martin, maafkan! pekikku dalam hati. Memang telah dua belas hari kami menikah, aku masih bertahan! Aku hanya mau dipeluk dan diciumnya, tidak lebih. Aku tak punya alasan apapun untuk bertahan. Hanya belum siap saja.
”Martin, kita beli bertahap saja ya, tak usah lengkap dulu” kataku. Bagaimanapun aku tahu pernikahan kami begitu mendadak, tentu saja kami belum pernah bicara soal biaya, apalagi perabot rumah tangga. Martin tertawa saja.
”Lin, sebenarnya dana untuk beli perabotan rumah ini sudah kupersiapkan lama sekali. Cuma aku malas belinya, jadi kau tentukan saja semuanya, nggak apa-apa, dananya ada” katanya.
”Hey, masa beli aja malas! Kenapa?” tanyaku heran atas jawabannya.
”Bener nih mau tahu?” kata Martin.
”Iya, apa alasannya?” ujarku, mengira dia hanya iseng bercanda.
”Lin, aku tunggu nyonya rumah!” katanya. ”Sebenarnya aku berharap rumahku menjadi impian isteriku, dia yang mengatur sesuai keinginannya. Sekarang kau nyonya rumahnya, aturlah sesukamu” lanjutnya.
”Okay kalau gitu, besok sore, pulang kantor kita ke toko meubel, pilih sama-sama saja! Aku mau selera kita bersama, nanti kau nggak betah di rumah gara-gara seleraku semua” kataku.
”Bagus deh!” kata Martin setuju.
”Martin, tapi aku nggak suka yang banyak ukirannya, bagaimana? Simple dan nggak colorfull gitu” ujarku menjelaskan seleraku tentang perabot yang kuinginkan.
”Klop, aku suka gaya rumah Swedia atau Jepang. Perabotnya fungsional, sederhana. Makanya rumah ini aku minta disain dengan bukaan yang banyak” jawab Martin.
”Alasannya aku suka gaya itu karena gampang dibersihkan. Kita kan nggak punya waktu banyak” jawabku. Martin tertawa mendengar penjelasannku.
”Lin, itu kan alasan kedua kenapa selama ini aku nggak beli perabot” katanya mengaku.
”Nah... ketahuan ya! Jadi bukan karena nggak ada nyonya rumah! Tapi malas” kataku menggodanya. ”Ada aku maka beli perabot, karena ada yang bersih bersih ya?” lanjutku pasang wajah galak.
”Eit..... nggak.... nggak gitu Lin!” tangkis Martin buru buru. ”Aku nggak mau kamu kaya pembantu. Kita tanggung sama-sama ya urusan bersih-bersih rumah” lanjut Martin. Dia memang bisa melakukannya sendiri, aku tahu itu. Pak Kun diminta Martin hanya urus kebersihan halaman, teras dan cuci mobil.
”Atau kau mau kita pakai pembantu Lin?” katanya lagi. Waduh... Martin jadi serius. Aku segera merubah ekpressi wajahku. Memamerkan senyumku.
”Martin, untuk sementara aku masih belum memerlukan pembantu rumah tangga. Biar begini, aku dan Anggi biasanya juga mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Mama kan cuma nggak bisa memaksaku masak. Kalau yang lain boleh lah! Cuci piring, ngepel lantai, bersihkan kamar mandi, kebon, garasi, cuci mobil sampai jadi supir!” kataku pamer. Martin tertawa tawa mendengarkan ucapanku.
”Okay Lin, tapi jangan paksakan diri ya. Nanti malah sakit” kata Martin. ”Sudah malam, kita cari makan dulu yuk” ajak Martin.

Kami tiba di rumah orang tuaku sekitar jam sembilan malam. Papa dan Mama sedang nonton siaran berita dari televisi. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku dan Martin bergabung dengan Papa dan Mama. Kami ingin membicarakan soal pindah rumah. Martin yang memulai bicara.
”Papa, Mama, saya dan Linda ingin minta izin pindah rumah, Minggu ini” katanya. Kulihat Papa kaget, Mama spontan bereaksi.
”Martin, jangan buru-buru pindah, tidak baik” ujar Mama. Lalu dia kemudian melanjutkan, ”Tunggulah, sampai Mama selesai syukuran Minggu depan, Minggu depannya kalian boleh pindah”.
”Oh nggak masalah Ma, itu juga boleh” jawab Martin setuju.
Mama kemudian melanjutkan ucapannya.
”Mama dan Papa akan antar kepindahan kalian. Jangan pergi seperti kalian berdua kami usir saja. Kalian pengantin baru, kami wajib mengantar!” Wow, tak kusangka! Aku berpandangan dengan Martin.
”Martin, mungkin ini baru buatmu, ikutlah tradisi keluarga kami, tak ada salahnya” kata Papa buka suara. Papaku meski neneknya keturunan Belanda, tapi beliau sangat menyatu dengan kebiasaan atau tradisi keluarga. Papa kemudian juga bilang ”Nenek Linda masih ada, nanti dia marah, juga Tante Hanum, kau tahu kan sifatnya?” katanya melanjutkan.
”Sebenarnya Papa senang kalau kalian lebih lama tinggal disini” kata Papa, berat.

Tiga minggu setelah menikah, kami pindah rumah. Sebenarnya aku hanya membawa sekoper pakaianku dan beberapa stel pakaian Martin, sekotak besar tas-tas dan sepatu-sepatuku. Aku juga membawa empat set sprei, satu set peralatan makan, rice cooker dan sebuah pemanggang roti, semuanya kado pernikahan. Ketika semua barang dimasukkan bagasi mobil Martin, pas, tak berlebih. Sebetulnya Mama ingin semua kado dibawa saja, aku menolak, soalnya banyak sekali. Lebih baik di simpan di gudang Mama saja. Perabotan yang kami beli sudah dikirim dan sudah kami atur pada posisi yang kami inginkan minggu lalu. Aku tinggal pasang sprei, sarung bantal dan guling.
Hari Minggu itu, jam sepuluh pagi kami siap berangkat, dengan tiga mobil. Tante Hanum, kakak Mama dengan suaminya dan nenekku. Papa, Mama dan adik-adikku. Aku dan Martin.Sebelum berangkat Mama meminta kami berkumpul di ruang tamu.
”Kita berdoa dulu” katanya. Kami duduk bersama. Setelah selesai berdoa, Mama menyerahkan padaku sebotol air putih, sekantong beras, minyak goreng, gula pasir dan gula merah, garam dan beberapa bumbu dapur serta sebungkus lilin. Semua diletakkan dalam keranjang rotan.
”Semoga di rumah baru kalian tak kekurangan” kata Mama sambil memelukku. Nenekku memberi semangkok bunga rampai, terdiri dari irisan kecil-kecil daun pandan dicampur bunga bunga, beras diwarnai kuning kunyit dan beberapa uang logam. ”Linda, jaga rumahmu tetap wangi, dan semoga banyak rezeki” katanya mencium pipiku.
Kemudian Tante Hanum menyerahkan senampan nasi ketan berwarna putih dan kuning dengan telur ayam rebus di atasnya dan unti, yaitu kelapa parut yang dimasak dengan gula merah.
”Linda, Tante berharap keluargamu bahagia, bermartabat tinggi, seperti warna kuning nasi ketan ini dan selalu berujung manis seperti unti diatas ketan ini” dia memelukku, menangis. ”Ini sebagai tradisi di daerah asal ibuku, warna kuning dilambangkan martabat tinggi” lanjutnya.
Uh... acara ini seakan aku mau pergi jauh saja!pikirku. Kulirik Martin, dia diam terpaku, mengawasi acara ini. Dalam keluarganya, mungkin tradisi ini tidak ada. Apalagi sejak sekolah menengah dia tinggal di Eropa. Aku jadi penasaran ingin tahu komentar Martin. Aku pernah menyaksikan acara seperti ini, sewaktu kerabat nenekku menikah. Jauh lebih rumit.
Kini giliran Papa, aku lihat dia dari tadi diam saja. Dia memelukku, kemudian mencium pipiku. ”Linda, hormat pada suami ya” katanya. Lalu memberiku amplop.
”Ini uang jajan terakhir dari Papa” katanya pahit. Kulihat Papa, sudut matanya mengambang airmata. Kemudian dia menyalami Martin, memeluknya.
”Martin, jaga Linda baik baik!” katanya. Kulihat Mama dan nenek menangis terharu. Aku juga sudah tak tahan, memeluk Anggi, adikku. Kok suasana jadi sendu begini! Kulihat Martin, terharu menunduk di hadapan ayahku. Oh...pantas Mama tidak mau kami pindah begitu saja. Mereka ingin kami pindah dengan cara tradisi mereka. Padahal kami sebenarnya cari mudahnya saja.
Tante Hanum kemudian menjelaskan pada kami, terutama Martin, acara ini sebenarnya mengharapkan agar kami pindah ke rumah baru dan membentuk keluarga baru dengan semua dukungan keluarga. Jadi segala pemberian tadi adalah simbol semata, intinya adalah doa dan harapan agar bahagia. Tante Hanum juga menjelaskan, bagi keluarga kami, terutama nenekku, ini pertama kali melepas cucu perempuannya. Oh begitu..... aku sadar, dalam kekerabatan kami, perempuan sangat berharga, sama seperti laki-laki. Ini sisi baiknya kekerabatan kami. Perempuan dapat kembali setiap saat pada keluarganya. Tidak menjadi milik keluarga suami. Kami hanya menjadi bagian dari anggota keluarga suami.

Kami mengucapkan terima kasih pada kedua orang tuaku, Tante Hanum dan Om Burhan, Nenek dan adik-adikku yang akan pulang sore itu. Hampir setengah hari mereka tinggal di rumah kami. Nenek bilang rumah kami bagus, banyak sinar matahari pagi. Mama juga senang, dia menyarankan untuk membawa beberapa anggrek dari rumah ”Biar meriah Lin” kata Mama.
Mereka semua sudah di dalam mobil siap untuk berangkat ketika kulihat Tante Hanum keluar lagi dari mobilnya. Dia mendekati aku dan Martin yang sedang berdiri di pintu pagar rumah kami, mengantarkan.
”Ada yang terlupa” katanya berdiri persis di depanku. Dia kemudian membuka kalungnya. Lho.. ada apa ini pikirku.
”Ini untukmu! Pakailah” katanya menyerahkan kalungnya ke tanganku.
”Tante, kenapa?” tanyaku heran.
”Sudah, terima saja, sudah lama aku ingin kasih ini” katanya menjelaskan. Aku cium pipinya, dia memelukku.
”Martin, Linda ini bukan sekedar keponakan, dia anak perempuan yang tak kumiliki, sayangi dia ya!” kata Tanteku terharu. Martin mengangguk juga mengucapkan terima kasih, lalu menuntunnya kembali ke mobilnya.
Mobil yang membawa keluargaku telah menghilang di ujung jalan. Aku dan Martin masuk rumah. Kudengar suara Martin.
”Lin, hari ini aku senang sekali kita pindah kesini. Tak menyangka keluargamu begitu berat melepaskanmu” katanya, sambil menggandengku ke ruang keluarga. Duduk di sofa baru kami.
” Ah......Martin, itu kan cuma tradisi” kataku menanggapinya sambil melepaskan sandal rumahku.
”Tidak Lin, aku menerimanya sebagai tanggung jawab” katanya.
”Kini aku tahu, aku harus membahagiakan keluarga kita!” lanjutnya serius.
”Iya, kalau nggak berhasil, bisa-bisa mereka akan suruh aku pulang lho!” kataku menggodanya. Martin tahu aku bercanda, Martin meneruskan candaku.
”Tidak bisa, karena barang yang sudah dibeli kan tidak bisa dikembalikan” katanya ingat tulisan di setiap bon pembelian barang. Huh!
”Hey aku bukan barang, jadi aku bisa pergi sendiri” kataku tertawa.
”Martin, tadi aku sudah khawatir lho kamu nggak suka acara pemberangkatan tadi pagi” kataku. Martin menggeleng.
”Lin, jangan salah! Tidak semuanya tradisi jelek. Aku bisa menerimanya jika masuk akal. Tadi pagi bagus lho! Aku sampai mau keluar air mata. Sayang Mami Papi nggak lihat!” katanya, membuatku heran.
”Memang kalau ada Mami kenapa?” tanyaku.
”Mami pasti sudah nangis! Coba deh nanti, kalau kita mau pulang dari Bandung. Pamitan sama dia pasti nangis!” kata Martin.
”Iya ya... waktu dia mau pulang ke Bandung juga nangis” ujarku teringat saat keluarga Martin berpamitan dengan kami setelah selesai resepsi pernikahan kami.
”Lin, Tante Hanum itu sayang sekali ya sama kamu, kalung pemberiannya kelihatan mahal tuh!” kata Martin. Kami mengamati kalung yang kini berada di telapak tanganku. Rantainya dari emas, meski kecil tapi buatannya sangat halus. Leontinnya berupa tiga buah berlian kecil yang disusun membentuk setangkai anggur lengkap dengan daun dan sulurnya. Tante Hanum pernah cerita tentang kalungya itu. Dia membelinya di Martapura, kota yang terkenal dengan intan permata itu. Sewaktu dia melaksanakan tugas kantornya sekalian menengok kerabat di Kalimantan.
”Martin, Tante orangnya memang keras, tapi sebetulnya dia baik dan sangat sayang pada keluarga. Termasuk aku. Anggi juga disayang sama dia” kataku menjelaskan. Mungkin juga karena tidak punya anak perempuan. Tapi menurut dia bukan itu sebabnya. Karena dia pernah bilang, ayahnya dan kakeknya sangat menyayangi dia dan adik-adiknya. Makanya dia bisa sekolah tinggi dan maju sebagai wanita saat itu. Zaman itu, wanita belum leluasa untuk sekolah tinggi. Tante Hanum dan adik-adiknya sekolah di Mulo dan HBS. Jadi dia sangat memperhatikan kami keponakan-keponakan nya yang wanita. Dia ingin kami menjadi wanita mandiri, berpikiran maju dan pintar.

Kami duduk di depan televisi, ini saat pertama kali kami berdua saja di rumah ini. Rumah ini sepi, sudah hampir malam. Aku teringat tempat tidur yang belum kupasangi sprei. Aku juga merasa berkeringat.
”Martin, aku mau mandi dulu ya” kataku sambil berdiri meninggalkannya. Aku masuk kamar tidur, melihat tumpukan pakaianku masih tergeletak di atas tempat tidur. Aku masukkan pakaianku ke lemari yang terletak menempel dinding di sudut kamar kami. Masih kosong dan bau cat vernishnya sangat kuat tercium olehku. Pakaian Martin juga belum dipindahkannya dari lemari plastik di kamar sebelah. Aku duduk di tepi tempat tidur, berniat memasang sprei. Biar setelah mandi enak untuk tiduran, istirahat sebelum makan malam pikirku. Kubuka plastik pembungkus sprei yang masih terlipat rapi. Membentangkannya di atas kasur. Wow cantik! Warna dasarnya putih dengan bunga warna merah muda dan ungu, dan daun-daun hijau, kecil-kecil tapi semarak memenuhi seluruh sprei. Cuma masih banyak bekas lipatan. Aku ingin menyetrikanya sebelum dipasang. Baru aku akan keluar kamar, Martin muncul.
”Katamu mau mandi! ” katanya begitu melihat aku sedang membentangkan sprei. Aku tersenyum.
”Martin, aku mau strika sprei, dimana?” tanyaku. Martin tertawa kecil.
”Lin, kita nggak punya setrika!” katanya geli.
”Hah......masa nggak punya?” tanyaku, aku heran selama ini bagaimana dia bisa tampil selalu rapi.
”Semua laundry” katanya menjelaskan. Pantes!
”Ayo, kita pasang sama-sama!” kata Martin mengajakku menyelesaikan pasang sprei. Masih terlihat tidak licin, karena bekas lipatan. Tak apa-apa! Aku senang, bisa segera istirahat setelah mandi nanti.
”Lin, mandi deh, biar yang lain kubereskan” katanya menunjuk pakaian yang belum masuk ke lemari.
Aku mandi cepat-cepat, rasanya badanku pegal juga. Aku keluar kamar mandi ketika Martin baru selesai memindahkan pakaiannya ke lemari. Aku masih berkimono handuk, mendekati lemari untuk cari dasterku. Martin memelukku, ”Lin, kita makan malam keluar atau bagaimana?” tanyanya.
”Aku sebenarnya nggak lapar, tapi kalau kau lapar ayo deh kita keluar” kataku.
”Okay, aku mandi dulu ya. Sebelum pergi makan kita mampir ke rumah Mas Siswo di ujung jalan, biar kenalan sama Pak ketua RT” katanya. Jadi aku bersiap dan membatalkan pakai daster.

Jum’at malam, hampir jam sepuluh aku baru sampai rumah. Lelah karena sejak Senin, aku sibuk sekali, rapat promosi di bagianku sendiri, membahas dan cari cara mendesak para pemasang iklan yang belum memberikan color separation film karena tengat waktu sudah dilampaui. Aku juga mendapat limpahan tugas dari bosku, karena Manager Bagian Informasi dan Data Processing mendadak berhenti. Padahal bagian ini yang memasok data untuk penerbitan kami. Juga untuk bagian ini menerbitkan panduan dan laporan bagian produksi, pemasaran, personalia dan bagian akunting.
Pekerjaan tambahan ini bikin aku pusing seminggu ini. Setiap hari pulang jam sepuluh malam. Aku tak tahu alasan Nita berhenti, padahal dia sedang mempersiapkan software baru yang lebih bagus, dibantu konsultan IT. Aku terpaksa belajar soal komputer, bolak-balik ke IBM dan konsultannya. Minta di ajari secara kilat, soal computer operating system dan lainnya. Aku kan awam soal komputer. Menurut mereka, software yang sekarang dikembangkan dan dipakai kantorku tidak maksimal memanfaatkan mesin yang ada. Jadi harus di review lagi apa sebenarnya kebutuhan kantorku.
”Tenang Mbak Linda, dalam tiga hari Anda pasti sudah menguasai” kata Bambang seorang staf kantor konsultan itu meyakinkanku. Dia baik sekali, membantuku. Hari Senin depan aku akan bertemu lagi dengannya. Karena setelah dapat laporan kami, bosku minta yang terbaik, agar penerbitan yang akan datang tidak terhambat. Jadi kami juga merancang untuk mengirim semua staf bagian Informasi dan Data Processing untuk pelatihan. Secara bergilir dalam waktu dua minggu. Benar juga, setelah tiga hari berdiskusi dengan Bambang, menggali segala problem kantorku dan kemudian menentukan sejumlah kebutuhan kami, akhirnya aku tahu semuanya. Bahkan untuk mengatur operasional komputer kini aku lakukan sendiri. Menurut Bambang, dalam satu minggu, semua revisi program software sudah bisa di instal ke komputer kami. Lalu percobaan sekitar satu dua hari. Di hari ke sepuluh, kami secara penuh sudah bisa menggunakannya. Semua kulaporkan hasilnya pada bosku, Pak Deddy di ruang kerjanya, persis di sebelah ruang kerjaku.
”Wah.... bagus kalau gitu! Jadi penerbitan kita tak tertunda” kata bos ku senang.
Aku lihat dia masih ingin melanjutkan bicaranya, jadi aku diam saja. Tapi kulihat dia mengangkat gagang telepon, menekan dua angka. Itu nomor personalia, Mbak Wisni.
”Bu Wisni, tolong kesini sebentar” kata Pak Deddy, kemudian meletakkan gagang teleponnya kembali. Tak lama Mbak Wisni datang. Dia segera masuk dan duduk di sampingku.
”Begini, saya sudah seminggu tugaskan Bu Linda untuk mengelola Bagian Data Processing dan Komputer. Jadi tolong buat surat tugasnya secara resmi sebagai pengganti Nita dengan segala kompensasinya. Jabatan sebelumnya tetap di pertahankan. Bisa selesai hari ini?” kata Pak Deddy, membuatku ternganga! Jadi ini akan tetap jadi tugasku hingga ada pengganti Nita. Kulihat Mbak Wisni mengangguk. Aku baru mau buka mulut, Pak Deddy sudah mendahului.
”Maaf Bu Linda, saya tidak mendiskusikannya dengan Anda. Saya belum punya pengganti Nita. Menurut Pak Bambang, Anda lebih bagus dari Nita soal komputer, jadi kenapa potensi Anda tidak dimanfaatkan. Nggak keberatan kan?” kata Pak Deddy.
”Pak saya minim sekali soal ini, jadi....” kataku ingin menolak. Pak Deddy tersenyum saja.
”Tenang, you bisa belajar! Saya sudah minta Pak Bambang atur training lanjutan untuk Anda” kata Pak Deddy. Hari ini aku menerima tugas tambahan itu secara resmi, dua jam kemudian. Hari-hariku selanjutnya akan makin sibuk.
Ketika sampai di rumah, rupanya Martin sudah pulang, mobilnya belum masuk garasi. Dia membukakan pintu, menyambutku dengan selembar koran di tangannya. Martin mencium pipiku, menggandengku masuk rumah.
”Martin, sorry ya aku pulang malam, kau sudah makan?” kataku. Dia menggeleng.
”Belum, aku tunggu kau, sudah lama kita nggak pernah makan malam bersama” katanya.
”Aduh kasihan, aku tadi makan di kantor” kataku. Kusodorkan kotak kue berwarna coklat tua dari toko kue dekat kantorku. Kubeli tadi saat pulang kantor, tokonya sudah hampir tutup.
”Ini ada roti sosis dan marble cake, tadi aku beli, lumayan kan buat sementara” kataku, Martin menerimanya.
”Kita nggak usah makan keluar, ini sudah cukup bikin aku kenyang” katanya. Tentu saja cukup, aku beli roti sebenarnya cuma empat buah, tapi karena aku kenal dengan pemiliknya, zus Wie Lan. Setiap belanja di sana, dia selalu memberiku tambahan. Satu toples kue kering, enam buah roti kismis dan lima potong marble cake. Zus Wie Lan ini baik padaku, sering mengirimi ke kantorku, roti atau kue, apalagi kalau tahu aku lembur. Aku mengenalnya sudah lama, ketika masih menjadi Account Executive sebuah biro iklan, dia adalah mantan klien ku.
Setelah selesai mandi, aku mendekati Martin yang sedang duduk di sofa kecil di depan televisi. Aku duduk di sampingnya, bersandar ke kursi.
”Linda, besok libur mau kemana?” tanya Martin. Ini adalah minggu pertama kami tinggal di rumah ini setelah menikah.
”Nggak kemana-mana ah!” jawabku.
”Kenapa Lin, capek?” tanya Martin.
”Aku sebenarnya besok ingin atur ruang tamu, biar sedikit nyaman. Juga ingin minta Pak Kun membantu membereskan taman” kataku menjelaskan.
”Oh itu, nanti aku bantu juga” katanya. ”Tidurlah, sudah malam, kau capek” katanya. Ya, memang aku capek sekali, sebenarnya aku ingin cerita soal jabatan baruku. Tapi rasanya mataku sudah tak tahan, mengantuk sekali. Jadi kutinggalkan Martin yang meneruskan menonton televisi, masuk kamar dan tertidur lelap.

Aku merasakan pelukan Martin, membiarkannya saja. Kurasakan bibirnya di pipiku kemudian pindah mengecup bibirku. Dia mengelus-elus punggungku. Kini aku benar-benar sudah bangun. Martin meneruskan ciumannya, kini tidak lagi di bibirku. Kancing dasterku telah terbuka. Minggu besok, genap sebulan kami menikah. Aku rasa Martin sangat sabar memperlakukanku. Mungkinkah malam ini aku akan menyerah, pikirku. Dia suamiku, apa salahnya bercinta dengannya? Apa yang kutakutkan? Apakah aku harus menunggu Rinto? Mengapa aku menyiksa Martin, menolaknya terus sebulan ini? Tidak adil bagi Martin kan? Apakah cara ini sebagai tanda bakti pada suami atau cinta? Entahlah! Yang pasti aku bukan sekedar berpacaran lagi. Aku wanita dewasa dan sudah bersuami.
Martin tidak memaksaku, aku mencoba menerimanya dengan hati ihlas. Martin tidak menyakitiku, membimbingku dengan sabar, halus dan mesra. Yang penting saat ini Martin memperlakukanku dengan baik. Aku akan mengenang hal ini sebagai malam pengantinku yang indah. Hal terakhir yang kudengar dari Martin sesudahnya adalah bisikannya di telingaku.
”Linda, terima kasih kau memberiku yang terbaik” katanya. Memelukku dan mencium pipiku. Sambil duduk, aku mencoba menutupi sedikit noda darah pada sprei baru kami dengan selembar handuk kecil. Martin kulihat terkejut mengetahui hal itu, dia memandangku. Airmata Martin mendadak muncul di sudut matanya. Ah... dia sentimental sekali! Aku juga menangis, aku tidak menyesali apa yang terjadi. Hanya merasa terharu saja atau ikut-ikutan Martin. Aduh... seandainya keluargaku tahu, sebagaimana kini Martin melihat fakta ini, pasti keluargaku tak akan memaksaku menikah secepat ini. Kami berpelukan hingga akhirnya tertidur.

”Mas Martin, Mas Martin!” kudengar suara seseorang memanggil. Aku menatap sinar masuk dari lubang ventilasi di atas daun jendela. ”Oh.. sudah pagi rupanya”. Kulihat Martin di sampingku, masih tidur. Aku bergerak mendekati, menyentuh tangannya. Martin membuka matanya.
”Ada yang panggil di depan!” aku membisiki Martin. Kudengar kembali suara seseorang memanggil nama Martin. Martin menyalakan lampu meja.
”Sudah jam enam!” katanya bangkit, masuk ke kamar mandi, mencuci mukanya dan keluar kamar masih dengan pakaian tidurnya celana pendek dan baju kaus semuanya berwarna putih.
Aku merapikan diri, mengganti dasterku dengan setelan blus dan celana panjang dari kaus. Aku keluar kamar juga ingin tahu siapa yang pagi-pagi sudah datang ke rumah kami. Tirai ruang tamu belum dibuka, jadi aku tak jelas melihat siapa yang sedang berbicara dengan Martin di halaman. Rasanya seorang wanita, tetangga barangkali, pikirku.
”Mas Martin, jarang kelihatan sebulan ini, kemana aja, jadi kangen deh!” kudengar wanita itu bertanya, terasa akrab dan manja. Aku membatalkan keluar, kupikir lebih baik menunggu Martin memperkenalkanku padanya.
”Kemarin aku lihat mobilmu, jadi aku kesini”kudengar lagi lanjutan ucapan wanita itu.
”Saya sibuk Wid!” kudengar Martin menjawab.
”Boleh masuk kan?” tanya wanita itu lagi. Aku segera berbalik kembali ke ruang makan, tak enak, nanti dikira Martin aku menguping pembicaraan mereka.
”Wow, perabotanmu ganti nih!” Kata wanita itu kudengar mengomentari perabotan rumah kami. Suaranya semakin dekat terdengar. Ow.... Martin mengundangnya masuk ke rumah kami rupanya. Kudengar Martin menjawab mengiyakan dan menyilahkannya duduk.
”Mas Martin, ini kubawakan nasi uduk, buat sarapan. Aku beli tadi, sambil lari pagi” katanya. Kudengar suara Martin berterima kasih.
”Terima kasih. Widya, sebentar ya, aku ke dalam!” jawab Martin, kudengar langkah kakinya masuk ke ruang keluarga.
”Linda! Lin?” panggil Martin yang segera menemukanku sedang membukai tirai ruang keluarga.
”Ada tamu, tetangga!” kata Martin, menarik tanganku. Kami ke ruang tamu.
”Widya, kenalkan ini Linda” kata Martin sambil menggandengku menemui Widya yang sedang duduk di ruang tamu kami. Kulihat wanita itu, usianya mungkin sebaya dengan Martin. Manis, kulitnya sawo matang, rambutnya dipotong pendek.
”Linda, ini Widya, tetangga kita, dia tinggal di sebelah kiri rumah Mas Siswo” kata Martin memperkenalkan kami. Kami bersalaman, masih agak kaku.
”Hey, ini adikmu ya, mirip sekali denganmu? Kapan datang? Sekolah disini?” kata Widya bertubi-tubi, membuat aku dan Martin terpana. Orang ini, pikirku reaksinya cepat sekali. Kelihatannya dia wanita yang biasa bicara spontan.
”Wid, ini Linda, isteriku, bukan adikku!” kata Martin tertawa, aku menahan senyum geli. Kulihat Widya kaget.
”Hah... isterimu, aduh maaf! Maaf!” kata Widya menutup mulutnya yang terbuka. Martin meneruskan menjelaskan ucapannya.
”Linda tinggal di sini bersamaku sudah seminggu Wid, anak-anakku tetap di Bandung. Jadi, nanti kau bisa ajak Linda ikut kegiatan ibu-ibu” kata Martin. Widya mengangguk, tak bersemangat kulihat.
”Aduh... jadi kalian sudah punya anak?” kata Widya. Martin mengangguk, gadis itu entah mengapa memandangku seakan tak percaya.
”Mbak Widya, silahkan duduk! Sebentar ya kubuatkan minum, kopi atau susu?” kataku mempersilahkannya dan menawari minuman padanya.
”Tidak usah, aku sudah mau pamit. Maaf pagi-pagi sudah mengganggu kalian!” katanya tergesa-gesa. Martin dan aku mengantarkannya hingga pintu pagar. Martin memeluk pinggangku, tersenyum penuh arti.
Sebenarnya aku tak minta penjelasan Martin. Tapi Martin begitu masuk rumah langsung menjelaskan soal itu padaku.
”Widya itu beberapa kali pernah kesini, biasanya Sabtu pagi, kalau aku nggak ke Bandung. Dia kerja di perusahaan minyak. Pulang jogging katanya. Selalu bawa nasi uduk buatku” katanya. Aku tersenyum saja mendengar ucapan Martin.
”Asyik juga punya tetangga seperti dia, perhatian” jawabku mengomentari. Martin tertawa.
”Ya, tapi nasi uduk terus yang dia bawa. Kau tau kan aku nggak doyan sarapan nasi. Jadi biasanya untuk Pak Kun!” kata Martin.
”Ih...Martin! Masa dia musti bawa beef-steak? Mungkin dia nggak tahu kamu nggak sarapan nasi. Bilang dong!” kataku tertawa menggodanya. Martin memencet hidungku.
Memang Martin jarang makan nasi kalau pagi. Dia hanya minum susu atau kopi dan roti isi keju, telur atau cornet atau crackers.
”Lin, sebenarnya aku sudah mulai terganggu dengan ulah Widya, nggak enak dengan tetangga kalau dia datang seperti pagi ini” lanjut Martin.
”Semoga dia tak menggangguku lagi, setelah dia tahu aku sudah beristri dan punya anak!” kata Martin.
”Pusing juga sama dia, berani telpon ke kantorku, ngaku-ngaku pacarku!” lanjut Martin. Selama ini Martin tak pernah cerita apa apa tentang ini.
”Jangan omong soal Widya lagi ah” kata Martin.
”Wow.... suamiku ada yang naksir rupanya!” kataku menggodanya sambil meninggalkannya ke kamar. Aku ingin mandi, kemudian sarapan dan menata rumah sambil menunggu Pak Kun. Martin menyusulku, meraihku ke pelukkannya. Membiarkannya mengangkatku ke tempat tidur. Merasakan kembali hangatnya pelukan Martin pagi ini. Sinar matahari mulai masuk ke kamar kami.


3. Gadis kecil yang mengintip di pintu kamarku


Satu setengah bulan setelah menikah dengan Martin, orang tua Martin menyelenggarakan pesta syukuran kecil menyambut pernikahan kami. Agar tidak merepotkan, Martin minta acara dilaksanakan di restoran saja. Acara itu di sebuah restoran merangkap komplek villa. Di kota Lembang, tak jauh dari Bandung. Pesta diadakan sore hari untuk makan malam bersama. Aku juga senang, karena bukan acara adat. Lebih seperti pesta kebun. Hanya beberapa tetangga dan keluarga dekat Martin diundang ke pesta kecil itu. Juga keluargaku. Mungkin sekitar seratus orang saja.
Jum’at malam hampir jam sembilan, aku dan Martin tiba di rumah orang tua Martin di Bandung. Rumah besar bergaya bangunan zaman Belanda dengan halaman luas, di utara Bandung. Aku keluar dari mobil, udara dingin langsung menyergap tubuhku. Seorang pembantu laki-laki bergegas menyambut kami. Memberi salam dalam bahasa Sunda. Martin menyuruhnya membawa tas-tas kami.
”Hallo Linda, selamat datang! Mari masuk!” kudengar suara Mami Martin, dari teras depan. Aku telah mengenal ibu Martin ini, jauh sebelum kami menikah. Sewaktu aku dan Martin sekantor. Dia masih terlihat cantik meski usianya telah mendekati tujuh puluh tahun. Garis wajahnya terlihat jelas, percampuran Indonesia dan Eropa. Hidung mancung dan tulang pipi yang tinggi. Mirip Martin.
Cepat kudekati, menyalaminya dan mencium kedua pipinya. Dia memelukku hangat. Martin juga memeluk ibunya. Kami masuk rumah, menuju ruang keluarga. Dari kamar, di depan ruang keluarga muncul Papi Martin. Beliau juga sudah bertemu denganku sebelumnya. Kusalami, beliau meraihku dan memelukku hangat.
”Ayo, duduk, pasti capek!” katanya mempersilahku duduk sambil menggiring ke sofa di ruang itu. Kulihat Martin sudah masuk ke ruang dalam. Mungkin mengecek kamar tidur, pikirku. Kami ngobrol beberapa hal tentang perjalananku ke Bandung. Mereka juga menanyakan pekerjaanku, ayah ibuku dan rumah baru kami. Aku cepat merasa diterima oleh mereka.
Lalu kudengar suara-suara ramai mendekati tempat kami duduk. Martin dan kedua anaknya. Seorang bocah laki-laki, Cyril. Mungkin dia adalah Martin sewaktu masih kecil. Dalam piyama tidur bergambar mobil. Lalu, di gendongan Martin, gadis kecil dalam baju tidur warna merah muda. Pasti Inge! Cantik, mungkin seperti ibunya. Aku segera berdiri mendekati mereka bertiga. Kedua orang tua Martin pasti sedang mengawasi perkenalan kami ini, pikirku. Memang sewaktu resepsi pernikahanku kedua anak ini tidak hadir. Martin membantuku dengan membuka perkenalan kami.
”Cyril, Inge, ini Tante Linda yang suka Papa ceritakan!” katanya. Aku segera menyentuh kedua pipi anak-anak itu, memamerkan senyumku. Berharap kami segera menjadi kawan. Kujabat tangan kecil Cyril sambil agak berjongkok. ”Sudah kelas berapa Cyril?” kutanyakan padanya. Dia menjawab dengan mengacungkan jari telunjuknya yang kecil. Masih malu. Baru kelas satu sekolah dasar.
Aku tegak kembali, mendekati gadis kecil di gendongan Martin yang menungguku menyapanya. Kugenggam tangan dengan gelang plastik merah muda dan putih melingkar di pergelangannya. Inge hanya memandangku dengan matanya yang bulat, lucu.Tangan kanannya memeluk leher Martin.
”Inge sudah sekolah?” tanyaku. Tak kuduga, dia segera menjawab.
”Sudah, nol kecil” jawab Inge.
”Sudah bisa membaca?” tanyaku lagi. Kali ini Inge menggeleng, malu. Menyembunyikan wajahnya di leher Martin. Martin tertawa, membuat Inge jadi tersipu, malu.
”Inge tidak boleh malu, nanti juga bisa baca!” buru-buru aku menghiburnya. Selamat, Inge kembali berpaling ke arahku, wajahnya kembali terlihat ceria. Itulah perkenalan pertama kami.
Martin kemudian mengajak keduanya duduk. Aku membuka tasku, kukeluarkan dua kado yang kusiapkan tanpa sepengetahuan Martin.
”Ini, Tante punya hadiah untuk Cyril dan Inge!” ujarku sambil menyerahkan pada mereka.
”Terima kasih Tante Linda!” kata mereka hampir bersamaan. Aku kagum pada mereka, santun sekali.
”Ayo, buka!” kata Martin. Martin bantu membuka pembungkus hadiah. Untuk Cyril, tiga buku dongeng dengan cover indah. Untuk Inge, juga tiga buku buku mewarnai dan sekotak pinsil crayon warna, covernya lucu pas untuk anak TK. Meski tidak dramatis, kuharap hadiah kecil ini menjadi jembatan bagiku mendekati mereka.
”Okay, Inge dan Cyril boleh ke kamar tidur. Sudah capek dan ngantuk kan?” suara ibu Martin pada keduanya.
”Ayo, Papa antar!” kata Martin, segera menggendong Inge dan menarik tangan Cyril.
”Eh,.. ibunya juga ikut dong!” kata Martin mengajakku.
”Tante boleh lihat kamar kalian berdua ya! Boleh kan?” ujarku meminta izin pada mereka. Sungguh betapa santunnya mereka, langsung mengangguk setuju.
Kami berempat ke kamar mereka, meninggalkan kedua orang tua Martin. Inge dan Cyril masih tidur dalam satu kamar. Inge takut tidur sendirian. Masing-masing punya tempat tidur sendiri, dipisahkan oleh rak warna putih. Berisi buku dan mainan mereka. Di atasnya dekat tempat tidur masing-masing, berdiri dua lampu meja. Lampu untuk Inge, berwarna putih, dengan gambar buah strawbery. Lampu di dekat tempat tidur Cyril berwarna biru muda dengan gambar mobil.
Inge meletakkan hadiah dariku di rak, dekat tempat tidurnya. Kemudian mendekati Cyril yang sudah tiduran sambil membuka halaman buku dongengnya. Pelan kudengar suara Inge.
”Kak, Inge pinjam bukunya dong?” kata Inge membujuk Cyril. Aku memperhatikan keduanya, sementara Martin sedang menarik tirai jendela kamar.
”Inge kan belum bisa baca!” kata Cyril pada adiknya, menolak.
”Lihat gambarnya aja!” kata Inge, suaranya terdengar memelas. Cyril masih asyik membaca bukunya, seakan tak peduli dengan Inge. Aku berharap Martin menengahi keduanya. Tapi Martin terlihat ingin aku yang berperan. Dia mengangguk kepadaku. Okay, aku mau coba. Lalu, kudekati kedua anak kecil ini.
”Cyril, pinjami Inge buku ya, biar Tante yang bacakan untuk Inge” ujarku membujuk Cyril sambil membungkuk mendekatinya. Inge langsung melonjak senang, tanpa sadar telah memegang bahuku yang sedang menunduk dekat Cyril. Cyril setuju dan langsung menyerahkan sebuah bukunya. Kulihat Martin mengumbar senyum, senang. Inge segera berbaring di tempat tidurnya menungguku membacakan buku. Martin duduk di ujung tempat tidur Cyril. Aku duduk di bangku kecil, disamping tempat tidur Inge, dekat lampu.
Halaman pertama, kuperlihatkan pada Inge, gambar seekor burung berwarna biru sedang bertengger di pohon menunggui sarang berisi sebutir telur. Kemudian aku mulai membaca halaman pertama. Inge, memandangiku, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dulu, sewaktu kuliah aku pernah membacakan dongeng bagi anak-anak kecil di sebuah panti asuhan anak-anak. Dongeng untuk pengantar tidur siang. Bersama teman-temanku, melakukannya sebagai kerja sosial sepulang kuliah. Kampusku memang tak jauh dari panti asuhan anak-anak. Jadi aku tidak canggung membaca dengan cara mendongeng ini.
Aku baru membuka halaman ketiga, ketika kulihat dengan sudut mataku Cyril bangkit dari tempat tidurnya.
”Cyril, mau kemana?” tanya Martin, tapi Cyril tanpa menjawab pertanyaan ayahnya, Cyril langsung duduk di tempat tidur Inge. Wow... tertarik dia rupanya!
”Wah, kacau, tidak tidur deh!” Martin langsung berkomentar, aku memelototi Martin menyuruhnya duduk di dekatku.
”Okay, Cyril boleh mendengarkan juga” ujarku. Cyril senang dan semakin mendekat. Turut berbaring di samping Inge.
”Tante baca sampai halaman sepuluh saja, karena sudah malam” lanjutku. ”Besok, kita bisa lanjutkan lagi” ujarku berjanji. Mereka mendengarkanku membacakan dengan tenang. Sesekali meminta aku memperlihatkan gambar yang ada di buku yang kubaca. Martin duduk diam di sampingku. Malam itu, kami tinggalkan Cyril dan Inge setelah tertidur.

Ketika keluar kamar tidur mereka, kami disambut Mami Martin.
”Linda, makan malam dulu sama Martin, sudah siap!” kata Mami Martin menarik tanganku ke meja makan di ruang makan. Meja tertata rapi dengan hidangan lengkap.
”Mami, maaf, rasanya masih kenyang, kami tadi makan di Cipanas” jawabku.
”Ya sudah, silahkan istrirahat. Kalau ada perlu sesuatu, minta sama Mbak Pipin ya!” katanya.
”Linda, jangan sungkan. Anggap rumah sendiri!” lanjutnya lagi. Aku berterima kasih padanya dan pamit untuk istirahat.
Aku diajak Martin masuk ke kamar persis di dekat ruang keluarga. Sebuah kamar besar dengan tempat tidur ukuran besar. Rapi, ditutupi bedcover warna merah muda. Di sisi-sisinya ada meja kecil dengan lampu duduk dengan kap warna putih. Tidak ada lemari, hanya ada meja rias. Di meja rias di depan cermin sebuah pot keramik berwarna putih berisi rangkaian bunga mawar merah muda, wanginya masih terasa di ruangan. Di sudut, ada kamar mandi. Jendela besar yang tertutup tirai tipis putih menyamarkan pemandangan ke taman samping rumah. Kamar berwarna putih ini terang, lapang dan menyenangkan. Kata Martin, ini dulu kamar orangtuanya. Kini jadi kamar untuk tamu. Orang tua Martin tidur di bekas kamar Mirna, kakak perempuannya. Sedangkan kamar Martin menjadi kamar anak-anaknya.
Kulihat koper kami dan dua tas kerja sudah berada di kamar, diletakkan di atas meja disisi meja rias. Aku membukanya untuk mencari handuk dan baju tidur. Kulihat Martin menutup tirai jendela lapisan kedua yang lebih tebal, berwarna putih susu. Kemudian mendekatiku yang ingin ke kamar mandi.
”Lin, kamu tadi dengan anak-anak bisa cepat sekali akrab, hebat ya!” katanya.
” Cyril dan Inge itu biasanya tidak suka orang lain masuk ke kamar mereka lho!” lanjutnya. Aku tersenyum padanya, tak jadi meneruskan ke kamar mandi.
”Good start honey and thank you!” katanya meraihku kepelukkannya.
”Martin, asal tahu aja, semuanya tadi berjalan sesuai skenarioku!” kataku. Martin membelalakkan matanya, heran.
”Skenario, memang film?” sahut Martin, heran.
”Maksudku, aku memang merencanakan semua itu sebelumnya!” jelasku. Martin makin heran tentu saja.
”Okay Lin, yang jelas dong kalau cerita!” pinta Martin.
”Untuk mendekati mereka aku atur strategi. Sengaja kasih hadiah buku saja sebagai jalan masuknya. Bukan kasih mainan. Barang yang sama, tetapi menimbulkan rasa ingin tahu Inge dan rasa lebih hebat pada Cyril. Aku perkirakan akan terjadi konflik kecil diantara mereka. Cyril akan membaca bukunya, sedikit pamer padaku. Sementara Inge kuperkirakan akan penasaran ingin tahu isi cerita buku milik Cyril, tapi dia belum pandai membaca, perlu seorang penolong. Juga buku itu bukan milik dia. Buku Inge sama sekali bukan buku cerita, jadi kukira dia tidak terlalu bersemangat. Lagi pula sudah malam, mendengarkan dongeng tentu lebih pas!” kujelaskan pada Martin strategiku.
”Nah, tentu saja pada situasi yang kurancang begitu, aku yang tampil menyelesaikan konflik. Aku pemeran utamanya dalam skenario dan sekaligus sutradara!” kataku melanjutkan .
”Tentu saja, aku sengaja membuat Cyril merasa tidak perlu mendengarkan dongengku, karena sudah bisa membaca sendiri. Tapi aku berharap dia juga ingin diperhatikan, bukan Inge saja” lanjutku. Kulihat Martin jadi serius mendengarkan penjelasanku.
”Selanjutnya, berhasil kan?” kataku menyudahi penjelasanku. Martin akhirnya tertawa senang mendengarkan penjelasanku.
”Aku salut Lin, atas ide kamu itu!” katanya.”Aku nggak pernah terpikir!” lanjutnya.
”Ya, bagaimanapun, aku kan pernah belajar komunikasi, jadi ya kugunakan ilmuku!” jawabku sambil bergerak meninggalkannya untuk masuk ke kamar mandi.
”Sebentar Lin, aku mau tanya, dalam skenario tadi aku dapat peran apa?” tanya Martin buru buru menarik tanganku.
”Figuran!” jawabku seenaknya sambil senyum mengejek masuk ke kamar mandi. Martin menyusulku masuk kamar mandi.
”Kok aku cuma figuran, kenapa?” tuntutnya meminta penjelasan. Aku mentertawakannya. ”Memang bisa jadi peran utama?” ejekku lagi.
”Sudah ah, aku mau mandi dulu!” lanjutkuku sambil mendorongnya keluar kamar mandi.
”Okay, okay, tapi di kamar ini aku mau jadi pemeran utama ya!” godanya .

Pagi ini aku terbangun sekitar jam enam, Martin sudah tidak ada di kamar. Hampir setengah tujuh baru aku keluar kamar. Kulihat Inge di ruang tengah sedang disisiri rambutnya oleh Mbak Pipin, sudah memakai seragam sekolahnya. Cyril rupanya sudah siap dan berada di teras bersama Martin. Martin akan mengantarkan mereka ke sekolah. Bersama Mbak Pipin yang membawakan bekalnya, Inge dan aku keluar menuju teras. Martin menyuruh keduanya pamit padaku. Mereka mendekat, tapi kemudian menoleh pada Martin.
”Papa, Tante Linda tidak ikut?” tanya Inge. Belum sempat Martin menjawab, Cyril sudah mengajakku.
”Tante ikut aja. Lihat sekolahku!” aku cuma tersenyum melihat keduanya. Tiba-tiba kudengar suara Mami dari dalam rumah.
”Kalian mau pamer Mama baru di sekolah ya!” kata Mami menggoda anak-anak.
” Linda, ikut saja!” usulnya. Martin juga mengajakku. Jadi tanpa persiapan apa-apa, aku ikut mengantar mereka ke sekolah pagi itu. Rambutku pun belum kering benar. Bahkan mereka memintaku mengantar hingga gerbang sekolah! Benar-benar dipamerkan! Martin malah cuma duduk menunggu di mobil. Ketika kembali ke mobil, Martin menggodaku. ”Nganter anak sekolah ya Bu!” katanya sambil tertawa tawa.
”Iya, bapaknya kabur nggak tanggung jawab!” sahutku tak mau kalah. Kami tertawa geli.
Kami berangkat ke Lembang duluan , karena Martin dan aku ingin memeriksa persiapan acara sore nanti. Kami menyewa sebuah villa dengan dua kamar tidur, untuk beristirahat. Kami tidak merancang acara yang rumit. Pidato sambutan dari Papi Martin, berdoa dan makan malam bersama. Kami perkirakan, sekitar jam delapan acara sudah selesai.
Pihak pengelola sudah mempersiapkan ruang seminar untuk acara kami. Kami melihat 14 meja bulat dengan taplak putih beserta kursinya sudah siap. Kami tidak ingin disediakan pelaminan, meski ditawarkan. Kami cuma perlu satu sofa saja dan meja kecil untuk menulis buku tamu. Dekorasi ruang juga hanya minta ditambahkan vas bunga pada setiap meja, karena ruangannya cukup indah dan jendela besarnya menampilkan keasrian taman di luar ruang. Kami ingin pesta sederhana, informal, akrab dan singkat. Seperti family gathering , berkumpul keluarga. Makanan secara prasmanan, disediakan di ujung ruangan.
Sekitar jam empat aku dan Martin sudah berdandan. Martin memakai setelan jas warna putih susu dengan corsage bunga anggrek pink. Aku memakai rok midi terusan warna sama dengan busana Martin. Model rok terusan, lurus, kerah bulat rendah dan lengan pendek. Baju itu kupesan di penjahit langgananku. Terbuat dari bahan sutra dan dilapisi brokat halus dengan taburan mutiara imitasi kecil-kecil pada bagian dada dan lengan. Aku hanya minta bantuan petugas salon untuk menata rambutku. Membentuk rambutku yang sepundak menjadi sanggul kecil dan membiarkan sedikit poni menutup dahiku. Meminta dipasangkan hiasan rambut berbentuk rangkaian bunga mawar dari kain sutera putih semburat merah muda. Hiasan rambut juga kupesan pada penjahit ku itu. Kukenakan anting, cincin, kalung dan gelang mutiara hadiah Martin. Tanpa tiara, layaknya pengantin. Sepatuku juga putih susu berhak tinggi dengan hiasan pita satin saja. Sedangkan make-up aku dandan sendiri, tipis saja namun agak lengkap dengan warna natural. Aku pernah kursus merias wajah untuk diri sendiri, waktu itu disuruh Mamaku, jadi beres sudah.
Saat aku sedang bersiap siap, kudengar suara Inge dan Cyril bersama Papi dan Mami. Sudah datang rupanya mereka! Martin menyuruh anak-anak berganti pakaian dibantu Mbak Pipin. Kami memang telah menyiapkan busana untuk keduanya. Sengaja untuk memakaikannya disini. Aku duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan keduanya didandani oleh Mbak Pipin. Aku sendiri sudah siap, Setelan jas untuk Cyril, sewarna dengan yang pakaian Martin. Martin kecil ini terlihat gagah, dan tak beranjak dari cermin. Mengawasi penampilannya yang keren.
”Cyril boleh keluar, tapi jangan main ya, nanti bajumu kotor sebelum acara di mulai!”kata Martin memperingatkan Cyril.
Inge sedang dipasangkan rok ber draperi dari bahan yang sama denganku, juga warnanya. Rok setinggi lututnya, tanpa lengan dengan kerah bulat. Di bagian pinggangnya diikatkan sebuah pita warna merah muda. Ada taburan mutiara imitasi kecil-kecil dibagian dada. Rok ini kupesan di tempat yang sama dengan bajuku.
Ya... Inge cantik sekali dan lucu! Menggemaskan. Dia mengenakan sepatu putih dengan kaus kaki berenda merah muda. Anting mutiara kecil bergoyang-goyang di telinganya.
”Inge sini sebentar, Tante sisir rambutmu!” kupanggil Inge agar mendekat. Kukeluarkan dari kotak dua jepit rambut dengan hiasan bunga mawar kecil-kecil warna pink dan putih dari kain sutra. Kujepitkan pada rambut Inge di kedua sisi dekat telinga. Dia senang sekali, meraba bunga kain itu dan tersenyum-senyum. Kupikir, aku mulai jatuh hati padanya! Apalagi ketika dia dengan manis mengucapkan terima kasih padaku.
”Makasih Tante, jepitnya bagus!” kata Inge sambil meraba tanganku, kemudian berlari keluar kamar. Memamerkan dandanannya pada Martin, Cyril serta kedua kakek neneknya. Kudengar suaranya Inge di luar.
”Opa, Oma, lihat rambut Inge nih! Jepitnya dikasih Tante Linda!” katanya.”Baju Inge juga seperti baju Tante Linda!” katanya riang.
Aku dan Martin memang ingin melibatkan kedua anak itu dalam acara ini. Agar mereka tak merasa tersisih dengan adanya aku, isteri ayahnya. Mereka nanti akan bersama kami menuju ruang pesta. Oh.. baru aku ingat, ada keranjang kecil warna putih dengan hiasan bunga-bunga putih dan merah muda untuk dibawa Inge nanti. Juga buket bunga kecil untukku. Rangkaian bunga mawar segar berwarna putih dan merah muda. Tangkainya dibungkus kain tule dengan renda dan pita sutra warna merah muda. Indah dan tak terlalu besar. Tadi siang kami beli keduanya di sebuah toko bunga. Aku keluar kamar, menyerahkan keranjang kecil itu pada Inge. Anak ini melonjak senang.

Martin menggandengku, aku disampingnya memegang buket bunga. Bersama-sama kami berjalan menuju ruang pesta tak jauh dari vila tempat kami menginap. Tadinya kami mengatur agar Inge berjalan di sebelah Martin, Cyril di sampingku.Ternyata mereka berdua menolak. Inge ingin berjalan di sisiku. Ya sudah! Cyril mengalah, setelah dibujuk-bujuk. Yang penting, bukan berjalan di belakang kami, seperti pengiring pengantin saja!
Beberapa petugas dan penyewa villa lainnya menonton kami melewati mereka. Terdengar memuji penampilan kami. Bahkan seorang penghuni vila sebelah kami menyalami kami, mengira kami sedang mengadakan pesta ulang tahun perkawinan! Aku geli mendengarnya. Martin cuma nyengir, mengucapkan terima kasih, tanpa komentar!
Di ruang pesta, hampir semua yang diundang keluarga Martin sudah datang. Mereka berdiri menyambut kami memasuki ruangan. Kudengar lagu The Wedding mengalun! Semua diatur oleh pengelola villa, sebenarnya kami tak memintanya. Kami cuma minta diputarkan lagu-lagu yang tenang saja untuk pesta ini. Kulihat Mirna sekeluarga, Tante Frida, adik Mami sekeluarga. Om Bastian, adik Papi dengan isterinya. Beberapa lagi belum kukenal. Mungkin para kenalan keluarga Martin atau tetangga. Keluargaku juga hadir, meski tidak semuanya. Kedatangan kami disambut meriah. Kami duduk di sofa bersama Inge dan Cyril.
Acara segera dimulai. Pembawa acara adalah petugas hotel yang sebenarnya hanya memandu dua acara utama. Pidato Papi dan mempersilahkan untuk makan bersama. Papi berpidato singkat. Mengucapkan terima kasih pada undangan yang hadir. Mengharapkan mereka mendoakan pernikahan kami agar bahagia. Dia menceritakan insiden tadi malam.
”Saya ini pensiun dua kali. Pertama kali, sepuluh tahun lalu dipensiun oleh negara. Kedua, tadi malam kami, Opa dan Oma, dipensiun oleh Inge dan Cyril” katanya, membuat hadirin tertarik mendengar ucapan Papi.
”Mereka minta Linda yang menemani mereka tidur” lanjutnya. Langsung yang hadir bertepuk tangan semua. Lucunya, kedua anak yang sedang dibicarakan, tenang-tenang saja. Inge berdiri disisiku di dekat sofa tempat aku dan Martin duduk, sedang menggoyang-goyangkan keranjang bunganya. Cyril malah sedang mengunyah permen. Mungkin juga belum begitu faham apa yang sedang diucapkan kakeknya.

Kami kemudian mengikuti doa bersama yang dipimpin Om Nasution, tetangga sebelah rumah orangtua Martin. Kemudian aku dan Martin mendatangi beberapa meja para tamu. Martin memperkenalkanku pada undangan yang belum kukenal. Berfoto bersama mereka dan mempersilahkan mereka mengambil hidangan. Sisanya adalah ngobrol-ngobrol saja. Suasana pesta seperti ini yang kuinginkan. Tidak terlalu ramai, tapi akrab.
Saat aku berkenalan dengan Tante dan Om Nasution, tetangga orangtua Martin, dia terus terang mengatakan wajahku mirip Inge. ”Aneh juga ya zus Wira, kok Inge begitu mirip dengan Linda!” kata Tante Nasution, tentu saja di sambut komentar beberapa orang lagi. Tante Hanum yang waktu itu duduk satu meja dengan mereka mendengar komentar itu menimpali.
”Kami juga heran zus, kok Inge mirip Linda masih kecil ya?” katanya.
”Saya masih simpan foto Linda waktu TK, persis Inge!” lanjut Tante Hanum. Ya.. aku tahu Tante Hanum memang paling banyak punya koleksi fotoku. Mungkin karena dia tak punya anak perempuan. Jadi di pesta perkenalan itu, bukan aku dan Martin saja yang jadi pusat perhatian, Inge kecil yang sedang asyik berlarian bersama anak-anak lain juga jadi perhatian tamu kami.
Rupanya, pihak pengelola villa memberikan kejutan untuk kami. Sebuah meja bertaplak putih didorong masuk ke ruangan. Di atasnya, kue tart bersusun tiga dengan bunga-bunga dari gula berwarna merah muda serta patung lilin sepasang pengantin. Jadi ada acara tambahan, potong kue pengantin. Benar-benar kejutan menyenangkan! Acara kami seperti pernikahan gaya barat, tak banyak tamu, tak ada yang bersifat tradisi. Bahkan para tamu minta aku membelakangi mereka dan melemparkan buket bunga tanganku, suatu tradisi pengantin barat. Mami Martin dan Tante Frida semangat sekali mendorongku melakukannya. Acara jadi sangat meriah, penuh tawa, karena bukan gadis-gadis saja yang mencoba menangkap bunga yang kulemparkan. Para pemuda juga. Lebih lucu lagi, anak anak kecil juga turut serta. Mereka juga memaksaku berdansa dengan Martin. Aku paling tidak suka berdansa, meski pernah mempelajarinya. Martin tidak tahu soal ini. Aku pernah belajar menari ketika masih kecil. Terpaksa saja. Tapi berdansa dengan Martin dalam pesta pernikahanku tentu saja lain. Aku mencoba mengingat kembali gerakanku, menyesuaikan dengan langkah Martin, tentu saja.
Semua tamu dan keluarga telah pamitan pulang. Kecuali orangtua Martin dan anak-anak serta Mbak Pipin. Orangtuaku ingin menginap di Bandung saja. Keluargaku lainnya mau jalan-jalan menikmati malam Minggu di Bandung jadi tak mau menginap di Lembang. Aku dan Martin rencananya menginap di villa, pagi baru kembali ke Bandung.
”Mami, ayo, kita pulang!” ajak Papi. Mami segera menyuruh Mbak Pipin memasukkan pakaian anak-anak ke mobil. Memanggil Cyril dan Inge yang sedang menonton televisi. Kulihat keduanya entah masih ingin menonton TV, tidak beranjak sama sekali. Mami mengulang kembali ajakan untuk pulang.
”Nggak mau! Nginap di sini aja!” Akhirnya kudengar suara anak-anak kompak menjawab ajakan nenek mereka. Mereka terus dibujuk oleh Papi dan Mami. Martin juga. Aku kasihan pada anak-anak. Mungkin masih kangen dengan ayah mereka. Martin kan jarang bersama mereka. Apalagi melihat Inge yang mulai cemberut, malah akan menangis.
”Martin, sudahlah! Biarkan mereka bersama kita di sini” ujarku menengahi. Kulihat anak-anak gembira. ”Kan ada satu lagi kamar kosong!” lanjutku. Martin akhirnya mengizinkan keduanya tinggal bersama kami ditemani Mbak Pipin. Papi dan Mami pulang bersama supir keluarga, Mang Asep, ke Bandung.
Kuajak mereka ke kamar di sebelah kamar kami untuk berganti pakaian. Mereka terpaksa memakai baju semula ketika datang. Kuminta Mbak Pipin membantu Inge membuka pakaiannya. Aku dan Martin juga mau ganti pakaian. Aku baru saja mau menutup pintu kamar ketika melihat bayangan kepala Inge di balik pintu, Jepit rambutnya terlihat jelas! Dia sedang mengintip kami! Perlahan kubuka pintu, Inge kaget. Aku tertawa langsung menggodanya.
”Nah ketahuan ngintip ya!” Inge jadi malu. Martin mendekat.
”Inge mau apa sayang!” tanya Martin. Dia tidak menjawab pertanyaan Martin, malah Inge menarik tanganku.
”Tante Linda, bunga yang di rambut Tante itu, boleh Inge pegang tidak?” pinta Inge, kelihatan sekali takut kalau kutolak. Hey, jadi anak ini ngintip tadi hanya ingin tahu hiasan rambutku? Mungkin baginya, hiasan rambut itu sangat menarik.
Kuajak Inge masuk kamar. Aku duduk di depan meja rias, perlahan kubuka jepit rambutku. Inge berdiri di sampingku, memperhatikan, sangat serius.
”Ada-ada aja Inge ini, kok malah hiasan rambut yang diperhatikan!” kudengar Martin berkata sambil mendekati kami. Inge segera mendorong Papanya. Aku telah berhasil membuka hiasan rambutku, menyerahkannya pada Inge. Dia menerimanya, serius mengamati bunga-bunga kain sutera itu. Merabai dengan jemari kecilnya, hati-hati. Aku dan Martin berpandangan, kemudian tertawa kecil. Kami biarkan dia, mungkin sedang berimajinasi, soalnya tidak ada keluar ucapan apapun dari Inge!
Tapi kemudian kudengar suaranya. ”Bagus sekali ya Pa!” kata Inge. ”Papa, kalau Inge ulang tahun belikan yang seperti ini ya!” pintanya pada Martin sambil mengacungkan hiasan rambutku. Aku dan Martin tertawa mendengarnya. Jadi Inge benar-benar tertarik pada hiasan rambutku. Pantas, tadi, ketika aku duduk di kursi bersama tamu, Inge selalu berdiri disisiku, dekat kepalaku. Rupanya memandangi hiasan rambutku.
”Boleh, nanti Papa belikan, tapi sekarang Inge pergi tidur ya” kata Martin berjanji. Inge terlihat senang sekali. Menyerahkan kembali hiasan rambutku. Pamit padaku untuk tidur, kemudian kamar sebelah diantar Martin.
Setelah berganti pakaian, aku menengok mereka di kamar sebelah. Ketika masuk kamar, kulihat Cyril dan Inge sudah berbaring. Martin duduk menunggui mereka. Aku duduk di sebelah Martin, terpikir olehku, anak-anak ini, mungkin hanya sebulan sekali Martin bisa mengantar mereka pergi tidur. Biasanya, yang menemani, Opa atau Oma mungkin juga pembantu seperti Mbak Pipin itu. Ibu mereka tak berani datang lagi, kudengar.
Ya…mereka korban perceraian orang tua. Aku sungguh tak berani mengambil peran pengganti. Masalahku rumit. Jika terlibat dengan mereka lebih jauh, aku tak tahu apakah aku akan bertahan bersama Martin. Nanti membuat luka lebih banyak pada orang lain. Aku ingin Martin realistis, bahwa aku mungkin bukan pengganti ibu bagi anak-anaknya. Sekarang, aku hanya ingin berkawan saja dengan Inge dan Cyril. Segala usahaku mendekati mereka berdua agar aku tidak dibenci mereka. Tidak dianggap mengambil bahkan mencuri ayah mereka. Itu saja.
Aku tak ingin mengecewakan Inge, yang kelihatan mengagumiku. Tadi sore, ketika menuju ruang pesta, Inge begitu bangga berjalan di sisiku. Tadi pagi juga, memamerkan aku pada teman-teman sekolahnya. Memegangi tanganku saat berjalan ke gerbang sekolah. Mungkin, dia ingin seperti teman-temannya, diantar ibu mereka. Aku harus mempertimbangkan Rinto. Aku mengeluh dalam hati. Rinto, hari ini kali kedua aku memperkukuh pernikahanku dengan Martin. Melangkah lebih mendekat pada Martin, bahkan pada anak-anaknya. Rinto, aku harus bagaimana? Aku tahu, Rinto pasti kecewa jika tahu acaraku hari ini. Mungkin pesta tadi, dengan nuansa barat, sangat tepat dilaksanakan di Antwerpen sana, bersama Rinto! Kapankah? keluhku dalam hati. Tahun ini juga? Tahun depan? Entahlah! Tapi kalau aku nekat melakukannya, aku akan sendirian! Tak seorangpun keluargaku akan bersedia khadir. Alangkah sedihnya pernikahan seperti itu. Setelah itupun aku tak akan bisa kembali pada keluargaku.
Aku masih sibuk dengan pikiranku ketika Martin tiba-tiba mematikan lampu kamar, menggandengku meninggalkan kamar anak-anak. Menyuruh Mbak Pipin yang sedang duduk menonton televisi menemani mereka tidur. Martin mengajakku ke kamar tidur. Memelukku dalam udara malam kota Lembang yang dingin. Setelah acara kedua, pesta pernikahan kami. Pelukan Martin membuatku kembali pada kenyataan hidupku. Menghapus tiba-tiba wajah Rinto. Menyadarkan aku pada kenyataan bahwa aku milik Martin! Saat ini, tentu saja!




4. JEPIT RAMBUT INGE


Senin ini, aku seharian sibuk di kantor. Rapat dengan bagian pemasaran yang rutin dilakukan hingga istirahat menjelang waktu makan siang. Kemudian rapat jam satu siang dengan stafku sendiri, bagian promosi. Beberapa kali diselingi menerima telpon dari relasi dan dari bagian produksi. Menurut bagian produksi, ada kemungkinan terjadi terjadi keterlambatan terbit. Ini bikin direktur marah. Tapi juga bikin rencana promosiku harus di susun ulang. Moga-moga tidak terjadi! Aku berharap sekali. Kami janji akan rapat lagi sore ini juga untuk memastikan, jadi tertunda atau tidak produksi kali ini. Itu artinya aku akan pulang malam!
Fadly, manager produksi mendatangiku. Dia bilang, dia akan keluar kantor sebentar untuk memeriksa apakah percetakan benar-benar tidak sanggup menepati jadwal cetak buku kami. Dia minta informasiku, seberapa parah yang dialami bagian promosi bila produksi tertunda. Terutama apakah peluncuran produk bisa digeser hingga sebulan. Aku katakan, iklan cetak mungkin dapat dengan mudah ditunda atau ganti hari exposenya. Tapi, jika berkaitan dengan programku, acara khusus promosi, menyewa gedung misalnya sangat sulit. Ada sanksi uang tidak kembali bila membatalkan. Memindahkan ke hari yang lain juga sulit, karena ada calon penyewa lain yang sudah booked . Apalagi pembicara pada event itu, seorang pakar yang sangat sibuk, sudah dihubungi jauh-jauh hari dan bersedia. Memintanya jadwal baru pasti sulit sekali. Pokoknya akan banyak negosiasi lagi.
Martin sempat menelponku siang, pada jam istirahat. Menurut Martin, dia akan pulang sekitar jam sepuluh. Selain rapat di kantor , dia akan menemani tamu kantornya makan malam. Dia minta aku untuk makan malam duluan. Tak usah menunggunya. Kukatakan padanya, aku juga akan lembur, masih berada di kantor hingga malam. Martin berjanji akan menghubungiku nanti malam. Ya... hari ini, kami mulai dengan kesibukan yang padat. Khas kegiatan perusahaan swasta di kota Jakarta.
Sebenarnya hari ini aku agak capek, karena baru tadi pagi tiba dari Bandung. Sejak Jum’at malam kami berada di Bandung. Minggu malam baru kembali ke Jakarta. Keluarga Martin mengadakan pesta syukuran pernikahanku dan Martin serta berkenalan dengan keluarga Martin di Bandung. Pesta kecil di kota Lembang, kota yang sejuk.
Aku masih berbicara dengan Bu Tuti, Marketing Manager gedung tempat kami akan melaksanakan promosi ketika pintu ruang kerjaku dibuka. Pak Deddy , direktur kami masuk. Aku menganggukkan kepala, memintanya menunggu sebentar. Aku sedang meminta jadwal kosong pada Bu Tuti, jika kemungkinan kami menunda acara promosi kami. Di ujung telpon kudengar suara bu Tuti ”Bu Linda, sampai saat ini, hanya ada waktu kosong di hari Senin, pagi sampai jam tiga sore.” Aku mengucapkan terimakasih padanya dan berjanji akan menghubunginya lagi. Kudekati Pak Deddy yang telah duduk di sofa depan meja kerjaku.
”Bu Linda, rapat jam empat tunda saja. Bikin jam tujuh malam saja” katanya langsung bicara. ”Saya mau keluar dulu, cari kemungkinan pindah percetakan saja! Payah sekali percetakan yang sekarang!” lanjutnya.
”Ya Pak!” jawabku, mengira ngira lanjutan perintah bos ku itu.
” Bu Linda, tolong Anda koordinir persiapan rapat, Mbak Annie sekretarisku tak bisa lembur, anaknya sakit” perintahnya. Juga kasih tahu departemen lain!”
Nah ini dia! Aku selalu dapat tugas tambahan darinya, bila Mbak Annie tidak hadir, atau bila dia sendiri berhalangan. Dia tahu aku mampu, dan staf ku selalu siap lembur. Khas staf promosi, siap kerja dengan waktu yang panjang!
” You nanti tolong ambil sama Mbak Annie ya, ada oleh-oleh dari isteri saya” ucap Pak Deddy sebelum meninggalkan ruang kerjaku.
”Wah, terima kasih banyak Pak!” kataku padanya. Memang beliau baru pulang dari Eropah, liburan dengan keluarganya. Aku melanjutkan kerjaku hingga jam lima. Kuminta Dariati dan Yati stafku untuk istirahat dulu. Nanti, jam setengah tujuh semua persiapan rapat sudah harus selesai. Dariati dan Yati kemudian meninggalkan ruangan.
Jam sembilan lebih baru rapat usai. Keputusannya, tetap pakai jasa percetakan lama. Hanya saja produksi bertahap, tidak bisa sekaligus. Itu janji dari pihak percetakan, takut juga mereka akan kehilangan order dari kami! Yang paling senang tentu kami, departemen pemasaran. Marketing Manager, Pak Irman sampai janji akan mentraktir kami di sebuah restoran Jepang, bila produksi tepat waktu. Bos kami sendiri, Pak Deddy terlihat gembira. Tak ada sisa kemarahannya yang tadi pagi membuat kami semua menunduk lesu di ruang rapat.
Aku kembali ke ruang kerjaku, bersiap untuk pulang. Capek juga dan rasanya ingin cepat-cepat mandi. Juga kangen rumah... ya sejak Jum’at lalu kutinggalkan. Teringat pot anggrekku, sudah tak disiram berhari-hari, mungkin sudah layu!
”Dariati, Yati, ikut sama-sama pulang nggak? Saya mau diantar Pak Jaja” ajakku pada stafku. Biasanya , kalau lembur aku selalu mengantar mereka dulu ke rumah masing-masing. Karena itu Pak Jaja, supir kantor selalu kuminta menunggu kami lembur. Malas menyetir sendiri. Selain sudah capek juga aku tidak suka menyetir mobil malam hari.
Aku tiba di rumah hampir jam setengah sebelas malam. Martin sudah berada di rumah. Menyambutku dengan wajah yang juga terlihat capek. Aku tak sempat membongkar koper dan barang bawaan kami sewaktu pergi ke Bandung. Mandi air hangat dan ingin tidur saja. Tak minat lagi membaca, sebagaimana kebiasaanku kalau hendak tidur. Capek sekali hari ini. Martin juga langsung berbaring di sampingku. Memberi ciuman selamat malam, kami langsung tertidur.
Ritme kerja ku dan Martin hampir sama. Sibuk urusan kantor dan hampir setiap hari pulang diatas jam sepuluh malam. Bergegas sarapan pagi hari, berangkat ke kantor dengan mobil masing-masing. Kemudian berkomunikasi lewat telepon empat-lima menit saat istirahat siang. Hanya untuk mengetahui keadaan masing-masing. Makan siang dan malam di kantor atau bersama relasi kami masing-masing. Meneruskan kerja dan akhirnya bertemu kembali malam hari. Sampai di rumah sudah capek sekali dan tertidur.
Setelah Jum’at sore ini baru aku menyadari sudah hampir seminggu kami tak pernah makan malam bersama. Itupun karena Martin mengingatkanku di telepon siang tadi. Dia bilang, akan pulang lebih awal, dan merencanakan makan malam bersamaku. Tentu saja dia mau tahu, apa aku akan lembur sore ini. Ah... Martin, dia begitu baik, tidak pernah mengeluh aku tak memperhatikannya. Kukatakan aku akan coba sampai di rumah sekitar jam tujuh.
Nyatanya aku baru sampai di rumah jam delapan! Martin sampai di rumah jam lima sore. Menungguku sambil menonton televisi dan baca majalah.
”Maaf ya, aku telat!” kataku begitu bertemu Martin yang membukakan pintu untukku.
”Tenang bos!” katanya. ”Aku selalu siap menunggu!” katanya lagi. Ya..untuk soal ini, aku tahu Martin tak akan pernah marah. Aku masuk ke ruang makan, berniat ambil minum dari kulkas. Martin mengikutiku dari belakang, sambil memberi tahu tadi ada telpon dari ibunya. Dia tak ada di kantor, jadi tak tahu ada apa. Aku menanggapi biasa saja.
”Mungkin Mami kangen kamu, pingin ngobrol aja!” kataku.
”Martin, aku mau mandi dulu ya, belum lapar sekali kan?” pintaku pada Martin yang menjawab dengan mengangguk.
”Dandan yang keren ya Lin, kita makan di Hilton” katanya. ”Sekalian bertemu dengan Mike Green, besok dia mau pulang” lanjutnya. Martin pernah bercerita, Mike Green adalah perwakilan kantor pusat untuk Asia. Beberapa hari ini dia berada di Indonesia. Martin beberapa hari ini sibuk mendampinginya meninjau beberapa proyek pembangunan gedung yang membutuhkan produk mereka. “Okay, tolong pilih bajuku dong! Aku mau make up dulu sedikit!” pintaku pada Martin. Aku dan Martin memang sering saling bantu kasih ide untuk busana kami, terutama jika berkaitan dengan acara yang agak formal. Martin juga suka melakukannya untukku. Bahkan untuk accessories, dia sering minta aku pakai yang dia pilih juga. Tentu saja dia akan menyesuaikan dengan penampilannya.
Martin sedang mengeluarkan mobil dari garasi sementara itu aku sedang mengunci pintu rumah ketika mendengar bunyi telpon di dalam rumah berdering. Kubuka kembali pintu rumah.
”Martin, tunggu sebentar aku angkat telpon dulu ya!” teriakku pada Martin. Martin hanya mengacungkan jempolnya, meneruskan mengeluarkan mobil ke jalan di depan rumah.
”Hallo, selamat malam!” jawabku. Kudengar suara Mami, mertuaku di ujung telpon sana.
”Linda, ini Mami” katanya.Mami sudah telpon beberapa hari ini ke kantor dan ke rumah, kalian sibuk sekali rupanya” katanya. Aku mengiyakan dan menceritakan cepat-cepat kesibukan kami seminggu ini.
”Mami, ada apa, kayanya penting. Saya panggilkan Martin ya?” usulku.
”Ya boleh, ada di rumah dia?” tanya Mami lagi. Martin sudah masuk kembali ke dalam rumah. Kuminta dia mendekat, kuserahkan gagang telpon.
”Dari Mami” kataku. Martin menerimanya kemudian aku duduk menunggu di samping Martin, karena kulihat Martin memberi isyarat agar aku tetap berada di dekatnya. Kudengar dialog Martin dan ibunya.
” Hilang dimana dan kapan?” tanya Martin, kulihat mukanya agak terkejut.
”Beli baru aja, pasti di Bandung ada kan” lanjut Martin. ”Okay, Mam nanti aku coba cari di Jakarta. Bilang Inge jangan nangis terus. Mana Inge? Oh, sudah masuk kamar” katanya. Kemudian setelah beberapa kalimat perpisahan Martin menutup telpon.
”Ada apa?” tanyaku, Martin menoleh, terlihat bimbang. Kemudian dia pelan bicara padaku.
“Inge” katanya. Mungkin aku terlalu cepat bereaksi.
”Apa Inge hilang?” tanyaku. Martin jadi tersenyum melihatku.
”Jepit rambut Inge yang hilang, dia nangis terus” kata Martin.
”Hilang satu. Itu yang kamu kasih dia. Makanya Mami telpon karena Inge minta dibelikan yang baru. Sudah usaha cari yang sama, di Bandung tidak ada!” Oh itu rupanya!
Martin menjelaskan padaku, Mami cerita, jepit itu selama tiga hari dipakai Inge terus ke sekolah atau bermain. Tapi hari Kamis kemarin jepit rambut itu hilang, mungkin di sekolah. Menurut Mami, Inge sangat suka dengan jepit rambut itu. Dia malah menceritakan itu adalah hadiah dariku, kepada guru dan teman-teman kecilnya di TK. Katanya, Inge juga cerita bahwa jepit rambut itu dipakainya pada pesta kami minggu lalu. Dasar anak-anak, dia juga cerita bahwa aku juga pakai jepit rambut dengan bunga yang sama seperti jepit rambutnya itu. Pokoknya Inge pamer, habis-habisan soal aku dan jepit rambut itu. Tapi, sejak jepit rambut itu hilang, Inge jadi sedih. Terpaksa Mami telpon Martin.
”Gampang, kita beli aja lagi!” kataku sambil tersenyum . ”Tau aja dia barang bagus!” lanjutku sambil tertawa.
”Dimana?” tanya Martin.
”Martin, sampai kapanpun jepit rambut seperti itu tidak akan ada yang jual” kataku. ”Karena aku pesan khusus, bareng sama bajunya!” kataku menjelaskan. Martin melongo memandangku.
”Okay, besok pulang kantor aku bereskan!” kataku. ”Ayo kita berangkat!” ajakku pada Martin.
”Oh Linda, terima kasih. My angel!” katanya. ”Inge merepotkanmu ya!”
Sepanjang perjalanan menuju hotel Hilton, kuamati Martin. Wajahnya terlihat serius, berpikir. Mungkin sedang memikirkan Inge atau Cyril. Aku tak mau mengganggunya dengan mengajaknya bicara. Kemudian kudengar suaranya. ”Linda, ini pertama kali Inge rewel. Sebenarnya dia paling sering kehilangan jepit rambut. Atau mainan, juga gelangnya” Martin meneruskan ”Hanya kali ini dia minta diganti dengan yang sama!” lanjutnya.
”Martin, sudahlah” ujarku. ”Kenapa mesti dipikirkan sih!” lanjutku. ”Aku pasti bisa kok mencarinya lagi. Besok pagi aku telpon Zus Lince, aku rasa sore sudah bisa diambil. Aku juga tidak merasa keberatan atau repot!” jelasku menenangkan Martin.
”Apa bisa begitu cepat Lin?” ucap Martin ragu.
”Iya, dia bikin sendiri. Sebenarnya harganya juga tak terlalu mahal” kataku lagi buka rahasia. Martin kulihat mendengarkanku, maka aku meneruskan. ”Martin begini ya, bagi anak sekecil Inge, sebuah barang mungkin sangat berharga dan dia sayangi sekali. Kita orang dewasa sering menganggap milik mereka sepele. Kita melihat dari sudut pandang kita sih” kataku lagi. Kulihat Martin mengangguk.
”Kau tahu, adikku pernah simpan kelerengnya yang sudah pecah dalam laci lemari pakaiannya” kataku. ”Karena kelereng itu hadiah dari kawannya dan selalu bikin dia menang dalam permainan kelereng. Tetap disimpannya meski sudah tak dapat digunakan lagi. Seperti jimat saja, dielus elus” Lalu kulanjutkan, ”Seharusnyalah kita memahami. Bukan barang mahal yang harus kita berikan, tapi apa yang membuat mereka suka, bahagia menerimanya”
Martin memandangku kemudian sambil meneruskan menyetir, dia mengatakan ”Aku selama ini selalu menghadiahkan barang mahal dan terbaik untuk anakku. Ibu mereka juga kirim hadiah yang mahal mahal. Mereka tak pernah menangisi hadiah kami jika telah rusak atau hilang!” kata Martin.
”Lin, biarpun belum pernah punya anak, kamu rupanya lebih arif dari kami” katanya. ”Aku bersyukur kamu bukakan mataku!” Dia meneruskan ”Dua hadiahmu buat anak-anakku, membuat dunia mereka cerah, terima kasih ya!” Martin menggenggam tanganku. Kudengar suaranya berharap. ”Semoga kita selalu bersama”
Mendengar harapan Martin, kini aku malah yang ganti melamun. Aduh Martin kataku dalam hati, jangan terlalu berharap. Aku memang menyukai Cyril dan Inge, tapi keadaan memporak porandakan hatiku. Terutama pernikahan kita yang terasa begitu mendadak. Tak memberiku kesempatan untuk berpikir. Cintakah aku padamu? Masihkah aku mencintai Rinto? Yang terpenting adalah, ketika kau menikahiku, terpaksakah atau karena kau mencintaiku? Bukankah dulu kita hanya bersahabat? Mungkin juga lebih, berpacaran juga? Aku takut tak selamanya bisa bersamamu. Mungkin saja cuma mampu memberi Inge satu jepit rambut lagi. Yang terakhirkah? Kulihat jalanan lurus, penuh lampu di sisi kiri kanan jalan. Mobil yang berpapasan dengan mobil kami menyorotkan lampunya, sangat menyilaukanku. Aku menutup mataku, seandainya aku yang menyetir mobil malam ini, pasti mobilku oleng. Kulihat Martin tenang saja, terus menyetir dengan mantap. Dapatkah aku semantap dia dalam menjalani pernikahanku. Aku ragu. Benar-benar ragu. Aku bagai kapal yang oleng dalam badai laut menggelora. Aku bagai ranting kering, siap jatuh jika angin berhembus. Aku bagai daun yang sudah menguning, segera berguguran asal ada sedikit tiupan angin. Tak perlu ada badai. Begitu rapuh.


5. Surat

Setahun lebih setelah aku menikah, Rinto masih mengirimiku surat, kado ulang tahun serta postcard tempat-tempat indah yang di kunjunginya di kota-kota besar di Eropa. Istana Versailles dan menara Eiffel, pantai dan perkebunan anggur di Perancis. Menara miring di Pisa, Venice dengan perahu gondolanya di Italia. Foto-foto kebun bunga-bunga tulip yang sedang mekar di Belanda. Tentu saja tempat–tempat menarik di Belgia, kampusnya, kafe tempat dia mampir bersama teman-temannya sepulang kuliah. Swiss di musim salju. Juga foto gedung apartemennya. Foto ruang tidurnya, dapur kecilnya serta ruang duduknya. Dia juga mengirimkan foto apartemen sebelahnya yang telah disewanya, untukku. Buku-buku manajemen dan bisnis. Di setiap suratnya, selalu ditulisnya, aku tetap mencintaimu, masih menunggumu! Aku akan membawamu ke tempat-tempat yang ada di gambar itu.
Ya... bagi Rinto, aku bukan isteri Martin. Aku tunangannya. Karena itu Rinto tetap menulis surat dan mengirimkan ke rumahku. Rinto menyatakan, Martin telah memanfaatkanku, merebutku darinya. Memanipulasi aku dengan alasan aturan pemerintah yang tak memungkinkanku menikah dengannya. Tentu saja Martin ingin mendapatkanmu, Linda! tulisnya. Dia kan ingin mendapat isteri yang cantik dan pintar sepertimu! Aku salah saat itu tidak memaksamu pergi denganku! tulisnya lagi. Harusnya kau kubius, kubawa pergi saja! Surat-surat Rinto panjang dan selalu menyesali. Terasa Rinto sangat putus asa dan marah.
Sebenarnya melalui surat, aku telah menceritakan ihwal pernikahanku dengan Martin. Aku meminta maaf tidak bisa menyusulnya ke Belgia, malah menikah. Aku tidak mengirimkan foto pernikahanku, takut semakin menyakiti hati Rinto. Benar-benar merasa bersalah padanya.

Masih kuingat, dering telpon malam Sabtu beberapa bulan setelah pernikahannku, diterima oleh Martin. Rinto menelponku! Martin menyerahkan gagang telepon dan membiarkanku bebas berbicara dengan Rinto. Dengan sudut mataku, kulihat Martin masuk ke kamar tidur. Di telpon kudengar suara Rinto parau menahan tangis. Dia telah menerima suratku. Dia bilang, baru saja membaca suratku. Dia baru pulang dari perpustakaan setelah kuliah. Mungkin surat telah datang siang tadi, katanya menjelaskan. Memang aku baru tiga hari yang lalu menyuratinya. Aku tak berani menelponnya. Membuat surat itupun perlu keberanian luar biasa.
”Itu tadi yang menjawab telponku suamimu ya?” tanya Rinto. ”Kedengarannya keren!” katanya sinis sekali. Aku tak bisa menjawab. Aku tahu, Rinto benar-benar kecewa. Biasanya, kalau berbicara via telpon dengan Rinto aku paling cerewet. Tanya macam-macam tentang keadaannya. Kali ini, aku kehilangan kata-kata.
Rinto, meski kata-katanya tidak kasar, tapi aku sedih mendengarnya. Dia bilang, apartemen yang akan kutinggali akan diapakan? Dia juga bilang, setiap minggu dia membersihkan kamar itu dan selalu berharap aku segera datang. Kalau pagi hari, dari apartemen itu bisa memandang taman, banyak orang berolah raga. Rinto juga bilang, fotoku bersamanya sewaktu kami di Bandung, dia pasang di kamar itu. Aduh Rinto, bagaimana aku mengobati lukamu? Rinto, maafkan aku!
Aku hanya menangis mendengarkan suara Rinto berbicara. Hingga akhirnya setelah hampir setengah jam berbicara Rinto memutuskan sambungan telepon kami. Hanya kalimat terakhir yang kuingat dari Rinto.
”Lin, tinggalkan Martin, segera berangkat. Aku tunggu! Ticket segera diatur Ronald!”katanya. ”Kalau sebulan tidak datang juga, kau kujemput!” kata Rinto mengakhiri ucapannnya. Klik.... telpon terputus.
”Rinto.... jangan begitu!” pintaku, tapi sambungan telepon telah terputus. Pasti suaraku sudah tak didengarnya lagi. Dia memang tak ingin mendengarkan keberatanku.
Aku terduduk menangis di dekat telpon setelah itu. Tak adakah keluargaku yang dapat membantuku?. Mereka kan yang memaksaku menikah dengan Martin? Mengapa mereka tak pernah memikirkan hasil perbuatan mereka! Urusanku dengan Rinto mereka tak pernah tanya. Kakak ibuku yang gagah perkasa itu ada dimana ya? Kenapa aku tak bisa memintanya menyelesaikan ini? Mereka mengira aku sangat bahagia bersama Martin dan sudah melupakan Rinto!
Rasanya aku harus menyelesaikan masalahku sendirian. Sendirian menghadapi kemarahan dan tuntutan Rinto. Sendirian pula menghadapi Martin yang tetap tak ingin berpisah dariku. Aku pernah membicarakan hal ini dengan Martin. Jawaban Martin sangat singkat.
”Linda, kita tidak akan bercerai, aku tidak bisa melakukannya untuk kedua kali” kata Martin. Jadi bagaimana aku bisa datang kepada Rinto selama statusku masih isteri Martin? Lalu bagaimana kalau sebulan lagi aku tetap tak bisa pergi? Lalu Rinto menjemputku seperti ancamannya di telpon tadi. Apa yang akan dilakukan Martin kalau Rinto muncul dihadapannya dan mengajakku pergi? Apakah Martin akan bertahan? Marah? Atau menyerah? Lalu kalau Martin menolak, bagaimana reaksi Rinto? Secara hukum memang Rinto tak bisa melakukan hal seburuk itu. Tapi Martin tahu posisiku, perasaanku. Apa dia akan mengabaikannya? Apakah dia mampu bertahan dengan sikapku yang tak peduli pada perasaanya. Tuhanku, tolonglah aku! Tahukah keluargaku apa yang kini sedang kuhadapi?
Rumah kami sepi, televisi di kamar tidur sudah tak terdengar suaranya. Mungkin sudah jam sebelas malam. Kukira Martin sudah tidur di kamar. Aku menangis, mataku kabur oleh air mata. Sembab. Aku seperti orang linglung, tak sadar. Aku tak dapat berpikir apa-apa.Tak ada jalan keluar apapun. Aku kemudian mencoba bangkit dari tempatku duduk. Aku ingin mencuci mukaku yang basah oleh air mata. Juga ingin minum, kering rasa kerongkonganku. Entah apa yang terjadi setelah itu, aku tak ingat lagi.
Aku terbaring di tempat tidur. Ketika membuka mataku, kulihat Martin duduk di samping tempat tidur. Memegangi tanganku, mengusap-usap kepalaku, wajahnya mengkhawatirkanku.
”Linda, tadi kau jatuh pingsan, lama sekali baru sadar” kata Martin. Oh...aku mencoba bangkit berdiri, Martin membantuku. Kepalaku pusing, jadi akhirnya aku bersandar di tubuhnya. Martin memelukku, mengusap usap kepalaku lagi. Kemudian membimbingku duduk ke kursi meja rias. Membuatkanku teh hangat manis. Tidak bertanya apapun tentang Rinto. Aku merasa seperti adik kecilnya. Martin selalu memanjakanku. Mengapa dia seperti itu? Aku tak tahu!

Hari Sabtu pagi itu aku bangun dan merasa murung. Malas sekali bangkit dari tempat tidur. Jadi aku bergolek saja di tempat tidur. Mataku masih terasa bengkak bekas menangis tadi malam. Aku melihat jam di meja samping sudah menunjukkan jam delapan. Martin sudah bangun, rupanya dia membiarkanku terus tidur. Biasanya, di pagi hari Sabtu kami jogging ke hutan kecil di sebuah kampus tak begitu jauh dari rumah kami. Kulihat di bawah jam meja terselip surat untukku dari Martin. Sambil tetap berbaring, aku membuka amplop surat itu. Membacanya dengan mataku yang masih sembab.
”Linda, aku tulis surat ini malam ini, setelah kau tenang dan tertidur. Aku tak bisa menunggu kapan waktu yang tepat mengungkapkan ini. Aku tahu Rinto sangat mencintaimu. Aku bersalah terhadapnya. Aku juga bersalah terhadapmu, memaksamu tetap berada di sisiku. Malam ini aku melihatmu begitu sedih. Aku rasa Rinto memintamu untuk segera meninggalkanku kan? Saat melihatmu terjatuh dan pingsan tadi, aku merasa aku harus melindungimu. Aku ingin menjagamu, menyayangimu! Apakah jika kau mengetahui bahwa aku punya rasa sayang yang sama besar dengan Rinto kau akan tetap bersamaku?
Mataku mulai basah oleh airmata. Aku meneruskan membaca surat Martin. ”Linda, jangan hancurkan pernikahan kita. Aku harap kau mempercayaiku. Aku sungguh sungguh menyayangimu! Saat menikahimu aku sama sekali tidak terpaksa! Linda, aku tahu Rinto tak akan menyerah. Rinto tentu akan merebut kembali miliknya. Saat itu, hanya kau yang dapat menentukan pilihanmu. Pergi bersamanya atau tetap bersamaku.Tapi dari sekarang, selamanya, bahkan jika kau tetap memutuskan pergi meninggalkanku, aku tetap memohon padamu. Linda, jangan pergi! Apa yang dapat kulakukan tanpamu?” Tulisannya rapi. Di sudut kiri bawah ditulisnya namanya, love and kisses for my dearest wife.
Aku membaca surat Martin pagi itu, dengan mata basah oleh airmata. Martin begitu perasa, sudah mengira aku akan meninggalkannya.Padahal aku belum memutuskan apapun. Ku-ulangi sekali lagi membaca surat itu. Apa yang dapat kulakukan? Martin tak ingin berpisah, Rinto mendesak ingin bersamaku. Aku tak dapat benar-benar memilih salah satu diantara mereka. Tidak juga dapat memiliki keduanya! Aku seperti orang bodoh, menerima Martin tanpa benar-benar mencintainya. Tak bisa pergi mendatangi Rinto, karena tak ada yang bisa kulakukan dengannya, aku begitu takut kehilangan keluargaku. Bersama Martin, hanya aku yang kehilangan Rinto!
Aku mencoba bangkit dari tempat tidur. Berjalan ke meja riasku, menyisiri dan menjepit rambutku. Di depan cermin retak hadiah adikku. Ya...aku seperti rambutku, terjepit! Tak seorangpun menyangka hidupku begitu menyedihkan. Mereka melihat aku sedang menikmati indahnya pernikahanku. Mereka tahu kami selalu rukun, pasangan yang sangat serasi. Memang tak pernah ada pertengkaran antara aku dan Martin. Tapi aku selalu merasakan pernikahan kami terlalu cepat. Aku belum siap menerima Martin. Aku sayang padanya, tapi hatiku belum sepenuhnya dapat menghapus jejak Rinto. Itu yang membuatku merasa pernikahanku terasa hampa. Aku yang merasakannya, bukan Martin.
Aku merasa lirik lagu Randy Crawford, One Day I’ll Fly Away mengggambarkan sebagian perasanku. Kuingat lirik lagu itu, malah aku punya kasetnya, hadiah dari Pris, sahabatku. Lagu itu seperti menggema dalam benakku. Suara melankolis Randy Crawford dan suara musiknya bagai sedang mendengarkannya dari kaset.
I make it alone / When love is gone / Still you made your mark / Here in my heart
One day I’ll fly away / Leave your love to yesterday / What more can your love do for me
When will love be through with me
I follow the night / Cann’t stand the light / When will I begin / My life again.

Aku keluar kamar, ke ruang tamu menarik tirai dan membukai jendela. Di teras kulihat koran sudah datang, tergeletak di lantai. Nanti saja diambil, setelah mandi, pikirku. Sinar matahari pagi segera masuk ke rumahku, hangat. Aku kembali ke kamar tidur, bersiap untuk mandi. Selagi mandi kudengar suara pintu depan dibuka. Martin sudah pulang. Kudengar dia masuk ke kamar tidur, sambil memanggilku.
Aku keluar kamar mandi dengan kimono handuk dan rambut basah. Kulihat Martin memakai kaos olah raga dan celana pendek putih. Sepatu olahraga sudah diganti dengan selop rumah.
”Tadi aku tidak jogging, jalan pelan-pelan saja dan duduk di bangku taman” katanya begitu melihatku keluar dari kamar mandi.
”Pantes, kau tidak kelihatan capek” jawabku sambil duduk di depan meja rias hendak menyisiri rambutku yang basah.
”Kenapa, nggak enak badan?” tanyaku. Dia tidak menjawab.
Martin memandangiku, kemudian mendekatiku. Dengan menundukkan tubuhnya, Martin memelukku dari belakang. Aku berhenti menyisiri rambutku. Memandanginya di cermin. Wajah kami ada di cermin itu, pipi kami saling menempel. Kudengar suara Martin lembut di telingaku.
”Lin, sudah baca suratku kan?” Aku mengangguk.
Aku melihat dari cermin, mata Martin basah oleh air mata. Aku kaget, tak pernah terpikirkan dia dapat begitu emosional. Selama ini Martin selalu kuat. Dia orang tak gampang panik, sangat rasional jika menghadapi suatu masalah. Martin kemudian berdiri.
”Lin, beri aku kesempatan!” kata Martin, sambil menarikku berdiri. Memelukku erat-erat. Memegangi pipiku, menatap mataku, berharap aku segera menjawabnya.
Martin hanya mendapati airmata yang mulai mengalir dari mataku. Aku tak punya jawaban untuknya! Tubuhku berguncang saat menangis. Martin mengelus-elus punggungku tanpa kata-kata. Aku juga tak mampu mengucapkan kata-kata. Dadaku sesak, pikiranku kalut. Aku belum mampu memilih, tetap bersama Martin atau pergi ke Rinto. Dua-duanya sangat berat untuk diputuskan saat ini.
Dalam hati aku mengucapkan ”Aduh Martin... maafkan aku!” Nanti mungkin aku juga harus tulis surat sebagai jawaban untuk Martin, seperti yang kubuat untuk Rinto. Aku merasa lemas, akhirnya Martin mengangkatku ke tempat tidur. Membaringkan dan memelukku, masih tanpa bicara.

Rumah kami tenang sekali pagi itu. Tidak ada suara televisi, radio atau desis kipas angin. Perutku lapar, tapi aku tak ingin makan. Aku hanya ingin berada dalam pelukan Martin seperti saat ini. Sambil berpikir, mungkin aku tak akan pernah merasakannya lagi. Juga sambil memikirkan isi suratku untuk Martin. Pasti aku harus mengucapkan terimakasih atas kasih sayangnya. Harus meminta pengertiannya atas segala keputusanku. Memintanya agar tidak mencariku lagi.
Aku juga, akan menulis sebuah surat untuk Rinto agar dia tidak usah menungguku. Sudah memutuskan tidak akan datang ke Antwerpen dan menjadi pengantinnya. Aku minta pada Rinto agar semua kenangan tentang aku dia hapus saja. Sebuah surat lagi harus kutulis untuk orang tuaku dan adik-adikku, meminta maaf dan berharap mereka tidak kecewa pada keputusanku untuk meninggalkan mereka. Aku juga memberitahu mereka, saat ini aku saat bingung, jadi ingin menenangkan diri. Tapi kemana dan dimana tempat yang tenang itu? Aku tetap berharap suatu saat dapat kembali.
Semua surat pasti kutanda-tangani. Semua surat harus kuakhiri dengan kata aku cinta dan sampai jumpa! Sebuah surat lagi, tentu dengan materai cukup untuk Kantor Urusan Agama, instansi tempat pernikahanku dan Martin dicatat, tapi hanya akan kuakhiri dengan ucapan terima kasih saja. Ternyata, aku harus banyak menulis surat! Entah kapan aku mampu menulis semua surat-surat itu dan menyerahkannya pada mereka. Suatu saat pasti akan kulakukan bila keadaan sudah tak tertanggungkan lagi.



5. TICKET


Sudah jam dua belas lebih ketika klien kantorku, Pak Bernard baru saja beranjak pergi meninggalkan ruangan kerjaku ketika telpon di mejaku berdering. Suara operator terdengar, Ronald ingin bicara padaku. Aku minta pada Evi, operator telpon untuk menyampaikan pada Ronald, aku masih rapat dan tak bisa diganggu. Aku berusaha untuk menghindar berkomunikasi dengan Ronald, karib Rinto.
Aku masih belum siap untuk berbicara dengan Ronald, mendengarkan segala hal yang berkaitan dengan Rinto yang kini sedang menungguku di Antwerpen, Belgia. Sudah dua minggu ini Ronald mencoba menghubungiku. Mungkin atas permintaan Rinto, sahabatnya sejak masa kuliah di Bandung. Dulu, semasa aku dan Rinto masih bersama, aku sering bertemu Ronald. Kami beberapa kali pergi bersama-sama, aku dan Rinto, Ronald dan pacarnya Susy, seorang mahasiswi fakultas ekonomi yang kini sudah jadi isterinya. Kami menjadi sangat akrab.
Tentu Ronald faham bahwa aku, sebagai seorang eksekutif sebuah penerbitan memang sibuk. Tapi aku juga tahu, Ronald pasti tahu aku cuma berusaha menghindarinya. Aku pasti akan menghubungi Ronald, suatu saat. Untuk menjelaskan semuanya, mengapa aku akhirnya menikah dengan Martin, sekitar dua bulan yang lalu.
Hari Jum’at siang ini, dua minggu setelah telpon Ronald, aku menghubunginya di kantornya. Aku ingin bertemu dengannya dan Susy. Dia menawarkan sebuah restoran yang nyaman di selatan kota. Kami berjanji bertemu disana seusai bekerja sore ini.

Ya .. sore ini, semua akan kuceritakan pada Ronald. Bahwa selama ini aku telah berbulan bulan menyimpan problem pernikahanku dengan Martin untukku sendiri. Aku juga ingin minta maaf pada mereka berdua, tidak mengundang pada resepsi pernikahanku itu. Agar dia mengerti mengapa aku menghindari telpon Rinto. Alasan aku tak membalas surat-surat Rinto.
Setiba di restoran, kulihat Ronald dan Susy telah duduk di sebuah sudut. Aku melambaikan tangan, mendekati mereka kemudian bersalaman. Ronald dan Susy mengawasiku dengan teliti.
”Linda, jadi pengantin baru kok kurus sih!” kata Susy sambil memelukku. Aku hanya bisa tersenyum kecut dengan sindirannya. Ya.. untuk tubuhku yang 167 cm, beratku saat ini memang kurang. Beratku telah turun sekitar 5 kilogram dalam waktu satu bulan saja. Ronald mempersilahkanku duduk di kursi kosong yang mengelilingi meja bundar bertaplak kain warna peach. Aku segera duduk. Di sampingku, sebuah kursi masih kosong. Aku mengenang, sedih, Rinto pernah duduk di situ. Aku sangat rindu pada Rinto.Terasa sudah begitu lama.
Restoran ini telah kami datangi beberapa kali bersama Rinto, tentu saja. Makanannya enak, tempatnya nyaman untuk berlama-lama ngobrol. Biasanya , sore seperti ini, diperdengarkan musik yang tenang, instrumental. Kalau bersantap malam sering ada pertunjukkan musik jazz. Ronald memesan spagheti, Susy ingin nasi goreng sosis. Keduanya sama-sama pesan ice lemon tea. Pasangan ini selalu serasi. Aku dan Rinto turut hadir saat resepsi pernikahan mereka, di Manado, setelah mereka berdua lulus kuliah. Tentu saja, Ronald dan Susy berjanji akan menghadiri pernikahan kami sebagai balasan. Hatiku benar-benar perih mengenang hal ini.
Sore itu aku tak ingin makan banyak. Jadi hanya pesan secangkir kopi cream dan sepotong strawberry pie. Tak merasa begitu lapar. Sebenarnya aku resah. Setelah mencicipi makanan kami, aku mulai menceritakan tentang pernikahanku yang sangat mendadak dengan Martin.
Ronald dan Susy, mendengarkanku tanpa menginterupsi sama sekali. Mereka memandangiku, terpana, seakan yang kukisahkan adalah dongeng Siti Nurbaya. Baru setengah yang dapat kuceritakan, airmata sudah tak bisa kutahan lagi. Susy segera merapatkan kursinya ke dekatku. Menepuk-nepuk bahuku. Ronald kulihat hanya termenung, sambil tangannya mempermainkan garpu di piring.
Kuminta mereka menceritakan semuanya pada Rinto, karena saat ini aku belum dapat melakukannya sendiri. Kuingin Rinto tahu, aku terpaksa menikah dengan Martin atas desakan keluargaku. Bahwa ada kesalahan fahaman pada keluarga besarku, tentang hubunganku dengan Martin. Bahwa mereka mengira aku akan tercemar jika dibiarkan berlama-lama hanya berkawan dekat dengan Martin.
Aku juga minta Ronald menyampaikan pada Rinto bahwa keluarga besarku melihat hubunganku dengan Martin adalah saling mencintai. Bahwa sebenarnya aku menganggap Martin hanya sahabat, menghiburku saat ditinggalkan Rinto pergi ke Belgia. Meskipun aku juga tahu bahwa Martin menyukaiku.
Kukatakan pada mereka Martin baik padaku, aku memang berhutang budi pada Martin. Dia pernah bolak-balik mengantarku ke dokter Candra, ahli kanker saat ditemukan benjolan di payudaraku. Martin lah yang merawatku saat aku menjalani pengobatan dengan obat telan yang menyiksaku. Menungguiku di tempat kost, saat aku sakit, demam tinggi dan muntah semalaman akibat obat yang diberikan dokter Chandra. Martin pula yang kuminta merahasiakan penyakitku dari keluargaku. Kukatakan, soal penyakit ini, Rinto juga tidak tahu. Sebenarnya aku ingin mengatasinya sendiri, tapi tanpa sengaja melibatkan Martin.
Kukisahkan pada mereka tentang pernikahan yang mendadak itu, Martin pun tak dapat menolak desakan keluargaku. Dia juga tak ingin aku terluka, karena jika dia menolak menikah denganku, keluargaku menganggap aku tak pantas lagi dibanggakan sebagai anggota keluarga. Sebagai pria, dia juga tentu ingin tetap berharga dihadapan keluargaku.
Mereka, keluarga besarku mengira aku telah melupakan keinginanku menikah dengan Rinto. Bagi keluargaku Rinto toh telah meninggalkanku pergi keluar negeri, tanpa ada pembicaraan apapun pada keluargaku. Keluargaku tak menyadari, Rinto pergi untuk menungguku datang. Bahkan tanpa memberikan tanda akan melanjutkan hubungan atau tidak denganku. Kukatakan aku tak mampu menolak desakan keluarga besarku, karena tak ada yang dapat kukatakan tentang janji Rinto. Lagi pula sistim kekerabatan akhirnya berlaku, membuat keputusan ini bukan lagi milikku sendiri.
Aku juga jelaskan bahwa posisiku sebagai cucu perempuan pertama dalam keluargaku membuat aku punya beban yang berat. Jika aku memaksakan menyusul Rinto, aku akan putus hubungan dengan keluargaku. Aku di harapkan jadi contoh teladan bagi adikku Anggi, juga delapan sepupuku, perempuan semua.
Aku minta Ronald dan Susy menyampaikan pada Rinto bahwa aku tetap mencintainya. Kini sedang berusaha untuk mengakhiri pernikahanku dengan Martin. Akan berusaha menyusul ke Belgia seizin keluargaku, tentu saja jika Rinto masih mau menerimaku. Kini aku masih isteri Martin. Masih banyak lagi yang ingin kuceritakan, tapi lidahku kelu. Tenggorokanku terasa tersumbat. Airmata sudah tak terbendung.
Setelah semuanya kusampaikan pada mereka, kulihat Ronald menggeleng-gelengkan kepalanya. Susy menunduk, menyusut airmatanya dengan tissue. Aku juga menyeka air mataku. Kami berdiam diri hampir sepuluh menit.
Tentu, tak pernah terbayangkan oleh mereka, Ronald dan Susy, bagaimana di abad modern seperti sekarang ini, pernikahan paksa masih ada. Mereka juga tak menyangka bahwa korbannya bukan gadis desa, berpendidikan rendah dalam lingkungan yang masih kolot. Tapi terjadi padaku, seorang wanita lulusan perguruan tinggi ternama, eksekutif sebuah perusahaan besar dan hidup di kota metropolitan. Semasa mahasiswa malah jadi aktivis kampus. Tidak persis sama memang seperti Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih itu. Tapi tetap sama, dalam keterpaksaan. Tetap membuat luka yang membekas seumur hidup. Merasa tak setara lagi. Aku bagai orang yang cacat!
Saat berpamitan, Ronald menyalamiku dan menepuk-nepuk bahuku. Aku tahu dia akan memahamiku. Susy memelukku, memintaku bersabar dan mengharapkan aku tidak sungkan untuk menghubunginya bila ada kesulitan. Mereka juga memberitahuku telah punya ticket, akan berlibur ke Eropa selama dua minggu, sebagai honeymoon yang tertunda. Mereka akan menemui Rinto di Antwerpen. Kami berpisah.
Aku tiba di rumah sekitar jam delapan malam. Kuparkir mobilku di samping mobil Martin. Memasuki rumah lewat pintu samping menuju ruang makan. Martin menyambutku dengan senyum dan kecupan di dahiku.
”Linda, kenapa malam sekali baru pulang?” katanya. Kukatakan aku ada keperluan mendadak, tak sempat lagi memberitahukannya akan pulang malam. Aku menghindar tatapan langsung dengan Martin. Aku tak ingin dia melihat mataku yang sembab bekas menangis. Aku langsung masuk kamar tidur meletakkan tas dan ganti pakaian kerjaku dengan kimono, bersiap-siap mandi.
Martin menyusulku ke kamar. Menawarkan air hangat untuk mandi.
”Sudah malam, mandi air hangat saja supaya tidak sakit” katanya. Aku mengangguk setuju. Martin masuk ke kamar mandi yang berada menyatu dengan kamar tidur kami. Menyiapkan air hangat di bath tube untukku. Dia memang selalu berusaha untuk menyenangkanku.
”Linda, sudah makan malam?” tanya Martin ketika aku keluar dari kamar mandi. Dia duduk di tempat tidur bersandar bantal.
”Tadi aku minum kopi dan makan sepotong kue, masih terasa kenyang. Tapi kalau mau makan aku mau menemani” jawabku. Martin setuju, karena dia lapar.
Kami bersiap-siap pergi makan malam. Kukenakan gaun midi abu-abu tanpa lengan bermotif bunga kecil-kecil berwarna putih. Kupakai sepatu pantopelku yang berwarna putih serta tas santai juga warna putih. Martin tak berganti pakaian, karena dia sebenarnya sudah siap untuk pergi. Dengan jeans dan hem sport putih berkerah biru. Aku malas berbedak, jadi hanya mengulaskan lipstick warna pink, juga tak memakai accessories kecuali cincin kawinku.
Aku hampir tak pernah memasak. Martin juga tidak mau aku repot dengan urusan dapur. Dia selalu bilang, daripada waktuku habis untuk memasak, lebih baik digunakan untuk ngobrol dengannya. Lagi pula aku biasanya juga sudah lelah kalau sepulang kerja. Tentu saja ketrampilanku memasak yang sangat terbatas juga barangkali jadi pertimbangan kami. Memang, aku dan Martin bisa ngobrol apa saja. Soal politik, ekonomi, pekerjaan kantor, musik, film. Apa saja.
Kami pergi ke sebuah restoran kecil di pusat kota. Terkenal dengan makanan beef steaknya. Udara malam tidak terlalu dingin jadi kami memilih tempat duduk di bawah payung di taman. Tersedia meja bundar dengan taplak kotak-kotak merah putih. Ada lampu-lampu taman yang indah. Suasananya romantis, apalagi diperdengarkan lagu-lagu yang kami sukai. Restoran ini favorit Martin, karena dia bisa memesan masakan kesukaannya. Masakan barat.
Pesanan kami segera datang. Untuk Martin beef-steak dengan kentang goreng dan salad serta secangkir air mineral. Aku hanya pesan seporsi salad buah dan air jeruk hangat. Sambil makan Martin bercerita kegiatannya hari itu. Aku mendengarkan, sambil menyendoki salad tak berselera memakannya.
Kami duduk berdampingan. Martin menawariku sepotong daging, aku menggeleng. Martin protes.
” Salad itu juga tidak dimakan, sekarang makan ini ya! Aku nggak mau lihat kamu semakin kurus” katanya. Aku katakan padanya aku memang tak mau gemuk. Martin terus membujuk, mengancamku tidak akan pulang sebelum aku mau menelan minimal lima potong daging yang di suapkannya. Dasar Martin, dia tidak pernah menyerah!
”Ini, coba lihat!” kata Martin sambil menyerahkan sebuah amplop putih kepadaku selesai makan. Aku menyambutnya.
”Apa ini!” kataku, sambil merasakan isi amplop.
”Buka saja, kejutan!” katan Martin, tersenyum. Kubuka amplop putih itu, kutarik keluar isinya. Ticket pesawat sebuah penerbangan! Dua lembar, di sana tertulis nama Martin dan namaku. Tujuan Jakarta-Denpasar-Jakarta. Besok pagi?
”Linda, besok kita pergi ya. Anggap saja ini honeymoon!” kata Martin.
”Sejak menikah, kita begitu sibuk, tak pernah pergi bersama” lanjutnya. Aku memandangnya, kaget tentu saja. Honeymoon? Dengan proses pernikahan seperti yang kami lalui, aku tak pernah memimpikan, juga tak menginginkan acara honeymoon kami.
”Okay kan Lin, please!” tuntut Martin sambil menatapku. ”Hari Senin kan libur nasional, jadi kita punya waktu tiga hari untuk bersenang-senang. Sabtu berangkat, Senin sore pulang lagi!” katanya. Kelihatan sekali dia sangat berharap. Aku bingung, bagaimana ini?
Kini Martin bergerak menyentuhkan tangannya ke daguku, menatapku, mencari jawabanku. Sungguh, aku tak sampai hati untuk menolaknya. Apa yang bisa kulakukan? Selama ini aku sering menyakiti hatinya dengan sengaja. Berharap dengan cara itu dia akhirnya tak sanggup hidup bersamaku.
Martin.... haruskah aku menyerah pada kenyataan bahwa kita memang benar-benar suami isteri! Pernikahan yang selalu kusesali ini dan tak bisa kuhindari.
Martin tentu saja tidak tahu, aku dan Rinto juga mengangan-angankan honeymoon kami di Bali? Dulu, dalam perjalanan tugas ke Bali, Rinto pulang dengan setumpuk cerita tentang Bali. Dia membawa brosur tentang hotel dan lokasi yang dia rencanakan untuk kami kunjungi bila ke Bali. Dia juga memotret pantai Kuta dan Lovina. Kami mengangankan untuk honeymoon di sana. Kini, mengapa honeymoonku dengan Martin di tempat yang aku impikan bersama Rinto?
Aduh.. Martin... keluhku dalam hati, sore tadi aku berjanji pada diriku, dan telah menitipkan pesan untuk Rinto supaya menungguku. Sungguh ironis, sementara Martin berusaha memperkokoh pernikahan kami, aku sekuat tenaga berusaha menghancurkannya. Aku tahu Martin sangat menyayangiku. Berusaha selalu menyenangkan hatiku. Memperlakukanku bagaikan ratu saja. Haruskah kumenolaknya. Martin.... maafkan aku! Martin kini menunggu jawabanku. Kulihat sinar kecewa mulai muncul di matanya. Dilepaskannya tangannya dari daguku. Kupandangi ticket itu lagi. Memantapkan hatiku.
”Mendadak begini, aku tak punya persiapan!” kataku mengemukakan alasanku. Mata Martin bersinar gembira lagi, merasa ada harapan baru dariku.
”Tak perlu repot, bawa seadanya saja. Lainnya kita bisa beli di sana saja!” katanya membujuk.
”Aku sudah pesan kamar hotel. Menghadap laut” katanya lebih lanjut menjelaskan. Mendengar nama hotel yang disebut Martin, aku sungguh merasa bersalah pada Rinto.
Mengapa Martin memilih hotel yang dulu jadi pilihan Rinto? Mengapa kedua orang ini memiliki selera yang sama. Begitu banyak hotel di Bali, mengapa Martin seperti digiring Rinto memilih hotel yang sama. Memang kuakui, keduanya memiliki kesamaan, mungkin itu sebabnya aku akhirnya dekat dengan Martin, rasanya seperti bersama Rinto!
Martin dan Rinto, usia mereka terpaut hanya beberapa bulan saja. Martin lahir bulan Juli sedangkan Rinto Februari di tahun yang sama. Sama-sama anak bungsu, suka musik. Sama-sama latar belakang pendidikan tehnik. Meski wajah mereka berbeda, sikap mereka hampir sama. Bicara lugas, suka bercanda, tahan ngobrol bersamaku berjam-jam. Perbedaan keduanya adalah, Martin sedikit lebih tinggi dari Rinto. Martin sangat suka jus tomat, Rinto paling benci tomat. Martin tak tahan pedas sedangkan Rinto selalu cari sambal.
Jadi yang membedakan keduanya bagiku adalah Martin kini jadi suamiku, sementara Rinto jadi bayangan yang selalu berada di antara aku dan Martin. Selalu ikut andil, mempengaruhi hubunganku dengan Martin. Haruskah kuhapus bayangannya. Saat ini tentu saja ya! Mau apa lagi!
”Ayo ah pulang!” ajakku pada Martin, rupanya agak mengagetkannya.
”Aku ngantuk, kalau telat bangun nanti ketinggalan pesawat besok!” lanjutku. Mengerti maksudku, Martin memelukku gembira.
”Linda, thank you my dear!” Dalam perjalanan pulang ke rumah, sambil menyetir mobil, Martin tak mau melepaskan tanganku. Dia terlihat bahagia.
Honey-moon’s tickets.


5. Itik-itik kecil dari kayu

Ini hari kedua kami, aku dan Martin berlibur di pulau Bali. Udara pagi sangat nyaman. Kami sudah berada di pantai sejak subuh tadi. Sengaja datang, ingin menyaksikan sunrise di pinggir laut. Aku sudah beberapa kali menyaksikan sunrise di pantai ini, tapi bersama Martin ini pertama kali.
Entah mengapa, aku lebih suka menyaksikan matahari terbit daripada saat dia tenggelam. Ada rasa optimis dan gembira menyaksikan matahari perlahan muncul. Menebarkan warna kuning cerah. Aku teringat mitologi Yunani yang kubaca ketika masih kecil. Ada Dewi Eos, Dewi Fajar yang memulai kerjanya bila malam akan berakhir dengan mengumumkan pada dunia bahwa saudara laki-lakinya akan tiba, dewa Helios, Dewa Matahari. Caranya dengan dengan menampakkan ujung jarinya yang kemerahan. Sang Dewi Fajar, Eos menjinjing pot berisi air dingin. Mencelupkan jari-jari tangannya kemudian terbang di atas permukaan bumi menebarkan embun hingga tiba di istana Helios di timur. Helios akan muncul dengan berdiri di atas kereta emasnya yang ditarik oleh empat kuda bersayap. Helios akan terbang seharian dari timur hingga ke barat, sambil menebarkan warna emasnya, menerangi dunia hingga malam tiba.
Aku melihat permukaan air laut dan ujung ujung ombak berkilat diterpa matahari. Juga menyaksikan secara perlahan, perahu nelayan semakin jelas terlihat. Menghapus kabut embun pagi dengan lembut. Seakan matahari bukan mengusir kabut, tapi membujuk saja, lembut, perlahan penuh sayang menyuruhnya pergi. Sayang kakak pada adiknya. Sinar matahari terasa hangat dan nyaman di kulit.
Beda dengan sunset! Saat sinar matahari memudar di ujung barat, aku merasa seperti ditinggalkan. Ada rasa pilu di hati. Perubahan alam begitu dramatis. Dari warna oranye kemerahan menjadi warna hitam. Gelap dan laut yang tak lagi terasa indah, tapi penuh misteri.Seperti pepatah yang pernah kubaca, waktu yang sulit membedakan antara anjing dan serigala. Ada rasa khawatir, kalau-kalau besok tidak lagi bisa melihat sinar terangnya.

Kami, aku dan Martin duduk di deck kayu di kursi, di depan hotel tempat kami menginap. Selain kami berdua, tak banyak yang menyaksikan matahari muncul pagi ini. Dari dua belas pasang kursi yang tersedia di deck, di ujung sana seorang pria kulit putih, sibuk merekam dengan video dan still camera. Mungkin dia seorang professional, dilihat dari peralatannya yang begitu lengkap. Martin duduk di sebelahku. Aku bersandar di dadanya, merapatkan sweater ku, mengusir rasa dingin pagi itu. Tangan kanan Martin memelukku, tangan kirinya menggenggam tangan kiriku. Di bawah deck, pantai berpasir bersih semakin terlihat jelas.
Aku tak menyangka, dan harus jujur mengakui, bisa merasa senang disini bersama Martin, dalam liburan sekaligus honeymoon kami. Semula aku tak pernah menginginkan sebuah honeymoon bagi pernikahan dadakan kami. Martin mengejutkanku dengan dua ticket pesawat untuk ke sini. Dengan rasa galau, mengikuti keinginan Martin, persis seperti itik, membebek. Mengabaikan perasaanku, sesungguhnya. Mencoba menerima kenyataan hidupku. Menjadi isteri Martin! Menuruti keinginan keluargaku!
Semula, terasa berat, menerima ajakan Martin untuk pergi kesini. Teringat janjiku dan Rinto dulu, untuk pergi kesini, kelak jika menikah. Kami berencana honeymon ke Bali. Setelah dua hari ini, di tengah kegembiraan perjalananku dan Martin, sering terlintas dalam pikiranku, apa ya yang kulakukan jika honeymoon ini dengan Rinto?
Apakah aku dan Rinto juga akan duduk menyaksikan matahari terbit seperti pagi ini? Apakah aku dan Rinto akan pergi ke diskotik, seperti yang aku dan Martin lakukan tadi malam? Apakah Rinto bersikap sama seperti yang dilakukan Martin tadi malam? Dia tidak keberatan ketika aku berdansa dengan James Daniels, seorang pria Australia yang sangat sopan memintaku. Martin senang mengetahui, James Daniels mengagumiku dan minta izinnya dengan sopan. Cukup mengawasiku dengan matanya.
Aku juga bertanya-tanya dalam hati. Apakah Rinto akan menurutiku untuk menyusuri desa-desa di Ubud, berjalan kaki, mengunjungi sanggar para seniman lukis dan patung? Kemarin, seharian Martin dan aku keluar masuk sanggar di Ubud. Padahal yang kubeli di sanggar itu hanya patung anak itik dan induknya. Itik-itik kayu, dengan cat warna hijau, biru, merah dan kuning pada sayap mereka. Persis seperti gambar itik yang sering kutemukan di buku-buku dongeng. Itik dari dari daratan Eropa. Aku juga membeli lukisan kecil gaya dekoratif Bali, belum dibingkai agar mudah dibawa pulang.
Aku tahu, Martin tak begitu berminat pada senirupa atau seni pahat, tapi dia ingin menyenangkanku semata. Kuingat, dia sama seperti Rinto, juga tak tertarik dengan senirupa dan pahat, jadi mungkin seperti Martin kemarin, seperti itik-itik kecil , mengikuti induknya, kemanapun! Ya, kini aku memiliki anak-anak itik dan induknya. Patung itik dari kayu. Souvenir dari Bali. Entah mengapa, seakan patung itik itu seperti makna kehidupanku. Apakah aku yang jadi anak itik kecil itu atau Martin. Kami selalu bertukar peran, agaknya.
Martin tak ikut ngobrol, kerjanya hanya memotreti aku yang mengobrol atau sesekali mencoba turut memahat sebuah kayu dengan pematung dan pelukis atau pemahatnya. Mungkin juga dia bosan, tapi begitu patuh, menurut, seperti anak itik. Kadang kutarik-tarik tangannya supaya masuk ke sanggar yang kami lewati.
Kabut tipis masih menyelimuti pantai dan deck tempat kami duduk. Lamunanku buyar, ketika mendengar suara Martin!
”Linda, terima kasih sudah mau bersamaku kesini!” katanya memelukku lebih erat, mencium pipiku kemudian bibirku. Entah mengapa, dengan mudah lamunanku tentang Rinto hilang lenyap! Kini Martin, dan cuma Martin yang ada di sisiku, memelukku hangat di pagi berkabut menunggu matahari bersinar. Aku hanya membalas ucapan Martin dengan memijit hidungnya. Memamerkan senyumku padanya, bersandar lagi di dadanya. Kami terus duduk disitu hingga matahari sempurna muncul.
Kulihat pria bule itu sepintas, kelihatannya bersiap-siap akan pergi, memunguti peralatannya, tripod dan tas cameranya. Oh... dia berjalan menuju ke arah kami duduk. Kulihat dia mengangguk hormat pada kami berdua dan mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Inggeris. Kami juga membalas anggukkannya. Dia tidak beranjak pergi dari kami, malah menjulurkan tangannya pada Martin.
”Hofkerk, Jan Hofkerk!” Kata pria bule itu memperkenalkan diri, senyumnya ramah. Tak kusangka! Kami bangkit, menyalaminya. Biasanya para turis ini, apalagi yang berkulit putih, sangat tidak peduli pada orang lain, sedikit angkuh. Kemudian, pria bule itu menjelaskan dirinya adalah fotografer untuk perusahaan iklan. Dia sedang mengumpulkan foto tentang pantai dalam berbagai suasana di seluruh Asia. Dia bilang, kemarin, dia melihat kami di Ubud dan tak menyangka bertemu kembali di sini. Oh... kami justru tidak tahu! Dia mengira kami bukan orang Indonesia.
Kami memperkenalkan diri padanya. Terlibat obrolan menarik dengannya. Padaku dia berbahasa Inggris, dengan Martin dia berbahasa Belanda setelah tahu Martin pernah tinggal di sana. Terakhir kudengar permintaannya untuk memotret kami berdua, dengan latar belakang hotel dan pantai yang masih berkabut. Dia minta Martin memelukku. Sempat kudengar pujiannya, kami sebagai pasangan yang serasi.
Sebelum berpisah, saat bersalaman dengan Martin, kudengar fotografer itu mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda pada Martin, aku tak faham semua isi pembicaraan mereka berdua. Bahasa Belanda yang kuingat hanya kata Pas op! Kijk! Goede morgen, Goede middaag, Goede avond, Kom hier,alstublieft! atau kata-kata mudah lainnya. Kulihat Martin tertawa-tawa senang, aku jadi penasaran ingin tahu. Tapi tak sempat menanyakan, Martin sudah mengajakku kembali ke kamar.
”Kita tidur dulu sebentar, nanti pergi agak siang saja!” katanya.
Kamar kami di lantai tiga, jendelanya yang besar menghadap ke laut. Aku berganti pakaian dengan baju tidurku, blus longgar dan celana panjang dari kaus. Kutarik tirainya di depan tempat tidur, segera pemandangan laut pagi hari terlihat jelas. Aku duduk di tempat tidur, memandang laut di depanku. Martin kulihat sedang menelpon, minta dikirimi sarapan pagi ke kamar. Juga sudah berganti pakaian. Kemudian duduk juga di sampingku, sambil meraih remote control menyalakan televisi. Tayangan televisi hari Minggu pagi ini rupanya rekaman pagelaran busana di Milan, Italia. Oh.. aku jadi teringat fotografer tadi. Apa ya yang dibicarakannya dengan Martin tadi, hingga mereka berdua tertawa-tawa?
Kutoleh Martin di sampingku, sudah berbaring seakan mau tidur. Tangan kanannya menutupi matanya. Aku berbaring di sampingnya. Kutarik tangannya itu, Martin membuka matanya.
”Martin, jangan tidur dulu!” ujarku. ”Tadi waktu mau pisah, bule itu ngomongin apa, kok kalian berdua tertawa-tawa?” tanyaku. Martin cuma senyum, menggeleng-gelengkan kepalanya. Martin menarik tangannya, mau menutupi matanya lagi. Aku makin penasaran, kupikir pasti jorok, khas obrolan lelaki! Kutarik lagi tangan Martin.
”Martin, ayo! Apa?” tuntutku, mengguncang tubuh Martin.
”Soal pekerjaan” katanya, terasa asal asalan menjawabku.
”Bohong ah!” sanggahku. ”Martin, tell me, please!” bujukku, sambil mengguncang guncang tubuhnya lagi. Kulihat Martin malah mentertawakanku.
”Okay, sini, peluk aku dulu!” kata Martin.
”Kenapa syaratnya begitu!” ujarku ingin tahu.
”Karena aku takut kamu marah. Jangan pukul aku ya!” katanya memberi alasan.
”Hey, ngawur! Apa kalau marah aku suka pukuli kamu?” tanyaku. ”Ayo, cerita! sekarang” perintahku pada Martin.
”Sudah dipeluk nih!” kataku, sambil memeluk pinggangnya.
”Kata Jan, kamu cantik sekali. Dia bilang aku beruntung punya isteri seperti kamu” cerita Martin.
”Lalu?” desakku, merasa pasti bukan itu yang menyebabkan dia tertawa-tawa tadi.Apa lucunya ucapan itu, hingga mereka perlu tertawa seperti tadi, pikirku.
”Dia tawarin kamu untuk jadi model produk kosmetik kliennya, untuk pasar Asia” lanjut Martin.
”Ah... masa cuma itu, bisa bikin kalian berdua tertawa-tawa!” kataku masih penasaran. Kini, kulihat Martin tersenyum lebar, menggodaku. Uh....pasti ada yang tak beres!
”Tadi tawarannya langsung aku tolak aja Lin!” lanjut Martin. ”Kubilang kamu pasti menolak, karena lagi nggak sehat!” katanya.
”Hey, nggak sehat gimana?” tanyaku. ”Aku kan nggak sakit apa-apa!” protesku. ”Aku cuma bohongi dia kok!” kata Martin. Aku makin curiga, masa sih karena sakit aku ditertawakan mereka! Omong kosong!
”Nggak masuk akal!” kataku. ”Kalian kan tertawa senang. Masa isteri sakit reaksinya begitu!” protesku, ngotot. Aku tahu, Martin menyembunyikan sesuatu! Kupencet hidung Martin kuat-kuat sambil mengancamnya.
”Aku nggak akan lepas, kalau nggak mau bilang yang sebenarnya!” Martin megap-megap tentu saja. Dia tarik tanganku dengan mudah, kudengar suaranya
”Tadi kuberitahu Jan, kamu lagi hamil empat bulan!”katanya mengagetkanku. ”Aku berterima kasih dan pura-pura senang waktu dia mengucapkan selamat, makanya kami tertawa-tawa” lanjut Martin akhirnya berterus terang.
”Martin, keterlaluan ah!” seruku sambil mencubiti pinggangnya. Martin cuma menggeliat saja ketika kucubiti.
”Ingat, tadi janji kan nggak boleh marah!” katanya. Ya, aku sebenarnya tidak marah padanya, hanya gemas saja.
”Seperti tidak ada alasan lain aja, tidak kreatif amat!” seruku, ngomel.
”Bilang dong, aku orangnya pemalu kek, nggak bisa akting kek, takut kamera kek! Kalau disuruh senyum malah cemberut, gitu!” kataku. Konyol, Martin cuma tertawa mendengar protesku. Kurasakan Martin memelukku erat, kudengar suaranya. Tidak lagi dalam nada canda, serius.
”Linda, sebenarnya aku berharap kau mau menjadi ibu bagi anakku, anak kita! Adik Cyril dan Inge!”kata Martin, terasa ucapannya sebuah permintaan. Aku terdiam, sungguh tak terbayangkan. Aku tahu, aku harus menghadapi kenyataan ini. Sebagai isterinya, akankah aku menolak jadi ibu bagi anak kami. Aku mengira Martin mengetahui secara diam diam sejak menikah dengannya aku minum pil anti hamil. Aku selalu menyimpannya pil-pil itu di laci meja rias, di sudut dalam. Kini kusimpan dalam tas tanganku.
Tak berani kujanjikan apa-apa pada Martin. Dia memahamiku untuk soal hamil dan punya anak. Hanya kurasa, Martin mencoba untuk mencairkanku. Dia tahu, alasan yang kuat untuk aku selalu bersamanya adalah anak. Dia tahu itu, seandainya aku memiliki anak, aku tak mungkin meninggalkan anak kandungku sendiri. Anak akan membuat ikatan kami tak terlepaskan. Strategi paling tepat untuk menyuruhku tinggal selamanya. Tentu saja jika berhasil.

Martin tahu, aku cepat terharu jika mendengar ada anak kecil terlantar. Aku sensitif sekali, berkaitan dengan issue anak-anak. Martin juga menyaksikan sendiri, aku dengan mudah menyukai Cyril dan Inge, anak-anaknya. Mereka berdua cepat dekat dan akrab denganku. Meski masih memanggilku Tante, bukan Mami, Mama atau Ibu. Bahkan Inge, gadis kecil berusia hampir 5 tahun itu sudah meniru-niru gaya rambutku. Ingin mencoba jepit rambutku. pernah bermalam di rumah kami, Inge paling suka membukai lemari pakaian. Mengamati baju-bajuku. Memasukkan kaki kecilnya ke sepatuku yang berhak tinggi dan berjalan sambil berpegangan di dinding. Mungkin bagi Inge, aku figur wanita muda yang tak ditemuinya di rumah. Inge tak tumbuh dengan ibunya. Hanya sebentar sekali bersamanya. Dia ditinggalkan ibunya ketika berusia empat bulan. Tumbuh bersama Mami dan Papi Martin dan para pembantu.
Martin memandangiku. Aku tahu dia tak memerlukan jawabanku. Tidak sekarang ini! Aku menyembunyikan wajahku dengan menyusupkannya ke dada Martin. Wangi aftershave Martin tercium lembut. Martin mengelus-elus punggungku. Kali ini aku tak mau menangis. Hari ini, aku akan bergembira dengan Martin.
Kudengar ketukan pintu, dan suara ”Room service!” pengantar sarapan pagi kami didepan pintu, menunggu. Martin melepaskan pelukannya dan bangkit membuka pintu sambil menjawab ”Ya, tunggu!”
Dalam hati aku membatin. Beranikah aku menjanjikan ini? Aku cuma ingin bilang pada Martin. ”Tunggu!” Ya... tunggu, janji yang seharusnya kutepati nanti. Mungkinkah?
Kupandang laut di hadapanku, terbentang luas. Terlihat di laut biru pagi ini sebuah perahu, kecil, masih berusaha merapat ke pantai. Terombang ambing oleh ombak dan angin. Terkadang kulihat, sebentar kemudian menghilang, lalu muncul kembali. Persis seperti perasaanku.



Cincin

Aku bangun kesiangan pagi ini. Tadi malam aku gelisah dan sukar tidur. Tidak tahu kenapa. Bergegas mandi dan bersiap ke kantor. Sambil sarapan aku menerima telpon dari Martin yang sedang berada di Medan. Dia bilang, dari jam lima pagi dia sudah menelpon ke rumah. Tapi tak kuangkat katanya. Kujelaskan aku baru bangun. Dia tertawa-tawa saja, mendengar aku susah tidur tadi malam. ”Besok aku pulang, kau pasti tak bisa tidur juga, kasihan!” katanya menggodaku. ”Aku kangen sekali” katanya. Aku cuma mentertawakannya dan memintanya menutup telpon. Aku mau ke kantor kataku.
”Nanti siang kutelpon” katanya mengingatkanku.
Memang menjadi kebiasaan Martin menelponku setiap jam istirahat kantor. Meski dia berada di luar kota. Cuma untuk menanyakan apakah aku sudah makan siang. Atau apakah aku mau dijemput pulang kantor nanti. Sering juga memberitahu aku untuk minta diantar supir ke restoran tertentu untuk makan malam bersamanya. Dia begitu sibuk, tapi perhatiannya padaku tak pernah kurang. Aku selalu mendapat oleh-oleh dari setiap perjalanan dinasnya. Seharusnya aku bersyukur mendapatkan suami seperti Martin.
Hari itu, di kantor aku sangat sibuk. Aku baru bisa meninggalkan kantor sekitar jam tujuh malam. Menjelang tengat waktu launching produk terbaru memang begitu. Terpaksa lembur dan stress. Aku belum makan malam, berniat beli roti isi saja sambil lewat di toko kue dekat kantorku. Diantar supir, aku pulang ke rumah. Ketika mampir di toko kue itulah aku bertemu dengan Ronald, sahabat Rinto. Aku ingin menghindari Ronald, tapi sudah tak sempat lagi. Dia sudah melihatku. Ronald segera mendekatiku, menyalamiku dengan hangat. Dia mengatakan baru saja kembali dari Inggris. Juga mengunjungi Rinto di Belgia. Semua persoalanku dengan Rinto, Ronald mengetahui.
Hatiku tak karuan mendengar lagi tentang Rinto. Mengusik lagi kisah kegagalanku bersatu dengan Rinto. Ronald bilang, Rinto tak mau pulang ke Indonesia meski studinya hampir selesai. Orang tuanya pergi ke sana membujuknya tanpa hasil. Ronald akhirnya membisikiku.
”Linda, Rinto akan pulang kalau kau menyusulnya kesana”kata Ronald.
”Aku sudah lihat cincin pertunangan kalian yang dibelinya di Roma. Masih disimpannya dengan baik” lanjut Ronald.
Sudah hampir tiga tahun Rinto di Belgia. Berharap aku menyusulnya. Lalu menikah disana dengannya, baru kembali ke Indonesia bersama-sama. Aku sibuk mencari kata-kata untuk menanggapi Ronald.
”Linda, Rinto benar-benar ingin melihatmu lagi” kata Ronald. ”Kirimi dia foto terbarumu” katanya lagi. ”Si pangeran itu bisa mati di sana” lanjut Ronald.
Aku tak mampu berkata apa-apa pada Ronald. Hanya memandangnya saja. Bertemu Ronald saja telah membuatku terkenang hari-hariku bersama Rinto. Apalagi mendengarkan langsung darinya keadaan Rinto kini. Kami berpisah di depan toko kue itu. Hilang sudah rasa laparku. Aku kini memikirkan lagi bagaimana pedihnya hati Rinto saat mendengar aku menikah dengan Martin.
Di mobil, sepanjang jalan menuju rumah, aku memikirkan Rinto. Malam ini, lagi-lagi aku tak bisa tidur. Aku malas nonton televisi. Jadi aku pasang kaset saja, mendengarkan alunan suara indah Lionel Richie. I just called to say I love You! Aku menerawang! Serasa berdialog dengan Rinto.
”Rinto... aku ingin kau tahu aku mencintaimu. Masih mengenangmu, hingga saat ini. Hanya... aku tidak bisa pergi mencarimu!” Namun aku tahu, Rinto tidak ingin mendengarnya, Rinto ingin aku segera menyusulnya.
”Rinto, maafkan aku! Aku tak mungkin lagi meninggalkan Martin. Aku pernah mencoba meninggalkan Martin. Sungguh, aku telah berusaha keras mencoba berpisah dari Martin. Lagi-lagi, aku tak mampu. Jadi cincin itu untuk gadis lain saja. Pasti ada tangan dan jemari indah yang beruntung memakainya”

Aku memandangi jari manis tangan kananku. Di sana melingkar cincin hadiah dari Martin. Bukan cincin kawin. Cincin emas dengan permata berlian kecil-kecil mengapit sebentuk batu ruby merah berbentuk hati. Martin membelinya ketika pergi ke Singapura beberapa bulan lalu. Martin selalu bilang, dia memberiku hadiah bukan karena aku bersedia selalu bersamanya. Tapi karena ingin selalu menyayangiku, menyenangkan hatiku. Berharap aku tak kekurangan kasihnya.
Hari ini, seharusnya Martin sudah kembali dari Medan. Aku merasa sedikit terganggu karena Martin sama sekali tak menelponku pagi tadi. Juga siang ini. Aku kira dia sedang dalam perjalanan. Aktivitasku hari itu padat sekali. Kini pekerjaanku makin sibuk, sejak pindah kesebuah perusahaan garmen, sebagai Manager Promosi dan Iklan. Rapat promosi, menghadiri presentasi dari biro iklan, mengikuti rapat produksi untuk produk yang akan dipromosikan. Menemui tamu dari Jepang dan menemui sejumlah pemasok untuk sales promotion gift . Aku lupa Martin sekarang sedang ada dimana.
Jam enam lebih baru rapat selesai. Aku keluar ruang rapat, kembali ke ruang kerjaku untuk bersiap pulang. Dwi, sekretarisku sudah pulang. Aku hendak mengambil tas kerjaku ketika melihat bungkusan kecil di atas meja tulisku. Ada catatan dari resepsionis kantorku. Memberitahukan ada kiriman dari Pak Ronald. Karena aku sedang rapat, jadi diletakkannya di mejaku. Kuambil saja, memeganginya dengan tangan kiriku, mengambil tasku dan bergegas turun ke lantai bawah. Aku sudah ditunggu supir. Karyawan di lantai tiga, lantai dua dan lantai satu sudah tidak ada. Hanya Pak Broto, Satpam yang duduk di kursi resepsionis ruang penerimaan tamu. Sedang ngobrol dengan seseorang, tak begitu jelas siapa, selain tak terdengar juga karena sebagian lampu telah dimatikan.
Aku mengangguk pada Satpam itu saat melewatinya menuju pintu. Dia membalas salamku sambil berdiri menghormat. Aku kaget karena merasa ada yang menarik tubuhku. Memelukku! Tuhanku... Martin! Dia rupanya dari tadi menungguku. Langsung dari airport ke kantorku. Bungkusan kecil yang kupegang terjatuh. Martin memungutnya.
”Apa ini Lin?” katanya, sambil menyerahkan bungkusan itu padaku. Aku menggeleng.
”Baru kuterima, rencananya kubuka di rumah saja” kataku menjelaskan.
Kami mampir ke restoran kecil untuk makan malam, tak jauh dari kantorku. Martin tak mau berlama-lama di sana. Aku juga sudah merasa capek. Aku juga tahu kebiasaan Martin, yang selalu ingin memperlihatkan oleh-olehnya untukku. Aku segera mandi, dan merasa segar kembali. Martin juga sudah mandi. Kami duduk di depan televisi di ruang keluarga merangkap ruang makan. Tidak menonton acaranya. Aku mendengarkan cerita Martin tentang urusannya di Medan. Dia memelukku.
”Aku kangen sekali” katanya. Dia melepaskan pelukannya dan mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya.
”Ini, dari Medan!” katanya. Aku menerima kotak itu dan membukanya. Cincin! Kali ini permata blue safier dikelilingi berlian kecil-kecil. Martin melepas cincin yang kupakai di jari manis tangan kananku. Memasukkan cincin blue safier itu. Indah sekali!. Kupeluk Martin, dia balas menciumku.
”Tadi kau dapat kado kan, coba buka. Aku ingin tahu, boleh kan?” kudengar suara Martin. Baru teringat olehku. Aku pergi ke kamar, mengambil bungkusan kecil itu dari meja rias. Kembali, duduk dekat Martin. Perlahan kubuka kertas pembungkusnya, lalu muncul sebuah kotak kecil berwarna biru tua dengan pita warna perak. Martin memperhatikanku membuka kotak itu, terlihat sebentuk cincin emas putih bersinar dengan sebutir berlian. Cincin! Aku memandang Martin, sama sekali tak berani menyentuh cincin itu. Dari Rinto!
Tuhanku! Aku merasakan Martin bergerak melepaskan tangannya dari bahuku. Perlahan berdiri dan berjalan menuju ruang tamu, meninggalkanku. Aku dapat merasakan pedih dan marah hati Martin saat itu. Harga dirinya terluka. Bagaimanapun aku kan isterinya, masih dikirimi cincin pertunangan! Dia pergi meninggalkanku sendirian tentu untuk menghindari pertengkaran. Dia selalu begitu, mengalah padaku. Biar aku melakukan kesalahanpun, selalu dia minta maaf duluan. Biasanya, karena aku tak bisa menepati janji untuk pergi bersamanya. Tapi kali ini lain, cincin dari Rinto!
Aku terpaku saja, tak mampu mengatakan apapun. Kupandangi cincin yang berada dalam kotak itu. Membayangkan di jari tangan kirinya, Rinto telah memakai cincin dengan bentuk yang sama. Jauh di sana, di Antwerpen. Di apartemennya, selama ini menungguku, sia-sia. Hanya kartu kecilnya yang kubaca. Tulisan tangan Rinto dengan tinta biru. Sangat singkat. ”Aku masih terus menunggu Linda!” Tanda tangan Rinto. Kartu itu persegi kecil sebesar kotaknya. Dibagian depan bergambar bunga anggrek Cattleya. Rinto tahu aku sangat menyukai bunga itu. Bunga koleksi Mamaku.
Malam itu, aku dan Martin lalui dengan berdiam diri. Televisi menyala tanpa penonton. Martin duduk dalam gelap di ruang tamu sambil merokok, padahal aku tahu itu bukan kebiasaannya. Itu rokok Bang Luki yang ketinggalan ketika mengunjungi kami Sabtu lalu. Aku masuk ke kamar tidur, menyimpan kotak biru kecil itu ke dalam laci meja riasku. Pikiranku melayang pada Rinto, apa yang dilakukan Rinto jika tahu aku sama sekali tak menyentuh cincin kirimannya itu, apa ya reaksinya? Mungkin Rinto akan marah. Aku juga bingung apakah Martin marah bila aku memasukkan cincin itu ke jariku. Jariku yang mana ya? Di jari manisku sudah ada cincin dari Martin. Memakai keduanya? Aaah....sudah! Kumatikan saja lampu kamar tidur. Berbaring diam-diam, mencoba melupakan semuanya.
Dengan tetap memakai cincin baruku hadiah Martin, aku berbaring gelisah di tempat tidur. Menangisi nasibku. Aku bertanya-tanya dalam hati. Adakah wanita yang begitu sedih mendapat hadiah dua buah cincin emas dengan permata yang begitu mahal dan indah? Akulah orangnya. Aku berduka menerima dua cincin permata sangat mahal, dari dua pria yang sedang berusaha mempertahankan cinta mereka.
Mereka berdua, Martin dan Rinto tidak pernah saling kenal, tidak pernah bertemu. Tapi keduanya mengherankanku, selalu ingin memiliki hal yang sama dan memberikan barang yang sama. Cinta dan cincin! Seharusnya aku bersyukur dengan cinta mereka. Karena aku tahu, banyak sekali wanita yang berharap mendapatkan kedua hal itu, bersedia mencucurkan airmata, mengorbankan harga diri, tapi sampai akhir hayat tak pernah mendapatkannya.

Entah berapa lama sudah aku tertidur. Aku terbangun merasakan tangan kananku diangkat dan dicium. Lampu kamar telah menyala, Martin sudah di sisi tempat tidur. Kini dia berjongkok di samping tempat tidur memandangku, mengelus jari-jari tanganku. Dia menunduk, bergerak seakan hendak mencium pipiku. Aku menunggu, kudengar bisikannya.
”Linda, maafkan aku! Aku tak melarangmu memakai cincin kiriman Rinto itu” suaranya terasa tulus dan sedih. Aku tidak menjawabnya, kupejamkan mataku. Aku tahu airmataku akan keluar lagi. Aku merasa kasihan pada Martin, heran juga mengapa dia mau menyiksa dirinya seperti itu.
Martin.. keluhku dalam hati. Aku tahu betapa pedih hatinya. Menerima kenyataan aku masih belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari Rinto. Aku membatin. ”Martin berapa lama kau dapat bertahan?” Pertanyaan yang juga seharusnya kuberikan untuk Rinto.”Rinto, berapa lama kau dapat bertahan?”
Benar-benar harus pertanyaan yang sama.


Kamar tidur tamu

Rumah kami bergaya modern tapi dengan ornamen sangat minimal. Bangunannya memanjang dalam bentuk persegi. Sisi kanan untuk dua kamar. Bagian tengah terbagi dua, untuk ruang tamu menghadap jalan dan teras kecil dipisahkan halaman. Semua dinding dari kaca, termasuk pintu yang dibingkai kusen kayu berwarna putih. Dipisahkan oleh dinding adalah ruang makan merangkap ruang keluarga. Sisi kiri rumah adalah untuk dapur yang menghadap taman belakang dan garasi mobil. Rumah kami hanya memiliki dua kamar tidur. Kedua kamar bersisian, berada di sebelah kanan bangunan rumah.
Kamar tidurku dan Martin menghadap taman belakang rumah. Sedang kamar yang kedua , menghadap halaman depan, sebuah taman. Selama ini, kamar yang kedua lebih banyak berfungsi sebagai ruang kerja. Kedua kamar dipisahkan sebuah kamar mandi, yang diperuntukkan untuk kamar kedua dan tamu yang datang. Kamar tidurku dan Martin di dalamnya sudah dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet. Jadi kami tak perlu keluar kamar untuk mandi.Di kamar tamu, kami tempatkan dua tempat tidur ukuran satu orang. Kedua tempat tidur dipisahkan oleh sebuah meja pendek dengan dua laci tarik. Meski jarang di tempati, aku tetap memasang sprei lengkap dengan sarung bantal dan guling. Di kamar ini ada meja tulis dan rak buku, berada di depan ujung kaki tempat tidur. Tak ada meja rias atau cermin.
Kadang kala aku tiduran di kamar ini, sambil menemani Martin menyelesaikan pekerjaannya. Satu tempat tidur berada di sisi dinding dengan jendela besar. Hampir sepertiga bagian dari dinding terbuat dari kaca dibingkai kusen kayu berwarna putih. Dinding kamar ini berwarna krem sangat muda. Untuk menghalangi pandang ke dalam kamar, kupasang dua tirai. Satu berwarna putih, polos transparant. Sedangkan tirai kedua agak tebal, berwarna biru langit, biru batu mulia, turqouise.
Sejak menempati rumah ini, hampir setahun lalu, kamar ini memang jarang kami gunakan, baik tidur maupun kerja. Dari kamar ini aku sering menunggu Martin pulang kantor, sambil mengerjakan pekerjaanku atau baca novel saja. Kini, aku sedang mempertimbangkan mengatur kamar ini agar lebih nyaman untuk dijadikan kamar tidur. Minimal selama Cyril dan Inge menginap dimasa liburan sekolah mereka yang mulai minggu depan. Lagipula kalau ada tamu lain menginap, aku sudah siap dengan kamar untuk tamu.
Jum’at sore, sepulang kantor aku mampir ke department store. Aku mau beli sprei lengkap dengan bantal dan guling serta bed cover. Karpet kecil dan juga bantal lantai, handuk mandi. Semuanya dua set. Aku beruntung mendapatkannya dengan design yang sama untuk semua barang. Bergambar beberapa karakter dalam buku cerita anak anak, Donald Duck dan pasangannya, si Dessy, bebek-bebek lucu. Aku rasa cukup barang-barang itu dapat mengubah karakter kamar menjadi lebih nyaman ditempati Cyril dan Inge selama liburan ini.
Sabtu pagi, setelah berolah raga dan sarapan aku mulai mengatur kamar tamu, dengan barang yang kubeli kemarin. Sendirian saja, karena Martin rencananya baru akan pulang dari Semarang sore nanti. Kuikat rambutku, masih dengan baju olah raga, akan memulai kerjaku. Membersihkan ruangan, memasang karpet bergambar Donald Duck dan Dessy Duck diantara dua tempat tidur. Menumpuk dua bantal lantai di atas karpet. Mengganti sprei dan bantal guling. Menutupi kedua tempat tidur dengan bedcover.
Ternyata usahaku aku berhasil, kamar ini telah berubah dari kamar tamu yang semula sepi warna menjadi kamar anak-anak yang ceria! Sambil memandangi kamar yang baru kubereskan, aku rasa masih ada yang kurang, sebuah lampu duduk untuk rak samping tempat tidur. Juga perlu satu box besar, dari plastik atau rotan untuk menumpuk pakaian kotor. Nanti siang, sekalian cari makan siang, aku berencana membeli. Berharap ada disain yang cocok. Aku teringat di gudang masih kusimpan sebuah topi lebar khas suku Dayak, tanggui. Hiasan kain perca warna warni pada topi bagian tengah rasanya cocok dengan suasana ruang yang ceria. Itu souvenir yang kubeli ketika pergi tugas ke Samarinda, Kalimantan Timur. Kupasang pada paku di atas kepala tempat tidur, di atas meja pendek. Ups.... lumayan! pikirku.
Tak terasa sudah jam sebelas lebih! Capek juga ya! pikirku. Biasanya, untuk membersihkan rumah, aku dan Martin melakukannya bersama. Jadi tak terasa terlalu capek. Aku beristirahat sebentar, kemudian mandi. Ketika sedang mengeringkan rambut di kamarku, kudengar suara mobil berhenti di depan pagar. Kupikir mungkin tetangga sebelah rumah. Tapi kudengar lagi, pagarku dibuka. Wow,.... Martin pulang! Aku bergegas keluar masih dalam kimono mandi dan rambut basah, membukakan pintu untuk Martin.
”Hello, baru mandi ya?” kata Martin menyapaku sambil mencium pipiku. ”Katamu sore baru pulang” kataku. Martin tertawa saja lalu masuk ke ruang dalam menuju kamar kami. Aku batalkan mengeringkan rambutku. Menyediakan minuman dingin untuk Martin dan meletakkannya di atas meja makan. Kemudian masuk ke kamar tidur ingin memberitahu Martin minumannya sudah kusiapkan. Kulihat Martin sedang berjongkok dekat koper, mengeluarkan pakaiannya. Beberapa yang kotor sudah masuk keranjang plastik besar di sudut kamar. Siap untuk dikirimkan ke toko laundry. Aku duduk di tempat tidur yang tadi baru saja kurapikan. Martin meletakkan koper kecilnya yang sudah kosong ke samping lemari. Berbalik ke arahku dan duduk di sampingku.
”Lin, aku kangen, lima hari nggak ketemu!” kata Martin sambil memelukku, aku cuma senyum saja padanya. Tapi kemudian muncul rasa ingin menggodanya. ”Aku nggak tuh, sibuk sih!” Martin tahu aku menggodanya, kemudian makin mempererat pelukkannya.
”Ayo, aku mau bukti kamu nggak kangen aku!” serunya. Langsung mencium bibirku. Bersemangat sekali. Ya sebenarnya aku juga kangen kepadanya. Hampir seminggu dia pergi keluar kota. Meski aku sibuk, tapi terasa juga Martin tak ada bersamaku. Terutama bila pulang kantor, sendirian di rumah. Tak tertahankan tentu saja, kami sudah berpelukan. Melepaskan rindu kami.

Hampir jam setengah dua siang, baru kami bersiap untuk keluar makan siang. Sebelum keluar kamar, Martin mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tas kerjanya. Menyerahkan oleh-olehnya dari Semarang. Martin hampir selalu membawa hadiah untukku jika pulang dari luar kota. Kubuka kotak itu, sebuah leontin kecil berbentuk hati, dari emas putih. Indah! Aku mengambilnya dan menggoyang-goyangkannya.
”Lin, pakai sekarang ya!” katanya. Martin mengambilnya dan memasangkannya ke leherku. Ku ucapkan terima kasih padanya, Martin tak membalas, hanya mencium pipiku. Kemudian dia menutup tasnya, membawanya keluar kamar. Dia biasa meletakkan tas kerjanya di kamar kerja merangkap kamar tamu itu. Aku juga bersiap keluar dan mengunci pintu kamar. Kudengar suara Martin dari dalam kamar berseru. Aku tahu dia kaget tak menyangka kamar telah berubah total.
”Linda, kapan semua ini kamu kerjakan?” tanya Martin.
”Hari ini, baru saja selesai!” jawabku sambil menuju kamar sebelah.
”Kamu datang tadi kan aku baru mandi, masih capek” lanjutku.
Martin tentu saja melongo, karena aku tak hanya mengganti sprei tapi memindahkan tempat tidur dan rak ke posisi yang lebih sesuai. Memang sendirian, dorong-dorong dua tempat tidur! Berat sekali. Martin mendekatiku yang berdiri di pintu kamar. Memelukku, mengungkapkan rasa terima kasihnya. ”Lin, aku minta maaf!” katanya. ”Seharusnya bisa tunggu aku datang saja. Aku tahu kamu capek sekali mengatur kamar ini” katanya menyesali.
”Seharusnya tadi aku tahu kamu capek, jadi bisa bersabar untuk urusan rasa kangenku!” sesalnya lagi mengingat betapa dia tadi sangat bersemangat melepaskan rasa kangennya padaku. Kami tadi sangat kangen, hingga begitu lelah, dan sesudahnya tertidur hampir dua jam! Aku mendekatinya, aku tak ingin Martin menyesalinya. Kupeluk Martin.
”Martin, tak apa-apa. Aku juga kangen kok!” Martin membalas pelukkanku. ”Linda, ini hadiah paling berharga untukku, untuk Cyril dan Inge” katanya. ”Linda, kamar ini pasti membuat mereka senang disini” lanjutnya lagi.
”Ayo kita berangkat ah!” kataku mengajak Martin. ”Aku sudah lapar nih!” lanjutku lagi. ”Lagi pula setelah makan aku mau mampir ke toko beli lampu tidur dan laundry box” kataku pula. Martin menggandengku keluar kamar.
Sepanjang perjalanan, kearah selatan, aku berpikir. Tak sulit bagiku menerima kehadiran anak-anak Martin. Aku mempersiapkan kamar tidur itu dengan antusias dan gembira. Tak pernah Martin menuntutku menyediakan kamar seperti itu bagi kedua anaknya liburan nanti. Aku merasa senang mereka mau datang, berlibur ke rumah kami. Sejak pertemuan pertamaku dengan Inge dan Cyril, aku telah menyukai mereka,
Tapi mengapa aku begitu berat dan sulit untuk mempercayai Martin. Selalu muncul keraguanku akan cintanya. Dulu, sebelum menikah, aku tahu Martin menyayangiku. Hanya saja peristiwa pernikahan kami yang terasa dipaksakan membuatku tak lagi mempercayainya. Aku melihat Martin hanya berkorban untukku. Meski aku menyayanginya, tapi hingga kini rasa tak percaya itu muncul terus. Hampir selalu aku tak mampu menghilangkannya.
Aku telah mendiskusikannya dengan Martin. Martin juga meyakinkanku dengan tindakan nyata selama pernikahan kami. Perhatiannya padaku, rasa sayangnya. Dia memperlakukanku dengan sabar dan penuh pengertian. Padahal aku sangat emosional. Kadangkala aku membiarkan Martin berhari-hari. Tanpa mau bicara dengannya. Bukan karena dia melakukan kesalahan. Hanya karena aku sedang tak ingin saja berkomunikasi dengannya. Biasanya pikiranku sedang diganggu tentang Rinto. Perasaan bersalahku pada Rinto.
Bahkan jika aku begitu depressi, mengingat Rinto dan menuntut Martin menyakinkanku akan ketidak terpaksaannya mengawiniku, aku beberapa kali pernah pingsan. Juga bila aku menyesali pemaksaan keluargaku aku biasanya mulai dengan melamun kemudian menumpahkan kemarahanku dengan mengurung diri di kamar. Menghamburkan semua isi lemari pakaianku. Membanting foto pernikahanku dengan Martin. Kacau sekali! Kalau kebetulan Martin ada di rumah, biasanya dia mencoba menenangkanku dengan memelukku. Maka sasaranku adalah dia, aku akan berontak bahkan memukuli dadanya. Yang dilakukan Martin hanya memelukku kuat kuat hingga aku mereda atau pingsan. Tak sekalipun keluar ucapan kasar dari Martin.
Aku juga sering menangis, lalu sesak nafas dan tergeletak tak berdaya. Hampir sebulan sekali aku sesak nafas seperti itu, bisa berlangsung dua hingga tiga hari. Biasanya terjadi karena Rinto menelpon atau kirim surat, menagih janjiku. Saat seperti itu aku tahu, hanya cintalah yang membuat Martin sabar padaku. Tak pernah Martin menceritakan kejadian ini pada keluargaku. Hanya aku dan dia yang tahu! Lucunya aku juga tidak pernah mengeluhkan itu pada Mama atau Papa atau siapapun. Kejadian itu hanya aku simpan, entah sampai kapan.
Sebenarnya aku harus mengakui perasaanku. Nyatanya aku kangen ketika Martin tak bersamaku. Aku rindu, ingin dia segera pulang. Aku selalu menghitung hari, kapan waktu Martin pulang. Aku selalu menyambutnya dengan hangat kala dia kembali. Seperti tadi siang. Hanya saja perasaanku terombang ambing. Apalagi bila ingat Martin begitu pasrah menerima pernikahan kami.
Seandainya aku mampu membaca pikirannya, aku ingin tahu, saat keluargaku memaksanya menikah denganku, apa yang jadi alasan sesungguhnya mau menikah denganku. Memang, dulu Martin secara pribadi melamarku, ingin menikah denganku. Aku secara jujur tak pernah menolak. Aku hanya minta kami menunggu. Aku masih ingin menyelesaikan hubunganku dengan Rinto.
Jadi, kamar tamu yang kupersiapkan untuk Cyril dan Inge sebenarnya bukan untuk mereka saja. Tapi untuk terapi hatiku, perasaanku. Mengobati hatiku, mencari jawaban. Sekaligus juga ingin menerima takdirku. Aku mau mencoba mempercayai Martin!

LIBUR SEKOLAH


Minggu sore, sekitar jam lima aku dan Martin sudah berada di emplasemen stasiun Gambir. Duduk di bangku panjang, menunggu anak-anak Martin datang dari Bandung. Cyril dan Inge datang ditemani Mbak Pipin, pengasuh mereka. Mereka akan berlibur selama dua minggu bersama kami. Ini liburan kenaikan kelas, jadi suasana di stasiun sangat ramai dengan calon penumpang keluarga atau kelompok remaja dengan tas ransel di punggung, mungkin akan mendaki gunung. Tujuan mereka ke kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
Martin menceritakan padaku, naik kereta api ini bagi Cyril dan Inge adalah pengalaman pertama. Selama ini mereka kalau ke Jakarta selalu dengan mobil. Martin mengizinkan mereka naik kereta, karena mereka sudah cukup besar, jarak Bandung - Jakarta juga tak terlalu jauh. Kami mulai gelisah karena sudah satu jam kereta dari Bandung belum juga tiba. Kemudian pengeras suara di stasiun mengumumkan bahwa kereta dari Bandung akan terlambat tiba. Ada hambatan di sekitar Karawang. Wah! Martin gelisah. Aku hanya berharap Mbak Pipin dapat menenangkan anak-anak, seandainya mereka jadi rewel.
Hampir jam tujuh, kereta yang ditumpangi Cyril dan Inge baru tiba. Martin dan aku menunggu di pintu keluar dekat tangga gerbong mereka. Kami telah melihat mereka bertiga. Yang pertama muncul adalah Cyril disusul Mbak Pipin sambil menuntun Inge, koper mereka dipanggul seorang portir. Martin dan aku memanggil mereka. Cyril segera berlari ke arah kami. Inge segera menyusul. Martin memeluk mereka, sambil agak berjongkok. Inge segera melepaskan diri dari Martin kemudian mendekatiku. Aku memeluk Inge, mencium pipinya. Kulihat Cyril juga telah melepaskan diri dari Martin. Berdiri di sampingku, menunggu untuk memberi salam! Kuraih tubuh Cyril, mencium pipinya, tanpa melepaskan pelukkanku pada Inge. Aku juga menerima salam dari Mbak Pipin.
Sepanjang perjalanan, mobil riuh dengan cerita Cyril dan Inge.
”Papa, tadi kereta api kami melewati terowongan, panjang deh dan gelap!” cerita Cyril. Belum sempat Martin menanggapinya, Inge juga angkat bicara.
”Tadi kami dapat roti coklat sama teh kotak” kata Inge.
”Pa, tadi waktu lewat terowongan gelap Inge kan takut, pelukan sama Mbak Pipin! Aku tidak takut!” kata Cyril ingin pamer bahwa dia sudah besar, berani. Kami menertawakan Inge, tapi Inge ternyata tidak marah.
”Inge kan masih kecil!” katanya manja, berdalih.
”Ya, tapi Inge sekarang mau masuk SD, nanti nggak boleh takut ya!” kata Martin. Aku lebih banyak berdiam diri membiarkan mereka bertiga sedang bicara. Sesekali turut tertawa, bersama Mbak Pipin.
Kami tak langsung pulang, makan malam di sebuah restoran masakan Cina. Aku juga minta mampir ke sebuah supermarket. Aku mau beli susu buat mereka serta beberapa keperluan untuk sarapan. Sebenarnya aku kemarin ingin membeli bahan-bahan itu, tapi ragu, karena tak tahu susu merek apa yang mereka suka. Jadi sengaja mengajak mereka untuk memilih sendiri. Ternyata pilihan mereka, susu segar dalam kotak, roti, selai coklat, kue kering, jelly dan ice cream dalam kotak. Kami tiba di rumah hampir jam sembilan malam.
Kuantar kedua anak itu masuk ke kamar tamu. Mbak Pipin masuk sekalian membawa tas, menyusul kami.
”Ini kamar tidur untuk kalian berdua juga Mbak Pipin” kataku menjelaskan. Cyril dan Inge memandang kamar dengan gembira.
”Hore, kamarnya bagus!” kata Inge spontan,berjalan mendekati tempat tidur.
”Aku tidur di sini ah, ada Donald nya!” kata Cyril, sambil mendekati tempat tidur yang berada dekat dinding luar. Mengelus bedcover biru muda degan gambar Donald Duck. Kemudian duduk di pinggir tempat tidur sambil mencoba ke empukkan kasurnya. Tak mau kalah, Inge juga menimpali kakaknya.
”Aku tidur disini, ada gambar Dessy nya” kata Inge.
Syukurlah, tak ada masalah dengan kamar tidur.
Martin bergabung dengan kami, meminta Mbak Pipin untuk membantu anak-anak mandi dan ganti pakaian. Memberi tahu mereka letak kamar mandi dan toilet. Aku menyerahkan dua handuk baru untuk Inge dan Cyril. Tak menyangka mereka begitu riang menerimanya.
”Tante Linda, handuknya bagus” kata Cyril padaku sambil memamerkan handuk baru itu pada kami. Martin juga baru melihatnya, menoleh padaku, tersenyum. Handuk Cyril berwarna putih dengan gambar Donald Duck besar pada dua ujungnya. Sedangkan Inge juga membentangkan handuknya. Handuk berwarna merah muda bergambar pasangan Donald Duck, si Dessy Duck. Hanya saja reaksinya berbeda dengan Cyril.
”Tante Linda, Inge pakai handuk yang dibawa Mbak Pipin aja ya?” katanya padaku. Kami semua memandang Inge heran.
”Kenapa, Inge tidak suka handuk itu?” tanyaku hampir bersamaan dengan pertanyaan Martin.
”Suka sekali, tapi sayang kalau dipakai!” kata Inge menjelaskan.
”Oh begitu, boleh saja. Tidak apa-apa!” jawabku.
”Tante Linda, nanti handuk itu boleh Inge bawa pulang nggak?” katanya agak takut takut. Aku tentu saja tertawa. Anak ini!
”Boleh, itu Tante Linda kasih buat Inge kok!” jawabku. Ini membuat Inge melonjak gembira.
”Dasar Inge, baru datang sudah mikir oleh-oleh!” kata Martin.
”Ya sudah, jangan dengar komentar Papa deh. Pokoknya handuk itu buat kalian, jadi semuanya boleh dibawa pulang” jawabku. Langsung kudengar suara Cyril berseru gembira.
”Hore!” Cyril berseru. Aku tahu Cyril tentu berharap seperti Inge. Kali ini Martin lebih faham, tidak seperti dulu, sewaktu aku pertama kali bertemu dengan anak-anaknya.
Kutinggalkan anak-anak yang bersiap mandi. Aku ke kamar kami, berniat ganti pakaian rumah saja. Martin sedang mengambil kasur lipat untuk Mbak Pipin tidur. Baru saja aku akan keluar kamar, Martin masuk.
”Linda, mau langsung tidur?” tanyanya.
”Tidak, hanya gerah saja jadi ganti baju” jawabku. Aku teringat besok anak-anak dan Mbak Pipin akan ditinggal di rumah, karena kami harus ke kantor.
”Oh iya Martin, kita harus kasih tahu anak-anak rencana liburan ini” ujarku , mengingatkan Martin.
”Okay, nanti sebelum mereka tidur saja” jawab Martin.
Aku dan Martin duduk di sofa di ruang tengah sambil nonton televisi. Kami menunggu anak-anak yang sedang mandi. Di depan sofa kupasang karpet biru dengan beberapa bantal kecil. Anak-anak segera bergabung bersama kami. Mbak Pipin kini juga sudah berganti pakaian rumah. Dia menyerahkan bungkusan padaku.
”Ibu, ini titipan dari Oma, buat ibu, maaf lupa tadi” katanya.
”Terima kasih ya Mbak!” ucapku pada Mbak Pipin. Kubuka, isinya sekotak kue soes kesukaanku dan cake coklat. Mertuaku sudah faham aku suka kue itu. Kemudian aku mulai bicara pada anak-anak.
”Nah, sekarang Tante Linda mau kasih tahu ya” ujarku. ”Kalau mau minum silahkan ambil sendiri di kulkas. Kalau mau roti atau makanan lain tempatnya di rak sana” lanjutku menunjuk rak dekat kulkas. Jangan malu ya, ini kan rumah Papa dan Tante Linda, rumah kalian juga”. Kepada Mbak Pipin kuminta untuk melihat ke dapurku.
”Mbak, di dapur ada bahan makanan kering, mungkin anak-anak mau. Masak sendiri ya” kataku.
”Baik Bu” katanya santun. Mbak Pipin telah mengenal keluarga Martin sejak dia kecil. Ayahnya dulu supir Papi. Sewaktu suaminya meninggal, Mbak Pipin kemudian bekerja merawat Cyril dan Inge hingga sekarang. Usianya mungkin sama denganku. Anak-anak hanya mengangguk. Aku menyenggol Martin menyuruh dia bicara. Martin kemudian menjelaskan rencana liburan untuk anak-anak.
”Besok Senin, kalian tinggal dulu di rumah, Papa dan Tante Linda ke kantor. Pas jam makan siang akan Papa jemput, kita makan siang sama-sama dengan Tante Linda” Martin melanjutkan ” Setelah makan siang kita ke toko buku di mall”
Lalu kulihat telunjuk Inge terangkat.
”Sama Tante Linda kan?” Inge bertanya.
”Tidak sayang!” jawab Martin.
”Tante harus kembali ke kantor” jawabku buru-buru. Kulihat Inge agak kecewa. Martin segera melanjutkan ”Jam lima kita jemput Tante Linda di kantornya. Kita pulang ke rumah dulu istirahat” lanjut Martin. ”Nanti jam tujuh kita makan ikan bakar di pantai, mau kan?” kulihat kembali rona kegembiraan pada mereka.
Kemudian kami jelaskan rencana hari Selasa, mereka akan di jemput Fritz, sepupu Martin dengan tiga anak-anak mereka. Fritz sudah janji akan mengajak mereka ke rumahnya. Untuk berenang dan bermain di sana hingga sore. Kami akan menjemput mereka sepulang kantor.
Hari Rabu, Martin cuti, jadi bisa seharian bersama mereka. Aku tak bisa bergabung untuk makan siang bersama karena mau pergi ke Bogor untuk urusan kantorku. Hari Kamis, Martin akan ke kantor karena ada janji rapat dengan kontraktor. Dia janji akan pulang lebih awal, hingga bisa makan malam bersama mereka. Lalu nonton film ke bioskop, kebetulan ada film untuk anak-anak. Hari Kamis, aku akan berangkat ke kantor agak siang, jadi bisa menemani anak-anak. Rencanaku, hanya pergi ke pasar dan mencoba memasak makan siang kami. Aku akan pulang malam, karena tengat waktu untuk iklan cetak dan membereskan hal-hal yang perlu serta memberi pesan-pesan untuk stafku. Jum’at pagi akan rapat hingga jam sepuluh, kemudian menyusul Martin dan anak-anak di airport. Kami mau liburan ke Bali.
Ketika mendengar mereka akan diajak pergi ke Bali, Cyril dan Inge sangat gembira. Mereka belum pernah pergi kesana. Liburan mereka tahun lalu ke Jogyakarta dan objek wisata di Jawa Tengah. Martin menjelaskan, kami akan kembali ke Jakarta hari Kamis siang minggu depan. Hari Jum’at akan kami antar ke Bandung, karena Senin berikutnya sudah mulai masuk sekolah.
”Papa, nanti di pesawat terbang aku duduk dekat jendela ya?” pinta Cyril. Inge seperti kakaknya juga menyatakan ingin duduk di sisi jendela. Tapi dengan syarat.
”Papa, Inge juga mau duduk dekat jendela, tapi duduknya sama Tante Linda”katanya. Wow... anak ini mulai menjadikan aku idola barangkali, pikirku.

”Wah, itu terserah Tante Linda!” kata Martin menggoda Inge. Anak itu langsung memegang tanganku.
”Mau kan Tante duduk sama Inge?” katanya. ”Inge nggak muntah kok, ya kan Mbak?” rayunya sambil meminta dukungan Mbak Pipin. Tentu saja tak masalah bagiku. Aku mengangguk menyetujui. Inge langsung mengacungkan jempolnya.
”Nah, semua sudah jelas ya. Sekarang kalian boleh tidur” ujar Martin. Mbak Pipin kemudian membimbing mereka ke kamar tidur. Kami hanya menjenguk mereka sebentar, kembali duduk di sofa. Martin minta aku menemaninya nonton siaran langsung pertandingan sepak bola, olah raga yang disukainya. Kudengar kamar anak-anak segera sepi, sudah tidur rupanya. Aku buat minuman dingin untukku dan Martin. Sebenarnya aku tak begitu tertarik nonton sepak bola. Jadi aku cuma bersandar saja di sofa, di samping Martin. Martin memelukku, mencium pipiku.
”Mulai hari ini rumah kita akan berisik Lin!” katanya memulai percakapan.
”Biasanya mereka suka berlarian dan bercanda di dalam rumah, di kamar dan di depan televisi” lanjutnya. Seakan meminta maaf padaku. Aku pandang Martin, ”Martin, aku sudah tahu itu, jadi tidak masalah. Rumah kita kan tidak ada barang pajangan yang mudah pecah, iya kan?” kataku. Satu-satunya pajangan yang kupunya di atas rak dekat telpon adalah dua ekor anak itik dan induknya. Kubeli saat berlibur dengan Martin ke Bali.
”Lagipula, kalau ribut sedikit ya wajarlah , anak-anak!” lanjutku. Martin terdiam mendengar jawabanku.
”Bagiku yang penting Cyril dan Inge merasa betah selama menginap disini” kataku melanjutkan.
”Oh iya, tetangga sebelah, Mas Sunarko kan punya anak sebesar Cyril, si Bobby, juga Intan, si bayi. Kita kenalkan saja, bisa jadi teman main anak-anak kan! Aku rasa Bobby juga libur sekolah” kataku.
Martin mengangguk, kemudian meraih remote control. Tiba-tiba mematikan siaran televisi.
”Hey, kenapa ngantuk ya?” tanyaku. Martin menggeleng, tapi tiba-tiba menyerggapku dengan ciuman di bibir. Aku tak menyangka, jadi tak bisa menghindarinya. Memelukku erat, sementara aku sedang teringat anak-anak di kamar mereka. Terpikir olehku, kalau kami berisik, nanti mereka terbangun. Pemandangan kami sedang berciuman tentu mengagetkan mereka. Susah payah menghindari bibir Martin, akhirnya aku berhasil. Masih terengah, aku langsung bilang padanya.
”Martin, jangan konyol ah! Ada anak-anak, nanti mereka bangun” Martin cuma tertawa senang.
”Okay, aku lupa. Kalau gitu kita ke kamar ah!” katanya menarik tanganku. Aku baru saja akan berdiri, ketika kudengar derit pintu kamar anak-anak. Inge membuka pintu. Hampir saja kepergok! Martin langsung mendekati Inge.
”Inge kenapa bangun lagi?” tanya kami hampir bersamaan.
”Mau pis” kata Inge. Kuantar Inge ke kamar mandi, kemudian Inge kembali ke kamarnya.
”Tadi betul juga ya Lin!” kata Martin, begitu aku dan dia sudah di tempat tidur. Aku mentertawakannya.
”Lalu apa yang akan kita katakan kalau Inge lihat tadi?” tanyaku ingin tahu tindakan Martin. Dia menggeleng.
”Lin, Cyril tak pernah melihat aku dan ibunya akrab apalagi mesra, lihat aku perang mulut iya!” kata Martin mengaku.
”Apalagi Inge! Kami berpisah, dia baru empat bulan. Jadi aku tak tahu jawabannya” lanjut Martin sendu.
”Martin, aku juga sama, tidak tahu! Tapi aku harap, kita memperkenalkan kehidupan keluarga yang akrab secara perlahan ya!” jawabku.
”Jangan mereka langsung lihat kita French kissing!” lanjutku. ”Mereka shock nanti. Mulai aja pelukan, cium pipi, bergandengan tangan, bercanda di depan mereka. Tapi jangan asyik sendiri, mereka merasa diabaikan” kataku.
”Linda, aku benar benar bersyukur kau memikirkan mereka!” katanya terharu, mengelus pipiku.
”Aku ayah mereka begitu egois ya, hanya memikirkan diriku. Sementara kau, memikirkan perasaan mereka!” lanjutnya.
”Iya, karena aku tidak ingin mereka membenciku. Juga karena kamu tuh orang tehnik, jadi nggak terpikir dampak emosional” kataku sok ilmiah. ”Kami orang ilmu sosial beda dong!” kataku makin pamer.
”Yang pasti jangan terlalu bebas seperti mereka tidak ada disekitar kita” lanjutku. ”Lin, aku salut sama kamu. Apa saja pilihanmu untuk mereka pasti disukai. Mereka selalu ingin dekat denganmu” kata Martin.
”Okay, sebenarnya aku hanya ingin mereka menganggap aku tidak merebutmu dari mereka, lalu benci aku. Mereka ingin dekat aku, tak masalah! Tapi aku harap jangan membuat mereka lupa ibu mereka!” kataku. Martin mendadak termangu.
”Linda, aku mau terus terang!” kata Martin. ”Bukan aku yang melarang Siska bertemu anak-anak” Aku memandangnya heran. ”.......jadi?” Martin melanjutkan.
”Mami dan Papi, Lin! Mereka yang pertama kali mengetahui Siska punya pacar. Aku kan di Jakarta!”. Martin meneruskan ceritanya.
”Mami menangis histeris, Papi tidak bicara selama dua hari. Itu cerita Mirna. Padahal, dulu mereka begitu sayang pada Siska. Mereka kecewa sekali, dan tidak ingin bertemu lagi. Jadi Siska takut menemui anak-anak” kata Martin menyudahi ceritanya.
Oh...itu rupanya kejadian sesungguhnya. Martin memelukku, kususupkan wajahku ke dadanya. Aku tahu berat baginya di tahun-tahun perpisahannya dengan Siska. Inge masih usia empat bulan. Untungnya ada Mami dan Mbak Pipin. Mirna yang tinggal tak jauh dari rumah Mami juga sangat membantu. Menurut Martin, saat mendapat kabar Cyril atau Inge sakit yang paling sulit. Tak bisa segera pulang menemui mereka, karena pekerjaan di Jakarta sulit ditinggalkan. Ibu mereka tak mungkin datang.
”Lin, waktu itu aku memang fokus pada karirku. Aku sangat kurang memperhatikan Siska. Dia kesepian, tanpa kegiatan apa-apa. Wajar dia berpaling pada pria lain” katanya menjelaskan.
”Lagi pula dia kurang minat bila aku cerita soal pekerjaanku. Baginya yang penting aku bawa uang banyak, dia bisa beli baju mahal, makan di restoran dengan teman-temannya, mobil bagus. Sudah!” kata Martin mengagetkanku.
”Pria itu sahabatku Lin, Herman!” lanjutnya, mengagetkanku.
”Herman yang.....?” tanyaku tak enak meneruskannya. Aku pernah bertemu Herman. Kami diperkenalkan saat aku dan Martin sedang makan di sebuah cafe di Bandung.
”Itu pelajaran berharga mahal Lin! Sekarang aku menemukan orang yang hampir sempurna harapanku. Dapat mengimbangi pemikiranku, menampung cerita pekerjaanku yang begitu berat, bahkan kadang aku minta pendapatmu. Itu sangat mendukung karir dan rumah tanggaku. Aku merasa stabil saat ini!” kata Martin. ”So, jangan kaget ya kalau aku sangat protektif padamu!” lanjutnya. Aku spontan protes pada Martin.
”No, aku nggak mau jadi korban!” protesku. ”Kamu harus realistis, ya kan!” lanjutku. Martin memahamiku, tanpa aku harus meneruskan. Dia tahu itu pasti ada kaitan dengan Rinto! Ah... kapan masalah ini akan berakhir, pikirku. Akarnya semakin dalam, menyeruak kemana mana! Aku tak dapat dengan mudah melepaskan diri dari Martin.
Tapi hari ini, satu lagi tindakkanku yang tak memungkinkan untuk meloloskan diri dari dari Martin dengan mudah. Aku kini mempertimbangkan kedua anak kecil yang tidur nyenyak di kamar tamu sebelah kamar kami. Dua jiwa yang begitu ringkih! Mulai menggelayutkan tangan–tangan kecil mereka penuh harap untuk dibimbing pada kami. Sekarang mereka jadi tamuku. Mungkin tidak selalu akan menjadi tamuku. Mungkin aku tak bersama mereka lagi pada liburan tahun depan! Atau bisa jadi mereka akan pindah kesini! Banyak kemungkinannya.
Martin membuyarkan segala pikiranku dengan sebuah pelukkan.
”Lin, sekarang aku mau realistis ah!” katanya menggodaku, mengelus punggungku. Aku tahu, saat ini aku juga harus realistis! Martin suamiku, jadi aku membalasnya dengan melingkarkan tanganku ke lehernya. Menerima ciumannya yang hangat.

Anak tetanggaku

Aku bangun jam lima lewat sedikit, Martin masih tidur di sampingku. Perlahan kutinggalkan ke toilet dan keluar kamar. Kulihat Mbak Pipin telah menyiapkan sarapan untuk kami semua. Selama liburan sekolah, Mbak Pipin dan anak-anak Martin menginap dirumah kami.
”Wah Mbak, aku kesiangan bangun!” kataku pada Mbak Pipin, pengasuh anak-anak. ”Terima kasih ya sudah bikin sarapan!” kataku lagi.
”Nggak apa-apa Bu!” jawab Mbak Pipin.”Saya sudah biasa kok” katanya lagi. ”Anak-anak belum bangun?” tanyaku.
”Belum, biasanya jam enam bangunnya Bu” jawab Mbak Pipin menjelaskan. Merasa sudah beres urusan sarapan pagi, aku meninggalkan ruang makan. Ingin mandi dan bersiap ke kantor. Hari Senin ini aku akan sibuk, banyak laporan masuk dan mempersiapkan untuk cuti minggu depan.
Aku biasanya berangkat ke kantor sekitar jam tujuh. Setelah make-up aku masih sempat menyiram anggrek-anggrekku. Juga beberapa tanaman yang menghiasi halaman depan dan belakang rumah kami. Aku sedang menyiram anggrekku ketika Cyril dan Inge muncul di teras. Masih dalam pakaian tidur mereka. Aku melambai pada mereka, mengajak mereka melihat-lihat halaman. Udara pagi yang masih dingin tak menggangu mereka. Mereka kan tinggal di Bandung yang lebih sejuk dari Jakarta.
”Hallo! Tidurnya nyenyak tidak?” tanyaku pada mereka. Mereka berpandangan, aku tahu pasti ada yang mereka ingin katakan.
”Inge , kenapa?” tanyaku, sengaja aku tanya Inge, dia lebih spontan kalau mengungkapkan pikirannya dibandingkan Cyril.
”Tadi malam Inge gerah!” katanya. Maksudnya tentu tidurnya tak nyenyak karena udara agak lembab. Ya, akhir Juni ini, Jakarta memasuki musim kemarau, jadi jauh lebih lembab dari biasanya.
”Nanti kita bilang Papa ya, biar di pasangkan kipas angin” kataku. Aku meneruskan menyiram bunga-bungaku ke halaman belakang. Cyril dan Inge turut mengikuti, sesekali main air!
Kusuruh Inge mengetuk jendela kamarku yang berada di halaman belakang. ”Bangunkan Papa!” kataku. Cyril dan Inge serempak mengetuk ngetuk jendela kamar. Aku tahu Martin pasti kaget, rasakan! Mereka berseru-seru pada Martin.
”Papa, bangun dong!” teriak mereka. Tak lama, Martin sudah muncul.
”Kalian lagi apa?” katanya, masih terlihat mengantuk. Aku sudah selesai. Cyril masih memainkan selang air bersama Inge.
”Main air!” kataku mendekati Martin. Anak-anak memperhatikan ketika Martin mencium pipiku, kebiasaannya setiap bangun pagi. Mereka diam, tanpa komentar.
Martin memanggil mereka mendekati kami. Dia segera memeluk keduanya. Mencium mereka.
”Nah, semua mandi ya! Kita sarapan sama-sama. Papa sama Tante Linda mau ke kantor” kata Martin, masuk kembali ke dalam rumah, untuk bersiap ke kantor. Aku segera berganti pakaian kerja. Menyiapkan tasku. Martin juga tinggal memasang dasinya. Aku mendengar pintu pagar di buka, supirku, Pak Husen datang. Dia baru lima bulan bekerja sebagai supir di kantorku. Aku menemuinya di garasi. Menyerahkan beberapa berkas untuk dibawa. Kami segera sarapan.
Aku pamit pada Mbak Pipin dengan beberapa pesan, terutama memberikan nomor telepon kantorku dan Martin, seandainya mendadak memerlukan kami. Memberi tahu beberapa kunci pintu. Martin, Cyril dan Inge mengantarku ke teras. Inge berada di sampingku, membelai tas yang tergantung talinya di bahuku. Martin memberi kode dengan matanya, memberi tahu kelakuan Inge. Aku juga minta Pak Kun untuk menemani anak-anak, terutama kalau ingin bermain di luar rumah.
”Hey, Inge ngapain pegang-pegang tas Tante Linda” tegur Martin melihat Inge mengagumi tas kerjaku. Cuma tas warna hitam besar berbentuk persegi terbuat dari kulit, tote bag. Tas itu berisi beberapa file, dompet, pouch cosmetik, kacamata hitam, scarf dan kotak pensil.
”Bagus!” Jawab Inge, singkat. Martin dan aku tentu saja tertawa.
”Dasar cewek!” kata Martin tertawa. Pak Husen sudah mengeluarkan mobil.
Aku pamit pada Martin sambil mencium pipinya. Cyril dan Inge memperhatikan kami. Aku kini berbalik dan berpamitan pada mereka. Mencium keduanya. Saat itu kudengar suara tetanggaku, sedang berdiri di jalan depan rumah, dekat mobilku. Inge masih di dekatku, dekat tasku tentu saja.
”Selamat pagi!” kata bu Sunarko. Rupanya dia baru pulang jogging, anaknya Bobby, juga bersamanya. Kami membalas salamnya. Aku segera mendekati Bu Sunarko. Kuajak Cyril dan Inge untuk berkenalan. Martin akhirnya turut bergabung bersama kami.
”Oh ada tamu ya! Siapa ini?” kata bu Sunarko memandangi Cyril dan Inge.
“ Ini Cyril dan Inge, anak kami” kataku menjelaskan. ”Liburan sekolah! Ayo kasih salam sama Tante Sunarko dan Mas Bobby!” lanjutku memperkenalkan keduanya. Mereka kemudian bersalaman.
”Oh, kalian sudah punya anak ya!” katanya kaget. ”Saya kira penganten baru!” serunya. Aku hanya tersenyum saja, Martin juga.
”Nanti main ke sebelahnya ya sama Mas Bobby” kata Bu Sunarko menawari anak-anak.
”Maaf saya berangkat dulu Bu Narko” kataku pamit padanya.
”Cyril, Inge, nanti makan siang kita ketemu ya, daag!” kataku sambil masuk mobil.
”Daag, daag, daag! Seru mereka bertiga. Aneh rasanya, aku merasa nyaman mendengar suara mereka bersamaan. Keluarga kecilku, melambaikan tangan mengantarkanku pergi. Kulihat, mereka melambaikan tangan hingga mobilku menjauh pergi.
Menurut Mbak Pipin, yang cerita padaku dan Martin setelah anak-anak tidur sepulangku dari kantor malam ini. Rupanya sepeninggalku dan Martin ke kantor, Bobby bermain ke rumah kami. Bobby usianya sekitar delapan atau sembilan tahun, sudah naik ke kelas tiga sekolah dasar. Datang ke rumah kami membawa dua mainan mobil-mobilannya. Sebuah mobil truk dan pemadam kebakaran. Inilah awal yang mengganggu liburan Cyril dan Inge!
Semula mereka asyik saja bermain, sampai kemudian sekitar jam sebelas Mbak Pipin mengingatkan mereka untuk bersiap pergi, Martin telah menelpon akan menjemput. Saat itulah Inge dengan spontan bilang pada kakaknya sedang bermain dengan Bobby di teras depan.
”Kak, ayo ganti baju, sebentar lagi Papa jemput” kata Inge. ”Kita kan mau makan siang sama Tante Linda!” lanjutnya. Mendengar Inge menyebut aku Tante Linda, Bobby langsung bertanya pada Cyril.
”Kok panggil Tante? Dia bukan ibu kamu ya?” katanya. Menurut Mbak Pipin, Cyril jadi terdiam.
”Tapi Om Martin itu Papa kamu kan?” usik Bobby, Cyril mengangguk. Mbak Pipin juga mendengar bahwa Bobby sempat bilang pada Cyril.
”Jadi Tante Linda itu ibu tiri kamu?” katanya meneruskan. ”Ibu tiri kan jahat!” hasutnya. Begitulah, anak-anak memulai hari libur mereka. Aku menyesal memperkenalkan mereka pada Bobby, tak menyangka akan membuat Cyril dan Inge terluka.
Ya, saat makan siang aku merasakan perubahan pada Cyril dan Inge. Tidak gembira dan spontan lagi padaku. Saat makan itu beberapa kali aku memergoki Cyril mengawasiku. Aku tak tahu sebabnya. Karena pertemuan makan siang kami singkat, dan berpisah mobil, aku tak tahu apa yang terjadi. Rupanya, Cyril menanyakan pada Martin soal ibu tiri yang jahat. Juga mengapa Tante Linda disebut ibu tiri.
Sebenarnya Inge tak terlalu faham apa yang menggangu pikiran Cyril tentang ibu tiri. Dia hanya bingung mengapa Tante Linda dikatakan jahat oleh Bobby. Inge juga tidak tahu apa arti ibu tiri. Ya bagaimana dia tahu arti ibu tiri. Ibu kandung pun dia tidak tahu artinya! Huh......konyol sekali! Bikin masalah saja anak tetanggaku itu!
Martin agak kesal, tapi terlihat menahan diri. Dia bilang, pada anak-anak, tidak semua yang dikatakan Bobby benar. Tapi dia berjanji untuk melindungi anak-anak dari orang jahat. Martin mengaku bingung untuk menjelaskannya pada anak-anak. Aku tahu, Martin berharap aku mau membantu. Ya, tentu saja, tidak fair untuk membiarkan hasutan Bobby, anak tetanggaku itu merusak hubungan kami. Aku akan menjelaskan pada mereka dengan caraku! Mbak Pipin yang sudah mengenalku dan mengetahui bagaimana aku memperlakukan Cyril dan Inge juga turut kesal pada Bobby.
”Lin, ini permulaan masalah bagi kita dan anak-anak. Aku harap kita bisa mengatasi dengan baik” kata Martin setelah Mbak Pipin pamit ke kamar untuk tidur.
”Ok, jangan khawatir!” jawabku. ”Aku ambil peran utama untuk menyelesaikan soal ini. Anak-anak dapat peran pembantu, sorry, kau figuran lagi!” kataku, setengah bercanda.
” Aku tidak takut dibilang ibu tiri!” ujarku. Kemudian aku serius mengatakan pada Martin. ”Mereka akan tahu ibu tiri yang bagaimana aku ini” lanjutku.
”Meski tidak menjanjikan apa-apa pada Cyril dan Inge, aku akan jujur dalam bertindak pada mereka, kau jangan khawatir!” janjiku pada Martin, berharap dia dapat lebih tenang.
”Linda, jangan salah faham ya. Aku percaya padamu, sungguh!” katanya terharu. “Aku tahu hatimu begitu tulus pada anak-anakku. Itu sudah cukup bagiku”
Nah, kalau begitu beres sudah persoalan ini. Menjelaskan pada anak-anak hanya soal istilah bahasa saja. Perbedaan maknanya dalam kehidupan yang akan kami jelaskan. Itu jauh lebih sulit! Tidak bisa sekarang, tergesa-gesa, hanya karena ucapan usil anak tetanggaku! Perlu waktu! Cyril dan Inge yang akan menjelaskan pada kawan-kawan mereka termasuk Bobby, tentang ibu tiri. Seperti sebuah film, pemain utama akan mendapat promosi jika bermain bagus! Ya kehidupan keluargaku adalah sebuah drama. Selain perlu pemain inti, juga perlu figuran-figuran, seperti Bobby, anak tetanggaku. Bahkan mungkin para tetanggaku lainnya.
Sebelum berangkat ke kantor, pagi ini aku menyempatkan ngobrol dengan Cyril dan Inge. Pekerjaan rutinku sudah diambil alih Mbak Pipin. Enak juga! Aku akan berangkat ke kantor sekitar jam sembilan, langsung ke kantor klien kami untuk rapat. Sengaja aku membangunkan anak-anak dan mengajak mereka bergabung tiduran di kamar kami. Martin tentu saja terkejut, melihat anak-anaknya sudah duduk di tempat tidur kami. Aku mencoba mencairkan kekakuan mereka kemarin akibat ucapan Bobby.
Kunyalakan lampu kamar agar lebih terang. Matahari pagi belum terbit sempurna. Kuingatkan bahwa hari ini mereka akan di jemput Om Fritz, sepupu Martin dengan tiga anak-anak mereka, Jenny, Fiona dan Marko. Fritz sudah janji akan mengajak mereka ke rumahnya. Untuk berenang dan bermain di sana hingga sore. Kami akan menjemput mereka sepulang kantor. Dialog mulai muncul dari Inge.
”Tante Linda nanti jemput kami?” tanya Inge ”... Syukur! Bagus lah pengaruh Bobby tak terlalu besar. Inge masih inginkan kehadiranku.
”Ya, tentu. Kita nanti makan malam sama sama ya!” jawabku.
”Nggak enak ya, kalau Tante Linda nggak ikut!” Martin cepat menimpali.Kulihat Cyril masih ragu bergabung pada percakapan kami. Hanya matanya yang menatapku.
”Iya!” seru Inge spontan.
”Kenapa?” tanyaku.
”Inge nggak takut sama Tante?” tanyaku menguji Inge.
Lalu sambil memeluk Cyril, aku menanyainya juga. ”Cyril takut nggak dijahatin Tante?” dia menggeleng. Aku gelitiki pinggangnya.
”Bener nih, nggak takut?” tanyaku lagi sambil tertawa, Cyril tentu saja menggeleng-geleng sambil menghindari tanganku. Dia mulai tertawa. Martin faham. Melihat aku bergulat dengan Cyril, Martin juga turut tertawa, juga Inge. Kami bersama-sama menggelitiki Inge juga. Mereka juga mulai membalas kami. Kamar kami jadi riuh pagi itu dengan gelak tawa. Belum jam enam pagi!
Tapi kulihat Cyril masih juga seperti memendam sesuatu, matanya terutama, bukan bibirnya yang tertawa. Martin dan aku tiduran, Cyril duduk dekatku, sedangkan Inge duduk diatas guling yang dipeluk Martin.
”Tante Linda, Cyril boleh panggil Mama aja nggak?” kudengar suara Cyril mengagetkan kami. Seperti memohon, kasihan sekali anak ini! Kataku dalam hati. Aku tahu, kata ibu tiri itu masih mengganggunya.
”Boleh, tapi kenapa nggak mau panggil aku Tante lagi?” tanyaku bangkit dari tiduran. Martin juga duduk, memeluk Inge.
Rupanya urusan ini harus kuselesaikan hari ini juga! Waduh! Aku belum buka kamus bahasa Indonesia! Belum sempat! Apa ya artinya ibu tiri dalam kamus?!
”Ayo dong, kasih alasannya ke Tante!” pintaku. Cyril ragu-ragu. Perlahan kudengar suaranya menjelaskan.
”Soalnya, nanti ketahuan teman kalau tidak panggil Mama. Bobby bilang, Tante itu ibu tiri. Kalau ibu tiri kan jahat. Kalau Mama enggak jahat. Tante kan nggak jahat, jadi panggilnya Mama aja ya?” katanya pelan, dengan suara memelas.
Dasar anak-anak! Pikiran mereka sederhana, jalan keluar untuk memecahkan persoalan juga sederhana. Oh...begitu rupanya! Martin dan aku berpandangan saja. Okay, sementara sebuah persoalan telah mereka selesaikan sendiri. Dengan cara mereka. Aku tak perlu buka kamus! Anak-anak punya entry sendiri dalam kamus mereka.

”Nah, sekarang Cyril boleh panggil aku Mama, sekarang ya, yang keras suaranya!” ujarku. Cyril turun dari tempat tidur, berseru keras keras. Wajahnya riang. Dia seperti mengucapkan Sumpah Pemuda di upacara sekolahnya, setiap hari Senin. Lucu tapi jujur, sejujur anak kecil manapun di dunia. Mungkin ini pertama kali dia meneriakan kata Mama, di usia belianya. Aku tahu dari Martin, Cyrill sangat sensitive, terutama soal ibunya. Tidak lagi mau menerima atau berbicara jika ditelepon ibunya.
”Mama, Mama!” Cyril berseru. Eh... kulihat Inge juga merosot turun dari tempat tidur, turut berseru seru gembira. Aku bangkit dari tempat tidur, Martin juga. Aku terharu melihat mereka. Kulihat Martin menunduk. Kutarik tangan Martin untuk keluar kamar bersama anak-anak menuju halaman belakang rumah kami. Aku mau ajak mereka main air lagi, sambil siram tanaman.
Aku rasa, suara mereka memanggilku Mama saat bermain di halaman belakang ini akan terdengar oleh Bobby, anak tetanggaku di sebelah rumah. Mungkin juga oleh orang tua Bobby. Seandainya setiap masalahku dapat secepat ini menyelesaikannya. Seandainya caraku menyelesaikan keruwetan hubunganku dengan Martin dan Rinto dapat seperti cara anak-anak menyelesaikan masalah. Alangkah indahnya hidupku!

ALBUM REUNI


Sabtu pagi, lapangan parkir sebuah Country Club di kawasan Jakarta Selatan itu penuh dengan berbagai merk mobil. Beberapa puluh batang bambu yang dipasangi umbul-umbul kain warna – warni berkibar meriah tertiup angin pagi. Spanduk besar berwarna orange dengan tulisan biru besar-besar menghiasi gerbang dengan tulisan selamat datang para alumni. Matahari juga bersinar terang.
Dari dalam gedung country club terdengar kemeriahan suasana. Musik dan nyanyian lagu-lagu semasa kami kuliah terdengar. Suasana reuni telah menyebar hingga ke lapangan parkir ini. Martin agak kesulitan mencari tempat memarkir mobil kami. Akhirnya menemukan di sudut, di bawah pohon bunga oleander yang sedang ramai berbunga. Warna bunganya yang merah muda, ceria sekali. Kami segera masuk ke lobby untuk melakukan registrasi.
Hari ini adalah acara reuniku dengan teman-teman se angkatanku semasa kuliah di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial. Aku minta Martin menemaniku, karena acara reuni kali ini, panitia ingin alumni datang bersama pasangan masing-masing. Kami berpakaian santai sesuai dresscode , dalam undangan. Aku mengenakan celana panjang putih, kaus sport putih dengan kerah merah muda, sepatu pantopel yang nyaman juga warna putih dan sebuah tas tak terlalu besar warna merah muda. Martin memakai celana jins dan kaos sport putih dengan kerah biru. Kami memang berusaha serasi dalam berpakaian jika bepergian atau menghadiri pertemuan.
Belum sempat sampai meja registrasi, aku sudah dapat pelukan dari Indro. ”Hallo Linda!” teriaknya. Dia teman akrabku. Dulu, hampir setiap hari kami naik bus yang sama kalau berangkat dan pulang kuliah. Rumah kami memang satu jurusan. Sama-sama di perumahan tentara. Ayahnya juga teman ayahku. Indro selalu pamer pada teman-teman, kalau dia mendapat mandat dari ayahku mengawalku. Konyol sekali kan! Kalau ada teman kami yang menanyakan padanya, mana bukti surat mandat itu Indro pasti akan menjawab sudah hilang. Dia selalu bercanda, surat itu raib seperti Supersemar yang diterima mantan presiden Soeharto itu. Aku suka Indro, kalau bercanda sangat ngawur, tapi lucu dan menyenangkan. Kami berbeda jurusan, dia memilih jurusan politik, sedang aku periklanan. Aku gembira melihatnya, segera kuperkenalkan dia pada Martin. Dasar Indro, dia masih saja pamer pada Martin kalau dia diangkat jadi pengawalku dan hingga kini belum dicabut mandatnya. Indro bilang seharusnya kami mengundangnya waktu menikah. Yah... bagaimana bisa mengundangnya, dia kan sedang sekolah di Boston. Aku segera menyelesaikan pendaftaran alumni, sementara Martin ngobrol dengan Indro.
Makin banyak teman-temanku yang datang. Jeritan gembira langsung terdengar di mana-mana. Lobby country club yang luas sudah hampir penuh. Suara komentar-komentar lucu, ngawur makin seru, suasana mahasiswa masih terasa. Aku tarik Martin masuk ke dalam tempat acara di adakan. Sebuah hall besar. Di dalam, aku menyalami teman-temanku, memperkenalkan Martin. Juga berkenalan dengan pasangan teman-temanku. Kami tentu saja berpelukan, bersalaman dan saling bertukar alamat. Sudah lima tahun kami berpisah, setelah wisuda sarjana. Aku tarik Martin kesana kemari menemui teman-temanku.
Kami mendapat tempat di kursi yang mengelilingi meja bundar bertaplak putih dan pink. Di sana sudah duduk Irma, dari jurusan Sosiologi dan suaminya Iskandar, Ita dari jurusan Hubungan Internasional dan tunangannya, Andrew, bule Amerika dan si bengal Putut dari jurusan Administrasi Niaga tanpa pasangan. Kami bersalaman dan saling memperkenalkan pasangan kami. Masih ada satu kursi yang kosong. Martin duduk di sebelahku, di samping Andrew. Segera terbentuk kelompok ngobrol. Aku ngobrol dengan Putut, Ita dan Irma. Sementara Martin, Andrew dan Iskandar ngobrol dengan topik yang lain. Aku senang Martin selalu mudah masuk dalam lingkungan pergaulanku.
Kudengar microfon diketuk-ketuk meminta perhatian kami yang sedang sibuk ngobrol. Rupanya acara akan segera dimulai. Kulihat Dino, pegang microfon... ah.. dari dulu dia jadi MC acara–acara mahasiswa di fakultas kami! Kini, dia malah sudah jadi pembawa acara paling digemari di televisi swasta. Kudengar, rating program yang dipandunya selalu tinggi. Dia mengucapkan salam selamat datang pada kami, lalu beberapa kalimat formal lainnya khas panitia. Tapi setelah itu, gayanya yang kocak langsung memandu acara reuni kami hari itu.
Beberapa acara dilakukan dengan melibatkan para alumni. Tentu saja selalu yang konyol untuk jadi bahan tertawaan kami semua. Menimbang berat badan, karena diantara kami sudah ada yang mulai gendut. Ada-ada saja! Menebak dari slide presentation wajah yang di tutupi sebagian. Satu lainnya adalah berdansa dengan teman berpasangan. Harus pria dan wanita. Dansanya di atas selembar kertas koran diiringi musik. Setiap lagu berhenti, para pedansa harus melipat dua koran tersebut, kembali lagi berdansa di atasnya. Demikian seterusnya hingga koran semakin kecil lipatannya. Konyol sekali dan sangat kreatif. Kami tak boleh menolak menjadi pedansa, karena ditentukan berdasarkan nama yang muncul dari undian. Seperti arisan. Menurut MC, dansa ini akan dibagi dalam 4 sessi, setiap sessi terdiri dari 4 pasangan. Ada juri yang mengawasi untuk menentukan pemenang ke babak lanjutan. Seru sekali!
Pada sessi kedua, terpilih untuk berdansa Marzuki dan Lula isterinya mereka berdua sama-sama dari jurusan Adminstrasi Niaga. Berikutnya Roy dari jurusan Administrasi Negara yang mendapat pasangan Latifah dari jurusan Sosiologi. Komentar-komentar konyol, lucu sudah makin seru. Mereka sudah naik kepanggung yang tidak terlalu tinggi itu. Kemudian Benny dari jurusan Kriminologi berpasangan dengan Yuyun dari jurusan Komunikasi. Lalu pasangan terakhir, namaku muncul. Pasanganku adalah Alfian, dari jurusan Politik.
Tuhanku.... pasti kacau deh!. Aku curiga ini rekayasa teman-teman panitia. Teman-teman langsung teriak-teriak kegirangan. Ledekan macam-macam terdengar. Aku lirik Martin, dia cuma senyum, tapi aku yakin ada tanda tanya padanya mengapa ketika namaku dan Alfian muncul, suara komentar dan teriakan justru makin menggila. Ya...., aku tak pernah cerita pada Martin tentang Alfian.

Aku dan Alfian pernah sangat akrab selama beberapa semester. Aku tak pernah merasa berpacaran dengannya. Hanya saja, karena kami aktif di senat mahasiswa jadi sering bersama-sama. Aku pernah jadi campaign manager nya, ketika dia mencalonkan diri jadi ketua senat. Teman-temanku menganggap kami berpacaran. Kami dianggap pasangan paling serasi saat itu. Mungkin karena Alfian suka memperlakukanku seperti pacarnya. Alfian selalu berusaha bersamaku. Bahkan sering mengantarku pulang kuliah. Atau selalu berusaha menjadi pendampingku kalau ada acara kampus. Dia juga sangat protektif.
Aku pernah protes pada Alfian atas segala perlakuannya. Tapi dia dengan enteng bilang dan meyakinkanku.
”Linda, sama pacar aku memang total care! Aku pacarmu kan! Masa menolak sih?” katanya. ”Asal kamu tahu Lin, anak Psychologi sebelah aja naksir aku!” lanjutnya lagi pamer. Wow....!Aku cuma mencibir saja pada Alfian, tapi dia tak tersinggung. Maksudnya anak Psychology, adalah mahasiswi Fakultas Psychology yang terkenal cantik-cantik di universitas kami. Aku tahu memang tentang hal itu. Banyak yang punya perhatian khusus pada Alfian. Juga banyak mahasiswi lain yang iri padaku, karena aku dekat dengan Alfian.
Alfian memang ganteng. Tinggi, atletis, suka main basket dan tennis. Kalau bermain gitar sangat trampil dan nyanyipun suaranya bagus. Sebagai mahasiswa juga otaknya encer. Dia juga dari keluarga berpendidikan baik. Ayahnya sempat menjadi duta besar di beberapa negara, sedang ibunya dokter gigi, tapi tak praktek lagi. Jadi memang pantas kalau dia cukup percaya diri. Begitulah masa itu, aku membiarkannya saja karena menganggapnya hanya bercanda. Lagi pula aku pikir aku juga sangat akrab dengan Indro. Saat kuliah itu, aku termasuk disukai. Bukan hanya teman seangkatan, tapi juga dengan senior-senior kami. Aku juga bisa manja dengan Mas Aji, Bang Lukman atau Bang Indra atau dengan Kak Triaji.
Rupanya, Alfian serius! Dia mulai sakit hati dan marah, ketika mengetahui aku rutin bertemu Rinto, mahasiswa Fakultas Tehnik dari Bandung. Ketika Sabtu sore Rinto berada di rumahku, Alfian muncul mendadak. Dia ingin mengajakku ke ulang tahun teman kami Dewi, malam itu. Kuperkenalkan Rinto padanya. Mereka ngobrol dengan baik. Kemudian dia berpamitan. Aku minta maaf pada Alfian tak bisa pergi bersamanya. Kuantar Alfian ke mobilnya yang di parkir di tepi jalan depan rumahku, dia berdiam diri saja. Aku merasa tak enak padanya. Sebelum mobilnya bergerak, Alfian berbisik.
” Linda, ingat deh, aku tidak takut bersaing dengan calon insinyur itu ya!”
”Alfi, jangan bercanda!” kataku. Memang hanya aku yang menyebutnya Alfi. Teman-teman semasa SMU dan kuliah lebih suka memanggilnya Dewo. Namanya Alfian Dewontoro.
”Aku serius, Linda!” katanya memastikanku, menatapku tajam.
Sejak kejadian itu, Alfian semakin gencar mendekatiku. Aku mulai mencari cara untuk menghindarinya. Hingga pada akhirnya aku terpaksa bicara padanya terus terang. Aku tidak ingin jadi pacarnya, mungkin dia salah faham. Aku ingin bersahabat saja dengannya. Kukatakan bahwa selama ini aku memang telah berpacaran dengan Rinto, hanya karena berbeda kota jadi tak banyak yang tahu hubungan kami. Termasuk dia. Alfian tidak pernah mau menerima kenyataan itu. Dia terlihat patah hati.
Baginya Rinto lah yang merebutku darinya. Hanya karena dia lebih lama mengenalku dibanding Rinto. Akhirnya Alfian benar-benar menjauhiku, kami jarang sekali bertemu di kampus. Dia selalu ingat ulang tahunku, mengirimkan kartu via pos ke rumahku. Jika bertemu di kampus, terasa sekali Alfian menjaga jarak denganku. Teman-teman kami mengira kami putus berpacaran.
Terakhir kami bertemu saat upacara wisuda. Kami saling mengucapkan selamat. Saat itu, selain kedua orang tuaku juga hadir Rinto. Alfian didampingi ayah dan ibunya, yang sudah kukenal. Waktu itu sambil menyalami Rinto dan aku, Alfian sempat berujar pada Rinto.
”Kapan kalian menikah!” kata Alfian mengagetkanku ” Rinto, kalau kamu tak serius mau nikah dengan Linda, aku aja deh yang nikahi dia!” lanjutnya. Rinto cuma tertawa saja .Sebelum berpisah kami berfoto berdua masih dengan toga kami. Foto itu masih ada dalam albumku, mungkin juga Alfi. Itu kali terkahir bertemu Alfian, baru bertemu kembali hari ini. Di acara reuni ini.
Kudengar Dino memanggilku lagi untuk segera tampil. Aku berdiri dari kursiku, meletakkan tas kecilku di kursi sambil menepuk bahu Martin, pamit. Tiba tiba aku melihat Alfian sudah berdiri disampingku mengulurkan tangannya. Sejak masuk ke ruangan ini, aku tak tahu dia ada dan duduk dimana. Tentu saja adegan ini mengundang tepuk tangan teman-temanku. Para fotografer amatir, maksudku teman-teman langsung memotreti kami. Aku hanya bisa tertawa melihat kejahilan teman-temanku. Aku mengangkat tanganku, mengepalkan tinjuku ke arah ketua panitia, Firman Lubis. Eh ..dia malah membalasnya dengan menggoyangkan pinggulnya, persis penyanyi dangdut di televisi.
Acara dansa memang seru, apalagi saat kertas koran makin kecil lipatan. Seruan agar kami saling berpelukan makin ramai. Sial betul! Anton yang merekam dengan handycam-nya tak mau jauh jauh dari aku dan Alfian. Anton memang akrab sekali dengan Alfian. Juga teman-teman yang pegang kamera lainnya mulai merubungi dekat panggung. Aku tahu, mereka menantikan adegan paling seru.
Aku merasa Alfian memang menantikan saat ini. Alfian memeluk pinggangku, berdansa di atas koran yang semakin kecil. Sebenarnya bukan dansa lagi, tapi hanya berdiri dan bertahan agar tak keluar dari koran yang kami injak bersama. Dia memelukku erat-erat, sehingga akhirnya kami jadi pemenang sessi itu. Hadiah untuk kami adalah 2 T shirt putih dengan logo universitas kami. Semua bertepuk tangan, aku kemudian kembali ke kursiku diantar Alfian. Sekaligus kuperkenalkan dengan Martin. Mereka bersalaman. Karena ada satu kursi kosong, aku menawarinya duduk disitu. Aku berharap dia menolak, tapi ternyata tidak. Dia langsung duduk. Kami sempat ngobrol. Dia bercerita baru kembali ke Indonesia sekitar enam bulan lalu. Setelah wisuda dia meneruskan kuliah di Paris, Perancis. Kemudian setahun tinggal di Toronto, Kanada.kini bekerja di sebuah perusahaan konsultan.

Kami kembali memperhatikan acara yang dipandu Dino. Komentar Dino membuatku kecut. Dia katakan, tentu saja aku dan Alfian jadi pemenang dansa ini, karena kami telah berlatih sejak semester satu kuliah kami.
”Teman-teman, Alfian sudah tahu cara paling efektif memeluk Linda. Makanya dia hari ini juara!” kata Dino sambil tertawa-tawa dari atas panggung. Dino.... kurang ajar ya! Saat itu kulihat Martin hanya tersenyum. Teman-teman bersorak-sorak semua. Kulihat Alfian yang kini duduk disampingku hanya tertawa-tawa.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemutaran slide foto-foto kami semasa kuliah. Diproyeksikan ke sebuah layar, jadi kami dapat menyaksikan dengan jelas. Lucu-lucu! Foto saat kami baru jadi mahasiswa, masa orientasi, kuliah umum, kuliah lapangan, kunjungan ke desa-desa di Cianjur, Krawang, Sukabumi dan Tangerang. Acara–acara internal lainnya, seminar, pemilihan senat, bazar, pameran buku dan acara olah raga serta camping. Tapi juga ada foto-foto lainnya, termasuk foto mereka yang diketahui saling naksir dan berpacaran. Misalnya foto Irham dan Fitri, Dona dan Simon, Marzuki dan Lula, Wawan dan Mulyati, Yoto dan Kiki. Tentu saja aku dan Alfian. Malah foto kami lebih banyak, karena kami memang aktif dalam kegiatan kampus sejak semester satu. Setiap foto mendapat komentar kocak dari Dino. Lucu, nakal dan bikin suasana makin meriah.
Hanya, ketika memberi komentar foto-foto aku dan Alfian, entah disengaja atau tidak, Dino sempat menyebutkan bahwa gara-gara ditinggal Linda, Alfian sampai hari ini belum kawin juga!
”Dia nggak doyan cewek Perancis, maunya Melayu. Eh salah.. Indo!” lanjut Dino berkaok-kaok dari atas panggung. Tentu saja mengundang tepuk tangan teman-teman. Aku cuma bisa senyum kecut, melirik Martin yang berada di sampingku. Wajahnya tenang saja, senyum.

”Wow...masa sih!” Kudengar suara bariton Patar berteriak ”Endless Love! Unfinish business!” disambut seruan ”Huuu!” dari teman-teman. Lalu kudengar suara, entah siapa berteriak, ”Dewo, elo berani ngerebut Linda nggak sekarang!?” Juga kudengar suara Frans, ” Gue mau jadi campaign managernya Dewo!” Ada suara huu lagi. Alfian yang duduk di sebelah kananku tertawa terbahak bahak. Dari dulu dia sangat percaya diri. Dia kelihatan tak merasa terganggu dengan kehadiranku bersama Martin.
Hari itu, reuni berakhir sukses. Dalam perjalanan pulang, Martin tak banyak berbicara. Kupikir dia tentu capek juga, karena acara mulai jam sepuluh pagi baru berakhir sekitar jam tiga sore. Kusentuh tangan Martin yang sedang menyetir mobil.
”Terima kasih ya mengantarku reuni!” berterima kasih padanya. ”Tadi bosan ya?” tanyaku lagi. Martin menggeleng.
”Yang penting kau senang bertemu teman-teman lagi” katanya ” Bekas pacar juga” katanya hampir tak terdengar.
”Martin.... kau?” kataku terkejut dengan komentarnya. Aku tahu akhirnya, Martin agak kesal.
Kami telah sampai di depan rumah. Aku buru-buru turun, membuka pagar agar Martin dapat memarkir mobil di dalam garasi. Dia sebenarnya tidak suka aku melakukan ini. Martin selalu minta aku menunggu di mobil, membiarkannya membuka pagar sendiri. Kali ini dia diam saja. Aku tahu Martin sedang suasana hati tak baik. Aku masuk rumah dan malas memulai bicara dengan Martin. Aku tunggu saja dia mau apa! Aku segera mandi dan berganti pakaian rumah, berniat istirahat sebentar di tempat tidur.
Martin juga telah mandi dan duduk nonton televisi di ruang tengah. Aku tahu Martin selalu berdiam diri bila dia marah padaku. Kubiarkan saja. Nanti.. pasti dia akan membicarakannya padaku. Dia bukan pria pencemburu yang akan membanting perabot rumah tangga karena cemburu pada isteri. Martin lembut dan selalu baik padaku. Dia sahabat terbaikku. Beda denganku, aku emosional, gampang panik dan tak sabaran.
Aku terbangun jam setengah tujuh malam. Kamar agak gelap, hanya lampu kecil yang menyala di dinding. Dimana Martin? Aku bangun, menyalakan lampu, menyisir rambutku, kemudian keluar kamar. Kulihat Martin sedang duduk di sofa, nonton televisi. Dia menengok ke arahku, tersenyum dan menyuruhku duduk di dekatnya. Secangkir teh hangat di atas meja samping sofa. Kuminum setengahnya, sambil duduk di sampingnya. Itu kebiasaanku selalu menyerobot minuman yang dibuat Martin. Dia suka aku melakukan itu. Dia suka aku bermanja padanya. Dia pernah bilang, suka hal itu, karena sebenarnya dia ingin seorang adik perempuan. Dia bungsu, hanya punya seorang kakak perempuan. Dia segera meraihku ke pelukannya. Mencium pipiku. Aku tahu , dia menungguku sejak tadi. Pasti akan mengatakan sesuatu.
”Linda, tadi aku sama sekali tidak marah” katanya. ” Kau tahu, masa lalu bukan suatu kesalahan” lanjutnya lagi. ”Jadi tak perlu merasa malu dan merahasiakannya dariku” Aku berdiam diri mendengarkan.
”Kita kan akan selalu bersama, jadi harus saling mempercayai. Aku akan suka mendengarkan ceritamu tentang teman-temanmu, bekas pacarmu atau apa saja” katanya meneruskan.
”Agar aku dapat mempersiapkan diri jika menghadapi situasi seperti reuni tadi” katanya lagi. ”Aku rasa, jika tahu lebih awal siapa Alfian itu, pasti lebih nyaman kan?” Ya... pasti Martin salah faham, seperti semua teman-temanku. Bagaimana aku menjelaskannya?
Percayakah Martin bahwa aku tak pernah pacaran dengan Alfian? Sementara begitu banyak saksi, teman-temanku menganggap kami pacaran. Lalu foto slide yang diproyeksikan dalam acara reuni tadi, begitu nyata pelukan Alfian padaku saat acara-acara di kampus. Wajahku juga terlihat wajar, senang malah. Huuh... album reuni ini bikin kacau saja!. Lalu, kenyataan Alfian masih sendiri. Serta komentar teman-teman selama acara reuni yang didengar Martin. Juga sikap Alfian yang kelihatan tak begitu peduli saat kuperkenalkan pada Martin. Sikap Alfian yang begitu hangat, agak berlebihan terhadapku.
Kujelaskan pada Martin, bagaimana sesungguhnya hubunganku dengan Alfian. Aku tak yakin dia bisa menerima penjelasanku. Karena dia akhirnya mengatakan padaku ” Linda, aku sedang berjuang mempertahankan pernikahan kita” kata Martin. ”Aku sedang berkejaran dengan waktu, bersaing dengan Rinto” katanya lagi. ”Aku tidak mau Alfian juga turut dalam arena ini. Aku pasti kalah! Mereka berdua memiliki masa lalu yang indah bersamamu. Sedangkan aku baru mencoba meraih masa depan kita” ucap Martin.
”Mereka berdua, Rinto dan Alfian didukung teman-teman mereka semasa kuliah. Sedangkan aku bertarung sendirian, Linda! Teman-teman kuliahku semua ada di Jerman sana! Untuk urusan cinta, kami, aku dan teman-temanku tidak saling dukung seperti kalian disini!” Kubiarkan Martin mengeluarkan isi hatinya.
Aduh ...Martin!. Kali ini aku tidak akan membiarkan lagi lawanmu bertambah! Sungguh!. Nanti, kalau ada waktu, aku akan bawa album-albumku semasa SMU dan kuliah. Nanti kita sama-sama membalik-balik halamannya. Kau akan menemukan beberapa pria lagi yang aku rasa bisa kau anggap lawanmu.
Aku mengeluh dalam hati.... yang jadi lawanmu bukan Rinto atau Alfian! Bukan juga pria-pria dalam album fotoku. Mungkin akulah lawanmu yang paling kuat sekaligus yang bergantung padamu, tapi aku juga sahabatmu. Aku bingung Martin.... aku harus melawan siapa??
Kupeluk Martin, bersandar di dadanya, tanganku mempermainkan kerah bajunya.
” Martin, besok Minggu kita ke rumah Mama ya, aku mau ambil album!” ajakku. Martin tersenyum memahami.
”Ada banyak lawan kamu di album itu, makanya aku mau kasih lihat!” kataku menggodanya. Martin memelukku lebih erat, mencium pipiku. Lalu membisiki telingaku.
”Aku tidak peduli meski lawanku satu peleton! Linda, tetaplah bersamaku!” pintanya.

TEMAN MAMA


”Belum hamil juga Mbak Linda?” tanya Bu Basri, teman Mamaku yang bertemu dengan kami, aku dan Mama yang sedang berolah raga pagi, jalan santai mengitari komplek perumahan orang tuaku. Aku sedang menginap di rumah Mama, malas sendirian di rumah selagi libur Sabtu dan Minggu ini. Martin sedang ke Surabaya, Minggu sore baru pulang.
Aku cuma senyum saja, tak menjawab pertanyaan Bu Basri ini. Mama yang bantu jawab. ”Belum Bu Basri” kata Mama, singkat. Bu Basri sebenarnya adalah tetangga Mama. Kami bertemu dekat lapangan basket, dia juga sedang jalan pagi dengan beberapa ibu lainnya. Semua kami kenal, Bu Sayuti, Bu Kirno, Bu Ilham dan Bu Kunto. Mereka sebaya dengan Mama. Tetangga sejak lama. Hanya Mama tak terlalu akrab saja dengan mereka.
Aku selalu mendapatkan pertanyaan seperti itu sejak menikah dengan Martin. Pertanyaan standard , mungkin cuma basa basi tetapi kurang nyaman bagiku. Agak berlebihan, terasa ingin turut campur urusan orang. Entah mengapa para ibu itu getol sekali bertanya, setiap kali kami bertemu. Bahkan kata Mama sering menanyakannya kalau bertemu dengan Mama.
Terkadang aku ingin marah rasanya, kupikir topik ini kurang sopan untuk dibicarakan, apalagi kalau tidak begitu akrab. Hanya aku sering mendapatkan, justru hal seperti ini yang diangkat sebagai bahan pembicaraan. Bahkan dengan kenalan baru! Mengesalkan sekali! Seperti sekarang ini, ibu-ibu ini sudah mulai menasehatiku segala. Huuh..., seandainya aku bisa menghindari mulut usil tetangga Mama ini! Kudengar lagi suara nyinyir Bu Basri.
”Jeng Linda, jangan kelamaan, nanti kalau nggak punya anak bisa di tinggal suami!” katanya. Kupikir apakah sudah terasa lama sekali aku menikah? Belum dua tahun aku menikah kan!
”Anak kan mengikat suami” lanjutnya menasehatiku tanpa diminta..
Uuh..memangnya Martin harus diikat? Aku menggerutu dalam hati. Dia kan bukan kambing! pikirku, jengkel sebenarnya. Aku jadi ingat Sri anaknya Bu Basri yang tertua, kudengar dia telah bercerai. Padahal Sri sudah punya tiga anak. Pasti bukan karena tidak punya anak, setahuku karena suami Sri punya pacar baru. Belum selesai dia bicara, Bu Kirno, turut ambil bagian
”Periksa aja Jeng ke dokter kandungan, anak saya dikasih obat penyubur langsung hamil tuh!” kata Bu Kirno menasehati. Ya aku tahu, dua anaknya kan temanku sewaktu SMA. Semuanya telah menikah, hanya saja aku tahu bukan karena ke dokter kandungan. Seingatku Titin dan adiknya Imas kawin diam-diam, karena sudah keburu hamil duluan sebelum menikah. Lalu di kasih penyubur itu? Waduh...... aku kaya tanaman aja, dikasih penyubur segala!
Ramai sekali ibu-ibu ini, kasih nasehat gratis. Bu Ilham lain lagi, suruh aku urut rahim segala.
”Kalau jeng Linda mau urut, telpon Tante aja, si Mbok urut datang ke rumah Tante setiap minggu!” katanya. Sedang Bu Kunto menyuruh aku ke rumahnya, mau kasih jamu! Yang paling lucu justru bisikan Bu Sayuti. Katanya harus dengan posisi tertentu, baru bisa hamil. Biarpun dia berbisik, tapi ibu-ibu yang lain tetap mendengar. Mereka tertawa semua! Buset... mana yang paling tokcer ya?
Aku dan Mama hanya bisa bilang terima kasih saja sambil senyum. Meneruskan jalan pagi kami. Semoga nggak bertemu dengan teman-teman Mamaku lagi! Mama tahu aku paling tidak suka orang usil. Apalagi soal pribadiku. Selama ini, Mama dan Papa tidak pernah menanyakan soal anak padaku. Apalagi Martin. Aku juga yakin, Martin tak akan meninggalkan aku hanya karena tidak punya anak. Mereka, ibu-ibu itu asal ngomong saja. Tak tahu apa apa!
Mereka seakan meneruskan tradisi usang, bila bertemu lalu sebagai basa-basi tanya soal soal yang dikira mereka menyenangkan. Anak sudah berapa? Sudah kerja apa belum? Kerja dimana? Kadang juga sudah kawin apa belum?
Aku dan adikku Anggi juga dulu pernah kesal sekali pada Tante Basri itu. Suatu kali diselenggarakan arisan ibu-ibu di rumah kami. Aku dan Anggi bantu Mama menyajikan makanan kecil. Saat itulah dia dengan suaranya yang nyaring bertanya padaku.
”Jeng Linda, kapan nih nikahnya? Tante lihat pacarnya sering kesini ya? Siapa namanya Jeng?”katanya.
Orang ini, pikirku.. tanya soal nikah segala! Aku dengan sopan menjawabnya. ”Namanya Rinto, Tante. Nikahnya nanti Tante masih lama, selesaikan kuliah dulu!” kataku. Eh dia bukannya puas atas jawabanku, malah meneruskan bertanya.
”Pacarmu sekolah di mana Jeng? Apa sudah kerja? Putranya siapa, ganteng sekali? Apa dia ada keturunan Cina?” tanyanya beruntun. Kemudian dia berpaling pada ibu-ibu yang duduk di ruang tamu kami, ”Eh. Ibu-ibu, calon mantunya Bu Hakim ganteng lho!” katanya Ah...aku malas sekali menjawabnya.
” Nanti saya kenalkan Tante, kalau dia kesini, biar tanya langsung dia aja” kujawab saja asal asalan
Sewaktu Anggi muncul Bu Basri juga mengganggu adikku dengan pertanyaan konyolnya. Membuat Anggi akhirnya mogok, tak mau anter minuman.
”Jeng Anggi, Tante dengar dekat sama Mas Dimas ya?” kata Bu Basri. Dimas adalah tetangga, tinggal empat rumah kami, putra Pak Hadiwiryo, Ibunya kebetulan tak hadir pada acara itu. Anggi memang berteman sama Dimas, mereka satu sekolah sejak di SMP. Tapi kalau pacaran aku malah tak tahu! Ibu ini rupanya tukang selidik! Ramailah mereka bicara soal Dimas.
Kuingat, sewaktu aku menikah dengan Martin, dia juga hadir. Datang dengan sekelompok ibu-ibu para tetangga lainnya. Dia bukannya mengucapkan selamat pada kami, malah wanti-wanti pesan. ”Cepat punya anak ya!” katanya. Gaya bicaranya juga sangat mengesalkan! Masa dia sempat mengelus perutku segala. Keterlaluan sekali! Waktu itu aku dan Martin cuma senyum saja. Malas juga mengucapkan terima kasih! Aku waktu terpikir ingin bertanya padanya, apakah kalau aku punya anak dia mau membantuku merawat anakku? Tak jadi tentu saja, demi sopan santun! Wah bagaimana ya, aku tak bisa marah tentu saja! Aku sendiri sesudahnya berpikir, mungkin aku harus lebih memahami orang seperti Bu Basri itu. Dia dibesarkan dengan konsep banyak anak banyak rezeki. Sementara kini tumbuh kesadaran untuk tidak perlu banyak anak!
Jadi aku menyimpulkan sendiri, setiap pertanyaan itu adalah beban sosial. Bayangkan kalau yang ditanya kapan menikah padahal dia baru saja putus cinta dengan pacar! Juga bagaimana ruwetnya harus menjawab pertanyaan kapan menikah sementara pacar belum sekalipun meminta kita menikah dengannya. Pasti pusing tujuh keliling bila ditanya kerja dimana, sementara puluhan surat lamaran kerja telah dikirimkan ke berbagai perusahaan, menunggu panggilan yang tak datang juga, alias masih menganggur! Oh ... aku juga merasakan bagaimana sulitnya mengarang cerita mengapa setelah bertahun tahun menikah belum juga punya anak! Mungkin kita harus kreatif dalam memilih topik pembicaraan kalau bertemu seseorang. Rasanya tak lagi etis membiasakan pertanyaan seperti itu.
Pernah sewaktu berkumpul dengan teman-teman kuliahku, kami membicarakan ini. Menurut Pris, pertanyaan itu akan terus berkembang. Dia menceritakan dengan gaya yang kocak.
”Waktu dulu masih kuliah ditanya kapan kawin Pris?” kata Pris memulai ceritanya. ”Nanti Tante selesaikan kuliah dulu terus kerja!” kata Pris menirukan jawaban teman ibunya. Pas ketemu lagi setelah gue nikah, dia sudah tanya lagi kata Pris melanjutkan ceritanya. ”Eh Jeng Pris, kapan nih punya momongan, ikut KB ya? Bla....bla ...bla!” kami tertawa semua. Pris melanjutkan ocehannya
” Suatu saat gue ketemu dia lagi pas anak pertama gue enam bulan. Tante itu ngomong gini ”Ih... lucunya anakmu Pris! Kapan nih di kasih adiknya?” kata Pris sambil tertawa. ”Gila nggak tuh Tante! Gue masih merasakan capeknya dan repotnya hamil... eh dia tanya kaya gitu. Mabok..... mabok!” kata Pris mengakhiri ceritanya. Kami nakin tertawa semua tentu saja.
”Lin, kamu jangan ketawain gue! Bener, mereka terus dan terus bertanya, basa basi atau sungguhan. Nggak jelas!” kata Pris, melihatku mentertawakannya. Tapi kami harus mengakui, kebiasaan itu masih berlangsung hingga kini, bertanya saat ketemu di jalan, di toko, di resepsi pernikahan, acara acara lainnya.
Laksmi juga bercerita, setelah tiga tahun menikah belum juga hamil malah disuruh Bu RT nya adopsi anak, sebenarnya suaminya yang ketua RT, tapi dia dipanggil Bu RT oleh para tetangga dan sangat rajin memberi saran ini itu pada tetangganya. Termasuk nasehat gratis untuk Laksmi.
Rio, suami Laksmi marah besar, karena Bu RT itu dianggap turut campur urusan keluarganya. Memang sebagai pria Batak, meneruskan nama keluarga sangat penting, tapi rupanya suami Laksmi tak mau urusannya dicampuri orang lain. Kami tertawa geli karena Laksmi menceritakan lucunya Rio waktu marah marah. Bu RT itu sebenarnya masih muda, memang agak kampungan. Rio sejak saat itu memanggil Bu RT itu Opung, nenek! Bu RT rupanya senang dipanggil seperti itu, dia mengira artinya Nyonya! Bodoh sekali!
Kami semua geli menyadari kenyataan yang ada di masyarakat kami. Padahal kami tinggal di kota besar. Lalu mau mengubahnya? Sama saja dengan ingin mengubah dunia! Hampir semua temanku menganggap hal ini beban dan risiko bermasyarakat. Hanya kami sepakat berjanji tidak melakukan hal itu kelak. Kami tidak berniat merubah dunia, kami hanya merasakan betapa tidak nyaman pertanyaan seperti itu saja. Tidak nyaman atau malah tidak sopan?
Sebenarnya, tidak semua teman Mamaku usil seperti Bu Basri dan teman-temannya. Teman Mamaku yang lain justru sangat menyenangkan. Tante Sunardi misalnya, kalau bertemu selalu ramah dan baik. Dia tetangga sebelah rumah kami. Kalau melihatku berada di rumah Mama dia selalu memanggilku. ”Jeng Linda, apa kabar?” ”Waduh makin segar dan cantik!” katanya. Dia sebenarnya wanita asal kota Manado, tapi karena bersuami orang Jawa dia telah seperti wanita Jawa. Aku selalu menyempatkan diri mampir ke rumahnya. ”Masuk Jeng, Tante sekarang sepi, cuma berdua Om” katanya. Mas Teguh kan sudah pindah rumah” lanjutnya. Teguh adalah teman mainku. Dia menikah dengan Wina, teman sekampusku.
”Mas Dodi kemana Tante?” tanyaku. ”Oh, dia kan tugas ke Papua” katanya. Anaknya yang kedua sekolah Akademi Militer. Biasanya, aku selalu dititipi kue buatannya. Dia memang senang memasak, sering mengundang kami ke rumahnya. Dia orangnya tidak usil, sejak lama bersahabat dengan Mama.
Satu lagi teman Mama yang kusuka. Kini saat melanjutkan berjalan jalan pagi ini kami melewati rumah Tante Lubis namanya, dia wanita Jawa yang santun sekali, cantik pula. Kudengar dari Mama, dia pernah sekolah kedokteran, tapi tidak tamat. Kini tiga anaknya, jadi dokter semua. Dia penggemar bunga, sama seperti Mama. Maka kalau kami, aku dan Mama mampir ke rumahnya, aku biasanya tak masuk ke dalam rumahnya. Duduk atau berkeliling di kebun bunganya saja, nyaman dan indah. Bu Basri dan kawan-kawannya tak pernah senang dengan Tante Lubis ini. Dia selalu bilang ”Sombong, nggak mau kenal sama tetangga!” katanya.
Kami melihat Tante Lubis sedang berdiri dekat pagar rumahnya, sedang memegang gunting tanaman. Aku segera menyapanya. ”Selamat Pagi Tante!” Dia segera membuka pagar rumahnya. ”Selamat pagi!” katanya ramah lalu meneruskan ”Ayo mampir dulu, ngobrol-ngobrol sebentar Zus Hakim, Jeng Linda!” ajaknya. Kami masuk ke halaman rumahnya yang asri.
”Sendirian Zus!” Mama bertanya pada Tante Lubis.
”Oh iya, Mas Lubis sedang pergi main tenis” katanya. Mama dan Tante Lubis kubiarkan ngobrol, aku minta izin melihat tanamannya. Tak pernah sekalipun dia menanyakan hal-hal yang membuatku tak suka. Padahal Mama dan dia berteman sejak kami pindah ke perumahan itu. Kami tak lama di rumahnya, kemudian pulang kerumah.
Hari Minggu pagi, aku, Anggi dan Mama kembali jalan pagi mengitari komplek perumahan. Kali ini kami berusaha menghindari bertemu dengan kelompok Bu Basri dan teman-temannya. Eh malah bertemu dengan kelompok ibu-ibu teman Mama lainnya. Bu Suryanto, Bu Firman, Bu Sitanggang, Bu Hamid, Bu Gunarso, Bu Soleh dan Bu Elias. Kasus hari kemarin juga terjadi lagi. Bertanya macam-macam padaku, sekedar ingin tahu. Lalu kasih nasehat ini itu meski tak sekalipun orang orang ini kuminta pendapat!
Karena Anggi juga bersama kami, Anggi juga dapat pertanyaan macam-macam. Pokoknya meriah sekali! Kali ini Anggi yang paling kesal.Topiknya adalah mengapa Anggi belum menikah juga, padahal kan sudah bekerja dan lulus kuliah.
”Menyebalkan!” Anggi mengomel setelah kami berpisah dengan mereka. Anggi masih mengomel.
”Memangnya kalau aku mau kawin cepat-cepat mereka itu mau membiayai? Enak aja kalau ngomong, gue santet baru rasa!” katanya. Aku tak tahan tertawa. Mama yang melihat Anggi marah-marah cuma menyabarkannya.
”Anggi, Linda, namanya juga bermasyarakat, jadi kita musti sabar dan maklum” kata Mama. ”Tak semuanya harus masukkan ke hati. Mereka juga cuma basa basi” kata Mama. Tetap saja aku dan Anggi menggerutu.

Aku berada di depan rumah dekat mobil Martin, sedang memasukkan tas pakaianku ke bagasi. Aku akan pulang, Martin menjemputku sore ini sepulangnya dari Surabaya. Baru akan menutup pintu mobil, kulihat serombongan ibu-ibu sedang berjalan ke arahku. Semua tetangga Mama, teman-temannya. Rupanya akan berangkat ke pertemuan arisan.
Aku mengangguk sopan ke arah mereka. Pada saat itu Martin, Mama, Papa dan Anggi keluar menyusulku. Melihat Mama, ibu-ibu itu lalu berhenti. Mama bilang tidak berangkat ke arisan karena sedang sibuk. Melihat ada Martin, mereka langsung menyapanya. Kulihat Martin kikuk menjawab pertanyaan Bu Sayuti. ”Mas Martin, itu Jeng Linda kok belum hamil juga, kenapa?” katanya. Bu Tanto, tetangga belakang rumah ikut bicara juga.
” Iya lho Mas Martin, kalau ketuaan baru punya anak, nanti repot!” kata Bu Tanto, sok akrab. Kulihat wajah Martin tegang, aku tahu pasti nanti jadi masalah bagi kami berdua. Saat itu aku cuma bisa tersenyum saja. Martin juga akhirnya tersenyum, sopan.
Sewaktu di mobil dalam perjalanan pulang kerumah kami, aku tahu Martin kesal dengan pertanyaan nyinyir tadi. Mulanya dia menyetir tanpa bicara. Aku tahu dia pasti sedang berpikir. Aku menunggu hingga dia bicara juga.
”Lin, itu Tante-tante nggak sopan amat, kok tanya kamu belum hamil juga! Dia tanya kenapa segala? Rupanya mau ngajarin aku ya supaya bisa bikin kamu hamil!” katanya sewot sekali. Wow rupanya Martin benar-benar kesal. Dia kemudian masih meneruskan.
”Belum tahu dia, nanti kubikin hamil tuh nenek, biar sudah menopause!” katanya. Tentu saja aku mentertawakannya. Mencoba agar keadaan kami tidak jadi runyam.
”Martin, sudah jangan sewot!” kataku diantara tawaku. ”Disini kan ucapan seperti itu dianggap biasa, jangan masukkan hatimu!” lanjutku.
”Tapi Lin, itu kan sangat pribadi, masa urusan seperti itu dianggap biasa!” katanya. Huuh...susah juga ya aku memberi pengertian pada Martin! Aku tahu Martin sejak kelas 1 SMA hingga selesai kuliah tinggal di Belanda dan Jerman. Sistim sosial, budaya dan etika yang mereka terapkan sedikit berbeda. Soal-soal pribadi sangat dihargai dan tak akan ditanyakan disana. Martin menyerap budaya itu sejak dia remaja. Ibunya dan kakaknyapun bukan wanita yang suka bergosip. Jadi tentu saja tak nyaman baginya. Tapi apakah cara kita bertegur sapa harus diubah? Entahlah!
Hanya ucapan nyinyir itu ternyata mengganggu hubunganku dengan Martin. Berhari hari kulihat Martin jadi pendiam. Bahkan suatu malam, dia menuntutku menjawab pertanyaannya.
”Linda, apakah kamu benar tidak menginginkan anak dariku?” kata Martin. Tentu saja aku sulit menjawabnya. Martin tahu sebabnya, tapi ucapan nyinyir itu telah mengganggu Martin yang biasanya sangat sabar dan rasional. Hal yang paling kusukai dari Martin. Uh... dasar teman-teman Mama itu kurang kerjaan! Aku rasa kami, aku dan Martin bukan korban mereka yang pertama. Pasti ada pasangan muda lainnya yang juga diperlakukan seperti kami. Bahan obrolan!

Kamar operasi

Beberapa hari terakhir ini aku merasa selalu lemas, sakit kepala dan pegal di bagian pundak kanan. Sore itu, sepulang dari kantor, aku tak segera mandi. Tidur-tiduran saja di kamar sambil mendengarkan lagu lagu Michael Frank. Aku akan makan malam sendirian karena Martin sedang tugas ke Ujung Pandang. Biasanya kami makan malam di luar rumah. Aku tak pernah memasak makan malam dan tak ingin punya pembantu rumah tangga. Martin juga tidak mau aku jadi repot dengan urusan dapur. Sarapan pagipun kami yang praktis saja. Segelas kopi susu atau teh, roti isi, telur. Bahkan kadang-kadang apel saja. Kami berdua sangat sibuk dengan urusan kantor masing-masing.
Sudah setahun lebih aku menikah dengan Martin. Sebagai suami dia tidak banyak menuntut. Aku dengan mudah memperpanjang jam kerjaku atau pergi keluar kota untuk urusan kantor berhari-hari. Martin tidak pernah protes. Dia mampu mengurusi keperluannya sendiri. Dia memahamiku, bahwa aku tidak dapat berperan sebagai isteri yang sempurna, sebagaimana ibu rumah tangga umumnya.
”Jangan khawatir, aku tak memintamu macam-macam Lin” katanya ”Bagiku, kau bersedia menjadi isteriku sudah cukup!” lanjutnya. Dia tak pernah marah padaku untuk hal sepele soal pekerjaan rumah kami. Padahal aku orang yang emosional.
Martin tahu pasti, bahwa aku selalu ingin berpisah dengannya. Aku sedang berusaha untuk bercerai dan meninggalkannya. Bukan karena aku tak menyukainya lagi. Aku sangat menyayanginya. Tapi cara pernikahan kami yang serba mendadak telah menghancurkan kepercayaan diriku. Aku selalu percaya kami menikah karena terpaksa. Belum benar-benar yakin. Aku selalu merasa Martin bukan suami yang kucintai tapi sahabat yang kupercayai. Rinto yang kucintai, dia menungguku di Belgia. Kekasihku sejak masih jadi mahasiswi. Hanya karena perbedaan keyakinan, kami tak dapat menikah. Sebenarnya kami bersedia berbeda, tak apa-apa. Hanya peraturan pemerintah yang tak mengijinkan.
Hampir jam setengah enam baru aku bangkit dari tidur-tiduran. Saat menyabuni tubuhku, aku merasakan lagi benjolan pada payudaraku. Aku berdiri di depan cermin meja riasku. Cermin persegi panjang berbingkai kayu yang retak diujung bawahnya. Hadiah dari adik perempuanku, Anggi. Aku hanya melilitkan handuk di pinggang, mencoba mengangkat tangan kananku. Memiringkan tubuhku dan melihat benjolan yang tampak nyata pada payudaraku. Ah... muncul lagi!
Beberapa tahun lalu sebelum menikah, aku pernah mendapatkan pengobatan pada payudaraku. Saat itu, obat obatan pemberian dokter memberi effek yang sangat tidak nyaman. Berhari-hari aku demam dan memuntahkan apa saja yang masuk ke lambungku. Obat anti mual, yang biasanya diberikan pada wanita hamil juga tak berguna banyak. Aku merahasiakan penyakitku dari keluargaku. Hanya Martin yang tahu. Dia yang menemaniku ke dokter. Menjagaku saat obat-obatan itu menyiksaku. Aku tak menyangka benjolan ini muncul lagi. Lebih besar, teraba dan ada bintik merah seperti jerawat. Juga terasa bengkak. Aku menduga rasa sakit pada bahu dan punggungku ada kaitannya dengan benjolan ini. Aku merasa benar-benar khawatir.
Malam itu, aku tak punya selera makan. Aku memikirkan apa yang harus kulakukan. Haruskah sekali lagi aku ke dokter Chandra, ahli kanker itu? Pasti dia menyalahkanku yang tidak rutin memeriksakan diri padanya. Sepulang kantor, aku memutuskan menemui dokter Ismid yang praktek dekat rumahku. Aku berharap, dokter ini memberikan opini berbeda tentang benjolan pada payudaraku. Makanya aku tak kembali ke dokter Candra. Aku sendirian menemuinya. Hanya satu solusinya, biopsi yaitu operasi pengangkatan tumor itu! Obat telan yang diberikan hanya bersifat mengurangi rasa sakit. Aku belum mengambil keputusan, bimbang. Aku akhirnya mengunjungi Dokter Chandra.
Aku benar-benar tak mengharapkan ini. Ternyata pendapat dokter Ismid tak berbeda dengan dokter Chandra. ”Sebaiknya biopsi segera dilakukan pada payudaramu” katanya. ”Jika ternyata berbahaya, sebaiknya diangkat saja” lanjutnya. Dia mengatakan obat-obatan yang ditelan sulit memperkirakan hasilnya. Tidak efektif. Banyak lagi penjelasan yang diberikannya. Dia benar-benar dokter yang baik. Sangat rinci tapi juga jadi sangat menakutkanku!
”Jangan tunda ya!” pesannya sambil menyalamiku dan mengantarkanku keluar ruang prakteknya.
Aku tak menceritakan apa-apa pada Martin tentang penyakitku, saat hari berikutnya, selagi di kantor Martin menelponku dari Ujung Pandang. Dia bilang, mungkin empat hari lagi baru kembali. Kali ini aku tidak mau melibatkan Martin dulu. Aku juga tidak akan menceritakan pada orang tuaku, adik-adikku apalagi salah seorang anggota keluarga lain.
Obat yang diberikan dokter Ismid tidak berdampak terlalu buruk padaku. Hanya sedikit mual, mulut terasa kering dan sakit kepala ringan. Aku masih bisa bekerja di kantor. Bahkan aku lembur hingga jam sebelas lebih untuk mengawasi anak buahku mempersiapkan lay-out iklan dan naskah lainnya. Sekitar jam duabelas malam aku sudah tiba di rumah dan langsung tidur.
Aku sarapan terburu-buru dan meminum obatku pagi itu. Aku harus tiba di kantor sebelum jam sembilan, karena ada janji dengan relasiku. Hari ini aku minta di jemput supir kantor, aku merasa capek, malas menyetir sendiri. Aku makan siang bersama klienku di sebuah restoran kecil. Aku ingat, aku harus minum obatku siang itu. Jadi kuaduk tasku mencari obat-obatku. Tak kutemukan, rupanya tertinggal dirumah saat sarapan pagi tadi. Sudahlah! Aku meneruskan kegiatanku hari itu hingga kembali ke rumah sore hari.
Rupanya Martin sudah pulang. Jendela rumahku terbuka, tirai tipis berwarna putih itu melambai-lambai ditiup angin sore. Pagar dan pintu rumah terkunci rapat. Aku tak berhasil membuka kunci pintu, karena kunci milik Martin masih terpasang di balik pintu. Aku terpaksa mengetuk pintu dan memanggilnya beberapa kali. Martin rupanya tertidur. Dia membukakan pintu dan segera memelukku.
”Hey, aku kangen sekali, jadi aku pulang lebih cepat. Kejutan kan?” katanya. “Aku sampai rumah jam tiga siang tadi, langsung tidur! Urusanku sudah selesai” lanjutnya.
“Lin, tidak gembira ya bertemu aku?” tanyanya lagi. Aku cuma menggeleng dan senyum sambil melepaskan pelukannya. Meski gembira Martin sudah pulang, tapi aku merasa begitu lemas. Aku langsung ke kamar tidur untuk mengganti pakaian. Juga ingin cepat-cepat berbaring
”Lin, capek ya?” tanya Martin. ”Kuambilkan minum ya, kita ngobrol di kamar saja!” katanya sambil berjalan menuju ke ruang makan. Itu kebiasaan Martin, kalau pulang dari perjalan dinasnya selalu ingin cerita apa saja selama kami tak bertemu. Biasanya urusan kantornya. Atau buru-buru membongkar oleh-oleh untukku. Kali ini pasti begitu juga. Dia sudah janji akan membelikanku bros perak buatan Kendari yang terkenal itu.
Tadi pagi meja makan belum kurapikan, jadi piring dan gelas bekas sarapan masih tergeletak di meja. Martin segera kembali ke kamar tidur tanpa gelas minuman yang dijanjikannya.
”Linda, ini obat apa?” tanya Martin mendekatiku yang sedang memasukkan kepalaku pada dasterku. Martin melambaikan kantong plastik biru muda berisi obat-obatku dari dokter Ismid! Aku ceroboh, tak menyimpannya dengan baik, lagipula tak mengira Martin pulang secepat itu.
Ah......... kali ini aku tidak dapat menyembunyikan penyakitku dari Martin.
”Itu obat untuk payudaraku. Kambuh lagi” kataku menjelaskan. Aku menunduk, aku tidak ingin dia tahu aku cemas. Aku melihat Martin terdiam. Kami hanya saling pandang. Aku tak dapat lagi menjelaskan. Martin kemudian duduk di pinggir tempat tidur.
”Cepat sekali ya kambuhnya!” keluhnya. Kemudian dia mendekatiku.
”Lin, coba buka dastermu, aku lihat dulu!” katanya. Aku mendekati Martin, membuka dasterku. Memperlihatkannya pada Martin.
”Rabalah, benjolannya sebesar bakso” kataku. Martin tidak meraba. Dia malah memelukku. Aku menangis di dadanya, menumpahkan rasa cemasku. Aku juga tahu, pelan-pelan Martin menyusut airmatanya sendiri. Pelan-pelan, pasti dia berharap aku tak mengetahuinya.
”Besok kita ke dokter ya Lin!” kata Martin. ”Aku mau minta penjelasan apa yang harus kita lakukan” lanjutnya. Percuma aku menolaknya, Martin bersikeras untuk membawaku ke dokter lagi, besok sore.
”Linda, dioperasi saja ya?” bujuk Martin setelah kami pulang dari dokter Ismid. ”Pasti sembuh” lanjutnya. Aku menolak. Sebagai wanita muda, aku ingin tampil cantik. Pekerjaanku menyenangkan. Juga menuntut wanita muda yang professional, tampil serasi. Tak terbayangkan aku tak memiliki payudara lagi. Teman-temanku, kolegaku selalu memuji penampilanku. Busanaku yang meski tidak selalu ikut mode, tetap serasi, selalu pas dengan suasana. Tentu saja mereka bilang aku punya tubuh yang proporsional dan wajah yang cantik. Bagaimana seandainya pada saat biopsi itu ditemukan penyebaran yang luas, maka dokter akan mengangkatnya sebelah payudaraku! Lalu, masihkah aku seperti Linda yang cantik?
Martin terus menyemangatiku. Berhari-hari dan tanpa putus asa membujukku agar bersedia di operasi. Di kamar tidur kami, sambil berbaring, Martin akhirnya menyerangku dengan kalimat-kalimat yang membuatku terpojok.
”Lin, apakah ini caramu untuk meninggalkanku?” tanya Martin. ”Membiarkan penyakit membunuhmu, tidak mau berobat?” ”Melarangku menolongmu? Apa kau benar-benar tak ingin sembuh?” ”Kalau tak dioperasi akan makin parah Lin, malah bisa tak bisa ditolong lagi!”katanya.
”Apa karena pernikahan kita, sehingga tak perlu merasa bertahan hidup bersamaku?” ”Kau benar-benar putus asa ya?” bertubi-tubi pertanyaan Martin. ”Linda, aku ingin melihatmu sehat!” bujuknya lagi.
”Kalau kau sembuh, aku dapat membiarkanmu menyusul Rinto ke Belgia” ucapnya lirih.
”Hah? Dia akan membiarkanku menyusul Rinto....?! Hal yang selama ini tidak pernah mau diucapkan Martin. Dia selalu ingin mempertahankan pernikahan kami! Aku tahu, Martin mengetahui bahwa aku masih mencintai Rinto. Dia juga tahu, Rinto masih menungguku di Antwerpen sana. Aku kaget tentu saja. Benarkah? Begitu sayangnya dia padaku. Dia rela melepasku, demi kesembuhanku. Ya... begitu banyak hal dalam hidup ini yang belum kuraih, mengapa aku harus menyerah! Menyusul Rinto juga hal yang belum pernah dapat kuraih. Apalagi sejak aku menikah dengan Martin.
Ya... aku harus berjuang lagi mengobati penyakitku. Martin gembira ketika aku bersedia dioperasi. Dia sendiri yang mengabari orangtuaku. Di hari operasi, Martin menungguiku bersama keluargaku di luar kamar operasi. Sebelum memasuki ruang operasi, di atas tempat tidur dorong, Martin mencium keningku dan memegangi tanganku. Saat itu, aku hanya pikir seandainya aku tidak berhasil selamat keluar ruang operasi, yang kupikirkan adalah bagaimana Martin? Aku pasrah jika Tuhan memanggilku. Ajaib juga, aku malah tak meng khawatirkan Rinto! Menurut Anggi adikku, Martin gelisah sekali saat aku berada di ruang operasi. Lebih banyak berdiam diri di sudut.
Ruang operasi yang kuingat adalah berwarna putih. Alat-alat operasi dan lampu yang besar. Aku dipindahkan ke meja operasi, kemudian dibiarkan sendirian dan pintu tertutup. Aku memandangi plafond yang juga bercat putih. Kemudian kulihat Dokter Chandra masuk mendekatiku disertai beberapa orang. Seorang dokter anestesi, beberapa paramedis. Mereka mengelilingiku. Yang kuingat aku disuntik serta dipasangi selang pada mulutku. Beberapa pembicaraan dokter sempat kutangkap, selebihnya aku tak ingat lagi.
”Nyonya Martin!” kudengar seseorang wanita seperti berteriak. Kemudian kudengar lagi teriakannya memanggil Nyonya Martin itu berulang-ulang. Aku tak peduli, aku ngantuk sekali. Lalu merasa ada yang mengguncang tubuhku yang terbaring lemas. Aku tak mau menjawabnya. Bukan aku yang dipanggilnya. Kemudian kudengar suara seorang pria.
”Linda, Linda kau bisa mendengarku tidak?” Ya.. aku Linda, jadi dia memanggilku? Aku berusaha menjawabnya, tapi mulutku terasa kaku dan kering. Aku mencoba menggerakkan kepalaku. Kudengar lagi suara pria itu.
”Dia sudah sadar, boleh dibawa ke kamar pemulihan!” Selebihnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Ketika pertama kali membuka mataku, yang kulihat aku sudah berada di kamar perawatan di rumah sakit. Di tanganku ada jarum infus tersambung dengan selang kecil bening ke botol yang bergantung di tiang besi sisi tempat tidurku. Ada Mama dan abang sepupuku, Andika. Aku tak melihat keluargaku yang lain. Rupanya jam bezuk sudah lewat, mereka sudah pulang semua, kata Mama.
Selintas aku memikirkan dimana Martin? Martin? Ya.. nama suamiku Martin! Tadi aku dipanggil Nyonya Martin kan? Kenapa aku mengabaikan panggilan itu? Aku hanya merespon panggilan namaku saja, Linda. Oh.. aku begitu haus tapi masih belum boleh minum. Mama memberi sesendok air putih saja. Martin....... aku ingin tahu dia ada sekarang. Martin... dimana? Rupanya aku belum benar-benar pulih. Aku tertidur lagi. Benar-benar tak ingat apa-apa lagi.
Martin tiap hari menjengukku di rumah sakit. Hari ke lima aku sudah boleh pulang. Jahitan luka operasi belum dibuka. Masih terasa nyeri dan kaku di bahu kananku. Tanganku sudah tidak dipasangi infus lagi. Selain itu masih ada selang kecil yang menempel pada luka sayatan operasi di payudaraku, ditutupi verband. Selang kecil itu untuk mengalirkan cairan pada luka itu kesebuah botol kecil. Kusimpan botol kecil itu di saku celanaku. Jadi aku seperti cowboy dengan pistolnya dipinggang. Operasiku berhasil dengan baik. Tidak ditemukan penyebaran, sehingga payudaraku tak perlu diangkat semuanya.
Aku dijemput Martin sore hari. Kami langsung pulang ke rumah orang tuaku. Mama ingin kami tinggal di rumah orang tuaku dulu sampai aku benar-benar pulih. Martin terlihat sangat gembira.
”Linda, betul kan kamu pasti sembuh” katanya sambil menyetir mobil.
”Hasil laboratorium bagus, tidak ada yang perlu dikhawatirkan” lanjutnya. Aku senyum padanya, senang mendengarkan suaranya yang bersemangat.

Dalam hati aku mengeluh, Martin..., aku selalu menyusahkanmu. Tanpa pengaruh anestesi aku berniat menghancurkan pernikahan kita, menolakmu. Di kamar operasi pun, masih dalam pengaruh obat bius, aku masih saja menolakmu. Aku tak menjawab suster yang memanggilku nyonya Martin.
Martin... maafkan aku! Martin, terima kasih, aku pasti tidak berani menjalani operasi ini jika kau tak membujukku, mendukungku, meyakinkanku. Aku memerlukanmu, sungguh! Jadi meskipun aku telah sembuh, pantaskah aku meninggalkanmu demi Rinto? Benarkah kau mengijinkan aku pergi, menikah dengan Rinto?
”Martin, aku kan sudah sehat, jadi kita Sabtu ini ke Bandung yuk, boleh kan?” tanyaku pada Martin yang sedang menyetir mobil. Dia menoleh.
”Boleh, tapi ada apa, kok jadi pengen ke Bandung?” Martin ingin tahu. Aku menjelaskan padanya.
”Ulang tahun Inge kan! Masa lupa sih!” kataku. Martin menggeleng, lalu bicara ”Linda, aku nggak lupa, tapi nggak usah memaksakan diri, Inge tahu kau habis operasi” katanya.
”Begini, sewaktu membezukku di rumah sakit, Inge sudah mengingatkanku tentang ulang tahunnya. Dia bilang, Mama harus datang ya, kan Inge undang teman-teman. Dia juga ingin berfoto bersama kita dengan kue ulang tahunnya” kataku menjelaskan pada Martin. Martin terlihat senyum, tapi kemudian bicara mengingatkanku.
”Lin, Inge semakin menuntut, sebaiknya jangan dituruti. Aku khawatir nanti dia berharap kau juga hadir pada ulang tahunnya tahun depan. Belum tentu kau bisa kan!” katanya tanpa menoleh padaku, terus menatap jalan sambil menyetir mobil. Wajahnya murung.
Ucapan Martin mengingatkanku saat Martin membujuk-bujukku agar bersedia di operasi. Dia menjanjikanku bisa kembali bersama Rinto, asal aku mau dioperasi. Setelah operasi mengapa keinginan itu beberapa hari setelah operasi ini tak pernah muncul? Aneh! Mungkinkah karena aku memang tak dapat berpisah dari Martin? Karena sebenarnya harus kuakui aku sangat nyaman bersamanya. Keluarga Martin juga sangat baik padaku juga sangat akrab dengan keluargaku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang kuhadapi bila bersama Rinto. Sewaktu aku dirawat, hampir semua keluarga Martin dari Bandung dan Jakarta menjengukku. Hanya suami Mirna yang tidak datang karena sedang bertugas ke Australia. Aku tak melupakan Rinto, tapi sulit menempatkannya dalam keluargaku dengan kondisinya saat ini.
Kini aku malah memikirkan agar bisa khadir pada ulang tahun Inge! Kado untuk Inge malah sudah kusiapkan sebelum operasi! Kutitipkan pada Mirna, khawatir aku benar-benar tak bisa datang. Kini Martin yang tampaknya mulai goyah. Dia ingin menepati janjinya padaku! Martin sebenarnya tidak begitu menyadari bahwa posisinya dalam keluargaku makin kuat karena dia dan keluarga ternyata cocok dengan gaya keluargaku. Mamaku yang keras dan disiplin ternyata klop dengan Mami. Dengan Tante Hanum juga demikian. Malah mereka pernah mengadakan perjalanan bersama, piknik para orang tua! Pergi ke Surabaya ke rumah Om Dicky dan kemudian ke Bali. Tante Frida dan suaminya juga ikut serta. Heboh dan seru cerita mereka.
”Martin, aku mau dioperasi karena ingin sembuh, okay! Supaya suamiku nggak repot urus orang sakit. Aku juga mau khadir pada saat anak-anak ulang tahun, kalau bisa setiap tahun!” kataku, sambil memegang tangan kanan Martin yang sedang menyetir. Kulihat didepan kami, jalanan agak macet siang ini, udara di luar panas terik. Tapi senyuman Martin yang mengembang, terlihat gembira, jauh lebih berguna daripada jalanan macet itu.
”Jadi.....” katanya, tak meneruskan ucapannya. Aku pelototi Martin. Martin kemudian meneruskan ucapannya.
”Jadi kita langsung ke rumah Mama atau ke Bandung nih?” katanya bercanda.
”Aku nggak peduli, terserah mau pergi kemana aja aku ikut! Lagipula sekarang aku lebih berani. Aku punya pistol” jawabku bercanda, kujawab seenaknya, sambil memamerkan botol kecil dengan selang yang terpasang pada luka bekas operasi di payudaraku. Ya.... sekarang aku tak peduli dengan perasaanku! Pada dasarnya aku tak suka konflik baik dalam kehidupan rumah tanggaku apalagi dengan keluargaku. Aku semakin tahu tak mungkin meninggalkan Martin.






ADIKKU ANGGI

Jarak usiaku dengan Anggi, adik perempuanku empat tahun. Orang tuaku memberinya nama Anggrek Natalia Hakim, kami memanggilnya Anggi. Papa memberiku nama Hana Rose Linda Hakim. Papa memang memberi nama kami dengan nama bunga-bunga.
Seingatku, sewaktu kecil, aku paling tidak akur dengan Anggi. Ada saja yang membuat kami bertengkar. Dia suka membongkar kotak mainanku, lalu membawanya bermain dengan teman-temannya. Atau aku yang memakai pinsil warna miliknya hingga tumpul semua, padahal baru saja dia serut. Kata orang wajah kami sangat mirip, malah banyak yang mengira kami saudara kembar! Tapi sifat kami sangat berbeda. Dia persis seperti Mama, sangat telaten dengan urusan rumah tangga. Aku persis siapa? Nenekku bilang seperti Tante Hanum malah!
Sementara aku, Linda si tomboy, tak bisa diam, kalau berjalan cepat-cepat saja, suka berteriak-teriak, memanjati apa saja, atap rumah, pohon, tangga, duduk berjuntai kaki di ambang jendela, nangkring diatas kap mobil. Mama paling tidak senang kalau aku duduk di jendela begitu! Aku malah pernah mau dipukul dengan sapu lidi sama Mama karena tak mau turun dari jendela. Dulu, rumah kami adalah rumah panggung dari kayu, jendelanya sebesar pintu rumah model sekarang. Bangunan rumah kami memang dibuat sejak zaman Belanda. Aku teringat nasehat Mama yang dia ulang ulang hampir sepanjang masa kecilku hingga remaja.
”Linda, kamu perempuan, berjalan yang tenang, jangan berlari, memanjat-manjat pohon seperti anak lelaki, nongkrong di jendela!” katanya.
Sewaktu Sekolah Dasar, kerjaku setelah pulang sekolah hanya bermain sepeda. Bermain petak umpet dengan teman-teman atau ke kebun buah dekat komplek tempat tinggalku. Kebun itu milik adik bungsu kakekku dari pihak ayah. Kakek Imansyah namanya, dia tak punya anak perempuan, putranya, Om Rahman, sepupu ayahku seorang tentara sedang bertugas di Surabaya. Aku selalu dimanjanya. Jika tiba musim buah, seperti manggis, rambutan, gandaria, mangga, aku selalu dimintanya datang bersama teman-temanku. Tentu saja aku juga memanjati semua pohon, duduk di salah satu cabangnya. Itu sebabnya aku paling suka pakai celana pendek. Tak suka pakai rok. Agar terlihat feminin, Mama membuatkanku rok kulot, jadi meski sebenarnya celana pendek, tetap terlihat seperti rok.
Adikku Anggi tak pernah ikut ikutan, dia bisanya hanya menunggu aku membawakan kiriman buah-buahan dari Kakek Imansyah. Dia takut pada ulat, cacing atau kumbang yang sering ada di kebun bahkan tanah becek dan lumpur. Satu-satunya binatang yang disukainya hanyalah kucing. Dulu aku malah pernah memberinya oleh oleh ulat yang ada di daun pisang! Dia menangis ketakutan! Mama memarahiku tentu saja. Bagiku ulat itu lucu sekali, berwarna putih dan lembut, tidak menggigit. Tapi bagi Anggi bagaikan monster!
Setelah aku duduk di sekolah lanjutan pertama, malah lebih parah lagi kesibukkanku, hampir tak pernah ada di rumah. Sepulang sekolah, aku latihan basket dan hampir setiap Sabtu meminjam speedboat Papa, memacunya di sepanjang sungai yang membelah kota kami. Kami waktu itu masih tinggal di Kalimantan, kota tempat kami tinggal dibagi dua oleh sebuah sungai besar. Transportasi air ramai, perahu dayung yang disebut jukung, klotok atau perahu bermesin dan speedboat. Jadi aku belajar mengemudikan speedboat bersama teman-temanku, diajari anak buah Papa dan Om Ridwan, ayah Riris, temanku.
Kalau tak ada speedboat, kami meminjam jukung, beramai-ramai mendayungnya kuat kuat ke arah muara sungai. Tiba di muara, kami memakan bekal yang kami bawa di sana, atau jajan makanan pada warung warung terapung, pedagangnya berjualan di atas perahu, kuenya enak-enak. Kemudian mendayung kembali perahu kami, tiba dirumah sudah hampir senja.
Kegiatan seperti ini tak pernah Anggi lakukan. Dia senang belajar bikin kue dengan Mama di rumah. Hasil masakannya selalu enak. Aku, Ari dan Arya , adik-adik laki-lakiku yang menghabiskannya. Setelah remaja, kalau Mama akan kedatangan tamu atau acara keluarga, Anggi bisa Mama andalkan membantunya. Kalau aku, hanya untuk antar Mama dan Anggi serta pembantu ke pasar. Aku supir keluarga, tukang antar mereka kemana-mana. Mama mau ke kantor Papa, mau ke dokter, ke pasar berbelanja dan lain-lain. Anggi tak pernah berani belajar naik motor atau setir mobil.
Pernah saat Anggi kelas enam SD, sewaktu libur sekolah sebulan lebih karena Ramadhan, dia setiap hari membantu Mama dan Mbok Yah memasak. Belajar membuat sulaman tusuk silang, jadilah sebuah lukisan besar, pemandangan alam lengkap dengan sebuah puri. Bikin kue-kue kering untuk persiapan Lebaran. Aku mendapat tugas mengantarkan makanan itu ke rumah kerabat-kerabat Mama Papa. Masih tetap sebatas kurir!
Apa yang kulakukan? Setiap subuh setelah makan sahur, bersama beberapa temanku, bersepeda keliling kota. Siangnya, bergelung di tempat tidur di kamarku, membaca komik sewaan. Sore hari sambil menunggu berbuka, berkumpul lagi dengan geng teman-temanku, ramai-ramai bersepeda pergi ke pusat kota, membeli kue-kue untuk berbuka di sebuah pasar khusus untuk Ramadhan, Pasar Wadai . Sementara adikku Anggi, dengan telaten menata meja makan untuk kami semua. Benar-benar aku berbeda dengan Anggi! Saking kesalnya, Mama pernah menyuruh Papa menjual saja sepedaku. Tapi Papa tak tega padaku! Karena untuk perawatan mobil dan motor Papa, siapa yang bisa diandalkan selain aku? Cuci mobil, bersihkan busi, isi air radiator! Akulah si tomboy yang diandalkannya! Menyalakan lampu petromak kalau kebetulan PLN tak berfungsi juga tak perlu menunggunya, aku bisa!
Sejak Taman Kanak-kanak, Mama sudah melihat aku tak bisa diam dan tomboy. Jadi sejak kecil agar kelakuanku lebih feminin, Mama memasukkanku belajar menari ke sanggar tari yang menyatu dengan kantin khusus perwira, di kantor Papa. Pelatih tarinya kebetulan sepupu ayahku, Tante Betty van Gelder, juga guru TK ku. Mulanya belajar menari Melayu, Patah Sembilan, Serampang Dua Belas dan Tari Lilin. Tarian yang saat itu sangat trend dalam masyarakat. Tapi juga diajarkan dansa gaya barat. Meski masih kecil, aku sudah tahu, aku tak suka menari. Tante Betty selalu berada di dekatku saat latihan. Menyuruhku mengikuti gerakkannya yang lembut sesuai irama. Aku sering berlagak sempoyongan kalau gerakan tariannya harus berputar. Pura-pura pusing kepala, atau terjatuh ke lantai, jadi Tante Betty segera menyuruhku istirahat! Aku tentu saja meneruskan acting ku, berjalan ke sudut ruang latihan sambil terpincang pincang. Duduk jadi penonton saja.
Usaha Mama tak berhasil membuatku jadi penari, karena aku lebih tertarik menonton orang-orang latihan karate di sebelah sanggar tari. Setiap Rabu dan Jum’at sore aku diantar ke sanggar tari, tapi aku hanya berlatih sebentar. Diam-diam keluar menonton orang berlatih karate, beberapa pemuda dan anak kecil, semuanya lelaki aku kenal karena mereka teman sekolahku. Aku kemudian mengikuti gerakkan mereka di barisan belakang. Pasang kuda-kuda, bergerak maju mundur, mengepalkan tangan kemudian membuat gerakan menonjok ke udara sejajar dada, ke atas seakan wajah musuh yang sedang kutinju. Menendangkan kaki kecilku. Berteriak Ossh! Seruan khas para karateka. Rasanya mudah sekali gerakannya, tak sesulit menari, seru sekali.
Suatu kali, aku dijemput Papa dan Mama di tempat latihan lebih awal dari biasanya, jadi ketahuanlah aku tak ikut latihan menari. Mama terdiam, tak bisa marah. Papa menggendongku kembali ke ruang tari. Aku berontak, menangis. Akhirnya mereka mengalah. Bye......bye Tante Betty!
Aku ikut latihan karate dengan pelatihku, Sensei Sofyan hingga aku dapat sabuk biru! Cuma Mama selalu memperhatikan sikapku, gerak tubuhku. Kalau di rumah aku berjalan dengan gaya seenaknya, maka Mama selalu memanggilku. Dia perintahkan aku berjalan kembali dari tempat semula. Harus berjalan dengan gaya yang lebih tenang dan feminin. Aku paling sebal, tapi tak bisa membantah Mama. Kalau membantah, izin latihan karate bisa dicabut! Papa tidak akan menolongku, katanya.
Huuh! Anggi tidak pernah dapat perintah seperti itu dari Mamaku. ”Jalannya Anggi sudah bagus!” puji Mama. Aku selalu melawannya.
” Tapi aku kan selalu dapat nilai bagus di kelas biar jalanku sembarangan! Anggi kan nilai raportnya suka ada merahnya!” kataku membela diri. Mama tak pernah menggubris protesku. Sedangkan Anggi hanya menjulurkan lidahnya padaku. Biasanya aku diam-diam merusakkan salah satu mainannya. Atau pernah juga melemparkan sepatunya ke kolong rumah, sebagai balasan. Seharian dia mencari sebelah sepatunya yang hilang!
Sementara itu Anggi juga ikut berlatih tari, bahkan naik pentas menari pada perayaan sekolah dan acara-acara di kantor Papa. Misalnya pada perayaan hari kemerdekaan dan ulang tahun angkatan bersenjata di kotaku. Pada acara seperti itu aku jadi penonton saja. Aku suka mengganggu Anggi dengan menarik-narik selendangnya, atau aku menyembunyikan lilin untuk menari miliknya, sampai dia hampir menangis! Anggi pernah jadi juara membaca puisi, menjuarai masak nasi goreng dan merangkai bunga! Aku cuma senang memotretinya saja. Aku belajar memotret dari Papa. Hasilnya foto-fotoku dapat diandalkan.

Entah mengapa, sejak kami pindah ke Jakarta, aku mulai akrab dengan Anggi. Mungkin aku saat itu belum banyak teman di sekolahku, jadi Anggi lah temanku. Mungkin juga saat itu usiaku juga sudah remaja, sudah kelas satu SMA, jadi mulai lebih tenang. Mungkin juga karena aku tak bebas lagi keluyuran karena tak begitu hapal jalan-jalan di Jakarta. Kemana-mana aku diantar, ke sekolah, ke tempat les. Aku tak berani naik bis, karena pernah nyasar, ingin pulang ke rumah ke arah Cempaka Putih di timur Jakarta, malah naik bis yang ke barat, ke Grogol!
Aku tak lagi punya geng teman-teman untuk berkumpul. Akhirnya bermain di rumah dengan Anggi, belajar dan mulai ikut-ikutan menata meja makan. Sewaktu aku naksir teman sekelasku, maka pada Anggi lah aku cerita. Pokoknya aku jadi akrab dengannya. Kami tak lagi suka bertengkar. Sesekali saja, terutama kalau lupa mengembalikan barang yang kami pinjam.
Saat aku pacaran dengan Rinto, Anggi sangat mendukungku.
”Kak Linda, Mas Rinto itu keren dan pintar ya!” katanya suatu kali.
”Aku senang deh sama dia! Moga-moga dia jadi iparku” katanya lagi. Memang seingatku, Anggi suka ngobrol dengan Rinto, kalau dia datang berkunjung ke rumah kami. Rinto juga suka dengan Anggi, karena dia tak punya adik atau kakak perempuan.
Aku tahu Rinto juga memanfaatkan Anggi, mengorek apa saja tentang aku. Dari Anggi dia tahu aku pernah punya pacar sewaktu SMP. Rinto mengolok-olokku karenanya.
”Linda, katanya kau pacaran sama buaya muara ya?” katanya. Julukan buaya muara di berikan Anggi pada pacar pertamaku, Sony. Karena selain Sony banyak disukai gadis-gadis sekolahku, dia juga jago mengemudikan speedboat. Kami sering beramai-ramai naik speedboat ke muara sungai. Biasanya aku cuma ketawa saja mendengar olokan Rinto. Kami juga sering pergi bertiga, nonton film ke bioskop atau makan roti bakar di warung tenda pinggir jalan.
Bagi Anggi, Rinto bagai kakak lelaki yang tak kami miliki. Bahkan aku tahu Anggi sudah pacaran dengan Hardi dari informasi Rinto. Anggi minta pertimbangan Rinto, apakah meneruskan pacaran sama Hardi atau berkawan biasa saja. Rinto menyempatkan diri mendekati Hardi, mengorek segala macam tentang dia, malah sekali mengajaknya jalan bersama untuk ngobrol-ngobrol. Hasil pengamatannya di laporkan ke Anggi! Akhirnya Anggi pacaran dengan Hardi, atas rekomendasi Rinto. Benar-benar akrab.
Jadi saat Rinto dan aku memutuskan untuk membuat jarak dulu, berpisah sambil mencari jalan keluar agar kami bisa menikah, Anggi sedih sekali. Sama sedihnya seperti aku. Aku sedih kehilangan kekasih, Anggi sedih kehilangan seorang kakak! Dia menyesali keadaan yang membuat kami harus berpisah. Dia berharap agar setelah di Belgia, Rinto bisa menemukan jalan keluar bagi kami, sambil dia melanjutkan studinya.
Sewaktu Rinto berangkat ke Belgia, Anggi memberinya sebuah syal dari rajutan hasil karyanya. Anggi menunjukkan kartu yang ditulisnya untuk Rinto dan diselipkan pada syal. ”Mas Rinto, ini syal Anggi buat supaya Mas ingat aku dan kak Linda! Menghangatkan lehermu di musim dingin, anggap saja syal ini tangan manja kami memeluk lehermu, kami yang selalu ingin dekat Mas Rinto. Sampai jumpa!” Saat Rinto berangkat ke Belgia, Anggi tak bisa turut mengantar ke bandara, dia sedang ada ujian skripsinya.
Setelah aku dekat dengan Martin, Anggi beberapa kali bicara tentang Rinto. ”Kak Linda, kau sudah melupakan Mas Rinto ya, kok dekat-dekat sama Bang Martin sih?” katanya menyesalkan sikapku.
”Anggi, sebenarnya kami sudah putus, cari jalan masing-masing. Tapi juga berjanji untuk berusaha mencari jalan keluar untuk menikah. Jadi apa ya namanya. Putus tapi nggak putus!” kataku. Anggi menatapku tanpa kata-kata.
”Kalau menikah dengan Rinto, dengan kondisi sekarang sudah tak mungkin lagi, kecuali peraturan berubah. Kalaupun peraturan mengizinkan pernikahan beda keyakinan, memangnya keluarga kita mau menerima? Itu nggak mungkin di diskusikan dengan Papa Mama, apalagi sama keluarga yang lain! Rinto mau aku menyusul ke sana. Bagaimana pendapatmu?” kataku waktu itu. Meski hampir empat jam membicarakan hal itu dengan Anggi, tetap saja aku tak dapat jalan keluar untuk bersatu dengan Rinto.
Lama-kelamaan Anggi bisa menerima kehadiran Martin di sisiku. Bahkan dia juga baik terhadap Martin. Pada dasarnya sikap Martin dan Rinto hampir sama. Mereka sama-sama tak punya adik perempuan, hangat dan perhatian pada Anggi sebagai adikku. Martin segera menjadi sahabatnya, sama seperti Rinto. Mereka bisa kasak-kusuk berdua, membicarakan apa saja. Martin juga suka mengorek tentang aku dari Anggi, sama seperti Rinto dulu. Martin hampir tak percaya cerita Anggi bahwa aku begitu tomboynya, karena pada saat bertemu dengannya aku benar-benar sudah menjadi wanita dewasa. Tahu berdandan, mengatur busana yang serasi dan berlaku manis. Hanya masih tak suka memasak saja.
Kurasa dari Anggi lah Martin tahu banyak tentang aku. Aku tak terlalu banyak cerita masa laluku pada Martin, kecuali tentang Rinto. Dengan Martin, Anggi juga bisa bercerita tentang pacarnya, Hardi. Kupikir adikku ini selalu mendukungku. Makanya saat aku menikah dengan Martin, dia hanya tidak suka prosesnya saja yang terlalu tergesa-gesa, terlalu mendadak. Dia tahu, Martin menyayangiku. Anggi selalu meyakinkanku tentang hal itu, karena bertahun-tahun sesudahnya aku masih saja tak yakin pada Martin. Aku selalu beranggapan Martin menikah denganku karena terpaksa. Karena tekanan keluargaku, karena ingin menolongku, karena tak ingin mengecewakan keluargaku.
Anggi selalu menentang pendapatku, ”Kak Linda, jangan begitu sama Bang Martin! Dia benar-benar sayang lho. Dia kan pernah ngomong sama aku” katanya.
”Sekarang hadapi kenyataan aja, dia suamimu sekarang. Lihat aja, kalau dia nggak sayang, pasti sudah kabur atau punya pacar. Orang ganteng kayak gitu, masa sih cewek nggak ada yang mau sama dia!” kata Anggi lagi memanasiku.
”Menurut aku sih, lebih baik begini, toh Mas Rinto juga belum kasih keputusan apa-apa!” lanjutnya.
Aku mencoba mengikuti jalan pikiran Anggi, itu jalan pikiran yang berkembang dalam keluargaku. Pemikiran kolektif keluarga besarku! Aku juga bisa memahami pendapat keluargaku itu, karena memang Rinto tak pernah membicarakan hal kami dengan keluargaku. Dari pihak keluarganya, meskipun tahu kami telah berhubungan cukup lama dan saling kenal juga tidak ada inisiatif apa-apa.
Berbeda dengan Martin, Papi dan Mami nya pernah mampir ke rumah kami, sepulang menghadiri pernikahan putra teman Papi Martin di Jakarta. Ingin berkenalan dengan keluargaku, kata Martin. Setelah ngobrol-ngobrol dengan Papa dan Mama, ternyata Papinya Martin kenal dengan Tante Hanum, kakak Mama. Katanya dia mengenalnya saat ada rapat kerja dengan instansi tempat dia kerja dulu. Sudah lama, tapi dia masih ingat, karena katanya suara Tanteku lantang dan saat itu dia satu-satunya perempuan yang mewakili lembaganya.
Jadi waktu itu Mama telpon Tante Hanum, yang buru-buru datang ke rumah kami bersama Om Burhan bergabung di rumah kami. Mereka akhirnya ngobrol sampai malam, ramai seperti bertemu dengan teman lama. Sedangkan Mama asyik ngobrol dengan Mami Martin soal tanaman dan bunga. Malah mengundang Mama untuk ke Bandung, berjanji mengirimi bibit bunga segala. Jadi kupikir pendapat Anggi ada benarnya.
Aku sering mengajak Anggi menginap di rumahku. Apalagi kalau Martin sedang tugas ke luar kota. Saat seperti itu aku dan Anggi ngobrol sambil tiduran di kamarku. Aku minta dia tidur di kamarku, bukan di kamar tamu. Kami juga sering shopping bersama, cari baju baru, tas atau sepatu ke Pasar Baru atau ke Department Store di Blok M, Kebayoran Baru.Terkadang kami bukan belanja, tapi makan-makan saja, nonton bioskop dan beli kaset lagu-lagu kesukaan kami atau bersama-sama ke salon atau berenang.
Kadang kala pacarnya datang ke rumahku, kami pergi bertiga. Kalau tidak pergi kemana-mana, malam-malam kami mengganggui Martin dengan menelpon di hotel tempatnya menginap. Anggi suka pura-pura jadi wanita penggoda, tapi kemudian tak lama langsung mengaku.
Karena itu, Anggi benar-benar mendukungku dan Martin. Meyakinkanku setiap saat akan cinta Martin yang tulus. Memintaku membuang jauh-jauh prasangka buruk keterpaksaan Martin. Memintaku mempercayai bahwa Martin saat itu memang tanpa berkonsultasi lagi denganku menerima untuk segera menikah denganku. Tidak merasa dipaksa dan terpaksa. Dia bilang pada Anggi sangat bahagia melakukannya. Dia juga bilang pada Anggi, kalau tanpa paksaan keluargaku, mungkin sampai sekarang aku belum jadi isterinya. Menurut Anggi, Martin bilang aku selalu ragu-ragu, masih mengharapkan Rinto.
Anggi pernah bilang padaku, ”Kak Linda, Bang Martin kan pernah bilang, dia sedih karena kau wanita yang dia cintai sudah dinikahinya tapi tak pernah jadi miliknya!” kata Anggi menirukan ucapan Martin. Anggi juga mengatakan ”Bang Martin bilang, hatimu selalu untuk Rinto, tak pernah berpaling padanya. Kau selalu menutup diri dengan segala kesibukan kerja kantor. Melupakan kehadiran Bang Martin, suka bermurung diri, seperti robot, benarkah?” desaknya. Aku tentu saja terdiam tak mampu menghindar fakta yang diungkapkan Anggi.
”Kau keterlaluan Kak!” kata Anggi.
Anggi terus saja begitu, setiap bertemu denganku membuatku yakin pada Martin. Anggi yang sangat feminin itu dengan gigih menaklukkan hatiku demi untuk Martin. Kakak iparnya, yang sudah seperti kakaknya sendiri. Ya akhirnya salah satu yang membuatku sepenuhnya berpaling pada Martin karena Anggi. Dari Anggi aku memahami Martin. Rupanya Martin sesungguhnya tersiksa dengan sikapku padanya. Anggi punya andil cukup besar memperbaiki hubunganku dengan Martin.


Pernikahan Andika

Sepupuku, Bang Andika, putra sulung Tante Hanum malam Minggu ini akan menikah dengan Citra. Gadis cantik yang telah dipacarinya hampir dua tahun. Sabtu pagi ini kami kini sudah berada dalam kereta di stasiun Gambir untuk berangkat ke Bandung, menghadiri pernikahan itu. Suasana Sabtu pagi di stasiun sudah sangat ramai. Dari balik jendela, kulihat pedagang asongan sibuk menawarkan daganganya. Rokok, roti, permen, obat anti mabuk, minuman kaleng. Para pemanggul barang-barang penumpang juga hilir mudik dengan pundak penuh , kotak kardus, tas besar atau koper calon penumpang.
Perjalanan ini di pandu Bang Darma, adik Andika aku jadi asistennya. Aku kakak perempuan tertua diantara mereka. Kami terdiri dari dua adik bang Darma, Alan dan Didit. Aku dengan tiga adikku, Anggi, Ari dan Arya. Ditambah sepupu-sepupuku lainnya. Putra tunggal Tante Maria, Irawan. Putra-putra Tante Netty, Luki, Andri dan Stefan. Putri-putri Tante Nila, Ayu, Laila, Ajeng. Putra putri Om Dicky, Rizal, Annisa, Sari dan sibungsu Aditya. Putra putri Tante Nita, Lulu dan Lala. Wira dan Wawan.
Semua sudah kebagian tempat duduk. Para sepupuku mulai ngobrol sambil menunggu kereta bergerak. Kudengar suara Annisa berkata padaku. ”Kak, Linda, aku lupa bawa handuk, buru-buru sih, gimana nih!” Belum sempat menjawabnya, suara Lulu sudah menimpali.
”Kak, aku juga lupa bawa baju tidur” kata Lulu manja.
Waduh... hampir semuanya mengaku ada yang terlupa membawa keperluan mereka! Aku menenangkan mereka. Mengatakan bahwa semua sudah tersedia di hotel. Jadi mereka tidak perlu panik.Tentu saja bukan baju tidur yang disediakan hotel! Pikirku. Terlambat sudah.
”Kak Linda, memang hotel sediakan baju tidur kecil?” tanya Lulu lagi. Ah... iya.. ya.. aku asal jawab saja. Bang Darma terbahak mendengar pertanyaan Lulu.
”Oh... maksudku nanti pakai punyaku ya!” kataku lagi masih asal jawab. Dasar Lulu, dia tak pernah berhenti bertanya.
”Tapi kan kak Linda badannya gede, apa muat sama aku?” tanyanya lagi. Betul juga, masa aku dengan tubuh 167 cm ini bisa pas bajuku dengan Lulu yang baru kelas empat SD! Kini bukan Bang Darma saja yang terbahak. Hampir semua rombonganku mentertawakanku! Kami ramai sekali, sampai penumpang lain agak kesal kelihatannya.
Aku duduk di samping Bang Darma. Mau ngobrol dan ingin tanya dia, mengapa Bang Andika begitu mendadak mau menikah. Sehingga perjalanan rombongan kami inipun diatur sangat terburu-buru pula. Bang Darma diberitahu via telpon Jum’at pagi untuk menyusul ke Bandung hari Sabtu ini. Aku di jemput Bang Darma di kampus, diajak pulang ambil pakaian langsung menginap di rumah Tante Hanum sambil membantunya mengatur keberangkatan kami hari ini. Malam tadi kami menjemput anak-anak Om Dicky dari Surabaya di airport. Aku penasaran, ingin tahu dan pasti bisa mengorek informasi dari Bang Darma. Sementara adik-adik sepupu kami, tidak begitu mempermasalahkan hal ini. Mereka senang, seakan-akan ini hadiah piknik mendadak saja.
Para orang tua kami sebenarnya hari Jum’at pagi lalu telah berada di Bandung dalam rangka melamar Mbak Citra. Mereka berangkat dengan empat mobil. Sekalian membawa beberapa bingkisan untuk keluarga Mbak Citra. Mereka, adalah Om Ibrahim dan Tante Hanum, ayah dan ibu Andika. Om Syaiful dan kakak ibuku Tante Maria, kedua orang tuaku, adik-adik ibuku Om Dicky dan Fitri isterinya. Serta Tante Netty bersama Om Lukman, Tante Nita dan Om Uli serta Tante Nila dan Om Fikri. Tentu saja disertai bang Andika.
Dari Bang Darma kuketahui persoalan yang sebenarnya. Ternyata, Tante Hanum terpancing emosinya, akibat ucapan ayah Mbak Citra. Waduh...kakak ini buku ini memang penaik darah. Apalagi jika hal itu menyinggung martabatnya atau keluarganya. Tapi memutuskan agar Bang Andika langsung menikahi mbak Citra, tanpa membicarakannya dulu dengan mereka berdua tentu perkara lain. Kudengar, dari Bang Darma, Mbak Citra sampai pingsan! Bang Andika yang semula berencana ingin bertunangan saja juga jadi panik. Mereka berdua merasa disudutkan pada posisi yang sulit.
Persoalannya dimulai pada saat pertemuan melamar itu, karena ucapan dan sambutan ayah Mbak Citra, Pak Zulkarnain. Beliau tak membiarkan Tante Hanum menyelesaikan ucapannya, menyelanya bicara dengan mengatakan, sudah lama menunggu kedatangan keluarga Bang Andika. Menyesalkan mengapa baru sekarang keluarga kami datang. Beliau menegaskan, seharusnya bukan pertunangan yang diusulkan keluarga kami, tapi kapan akan menikah. Dia juga mengatakan, sebagai pemuka masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, dia merasa malu, karena Andika sering menjumpai Mbak Citra.
Akibat ucapan itu Tanteku tersinggung, merasa niat baiknya untuk melamar disepelekan. Dengan tegas Tante Hanum, tanpa berunding dengan siapapun menantang keluarga Mbak Citra agar menyelenggarakan pernikahan secepatnya. Bahkan kalau perlu hari itu juga. Sebagai Mas kawin dari Bang Andika, dia langsung mencopoti gelang emasnya, kalung dan giwang berliannya!
Jadi gegerlah dua keluarga kami. Terutama ayah Mbak Citra, tidak menyangka reaksi Tante Hanum itu. Dia agak menyesal dengan ucapannya yang keterlaluan itu. Dia langsung meminta maaf! Tapi, upayanya untuk meminta waktu persiapan sebulan ditolak mentah-mentah oleh Tanteku. Seminggu juga tidak diberikan. Tante Hanum mengancam, jika ia mau melihat anaknya menjadi isteri Bang Andika, pernikahan harus hari Minggu ini. Jika tidak terlaksana, lamaran dibatalkan saja. Begitulah kejadiannya. Benar-benar konyol kedua orang tua itu! Hanya punya waktu sehari mempersiapkan pernikahan sederhana dan mengundang tetangga dan keluarga mereka.
Dari pihak keluarga kami juga berusaha membujuk Tante Hanum, untuk merubah keputusannya. Sebagaimana biasa, Tante Hanum bukan orang yang mudah ditaklukkan. Tidak juga oleh bujukan suaminya, Om Ibrahim. Benar-benar ruwet! Bang Andika pun, yang sebenarnya pihak paling berkepentingan tidak bisa berkutik. Kudengar dari cerita Bang Darma, saat dia mencoba bicara, Tanteku membentaknya. Dia bilang, urusan ini bukan soal siapa yang mau nikah, tapi soal harus mempertahankan kehormatan keluarga atas tantangan ayah Mbak Citra. Tunjukkan kita tidak takut mengambil Citra sebagai menantu!
Lama setelah pernikahan itu terjadi, aku mencoba menganalisis. Aku melihat ada ketidak sefahaman dalam kontak budaya kedua keluarga kami. Juga ada faktor harga diri yang terluka dan rasa ingin menunjukan kemampuan dan kekuasaan pada pihak lain. Tidak ingin diremehkan, padahal sudah berupaya untuk mendekati secara baik-baik dengan membawa anggota keluarga kami menemui mereka. Melamar secara baik-baik.
Kulihat, ayah Mbak Citra ,dengan lingkungannya yang konservatif tapi juga kurang terlatih bicara, juga kurang peka terhadap latar belakang keluarga kami. Dia ingin orang yang datang meminta anaknya, mengetahui bahwa dia seorang yang berani mengemukakan pendapatnya. Dia agak sombong, sangat bangga dengan masa lalunya sebagai orang dekat mantan penguasa, tapi dia kurang matang perhitungannya. Kudengar dia memang pernah aktif di sebuah partai politik tapi karirnya juga tidak cemerlang. Malah tersingkirkan, hanya dia masih merasa sebagai tokoh di sekitar tempat tinggalnya.
Dia ingin agar keluarga kami jadi membujuk-bujuknya karena takut ditolak lamaran. Dengan demikian dia berada diatas angin, bebas menentukan rencananya untuk hubungan Bang Andika dan putrinya Citra. Juga kudengar dia sangat bangga dengan kecantikan Mbak Citra. Sayangnya dia berhadapan dengan keluarga kami. Keluarga dengan sistim kekerabatan yang sangat kuat dalam mempertahankan harga diri, apalagi terhadap orang dari luar kekerabatannya. Malah ada ungkapan yang menggambarkan saking teguhnya pendirian digambarkan sebagai senjata baja yang murni, tak bercampur logam lain. Sebagai senjata, terbuat dari baja, dari gagangnya hingga ke ujungnya. Pada saat yang sama, hal ini menyangkut putra sulung Tante Hanum, Godmother keluarga kami. Tante Hanum telah menjelma menjadi panutan keluarga. Dalam kejadian ini, tentu dia tak mau berdiam diri. Dia tak mau dianggap keluarga yang tidak bertanggung jawab. Apalagi terhadap anak gadis orang.
Aku merasa kasihan dengan Bang Andika dan Mbak Citra. Gara-gara kedua orang tua mereka yang arogan, kini mereka kalang kabut mempersiapkan diri. Hari Sabtu, mereka berdua mencari pakaian yang pantas untuk menikah. Setelan jas untuk Bang Andika dan kebaya untuk Mbak Citra. Mereka berdandan di sebuah salon di ujung jalan dekat rumah Mbak Citra. Tidak seperti calon pengantin umumnya, sanggul Mbak Citra tanpa roncean bunga melati. Hanya dihiasi bunga imitasi, dari kain! Alasannya tak sempat pesan bunga lagi!
Aku tahu, keduanya tentu punya impian tentang bagaimana cara mereka akan menikah. Apalagi Bang Andika! Dia itu orangnya romantis banget! Seniman dan ilmuwan. Dulu, dia pernah bilang padaku, kalau menikah dia mau sebuah pesta kebun. Pesta yang akan dihadiri orang yang benar-benar dia kenal saja. Kawan-kawannya dan keluarga saja. Bukan pesta dengan ratusan tamu bahkan ribuan orang, sangat formal sebagaimana yang biasanya diselenggarakan. Hanya dengan busana pengantin yang simpel. Tak menyangka kejadian serupa menimpaku beberapa tahun kemudian.
Waktu Bang Andika menghayalkan impian pernikahannya, aku sangat antusias. Aku bilang sama Bang Andika ” Aku juga mau pesta seperti itu!” Tapi Bang Andika mengatakan itu tak mungkin bagiku.
”Kenapa tak mungkin, kan aku yang mau kawin!” sanggahku waktu itu.
”Apa alasannya?” tuntutku padanya.
”Kau nggak bisa Lin, percaya deh! Kamu kan anak dan cucu perempuan pertama di keluarga besar kita. Pasti keluarga kita maunya pesta yang tradisional gitu!” katanya menjelaskan. ”Syukur!” katanya, mentertawakanku.
”Kenapa nggak bisa? Pasti bisa, karena itu Linda, kaya nggak tau aku aja!” jawabku yakin.. Dia menggeleng saja. Aku sebal sekali!
Akankah impian Bang Andika dapat terlaksana? Kukira pernikahan yang diputuskan orang tua secara mendadak ini telah membuat impian Bang Andika melayang entah kemana. Karena tanpa persiapan mental yang memadai, pernikahan Bang Andika penuh dengan guncangan. Puncaknya, mereka berpisah dengan masing-masing mengasuh satu anak. Diana, si sulung ikut Bang Andika, Raditya ikut Mbak Citra.
Kini, pada pernikahannya yang kedua, Bang Andika mewujudkan impiannya. Menikah dengan Kak Sisi, temannya semasa kuliah di Bandung. Kak Sisi ditinggal mati suaminya dua tahun setelah menikah dan tidak memiliki anak seorangpun. Wanita cantik dengan karir yang bagus. Kini memiliki usaha sendiri, sebuah kebun bunga khusus untuk dikirim ke toko-toko bunga di Jakarta dan Bandung.
Pernikahan Bang Andika kali ini dilaksanakan di sebuah villa di kawasan Puncak, daerah pegunungan. Di rumah kak Sisi, di kebun bunganya. Pesta dilaksanakan di halaman luas yang luas penuh dengan bunga. Bulan Agustus, pagi Minggu, hanya dihadari kedua keluarga dan teman-temannya semasa kuliah. Telah direncanakan mereka sejak lama.Tidak mendadak!
Acara pernikahan ini berkesan sekali bagiku! Aku benar-benar ingin menikah dengan cara seperti itu. Sederhana, tidak terlalu mahal, buang-buang biaya. Tamunyapun kita kenal, bukan sekedar bersalaman, kemudian makan dan pulang. Kedua pengantin juga dapat mengobrol dengan tamunya sambil bercanda.
Seperti kali ini, Kak Sisi mengenakan rok terusan bergaya cheongsam berwarna putih gading dari bahan sutra dan lace. Belahan baju disamping memamerkan kakinya yang putih bersepatu putih gading. Rambutnya ditata apik tapi sederhana. Digelung dipuncak kepala dengan sebuah tiara kecil dari mutiara kecil-kecil. Riasan wajahnya juga tipis dan lembut. Perhiasannya adalah sebuah gelang mutiara, anting-anting mutiara dengan bentuk airmata, bross mutiara di pasang di kerah bajunya. Tentu saja cincin kawin mereka. Bang Andika mengenakan stelan jas tutup dengan warna yang sama dengan Kak Sisi. Mereka berdua sangat serasi dan bahagia.

Kereta api


Aku ingin ketika Martin pulang ke rumah hari Sabtu pagi besok keadaan rumah tampak bersih dan rapi. Rumah telah rapi dan bersih. Kuganti sprei tempat tidur dan kututupi dengan bed-cover warna putih dengan garis-garis kecil biru muda. Di meja samping tempat tidur, kuletakkan empat surat. Paling atas adalah surat untuk Martin, suamiku. Juga kuletakkan satu pot bunga anggrek bulan dengan bunganya yang segar berwarna putih besar. Kuletakkan anggrek tersebut di sebuah pot keramik. Kubeli tadi sepulang kantor, karena aku sayang mengambil dari kebunku meski dibelakang rumah, anggrekku sedang ramai berbunga. Di atas kursi meja rias telah kusiapkan kimono mandi milik Martin dan handuk.
Memandangi kamar tidur kami, aku menjadi bimbang atas keputusanku. Aku masih bertanya pada diri sendiri. Benarkah aku akan meninggalkan Martin? Apa yang akan terjadi padaku setelah pergi meninggalkannya? Apakah benar aku meninggalkannya karena ingin menyusul Rinto? Jika bukan untuk Rinto, apakah aku juga tetap pergi? Mampukah aku hidup tanpa Martin? Apakah aku akan rindu padanya? Sejumlah pertanyaan itu muncul dalam otakku yang tak pernah mampu kujawab. Hanya satu yang mendasari keputusanku, pergi saja!
Di kamar tidur inilah, Martin dengan lembut dan sabar menunjukkan kasih dan cintanya. Disinilah kami memulai kehidupan kami sebagai suami isteri. Dengan sabar, tanpa menuntut, Martin menuntunku menjadi isterinya. Mengharukan kesabarannya itu, karena aku baru bersedia disentuhnya setelah kami pindah ke rumah ini, empat minggu setelah pernikahan kami yang mendadak itu. Aku malah pernah berjanji hanya mempersembahkan diriku untuk Rinto. Pertunangan kami terputus karena pernikahanku dengan Martin yang sangat mendadak.

Memandangi foto pernikahan kami yang terpasang di dinding kamar, aku merasa sangat bersalah dan egois. Aku tak pernah berusaha mempertahankan pernikahan kami. Aku selalu berusaha menghancurkannya. Martin yang selalu mengalah dan memperbaiki hubungan kami. Martin selalu pada posisi yang sulit. Dia mencintaiku tapi aku selalu mengabaikannya. Aku tak mampu menghapus trauma pernikahan kami.
Semula aku percaya Martin yang sahabatku, menyayangiku, tapi karena proses pernikahan kami yang dipaksakan keluargaku, membuatku berubah. Aku tak lagi percaya dia mencintaiku. Aku cuma percaya dia sungkan menolak permintaan keluargaku agar segera menikah denganku. Bahkan aku selalu menyangsikan rasa sayang keluargaku. Itu terjadi sejak pernikahanku. Aku terobsesi mencari orang yang benar-benar menyayangiku.
Satu lagi alasanku adalah, aku kasihan pada Martin. Dia jadi korban, seakan sebagai suami ia masih saja tak dapat membahagiakanku. Harusnya aku jujur, Martin lelaki yang sempurna sebagai suami. Selama tiga tahun pernikahanku dengan Martin, aku telah memperlakukannya dengan sangat tidak adil. Kali ini aku ingin mengakhirinya. Aku berharap Martin merelakanku.
Di meja rias, kubuka dan kupandangi kotak perhiasanku. Semuanya hadiah dari Martin. Dua buah jam tangan dan empat cincin dengan permata berlian, blue safier, ruby dan mutiara. Dua set perhiasan emas terdiri dari gelang berbentuk rantai dengan permata batu mulia warna hijau dan berlian, anting, kalung dan cincin. Satu gelang perak asli dengan ornamen antik serta antingnya. Sebuah bros bulat dari emas putih dengan sembilan mutiara serta seuntai kalung mutiara berwarna putih. Juga sepasang anting mutiara putih cemerlang, berbentuk bulat airmata. Satu set choker, kalung pendek dari emas dengan disain etnik lengkap dengan gelang dan anting. Kupikir, begitu banyak hadiah berharga dari Martin. Hadiah ulang tahun atau oleh oleh dari berbagai perjalanan kerjanya.
Di sudut kotak juga masih tersimpan cincin kiriman Rinto, cincin pertunanganku dengannya. Kuterima melalui Ronald sahabat Rinto beberapa bulan setelah aku menikah dengan Martin. Setiap membuka kotak ini, selalu terlihat olehku kotak biru tempat cincin itu. Ada rasa sedih, aku tak pernah mampu memakainya dengan bangga. Pernah, kucoba memakainya di jari manis tangan kiriku. Kupandangi ternyata pas dan indah sekali! Tapi begitu tangan kananku menyentuh cincin itu, terasa sinar cemerlang berliannya tak lagi sempurna. Karena, aku melihat kilau cincin kawinku dengan Martin!
Kotak itu hadiah Martin, kotak persegi dari kayu berwarna coklat. Akan kutinggalkan ini semua. Aku ingin menghapus kenanganku tentang Martin. Perlahan kubuka cincin kawinku, kuletakkan ke dalam kotak. Perlahan kututup, berharap dapat menutup masa laluku.
Kututup jendela kamar, mengakhiri sinar matahari yang masuk. Aku ingat, setiap Sabtu, sepulang jogging, sambil menunggu saat makan siang, kami suka berbaring dikamar. Menikmati sinar matahari yang masuk lewat jendela dari arah taman sambil ngobrol. Dari atas tempat tidur aku dapat memandang gerumbul bunga alamanda yang kuning cerah. Di kamar ini, aku dan Martin membaca koran hari Minggu atau majalah sambil mendengarkan lagu-lagu dari kaset. Kucabut kunci lemari, kuletakkan di atas meja rias, agar Martin nanti mudah menemukannya. Kukeluarkan koper kecilku, tas tangan dan jaket. Kukunci kamar dan memasukkan kunci ke dalam tas tanganku.
Aku berjalan ke ruang makan yang merangkap ruang santai tempat kami menonton televisi. Meja makan kami dari kayu warna coklat alami. Sengaja tak pernah kuberi taplak. Aku selalu ingin yang simpel dan elegan. Di atas meja hanya ada pot keramik gaya Cina berisi anggrek tanah dengan bunganya yang berwarna ungu. Di sudut ruang, sebuah rak kayu juga dengan warna senada dengan meja makan tersimpan peralatan makan kami yang tak banyak. Semua berwarna putih. Di samping rak berdiri kulkas besar berwarna putih. Menempel dinding, sebuah love seat, sofa kecil untuk dua orang berwarna putih. Di sampingnya sebuah meja kecil dari kayu berwarna coklat juga. Biasanya disitu ada minuman untuk Martin. Kini meja itu bersih, hanya ada dua patung kayu berbentuk itik yang kubeli di Bali. Sebenarnya tadinya ada tiga, induknya dan dua itik kecil. Cuma satu itik kecil sudah kuberikan pada Inge. Kami sering menonton televisi disini. Hatiku perih, membayangkan nanti Martin akan duduk di ruang ini sendirian. Akankah dia nonton televisi disini.
”Martin, semoga kau tak kesepian disini” harapku dalam hati.
Dari ruang ini, melalui dinding yang terbuat dari kaca, terlihat taman belakang. Rumput telah dipotong rapi oleh Pak Kun, tukang kebun langganan kami. Bunga lantana kuning dan putih meriah menutupi pinggir pagar pembatas dengan tetangga belakang rumah kami. Kuingat, di teras belakang ini, aku belajar main catur pada Martin. Di teras ini, aku sering duduk di pangkuan Martin. Di halaman belakang ini anak-anak, Cyril dan Inge main air denganku. Sebenarnya, begitu banyak kenangan yang telah kami buat dan harus kuhapus dari ingatanku. Tenggorokanku terasa sakit
Aku berusaha tak meninggalkan rumah kami dengan airmata berlinang. Kututup tirai putih tipis ruang makan ini. Kembali memandang ke dalam. Di atas rak, di nampan melamin warna putih, telah kuletakkan mug milik Martin. Bentuknya biasa saja, warna dasarnya putih, bergambar seekor beruang berbaju merah yang berlindung dibalik sebuah gentong madu, hanya setengah badannya yang terlihat. Ada tulisan seperti cakar ayam dibagian bawahnya.........I love you from the bottom of my heart! Mug itu dibeli Martin di Surabaya ketika tugas kesana. Sebetulnya ada mug pasangannya untukku. Mug keramik putih dengan tulisan warna hitam besar-besar memenuhi sekelilingnya. Tulisan I love my wife! Hanya kata love adalah bentuk hati berwarna merah menyala. Jika kedua mug itu di tempatkan berjajar, tulisan-tulisannya akan membentuk sebuah kalimat yang indah. Bagiku seharusnya! Mug itu telah kusimpan di sudut bawah rak. Aku tak ingin dia ada di samping mug milik Martin.
Ku angkat barang-barangku ke ruang tamu. Aku duduk di ruang tamu sambil menunggu taksi yang akan datang beberapa menit lagi. Ruang ini tak terlalu besar, berwarna cream. Aku memandang keluar jendela kaca yang lebar dilapisi tirai putih berbunga kecil. Mobil Martin terparkir di garasi samping rumah. Mobilku sendiri milik kantor, kuminta untuk di simpan di kantor dulu, selama aku cuti.
Kupandangi ruang tamu ini. Kami jarang duduk disini. Hanya ada satu sofa kulit imitasi warna putih menempel di dinding dengan meja berbentuk peti warna coklat tua. Dua buah kursi dengan sandaran, keduanya juga berwarna putih. Yang menyolok hanya bantal-bantal kursinya saja, dari bahan tenunan dengan warna biru terang. Di dinding hanya ada sebuah lukisan abstrak, karya sepupuku Andika. Menggambarkan seekor ikan di laut. Warnanya dominan biru putih dan hijau. Hadiah pernikahan untuk kami yang diberikannya dua bulan setelah kami menikah.
Hatiku benar-benar teriris menyaksikan apa yang akan kutinggalkan. Aku terkejut ketika mendengar dering telepon di ruang makan. Aku ragu, haruskah kuangkat? Bagaimana kalau itu dari Martin? Kubiarkan dering telepon hingga berhenti. Beberapa kali lagi berbunyi, aku memastikan telpon itu dari Martin. Tidak... aku tak akan menjawab telpon itu! Aku pasti akan goyah bila mendengar suaranya..... selama ini aku selalu begitu. Aku tak akan mampu meninggalkan Martin!
Aku turun dari taksi. Bergegas memasuki gerbang stasiun. Kereta yang akan membawaku ke Surabaya telah siap berangkat. Beberapa penumpang telah duduk. Aku mendapat tempat duduk di sisi jendela. Kuletakkan koper kecilku di rak di atas tempat duduk. Kukeluarkan kacamata hitamku, memasangnya. Aku tak ingin kelihatan sedih meninggalkan kotaku, meski oleh orang yang tak kukenal. Aku telah menahan tangis sejak dari rumah dan dalam taksi. Aku juga masih berpikir, waraskah aku ini, meninggalkan semua orang yang kusayangi? Apa yang kucari di Surabaya? Apa aku mampu bersembunyi di kota itu?
Aku telah minta cuti dari kantorku. Dihitung dengan libur Sabtu dan Minggu, akan ada 16 hari cuti. Jadi tak masalah dengan pekerjaanku dikantor. Aku juga telah menghubungi Pinkan, teman kuliah yang kini bekerja di Surabaya. Dia telah lama memintaku untuk bekerja di tempatnya, sebuah hotel berbintang. Dia menjadi Manajer Pemasaran dan berharap aku bersedia jadi manajer untuk PR dan Promosi. Dulu aku bilang padanya akan mempertimbangkan tawarannya. Jadi sewaktu aku bilang akan bergabung dengannya dia sangat gembira. Tak perlu kujelaskan alasan apapun padanya, mengapa aku akhirnya kini aku bersedia bergabung dengannya. Rencanaku, nanti, setelah dua minggu, aku akan menulis surat atau datang ke kantorku untuk menyampaikan pengunduran diri. Itu rencana yang kususun. Aku akan mengubur diriku di Surabaya, menghindari Rinto dan Martin. Rencana selanjutnya aku belum tahu!
Sebagian rencanaku mulai terlaksana. Kini kereta yang membawaku ke Surabaya telah bergerak ke arah timur, meninggalkan kotaku. Perlahan Stasiun Gambir telah jauh kami tinggalkan. Guncangan kereta api semalaman tak dapat membuatku tidur. Aku berharap besok pagi sesampai di Surabaya bisa beristirahat sebentar. Di sampingku duduk seorang nenek. Dia bersama anak dan cucunya akan menghadiri sebuah pernikahan kerabatnya. Kami sempat ngobrol sebentar, kemudian aku menyisih dari obrolan mereka. Berpura-pura tidur. Sebenarnya semalaman aku memikirkan Martin, ayah dan ibuku serta adik-adikku. Bahkan juga keluarga besarku. Wajah-wajah mereka terbayang dimataku yang sedang tertutup. Begitu jelas.
Di hotel tempatku menginap di Surabaya, pagi ini aku sarapan pagi di kamar. Aku berjanji bertemu dengan Pinkan temanku nanti malam. Aku tak berminat keluar kamar, tiduran saja dan nonton televisi. Aku tahu, Sabtu pagi ini, sekitar jam 10 pagi Martin sudah sampai di rumah. Dia biasanya sesampai di rumah langsung ambil air minum dari kulkas dengan mugnya. Kukira, dia hanya mengira aku tidak ada di rumah karena sedang pergi belanja. Bila masuk kamar, dan menemukan setumpuk suratku dan membacanya dia akan tahu yang sebenarnya. Kasihan Martin..... apa yang akan dilakukannya?

Dalam surat yang kutinggalkan dirumah, aku minta Martin menyampaikan surat-suratku untuk ayah ibuku, untuk adik-adikku. Sebuah surat lagi yang aku titipkan padanya. Surat gugatan cerai, yang kubuat diatas kertas segel. Meminta ayahku untuk mewakiliku dalam proses perceraianku nanti. Kukatakan dalam suratku pada Martin aku tidak akan hadir di persidangan perceraian kami.
Pada Martin kutuliskan ”Martin sayang, maafkan aku! Aku merasa sangat bersalah padamu! Hari ini aku telah memutuskan untuk pergi. Aku ingin menenangkan diri, menjauh darimu”
”Martin, aku merasa telah menyiksamu dengan perlakuanku yang mengabaikanmu. Aku tahu, seharusnya aku berterima kasih telah disayangi olehmu. Harusnya aku membalasmu dengan cinta yang sama besarnya”.
”Martin, seharusnya rumah ini, sebagaimana terlihat penuh kedamaian. Kau mampu menciptakannya. Aku tidak, aku selalu gelisah. Aku masih tak percaya takdirku. Kau begitu percaya bahwa kita memang berjodoh!”
Di surat itu aku meminta Martin untuk tidak mencariku. Kukatakan bahwa, kini aku juga tidak ingin pergi menyusul Rinto ke Belgia. Aku memutuskan untuk adil pada Martin dan Rinto. Tidak satupun yang akan bersamaku, itu janjiku. Kukatakan aku sangat sedih dan berat meninggalkannya. Tapi juga sangat egois dan tak masuk akal untuk bersama-sama Rinto lagi. Karena bagaimanapun, aku telah memiliki kenangan bersama Martin.
Kukatakan juga pada Martin agar tidak menungguku. Aku berharap dia akan mendapat kebahagiaan meski tidak bersamaku. Aku juga menitipkan permintaan maaf pada Papi dan Maminya, mertuaku. Berterima kasih atas kebaikan hati mereka menerimaku selama ini. Juga menitipkan salam dan cium kangenku untuk Cyril dan adiknya Inge, putra-putri Martin yang selama ini selalu hangat menyambutku bila kami mengunjungi mereka. Aku juga menitipkan hadiah untuk ulang tahun mereka nanti.

Ini hari ke empat aku di Surabaya. Sejak Senin, aku memulai kerjaku di hotel sebagai PR & Promotion Manager. Pinkan banyak membantuku untuk mengenali seluk-beluk masalah di hotel itu. Dia seniorku sewaktu kuliah dulu, kami berbeda jurusan. Pinkan jurusan Administrasi Niaga, sedangkan aku Periklanan. Pinkan yang masih single juga tinggal di hotel tempat kerja kami, karena dia enggan kontrak rumah. Demikian juga rencanaku, memanfaatkan fasilitas kantor saja.
Semua rencanaku ini hanya kuceritakan pada Pris, sahabatku sejak kuliah. Hampir tak ada hal yang kututupi dari Pris demikian pula dia terhadapku.Tadi pagi dia telpon menanyakan keadaanku. Dia menyayangkan kepergianku. Dia selalu mendukungku kecuali keputusanku meninggalkan Martin. Pris, selalu mengingatkanku, ”Linda, Martin itu sayang sekali sama kamu!” Ya,... Pris memang menjadi kawan Martin juga, sejak aku menikah. Dia selalu melihat Martin sebagai lelaki yang sempurna. Sangat tepat untukku. Aku sedikit ragu apakah kali ini Pris benar-benar mampu memenuhi permintaanku untuk tidak menceritakan apa-apa pada Martin. Aku yakin, suatu saat Martin akan bertanya pada Pris.
Pris mengatakan Martin belum mencari informasi tentangku darinya. Dia tak tahu apa yang terjadi pada Martin. Pris bilang, ketika pagi tadi melewati rumahku, dia melihat rumahku tertutup rapat. Memang rumah Pris satu kawasan dengan rumah kami. Bahkan bila ke kantor, dia suka melewati jalan di depan rumah kami untuk menghindari jalanan macet di pagi hari. Pris bilang tidak terlihat mobil Martin dan lampu teras masih menyala.
Kini aku jadi memikirkan Martin! Meski setengah mati berusaha melupakan Martin, aku malah rindu padanya. Kemana Martin malam ini? Tidur dimana dia empat malam ini? Di rumah orang tuaku kah? Atau pulang ke rumah ibunya? Terasa lagi perih di hatiku. Betapa aku menyakiti semua orang! Martin dan keluargaku. Apa yang mereka lakukan empat hari ini? Semoga mereka tidak gelisah.
Kulalui hari Rabu, hari ketigaku bekerja sebagai PR & Promotion Manager di hotel ini dengan menyusun rencana satu tahun, menyesuaikan dengan rencana pemasaran yang dibuat Pinkan. Aku sibuk, hanya beristirahat makan siang. Seorang staf dan sekretaris membantuku hingga jam lima sore. Aku tetap melanjutkan kerjaku hingga jam tujuh tanpa mereka. Aku ingin menyibukkan diriku. Tak berminat segera kembali ke kamarku. Aku kini sedang menyusun strategi dan taktik untuk perencanaan program kerjaku. Rencanaku, besok aku akan meminta sekretaris mengetiknya dengan rapi. Termasuk juga membuatkan bahan untuk mempresentasikannya. Rasanya mudah bagiku untuk menyesuaikan dengan pekerjaan baruku. Apalagi data pemasaran disediakan Pinkan tanpa sensor. Jadi aku dapat atur strategi dengan lebih mudah. Sampai ke perencanaan detail aku dapat buat. Satu kotak besar file diserahkan Pinkan dengan pesannya ” Simpan baik-baik,ya Lin! Ini dokumen rahasia”
Setelah makan malam dan ngobrol bersama bersama Pinkan hingga jam sepuluh lewat sambil mengenal suasana malam di hotel, aku kembali ke kamarku. Pinkan juga telah merasa lelah. Aku tengah berendam di air hangat dengan busa sabun lavender, untuk mengurangi rasa pegal di punggungku ketika kudengar telpon berdering di kamarku. Dengan melilitkan handuk ke tubuhku, kuangkat telpon, kudengar suara Pris.
”Ada apa Pris?” tanyaku khawatir karena selama ini dia tidak pernah menelponku selarut ini.
”Linda, ini aku telpon dari kamar. Di ruang tamu ada Martin lagi di temani Tommy!” katanya berbisik, suaranya pelan seakan takut terdengar.
”Dia mencarimu. Lebih baik kau pulang, Martin kasihan sekali!” kata Pris lagi ”Linda, Martin kelihatannya sangat terpukul dan sedih” lanjutnya. Aku tak menjawab ucapan Pris.
”Martin bilang, dia sudah ke beberapa maskapai penerbangan, mencari informasi apakah aku naik pesawat dan menuju kota apa” kata Pris meneruskan.
Memang aku tahu itu yang akan dilakukan Martin, makanya aku tak menggunakan pesawat terbang. Kereta api lebih mudah menghilang, tidak ada daftar penumpang!

Selanjutnya Pris bilang, menurut Martin, orangtuaku telah menghubungi beberapa keluarga kami di daerah untuk mencari tahu keberadaanku. Tentu saja keluargaku kaget dan shock. Ada rapat keluarga mendadak di hari Minggu di rumah orangtuaku. Martin juga hadir. Kudengarkan cerita Pris, sambil membayangkan Martin sedang duduk di ruang tamu rumah Pris ngobrol dengan Tommy. Martin... kasihan kau... malam selarut ini ke rumah orang, sambil menahan malu mencari isteri yang minggat!
Pris cepat-cepat memutuskan sambungan telpon denganku.”Lin, sudah dulu ya! Tommy gedor-gedor pintu kamar cari aku!” katanya. ”Besok kutelpon, daag!” katanya.
Aku termangu-mangu. Kini Papa dan Mama, para Om dan Tante. Terutama reaksi Tante Hanum, kakak sulung Mamaku. Pasti adik lelaki ibuku, Om Dicky yang tinggal di Surabaya ini juga diberi tahu tentang perihalku.
Kini mereka tahu, lewat surat untuk Papa Mama, mungkin juga suratku untuk Martin, betapa tersiksanya hidupku dengan ulah mereka. Dampak memaksaku menikah cepat-cepat dengan Martin. Oh.. aku tidak berniat menghukum mereka. Tapi aku tak mampu lagi berdamai dengan hatiku. Saat ini aku ingin sendiri. Aku ingin memutuskan kaitanku dengan masa laluku. Masa yang menyesakkan dadaku!
Jum’at siang aku masih berada di ruang rapat ketika diberi tahu ada telpon dari Pris. Kudengar suara Pris agak gugup.
”Linda, aku akan menyerah kalau keadaan semakin gawat. Aku akan bilang sama Martin terus terang!” katanya.
”Ada apa?” kutanya Pris. Pris cepat-cepat menceritakan
”Mama kamu sakit. Tadi Martin telpon lagi menanyaiku barangkali kamu ada telpon aku!” kata Aku tanya Pris.
”Pris, Mama sakit apa?” tanyaku pada Pris kaget dan khawatir. Aku ingat, Mama selama ini sehat sehat saja, meski usianya sudah lima puluh tahun lebih.
”Belum jelas, kata Martin, pingsan kemarin sore” jelas Pris. Tuhanku....kenapa jadi begini?
”Aku janji sama Martin akan berusaha mencari kamu. Linda, aku nggak mau bohongi Martin lagi!” kata Pris akhirnya.
”Aduh Pris, tolong aku ya! please!” kataku memohon pada Pris. Pris terdengar gusar.
” Linda, jangan egois!” bentak Pris mengagetkanku. ”Asal kamu tau, tidak semua dalam hidup bisa kita raih” lanjutnya. ”Contohnya aku, nikah sama Tommy atas dasar cinta, tidak selalu hubungan kami baik” ungkap Pris. Kali ini Pris benar-benar galak. Kami memutuskan sambungan telpon dan aku berjanji akan menghubunginya nanti malam.
Aku sendirian di kantor malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku janji makan malam dengan Pinkan sekitar jam delapan lebih. Kami juga akan mengawasi acara launching sebuah produk baru yang diselenggarakan di hotel kami. Menurut Pinkan, produsennya sebuah perusahaan patungan Indonesia-Jepang. Aku tadi ke kamar sebentar, mengganti scarf. Memakai kalung dan anting mutiara air tawar warna putih dengan diikat perak yang kubeli kemarin pagi di counter accessories & handycraft di hotel. Aku tak berganti pakaian. Celana panjang dan blus lengan panjang warna hitam. Hingga hari ini, aku belum sekalipun bersantai keluar hotel tempat kerjaku. Aku tak tahu suasana kota Surabaya. Biasanya kalau aku ke Surabaya, ke rumah Om Dicky kami pasti keluyuran cari makanan enak. Bebek goreng, sate, lontong macam-macam. Kupikir nanti saja, masih ada waktu.
Sudah lewat jam delapan, aku masih mengkoreksi beberapa perencanaan detail yang tadi sore telah di ketik rapi oleh Mbak Wina, sekretarisku ketika telpon berdering di mejaku. Suara operator memberitahu ada yang ingin bicara denganku. Kukira telpon dari Pinkan atau Pris, jadi segera kuterima.
”Yes, hello, PR and Promotion Department, may I help you?” jawabku mencoba professional. Aku juga khawatir ada masalah dengan event promosi yang sedang berlangsung di hotel kami. Kemudian kudengar sebuah suara yang sudah kukenal. Suara Martin menyebut namaku! Tuhanku....! Pris telah menyerah! Benar-benar tidak bisa kompak! Apakah keadaan Mama gawat? Aku gugup mendengar suara Martin.
”Linda, jangan tutup telpon dulu!” kudengar suaranya khawatir aku akan memutuskan sambungan telpon. ”Pulang Lin, Mama masuk rumah sakit!” kata Martin di ujung telpon sana.
”Linda, besok aku jemput ya. Urusan kita aku setuju aja. Tapi jangan sampai Mama jadi parah karena kamu pergi” katanya melanjutkan. Aku tak mampu menjawab ucapan Martin. Aku menahan tangisku. Martin kemudian menceritakan.
”Mama kena serangan jantung kemarin. Meski sudah agak membaik. Keluarga sekarang berkumpul di rumah sakit” katanya membuatku gugup. Gara-gara aku Mama sakit jantung!
Akhirnya aku dapat juga bicara, diantara tangisku dan kesibukkan tanganku menghapus air mata dengan jariku.
”Martin, aku pasti akan pulang. Tolong bilang Mama ya! Aku tak usah di jemput!” jawabku, berusaha menahan diri. Martin terdengar pasrah dengar keputusanku. Dia tak sedikitpun mengungkit tentang hubungan kami. Dia menanyakan keadaanku, tapi tak menceritakan keadaannya sama sekali. Aku juga tidak bertanya apa apa.
Setelah telpon dari Martin, berturut-turut aku menerima telpon dari Papa dan dari sepupuku Bang Darma dan Tante Hanum. Papa hanya memintaku menjaga diri baik-baik. Dia memahamiku katanya. Bang Darma memintaku segera pulang penerbangan pagi.
”Jangan sampai kau menyesal nanti Lin!” kata Bang Darma. Suara Tante Hanum yang membuatku menangis tak tertahankan. Tante Hanum, sambil menangis setengah histeris berteriak di ujung telpon.
”Linda, maafkan aku Nak! Maafkan aku! katanya. ”Pulang dulu, kita bicarakan baik-baik!” lanjutnya. ”Linda, kami semua tidak akan menghalangi keinginanmu!” Banyak lagi kata bujukan dan penyesalan yang diucapkannya. Kalau mendengar suaranya, entah mengapa aku selalu menurut. Pada dasarnya aku tahu dia menyayangiku.

Aku sedang merapikan riasanku, untuk bergabung dengan Pinkan di restoran di dekat lobby, ketika ruang kerjaku diketuk. Kubuka pintu perlahan, mengira Pinkan yang datang. Di hadapanku, berdiri Tante Fitri, isteri Om Dicky. Tersenyum dan segera memelukku. Nah... ini! Dia datang pasti dapat tugas dari keluargaku di Jakarta. Mengawasiku biar tidak kabur lagi! Kubiarkan Tante Fitri masuk ruang kerjaku. Dia berharap aku besok bisa pulang untuk menemui ibuku.
Kuajak Tante Fitri makan bersamaku dan Pinkan. Karena tak ada yang perlu kami lakukan malam itu, Pinkan dan aku memutuskan kembali ke kamar kami masing-masing. Kuajak Tante Fitri mengobrol di kamarku. Dia setuju. Rupanya kemarin, suaminya, Om Dicky berangkat ke Jakarta. Menengok ibuku yang sakit. Aku kini benar-benar merasa bersalah menyusahkan keluargaku. Saat ngobrol itu, kuterima telpon dari Pris.
”Linda, maaf ya aku terpaksa kasih tahu di mana kamu ngumpet!” katanya. ”Habis, aku lihat Martin panik sekali!” lanjutnya lagi.
”Kapan mau pulang, heh? katanya lagi. ”Tadi sore aku ke rumah sakit. Tante bener-bener sakit lho! Bukan rekayasa, jangan curiga!” kata Pris. ”Okay ya kita ketemu di Jakarta lagi!” Pris terus mengoceh.
”Lagipula kelamaan di sana, Martin bisa disamber orang lho, baru menyesal!” katanya tertawa-tawa. Aku jadi tertawa juga mendengarnya.
Tapi setelah sambungan terputus, aku memikirkan ucapan Pris. Benarkah aku akan tenang-tenang saja kalau Martin bersama wanita lain? Aku tak tahu! Selama ini tak pernah terpikirkan! Tapi kata-kata Pris juga menggangguku. Sebagai pria, Martin ganteng dan berpendidikan tinggi. Lulus SMA di Amsterdam lalu melanjutkan ke sekolah tehnik di Jerman Barat. Pekerjaannya bagus dan punya masa depan cemerlang. Kini dia bekerja sebagai direktur pemasaran untuk elevator dan lift. Pribadinya hangat, mudah bergaul. Ya... mengapa tak terpikirkan olehku ada wanita lain yang bersedia bersamanya selain aku. Mengapa aku ingin mencampakkannya? Sementara Martin, merendahkan martabatnya berusaha meraih cintaku! Bersusah payah menyenangkanku.
Malam itu, hampir jam dua belas baru Tante Fitri meninggalkan kamarku. Dia untungnya di tunggui supirnya. Aku mencoba tidur! Hari ini sangat lelah. Tak berhasil memicingkan mataku. Aku teringat Mama! Tuhanku.... tolonglah Mamaku! Aku berusaha tidak mengingat Martin, tapi justru aku merasa mendengar suaranya dan terbayang wajahnya. Kini aku merasa aneh, tidur sendirian, tanpa Martin! Beberapa malam aku dengan gagah merasa mampu meninggalkan semuanya. Kini, entahlah! Aku juga sempat memikirkan Rinto, tapi wajahnya cepat sekali memudar. Aku baru tertidur saat subuh.

Sabtu pagi ini, aku rencananya akan melanjutkan menyusun biaya untuk program departemenku yang masih belum selesai. Hanya mengecek kembali, jadi aku tidak meminta sekretarisku untuk datang lebih pagi di hari Sabtu ini. Aku bersiap ke kantor. Kukenakan celana panjang biru tua dengan blus katun putih lengan pendek. Kukenakan giwang perak bermata batu biru kecil dan jam tangan. Hari ini aku agak santai dan tidak merencanakan bertemu dengan orang lain. Rencanaku, sore nanti berkasnya akan kuserahkan pada Pinkan. Aku pikir, aku akan pulang ke Jakarta hari Minggu pagi saja.
Siang ini, aku malas keluar untuk makan siang. Pinkan sedang keluar kantor. Program sudah siap. Tinggal diserahkan Mbak Wina pada Pinkan. Pinkan juga sudah tahu aku aku akan ke Jakarta. Aku hanya minta dikirimi segelas kopi cream dan sepotong pie buah. Aku berdiri di dekat jendela sangat lebar seluruhnya dari kaca, menunggu makanan diantar, sambil melihat kearah luar kantorku. Dari lantai dua ini, terlihat taman dan lapangan lapangan parkir saja. Aku teringat untuk memesan tiket pesawat untuk besok pagi pulang ke Jakarta. Aku bergerak mendekati meja, berniat menelpon operator, ketika pintu ruang kerjaku di ketuk. Mbak Wina masuk, memberitahu ada tamu untukku.
Kulihat, di belakang Mbak Wina, Martin berdiri tersenyum. Aku tak bisa mengatakan apa-apa! Martin memang tak pernah menyerah! Kupikir dia tak akan datang karena aku sudah jelas tidak mau dijemput. Dia mengucapkan terima kasih pada Mbak Wina dan bergegas menghampiriku. Dengan cepat memeluk dan menciumku. Tentu saja Mbak Wina heran melihat adegan ini, tapi dengan sopan segera keluar dan menutup pintu.
Apa yang dapat kulakukan terhadap Martin? 1000 kilometer telah terpisah, tetap aku dapat ditemukannya. Martin masih memelukku, aku juga masih menangis! Aku betul-betul lemah, umpatku dalam hati. Baru melihat wajahnya saja aku sudah menangis! Martin ingin mengajakku bicara di luar saja, karena merasa tidak leluasa ngobrol di ruang kerjaku. Kubersihkan sisa airmataku dengan tissue. Kuambil tas tanganku dan mengajak Martin ke cafe di dekat lobby hotel. Sambil melewati ruang kerja Mbak Wina, kukenalkan Martin padanya. Mbak Wina kaget mengetahui Martin adalah suamiku.
”Saya kira ibu masih single!” katanya tertawa. Martin juga turut tertawa. Kami pamit pada Mbak Wina.
”Linda, kita pulang sore ini ya. Aku sudah siapkan ticket ke Jakarta. Take off jam enam nanti!” kata Martin, begitu duduk di cafe sambil melepaskan jaketnya. Aku lihat jam tanganku, sudah jam dua lewat. Belum sempat menjawabnya, dia sudah melanjutkan.
”Linda, aku tidak akan memaksamu kalau tidak mau pulang. Tapi aku ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja disini!”katanya.
”Aku bersedia mengabulkan permintaan cerai asal kamu bertemu Mama dulu!” katanya melanjutkan.
”Bagaimana?” tanyanya pula. Aku mengangguk, menyusut airmata yang akan mengalir lagi. Khawatir terlihat pramusaji yang lewat di sekitar kami. Sebagian besar telah mengenalku sebagai atasan baru mereka.
Martin memandangku, memastikan. Aku sekali lagi menganguk memastikannya sambil berusaha tersenyum. Martin melihatku, tersenyum memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Martin terlihat agak kurus dan capek. Sudah lebih dari sepuluh hari kami tidak bertemu. Empat hari setelah Martin pergi ke Medan, aku meninggalkannya ke Surabaya ini. Kini kami bertemu disini. Terasa aneh, tak terbayangkan akan bisa berjumpa lagi dengannya.
Juga terasa aneh, saat aku memesankan makanan untuknya. Dia bukan lagi Martin yang bersemangat. Dia menyerahkan apapun pilihanku untuknya. Beef-steak kesukaannya dan segelas orange juice. Martin tak menghabiskan makanannya. Kenyang, katanya memberi alasan. Ini bukan Martin, aku melihat perubahan. Tak banyak bicara dan lebih suka melamun. Bersandar saja di kursi. Melihatnya begitu capek, aku mengajaknya istirahat di kamarku sambil menunggu waktu berangkat ke bandara. Aku juga akan membereskan barang-barangku di kamar.
Ternyata Martin tak membawa pakaian ganti, hanya jaket saja dan tas kecil berisi sikat gigi dan aftershave. Kami menuju ke kamarku, di lantai tujuh. Martin kupinjami handuk dan kimono mandi. Dia mencuci mukanya dan duduk di meja sudut tanpa bicara setelah berganti dengan kimonoku. Memandangiku mondar mandir, mengumpulkan dan melipat pakaian. Sambil duduk di tempat tidur, aku mengepak pakaianku ke dalam koper kecil. Karena tak banyak, jadi cepat selesai.
Selama itu, tak ada suara Martin. Ketika kutoleh, dia bersandar di kursi, matanya tertutup. Tertidur! Kasihan, mungkin dia bangun pagi sekali, mengejar penerbangan paling pagi ke Surabaya hari ini. Kubangunkan Martin, menyuruhnya pindah ke tempat tidur. Tanpa kesulitan, dia bangkit kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
”Lin, tolong bangunkan aku jam empat ya” katanya. ”Aku ngantuk sekali. Sudah empat hari tidak bisa tidur!” lanjutnya, nyaris tak terdengar. Tak perlu kujawab, Martin sudah tertidur lelap.
Sambil duduk di kursi, kupandangi Martin yang tergolek di tempat tidur. Dua jam lagi, kami harus berangkat ke bandara Juanda. Kami akan kembali, ke rumah kami. Kuselimuti Martin yang terlihat kedinginan. Menungguinya, melihat tarikan nafasnya yang teratur dan mukanya yang terlihat kurus. Aku merasa bersalah telah melukainya lagi. Aku bertanya dalam hati, berapa dalam luka hatinya karena ulahku. Lelaki ini hebat dan sukses dalam mengejar karirnya. Tapi aku tahu dalam percintaan, hidup Martin tak beruntung. Dia pernah dihianati isterinya. Meninggalkannya untuk seorang pria lain. Aku orang kedua yang juga menyakitinya, berusaha meninggalkannya.
Rasanya, aku cuma berusaha, tanpa hasil. Aku merasa, usahaku akan gagal. Aku tak sanggup membiarkan Martin menderita. Kini, sambil memandangnya tertidur, aku ingin menebus, hari-harinya tanpa tidur ketika aku menghilang. ”Martin, selamat tidur!” kubisikkan di telinganya. Kamar ini hening sekali, kecuali suara pelan AC kamarku berdengung. Aku duduk di kursi sudut kamar, kembali memandanginya tidur.


Pulang

”Selamat Sore! Calon penumpang yang kami hormati, mohon perhatian!” kami dengar suara seorang wanita petugas penerbangan, ground steward berbicara. Dia seorang wanita dalam seragam yang sangat serasi, memegang sebuah microfon portable. Kemudian gadis itu melanjutkan ”Kami mohon maaf pesawat yang seharusnya berangkat jam 17.45 ditunda keberangkatannya menjadi jam 18.45. Terima kasih” Begitu saja, tanpa penjelasan apapun.
Padahal aku dan Martin sudah masuk ruang tunggu bandara Juanda Surabaya, siap untuk kembali ke Jakarta sejak jam empat tiga puluh sore. Koper kecilku sudah masuk bagasi. Aku hanya memegang tas dan jaket. Duduk di sebuah kursi bersama Martin dalam udara yang agak panas. Pendingin ruangnya kurang berfungsi baik. Seharusnya kami sudah masuk pesawat, malah harusnya sudah mengudara. Martin mencari informasi ke seorang petugas, mencari kemungkinan ada pesawat lain yang berangkat lebih awal. Nihil, jadi dengan sebal kami terpaksa menunggu.
”Linda, kita keluar saja yuk, mungkin bisa cari snacks”ajak Martin, setelah melihat tak ada apapun yang bisa kami lakukan selain menunggu. Kami berjalan keluar, mencari sebuah restoran. Kami duduk menghadapi meja kecil. Memesan dua cangkir teh hangat dan dua potong kue, duduk dekat dinding kaca sambil melihat orang lalu lalang. Aku ingat, beberapa kali hal seperti ini telah kami lakukan, minum di restoran bandara sambil menunggu pesawat berangkat.
Hanya saja kali ini agak berbeda. Kalau dulu kami selalu habis pulang dari berwisata, suasananya ceria, penuh canda. Aku ingat dulu sewaktu pulang dari honeymoon, atau liburan ke Medan, juga ketika pergi ke pernikahan saudara sepupuku dan liburan dengan Cyril dan Inge ke Bali.

Bahkan liburan terakhir dengan anak-anak ke Jogya, kami harus menunggu empat jam lebih. Tak masalah! Kami gembira bercanda dan ngobrol. Anak-anak malah sempat berlarian main petak umpet. Cyril juga mengeluarkan mobil-mobilan remote controlnya, berlarian dengan Inge mengejar mainannya. Sementara aku dan Martin duduk di kursi tunggu. Berangkulan dengan Martin sambil ngobrol dan mengawasi anak-anak bermain.
Entah mengapa hari ini aku merasa suasana saat itu begitu indah. Beda dengan suasana saat ini. Apalagi hari ini Martin tak banyak bicara, terlihat sangat menahan diri. Aku tahu kebiasaannya, kalau berjalan denganku, selalu ingin membimbing tanganku atau menggandeng. Jika duduk di restoran juga selalu bersisian. Kami sering bertukar makanan kami. Kecuali jika bersama anak-anak, biasanya aku duduk di samping Inge, Martin bersisian dengan Cyril. Sebetulnya Cyril juga selalu ingin duduk disebelahku, tapi selalu dia kalah cepat dengan Inge. Aku tersenyum mengingat kejadian itu, yang sangat sering terjadi kalau kami pergi bersama.
Saat kami menunggu sambil minum itulah masuk sepasang pria wanita, mungkin sedikit lebih tua dari kami, duduk di meja dekat kami. Aku awalnya tak memperhatikan, tapi gerakan si pria yang begitu kasar menarik kursi mengagetkanku dari lamunan. Martin juga menoleh, kemudian memandangku, aku menggeleng. Belum sempat pelayan restoran datang menawari sudah kudengar pria itu berteriak memanggil. Buru-buru pesan makanan.
”Cepat ya, sebentar lagi pesawat kami berangkat!” katanya suaranya juga keras. Dari tadi kulihat wanita yang bersamanya itu, mungkin isterinya hanya diam saja, wajahnya cemberut.
”Linda, masih mau kue?” Martin menawariku. Aku menggeleng.
”Cukup, sudah kenyang ah” jawabku. Martin tetap berdiri, entah dia mau pesan apa. Kulihat dia berjalan ke arah kasir, mendekati display majalah. Membuka-bukanya, mungkin ingin membeli sebagai perintang waktu. Aku kembali menyeruput teh hangatku. Meneruskan lamunanku.

Kemudian, tanpa bermaksud ingin tahu kudengar pria itu bicara cukup keras pada wanita itu.
”Kenapa kau menyusulku kesini, hah?” katanya membentak wanita itu. Aku berusaha tak memperhatikan mereka, memandang keluar dinding kaca yang membatasi restoran dengan lobby bandara.. Kudengar suara wanita itu menjawab sama sengitnya.
”Kenapa, nggak boleh? Apa karena takut ketahuan, kalau kamu sebenarnya bukan sibuk kerja, tapi senang senang disini sama perempuan sundal itu, hah!” katanya berteriak membalas sama kerasnya dengan suara suaminya.
Ooh........ rupanya mereka sepasang suami isteri. Bertengkar disini?”pikirku, ”Nggak sopan!” umpatku dalam hati.
Mendapat jawaban isterinya, pria itu berang rupanya, kemudian tanpa ada yang menduga dia kemudian menggebrak meja yang masih kosong. Aku kaget sekali, menoleh bersamaan dengan Martin. Para pelayan restoran juga. Sekali lagi kami berpandangan, aku sudah mulai takut. Martin kulihat cepat-cepat membayar di kasir. Kudengar si pria kemudian membentak isterinya.
”Jangan ngomong sembarangan, dia bukan sundal! Dia perempuan baik-baik tahu!”katanya keras. Isterinya rupanya tak terima, dan mulai membalas berteriak juga.
“Ya, tapi suka mengganggu suami orang, sundal namanya!” pekik wanita itu emosi sekali. Badannya berguncang.
Tanpa kami duga suaminya berdiri dengan cepat menghampiri istrinya. Terlihat akan memukul perempuan itu. Melihat gelagat suaminya, dia juga dengan cepat berdiri, bergerak ke arah mejaku, dia berteriak-teriak. Aku kaget dan gugup, perempuan itu kini benar-benar berada di dekatku. Suaminya semakin mendekat, terlihat beringas sekali. Ooh...aku bisa terjebak diantara pertarungan mereka. Karena aku duduk di dekat dinding kaca, maka akan sangat berbahaya bila mereka bergumul di dekatku. Aku ketakutan, tanpa sadar berteriak memanggil Martin. Martin sudah berada di dekat pria itu, berteriak entah apa dan mendorong perempuan itu. Kemudian segera menarikku menjauhi mereka. Aku gemetar ketakutan, Martin memelukku. Aku melihat beberapa petugas restoran mendekati mereka, melerai.

Seorang pria, petugas restoran mendatangi aku dan Martin, membawakan air putih untukku dan meminta maaf.
”Bapak Ibu, mohon maaf atas ketidak nyamanan ini, kami sama sekali tak menduga. Boleh kami siapkan minuman lagi untuk Anda?” katanya santun sekali. Tentu saja bukan salahnya. Kami menolak minuman yang ditawarkannya. Aku hanya minta diambilkan jaket dan tasku yang masih tergeletak diatas meja. Kami segera keluar. Kami kemudian kembali ke ruang tunggu. Benar-benar merasa terganggu dan aku agak lemas jadinya. Sejak itu Martin tak lagi membiarkanku berjalan sendiri, menggandengku hingga kami masuk pesawat.
Ternyata kami satu pesawat dengan pasangan suami isteri itu! Kulihat tak ada tanda biru di wajah perempuan itu, berarti suaminya tak memukulnya, syukurlah! Aku juga bersyukur, mereka berdua tak duduk dekat kami. Khawatir juga seandainya ada lagi pertengkaran seperti tadi. Kulihat Martin juga memperhatikan keduanya hingga duduk. Keduanya sama sekali tak meminta maaf padaku yang hampir saja celaka karena ulah mereka. Entah lupa, atau memang mereka sudah anggap biasa! Keterlaluan, padahal aku masih gemetar. Aku tak pernah melihat perkelahian suami isteri semacam itu! Kampungan! Umpatku dalam hati.
”Linda, nggak takut lagi kan?” tanya Martin. Aku mengangguk.
”Ya, asal mereka jangan dekat kita!” kataku.
”Kau tadi dengar mereka meributkan apa sih?”tanya Martin ingin tahu.
”Dia marah, karena isterinya menyusul ke Surabaya dan ketahuan isterinya punya pacar baru” jawabku membuat Martin tersenyum.
Pesawat kami kini sudah berada diatas awan menuju Jakarta. Kekakuan sikap Martin dan aku juga sudah mencair. Kini kami sudah bisa ngobrol seperti biasa lagi.
”Linda, aku paling nggak suka pria yang suka pukul perempuan, apalagi isterinya. Menurutku pria itu banci!” katanya. Ya aku percaya, Martin bukan orang yang seperti itu. Selama ini dia sangat santun memperlakukan aku. Oh.. aku kini bisa membandingkan pria itu dan Martin! Pria itu yang salah, tapi begitu galak ingin menghantam isterinya!

Kalau dia seperti Martin sekarang bagaimana ya? pikirku. Bisa-bisa isterinya di bunuhnya. Ih,....... ngeri sekali! Padahal aku baru saja meninggalkan Martin, minggat! Martin tak bersalah apa-apa padaku, aku bisa dianggap ingin bertemu pria lain. Martin tetap sabar, tidak diperlakukan seperti itu. Martin tetap baik padaku. Kini menjemputku dengan halus, tak menyeretku keluar dari persembunyianku! Uh... aku kini merasa benar-benar keterlaluan terhadapnya.
Martin meraihku kepelukkannya.
”Tidur aja Lin!”katanya mengelus rambutku. Martin dengan caranya selalu membuatku tak pernah bisa menjauhinya. Aku membutuhkan bahunya yang bidang untuk berlabuh. Selalu ada kejadian yang membuatku bisa melihat sisi baik Martin untukku. Hari ini pertengkaran suami isteri itu! Aku tertidur hingga pesawat kami hampir mendarat di bandara Sukarno-Hatta, Jakarta, sudah malam. Pramugari meminta kami menegakkan tempat duduk dan memasang seatbelt.
Kami tiba di rumah sakit tempat Mama di rawat sekitar jam setengah sembilan malam. Sebelum masuk ke ruang Mama dirawat aku sudah disambut Tante Hanum. Dia memelukku dan menangisiku. Papa mengajakku masuk ke dalam menemui Mama. Ooh...ternyata disana Mami dan Papi Martin sedang berbicara dengan Mama. Aku memeluk Mama, meminta maaf atas kelakuanku. Mama memanggil Martin ke dekatnya, memeluknya dan mengucapkan terima kasih telah membawaku kembali pulang. Aku juga mendapat pelukan dari Papi dan Mami. Aku curiga mereka baru saja membicarakan aku.
”Linda, Mama sudah boleh pulang besok. Hanya nanti haus rutin kontrol” kata Papa padaku.
”Tadi dokter Frans bilang, Mama harus jaga kondisi agar tidak kena serangan jantung lagi” lanjut Papa.
”Wah, syukur deh” kataku senang. Kami duduk mengelilingi Mama yang duduk bersandar bantal di atas tempat tidurnya.
”Linda, sekarang mumpung kita semua berkumpul, Papa ingin kejelasan sikapmu sekarang. Kalau ingin memperbaiki diri sekarang saatnya. Kalau memang nekat tidak mau bersama Martin juga harus bicara, tidak boleh pergi begitu saja. Ada keluarga yang bisa diajak bicara. Mama, Papa serta mertuamu ingin kalian bahagia, bukan sengsara. Jadi kita bereskan sekarang, ya kan Mam?” kata Papa padaku.

Aku duduk kebetulan dekat Mami, dia meletakkan tangannya di bahuku. Menepuk-nepuk bahuku dengan lembut. Aku menunduk, tak tahan menatap pandangan mata Mama. Lalu kudengar suara Papa.
”Linda, memang kami memahami perasaanmu, merasa dipaksa saat menikah dengan Martin. Bukan itu soalnya kan, kamu merasa Martin terpaksa, jadi kamu merasa dia tak sungguh-sungguh ingin menikah, cuma mau menolong kan?” kata Papa meneruskan. Aku semakin menunduk, aku rasa ini sidang keluarga. Kulirik Martin di sampingku, duduk tenang. Papa melanjutkan bicaranya. ”Sekarang Martin ada disini bersama orang tuanya, lebih baik Martin bicara. Apakah kami saat itu benar-benar menekannya, sehingga dia terpaksa tidak punya pilihan lain. Ayo, Martin bicara lah, kalau Linda masih ingin berpisah juga, Papa nggak akan melarang lagi. Hanya kami sangat menyayangkan! Kami memilih Martin jadi menantu bukan tanpa pertimbangan yang matang!” Papa kemudian keluar, meminta Tante Hanum dan Om Burhan yang sedang duduk di teras turut masuk, bergabung dengan kami.
Mami kini melepaskan tangannya dariku, beralih merangkul Martin. Kali ini aku mengangkat wajahku. Papi juga mendekati Martin, berdiri di belakang Martin sambil menepuk bahu Martin. Kami menunggu Martin bicara.
”Mami, Papi, Papa, Mama dan Linda, saat mengambil keputusan menikahi Linda, saya tidak merasa dipaksa. Saya sangat bahagia saat itu, tidak terpikir kalau Linda berpikiran lain, saya minta maaf pada Linda tidak sempat membicarakannya lebih dulu waktu itu!” kata Martin. Lalu kemudian Martin melanjutkan.
”Saya sudah mencintai Linda sejak saya melihatnya pertama kali. Sudah lama saya ingin menikah dengannya. Saya tahu Linda bimbang, karena masih menunggu perkembangan hubungannya dengan Rinto” katanya. Kulihat Martin begitu lancar bicara, aku mulai menahan tangis. Dia kemudian meneruskan.
”Bagi saya, saat diminta segera menikah dengan Linda sebagai anugrah saja. Linda pernah meminta kami untuk putus, saya malah memintanya untuk segera menikah” katanya buka rahasia kami. Selama ini tak seorangpun tahu, selama dekat dengan Martin, aku pernah mengirimi dia surat, memutuskan hubungan kami secara sepihak. Martin terus bicara.
”Sekarang, Linda tahu saya sungguh-sungguh mencintainya, menyayanginya, tapi kalau Linda merasa tidak bahagia bersama saya, saya bersedia menerima perceraian, meski sedih sekali” katanya, kulihat Martin menyusut airmatanya. Kulihat Mama, Mami dan Tante Hanum menangis, Papa, Papi dan Om Burhan berdiam diri.Tiba-tiba kudengar suara Mami bicara.
” Zus Hakim, jangan kita paksa Linda bicara sekarang, biarkan dia pikirkan dulu bagaimana?” katanya. Mama ternyata kuat, dia langsung bicara.
”Memang betul zus, Linda itu boleh memikirkan hal ini. Tapi selama tiga tahun menikah apa tak pernah berpikir bahwa Martin itu main-main atau cuma pura-pura jadi suami? Kalau bukan sayang, masa tiga tahun Martin tahan sama Linda!”kata Mama.
”Zus Wira, saya tahu Linda sangat keras, hanya orang yang benar-benar sayang bisa sabar sama dia!” kata Mama lalu meneruskan bicaranya.
”Jadi kau mau bukti apalagi,Lin?” desak Mama sedikit tinggi suaranya. Papi dan Mami meminta Mama bersabar dan tenang.
”Linda, sekarang bagaimana?” tanya Papa. ” Kalau cerai, rencanamu mau apa? Mau pergi menyusul Rinto? Rinto kan tidak pernah meminta izin Papa, apalagi keluarganya! Lalu kalau mau menikah, dimana dengan cara apa? Sekarang Papa mau tanya, apakah kamu sama sekali tak sayang Martin?” Papa juga dengan nada tinggi. Melihat aku didesak begitu, Mami memelukku, dia menangis, Martin kemudian merangkul kami berdua. Aku juga menangis.
Setelah agak tenang, aku berusaha menjawab. Menjelaskan perasaanku. ”Sebenarnya saya putus asa, karena semuanya begitu mendadak kami menikah. Rasanya tidak nyaman menikah dengan orang yang terpaksa menikahi saya. Rasa tak berharga lagi!” kataku pedih.
”Saya tidak ingin menyusul Rinto atau menikah dengannya” kataku melanjutkan. ”Tidak akan pernah, saya kan sudah janji” kataku.
”Selama bersama Martin saya selalu merasa tak sebanding jadinya. Seperti perempuan yang disodorkan kalian saja!” kataku lagi diantara isak tangisku. Kini aku masih dipelukkan Mami. Posisi Martin sudah digantikan Tante Hanum, yang memegang tanganku, menghapus air mataku dengan selembar tissue. Martin datang lagi dengan segelas air putih, tahu aku tercekat.
Kali ini kudengar suara Papi bicara. ”Selain Martin mencintai Linda, sebenarnya agar Linda tahu, Papi, Mami sangat bangga punya menantu seperti Linda” katanya. ”Terus terang, kali ini kami sangat mendukung pilihan Martin pada Linda” lanjutnya. ”Bagi kami, jika Linda berpisah dengan Martin sungguh suatu kesedihan dan kehilangan yang besar” katanya meneruskan.
”Sebagai menantu, Linda sangat santun, cantik, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga baik-baik, cepat menyatu dengan keluarga kami dan kami sangat sayang padanya” Papi melanjutkan ucapannya. ”Ada lagi yang akan kehilangan, sangat kehilangan yaitu Cyril dan Inge” katanya. Lalu kemudian Papi menanyakan padaku.
”Linda, apakah Martin pernah menghinamu karena pernikahan mendadak itu?” desaknya. Aku menggeleng, Martin tak pernah sekalipun melakukannya.
”Linda, Mami sayang padamu, sama seperti sayang pada Mirna dan Martin dan Leo” kata Mami.
”Mami kira sekarang Linda sudah faham perasaan Martin. Kita semua tahu apa isi hati Linda, ya kan! Linda merasa tak berharga kan?” kata Mami. Aku mengangguk, menyetujui. Lalu Mami melanjutkan.
”Sekarang apa yang bisa dilakukan Martin agar kamu yakin dia suami yang mencintaimu?”tanyanya padaku. Lalu dia melanjutkan ”Atau Linda benar-benar mau berpisah?”
Semua memandang ke arahku, menunggu jawabanku. Aku memandang Mama yang masih bersandar di bantal. Aku teringat, dia begitu sayang padaku, aku membuatnya sakit sekarang. Aku juga merasakan dukungan Papa dan Tante Hanum dan Om Burhan. Lalu kurasakan pelukan Mami juga hangat. Kalau aku ke Bandung dan menginap, dia selalu menyambutku hangat. Mengajakku ke kamarnya, menawariku beberapa koleksi kain batiknya. Membekali oleh-oleh begitu banyak. Oh begitu baiknya keluarga kami padaku. Lalu Martin, dia tak pernah menyakitiku, melimpahiku dengan hadiah dan cinta, selalu sabar padaku. Apa yang kuinginkan? Orang lain pasti mengira begitu sempurnanya hidupku!
”Saya ingin bersama Martin!” kataku memutuskan. Kupikir mungkin aku telah memutuskan hal itu sejak kejadian di restoran tadi. Saat melihat pertengkaran suami isteri yang nyaris membuatku celaka. Aku telah menetapkan ingin bersama Martin, karena aku tahu Martin tak akan meninggalkanku dan memukulku. Aku yakin. Dia hanya pria paling sibuk saja, sedikit waktu untukku!
Semua yang mendengar merasa lega. Tante Hanum langsung memelukku dan berbisik. ” Keputusanmu bagus sekali Lin!” katanya. Papa menyuruhku meminta maaf pada Mama. Aku mencium tangan Mama, yang menyambutku dengan rangkulan sayang. Mami menangis tersedu di pelukkan Martin. Aku juga minta maaf pada Mami, telah menyusahkannya. Dia memelukku erat, mencium pipiku sementara Martin berdiri disisiku memperhatikan kami tanpa bicara.
Kudengar suara Papa lagi, ”Linda, ayo minta maaf sama Martin. Kau bikin susah dia saja. Berhari-hari mondar mandir cari kamu. Keliling kota seperti supir taxi saja” katanya, sekarang tidak marah nadanya, sudah tertawa. Aku melepaskan diri dari pelukan Mami, berbalik menghadap Martin. Dia merangkulku, aku belum sempat meminta maaf, Martin sudah mendahului ”Sudah Lin, aku juga salah. Terlalu sibuk jadi kurang memperhatikanmu, kau merasa sering kuabaikan, iya kan?” katanya.
Mendengar ucapan Martin mendadak Mami bicara ”Oh.... Mami baru tahu sekarang, ternyata yang bikin Linda kabur itu kamu sendiri ya!” kata Mami pada Martin. Dia melanjutkan bicara ”Martin, Mami sudah bilang kan, kali ini pernikahanmu harus dijaga, rupanya kau begitu sibuk, sampai lupa sama isteri ya!” katanya mengomeli Martin. Martin tentu saja kaget, tapi kemudian meminta maaf dan berjanji akan memperbaikinya. Tak seorangpun yang menyela ucapan Mami.
”Harus sediakan waktu untuk keluarga, jangan lupa!” kata Papi. Papa turut bicara ”Linda juga harus punya waktu untuk Martin, karir penting tapi perlu hidup dalam keluarga yang saling mendukung dan saling menyayangi” katanya. Semua setuju, dan ceria.
”Ayo kita pulang, sudah malam” kata Papi mengajak Mami. Om Burhan dan Tante Hanum juga pamit. Aku dan Martin ikut mobil Papi diantar ke rumah kami. Mereka cuma mampir sebentar di rumah kami, sekedar minum teh bersama, lalu langsung pulang ke Bandung. Aku memasuki rumah dengan perasaan kangen pada rumahku. Lampu taman dan teras menyala, tapi ruangan dalam gelap. Aku masuk rumah, tak ada barang yang berpindah tempat. Anggrekku layu, aku bergegas membawanya ke kamar mandi menyiramnya dengan air, semoga tak mati. Mami dan Papi duduk di sofa di ruang keluarga setelah kusajikan minuman. Aku masuk ke kamar tidur. Martin mengikuti sambil membawa koperku masuk ke kamar.
Kamar tidurku juga tak berubah, rupanya Martin tak pernah tidur di kamar ini. Aku meletakkan tas dan jaketku juga tas kecil Martin. Kami keluar kamar menemani Papi dan Mami minum.
”Mami, Jum’at depan saya ke Bandung. Mau tengok anak-anak. Tolong bilang mereka jangan bikin acara sama Mirna”kata Martin.
”Mau ikut Lin?” tanya Martin padaku. Aku cepat-cepat mengangguk, aku kan sedang cuti.
Urusan sama Pingkan di Surabaya, nanti bisa kubereskan. Pingkan sudah tahu masalahku. Dia mau aku tetap membantunya. Caranya adalah jadi konsultan saja. Aku bisa ke sana jika diperlukan. Lebih pada merancang strategi saja. Pelaksana tetap dia dengan arahan dariku. Itu sudah dibicarakan sejak awal aku bergabung. Pada dasarnya staf promosi sudah ada, cuma program saja yang belum ada dengan strategi yang akurat. Aku sudah selesai buatkan, sekarang berkasnya sudah sama Pinkan.
Mendengar aku akan ikut ke Bandung juga, Mami terlihat ceria.
”Mau makan apa Lin? Nanti Mami buatkan! Macaroni schotel atau beefsteak?” katanya bersemangat.
”Mami, jangan repot repot!” jawabku. ”Cuma mau yoghurt strawberry aja” kataku.
”Wah kalau itu kita pergi ke Lembang saja!” kata Papi mengusulkan.
”Sambil jalan-jalan ke rumah Uwak Dadang, kan punya kebun strawberry” katanya. Yang dia maksud Uwak Dadang adalah sepupu Papi yang setelah pensiun, lalu menjadi petani buah dan bunga. Tadinya dia adalah pegawai sebuah bank pemerintah. Tanahnya yang luas merupakan warisan orang tuanya dan miliknya sendiri dengan membeli tanah di sebelah tanah orang tuanya. Kami dulu pernah kesana, aku suka sekali. Karena tanah pertanian itu juga bisa jadi objek wisata. Uwak Dadang membangun cafe kecil untuk menikmati buah dan makanan dari buah strawberry. Ada dodol, pancake, selai, pie, cake, juice, milkshake dan yoghurt. Semuanya dengan tambahan buah strawberry. Ada kursi yang ditempatkan di bawah payung taman. Nyaman duduk di situ dengan udara yang sejuk kota Lembang. Sambil memandangi buah strawberry yang merah terhampar di sekitar kita duduk. Lalu pemandangan gunung.

”Okay, sudah malam , kami pulang dulu” kata Papi ”Kasihan Mang supir” lanjutnya sambil bangkit berdiri. Kami melepaskan mereka berangkat pulang ke Bandung. Gara-gara ulahku, kedua mertuaku yang sudah tua itu, menembus malam dengan tubuh lelah menyusuri jalan ratusan kilometer untuk datang ke Jakarta dan pulang lagi ke Bandung. Demi kami, anak menantu mereka. Kasihan sekali!
Kami masuk ke kamar tidur. Sudah terasa mengantuk dan capek. Aku telah mandi dan berganti pakaian tidur. Martin juga baru selesai mandi di kamar mandi lain, masih dengan bathrobe. Menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, berdiri di dekat tempat tidur. Dia masuk saat aku memandangi tempat tidur yang begitu licin, seperti saat kutinggalkan.
”Martin, nggak pernah tidur di rumah ya?” tanyaku. Martin menggeleng.
”Linda, aku sudah tiga tahun tidur selalu bersamamu. Waktu kau pergi, aku sedih sekali, tak sanggup tidur disitu lagi” katanya mengaku.
”Tadinya kalau kita tetap bercerai, rumah ini mau aku jual seisi rumah” katanya lagi.
”Sekarang kan nggak jadi pisah, aku senang sekali! Terima kasih Lin, kau mau tetap bersamaku!” katanya. ”Sebenarnya aku sudah putus asa. Kupikir kamu sedang jalan-jalan di Antwerpen” katanya lagi.
”Nah, kamu kan juga nggak percaya sama aku! Aku pergi bukan karena Rinto lagi. Aku mau tinggalkan kalian semua!” kataku.
”Bukan nggak percaya! Tapi buat apa meninggalkan aku tapi juga nggak mencari Rinto! Aku tidak mengerti Lin” kata Martin, duduk di tepi tempat tidur di sampingku. Melemparkan handuk basahnya ke keranjang cucian di sudut kamar.
”Untuk apa Lin?” tanya Martin. Tangan Martin meraihku, memelukku, mengangkatku ke tempat tidur kami. Dia menunggu jawabanku.
”Ingin tahu apa aku bisa nggak melupakanmu!” jawabku memejamkan mataku, menghindari kontak mata dengan Martin.
”Lalu? Berhasil melupakanku?”desaknya sambil menepuk pipiku pelan. Aku mau diam saja, tapi Martin tetap bergeming minta jawaban. Dia pencet hidungku hingga kehabisan napas.
”Aku nggak lepaskan kalau nggak jawab!” katanya tertawa tawa, melihat aku berontak dari pelukkannya. Tapi kemudian melepaskan juga. Aku tertawa saja melihat ulahnya.
”Ayo!” kata Martin lagi.
”Nggak! Martin, sebenarnya makin aku jauh ternyata aku makin kangen kamu. Tadinya kupikir kalau secara fisik kita berjauhan, pasti aku bisa lupa. Tapi malah kacau!”kataku akhirnya mengaku.
”Lalu, berhari hari apa yang kamu pikir Lin?” tanya Martin lagi.
”Selalu ingat. Martin lagi apa sekarang ya? Hari ini ke kantor pakai dasi warna apa? Martin sudah cukur rambut nggak ya? Siang ini telpon aku nggak ya? Pengen sekali telpon ke rumah atau ke kantormu. Nanti siang kau makan dimana? Waktu di hotel, setiap ke cafe, ada beef-steak, selalu ingat pasti Martin suka! Setiap ketemu tamu hotel yang pakai dasi, selalu pikir, Martin punya dasi seperti itu nggak? Ingat rumah juga! Bukannya tenang, malah mabok aku! Uuh.... makin pusing, tauk!” ujarku menjelaskan. Perasaan dan pikiranku itu memang menggangguku selama di Surabaya. Menghindari dengan susah payah, ternyata malah membuatku sangat tersiksa. Selain kesibukan kerja, malam-malam di kamar hotel membuatku semakin merasa bersalah meninggalkan Martin.
”Jadi..... nggak mikir itu, Mas yang.....” kata Martin, buru-buru mulutnya kututup dengan jariku. Dia menghentikan ucapannya. Aku menggelengkan kepalaku.
”Nggak sama sekali! Aneh juga! Aku malah kangen berat sama Inge dan Cyril. Makanya mau ke Bandung!” jawabku jujur.
”Lho! Malah anak-anak! Bukan aku?” kata Martin tertawa.
”Iya, aku sudah tinggalkan semua yang berkaitan dengan kita. Rumah, barang barang, perhiasan hadiahmu. Tapi ada satu yang lupa atau mungkin sayang kutinggalkan. Foto di dompetku bersama Inge dan Cyril waktu di Bali” ujarku menjelaskan. Foto itu hasil jepretan Martin, berlatar belakang pantai dan laut. Aku duduk di pasir memangku Inge, sedang Cyril berjongkok di sampingku dengan tangannya memelukku. Foto liburan kami yang pertama kali.
”Kau mikir apa waktu aku nggak ada di rumah lagi?” tanyaku.
”Dua jam pertama aku duduk di ruang keluarga, nggak bisa mikir apa-apa” kata Martin.
”Kemudian ambil Yellow Pages cari nomor telpon perusahaan penerbangan. Kacau, nggak dapat informasi memadai. Periksa lemari, ternyata pasport kamu dibawa. Aku makin panik, kupikir pasti sudah di luar negeri” lanjut Martin. Aku diam mendengarkannya.Waktu itu memang surat-surat dan dokumen penting aku bawa.
”Sabtu libur kantor, aku nggak bisa cari daftar penumpang. Pakai pesawat apa dan kemana? Nggak sangka ke Surabaya! Pakai kereta api, mana ada daftarnya, pinter amat sih!” kata Martin. Aku tertawa tak mau komentar.
”Lalu ke rumah Papa lapor dan anter suratmu. Mama setelah baca surat kan pingsan. Kami bawa Mama ke rumah sakit. Aku ke rumah Pris malam-malam, kemudian pulang ke rumah kita. Nggak tahan di rumah, putar kota sampai pagi” kata Martin lagi. Waduh.... kacau juga ya, pikirku.
”Yang pasti, aku hancur banget! Dulu waktu dengan Siska aku bisa marah sama dia, dia juga marah marah sama aku. Kami bertengkar hebat. Kampungan sekali, saling teriak! Kemudian cerai” kata Martin tertawa.
”Martin, kita kan tidak pernah begitu. Aku justru takut hal seperti itu yang terjadi. Kau lama-lama akan marah juga bila melihatku masih saja dipengaruhi Rinto. Itu juga alasan lain aku pergi. Karena kamu terlalu sabar dan baik sama aku” kataku..
”Lin, kau tahu, aku akan tetap bertahan” kata Martin menatapku.
”Oh... sudah malam sekali, tidur ah! Besok ke kantor kan!” kataku. Martin menggeleng.
”Aku belum ngantuk!” katanya mempererat pelukkannya.
Malam sudah sangat larut. Tapi kami baru memulai kehidupan kami yang baru.


TURQUOISE


Hari ini, jam lima lebih dua puluh menit aku masih di kantor. Masih memimpin rapat Departemen Promosi. Masih mendiskusikan rencana event promosi yang akan dilaksanakan lima hari lagi. Ya Sabtu ini, kami melaksanakan launching produk terbaru perusahaan pakaian jadi tempatku bekerja.
Kali ini aku harus kerja keras, untuk mempromosikan produk ini. Aku telah meminta design ini untuk diproduksi, meski bosku sendiri kurang yakin. Dia ragu, konsumen akan berani beli pakaian tidur mahal. Dia bilang, orang suka tidur dengan pakaian seadanya saja, tak perlu bagus sekali. Aku meyakinkannya dibantu para kepala cabang, susah payah, dan berhasil. Akhirnya diproduksi pakaian tidur berupa baby doll, house-coat, piyama dan yukata , sejenis kimono untuk dikenakan sehari-hari dalam rumah. Segment yang kami sasar memang untuk kelas menengah ke atas. Untuk wanita usia sekitar delapan belas hingga empat puluh tahun.rang usia yang sangat besar, makanya perlu kegiatan ekstra untuk meraih mereka.
Perusahaan kami akan mengeluarkan dua seri desain baru. Seri motif kerang-kerang laut, ditujukan untuk musim kemarau di Indonesia, dan bagi pasar export kami di Jepang, Taiwan, Korea serta Australia untuk summer. Seri bunga lily ditujukan untuk mereka yang romantis. Bulan depan akan banyak pernikahan, karena dianggap bulan baik oleh masyarakat. Jadi produk kami bisa sebagai hadiah untuk pengantin. Karena itu kami juga menyiapkan kemasan yang indah untuk produk ini.
Semua disain dalam empat warna biru muda, merah muda, hijau muda dan ungu muda. Aku yakin akan sukses. Image model kami, dalam iklan berhasil menampilkan dengan baik produk kami, aku bersama Nancy turut mengawasi saat pemotretan di pantai, dua bulan lalu. Kami telah enam bulan merencanakan produk ini berikut kegiatan promosinya
Nancy, asistanku melaporkan bahwa biro iklan sudah memberikan contact report, hasil rapat dan kesepakatan kami. Iklan sudah pasti bisa keluar di majalah wanita dan surat kabar nasional. Aku dijadwalkan akan memberikan training besok untuk semua staf penjualan baik di Jakarta maupun wakil dari cabang-cabang kami. Training dilaksanakan di ruang rapat lantai empat. Malam ini sudah siap diatur, dibantu petugas kantor, Jaka. Training mulai jam delapan pagi selama satu jam untuk setiap group. Untuk para kepala cabang dan agen, akan dilakukan jam lima sore. Wow padat sekali! Nancy juga bilang pesanan handuk mandi dengan design yang sama dengan produk, telah masuk gudang promosi. Siap setiap saat bisa dikirim sebagai hadiah pembelian bagi konsumen, jika ternyata penjualan kurang sukses. Ini strategi antisipasi dalam pemasaran kami. Merangsang calon konsumen dengan hadiah exclusive!
Gunawan, staf visual merchandising dan display dan perlengkapan counter sudah memastikan pemasangan stage untuk fashion show di sebuah department store bisa dilakukan Jum’at malam setelah toko tutup. Artinya kami akan akan lembur sampai pagi. Kami akan mengadakan fashion show dengan empat peragawati di toko tersebut. Dia juga melaporkan, poster untuk publikasi fashion show sudah dipasang oleh pihak toko sejak Jum’at lalu. Aku sedikit khawatir, akan ada telpon dari toko lain. Persaingan antar toko memang kuat. Saling intip pasti terjadi. Aku harus siap-siap. Meski sebenarnya event promosi ini telah kutawarkan pada mereka beberapa bulan lalu. Bisa saja mereka berubah pikiran. Gunawan juga sudah punya jadwal penggantian display untuk pakaian manekin di counter-counter pada Jum’at malam, oleh para sales assistant.
Aku minta semua jadwal kerja masing-masing bagian sudah ditempel di white-board ruang kerjaku. Aku minta mereka setiap hari memberi tanda bagian yang telah dikerjakan. Wiwid membacakan laporan, bahwa bagian distribusi sudah mengirimkan barang yang akan dipromosikan. Tapi sudah diberitahukan untuk tidak langsung dijual dan di display. Dia sudah membuat foto copy petunjuk display barangnya. Akan dibagikan pada para Sales assistant, petugas counter penjualan yang akan mengikuti training besok. Dia juga sudah mengirimkan pakaian yang akan dipakai para peragawati ke Model Agencynya. Master of ceremony, Tristy yang sebenarnya hanya bertugas memberi informasi telah diberikan penjelasan tentang produk secara tertulis, via fax. Minta bertemu denganku besok. Aku minta Wiwid memberitahu Tristy ikut saja salah satu sessi training kami. Jadi lebih effisien.
Ditengah rapat, aku menerima telpon dari Martin. Dia bilang akan pulang sekitar jam sebelas. Memintaku untuk tidak menunggunya makan malam. Tak masalah, kataku. Akupun akan lembur. Besok dia akan berangkat ke Palembang, pagi-pagi sekali katanya. Mungkin Minggu sore baru akan pulang. Kami memutuskan sambungan telpon. Aku melanjutkan rapat yang tertunda sebentar itu. Banyak lagi hal detail yang kami bicarakan. Kelihatannya meski rapat diadakan malam hari, stafku masih bersemangat. Kami break untuk makan malam. Makan bersama dengan nasi bungkus dan teh manis.Beli dari restoran makanan Minang dekat kantor.
Setelah usai rapat, kami tak langsung pulang. Masih ada beberapa hal yang harus di kerjakan. Yanti, sekretarisku menyerahkan surat masuk berupa fax dari dua departemen store! Nah... perkiraanku benar! Mereka minta kegiatan yang sama dengan yang kurancang untuk Sabtu ini. Yanti juga memberitahuku, ibu Herlina, manager toko serba ada itu minta aku menghubunginya. Huh... orang ini, dulu aku menawarkan acara ini dia menolak mentah-mentah. Sekarang.....cari aku!. Okay... aku mencoba menghubunginya, biasanya management toko masih berada di kantor meski sudah jam delapan malam. Bagaimanapun, aku harus telpon dia, jaga hubungan baik.
”Selamat malam Bu Herlina, ini saya Linda” kataku memulai percakapan. Wow, dia senang kutelpon, menungguku rupanya.
”Hey, kau sibuk sekali ya?”kata Bu Herlina. ”Aku telpon lagi rapat terus, nggak bisa diganggu!”katanya melanjutkan. Aku mengiyakan, kemudian menanyakan ada keperluan apa dia mencariku. Aku sengaja membiarkan dia sendiri yang meminta event promosi kali ini padaku, agar aku punya bargaining power lebih kuat. Posisi tawar yang lebih kuat bagi pemasok barang seperti perusahaan kami akan memudahkan kami berunding. Aku selalu berusaha untuk mendapatkannya. Seperti saat ini. Dulu dia menolak, kini minta! Produk kami bagus, dia pasti sudah lihat, karena barang sudah masuk tokonya. Kondisi lain memaksanya, persaingan dengan toko lain. Aku setujui permintaannya. Kali ini mudah, semua persiapan dia yang atur. Stage, in-store promotion seperti selebaran, poster bahkan dia akan kirimi undangan para pelanggannya. Aku cuma kirim peragawati saja.Hore!
Aku juga menghubungi Margaret, dia kawanku semasa kuliah. Suratnya yang dikirim via fax di tulis tangan. Dia tulis, dengan gaya bercanda.
”Linda, gue akan coret nama lo jadi alumni kalo malam ini nggak menghubungi gue. Ke kantor atau rumah, terserah! Lalu gambar bibir dan tulisan I love you, Maggy! Konyol banget! Aku tertawa membacanya. Yanti yang menyerahkan juga turut tertawa. Dia tahu, Maggy, nama panggilan Margaret temanku, jadi Manager toko serba ada di kawasan perkantoran dan rumah mewah, juga di daerah selatan Jakarta.
”Hello, Maggy?” tanyaku mengawali pembicaraanku dengan Maggy di telepon hampir jam sembilan malam.
”Buset dah!” seru Maggy. ”Baru sekarang telpon gue, padahal gue fax tadi siang!” kata Maggy mulai cerewet. Kami bicara macam-macam, termasuk tentang Alfian yang kirim salam untukku. Negosiasi dengan Maggy lancar. Dia hampir sama dengan Bu Herlina, memberikan akses luas dan menguntungkan kami. Aku cuma perlu atur jadwal yang pas. Tidak bisa di hari Sabtu minggu depan, karena itu jadwal untuk Bu Herlina. Jum’at sore saja, pas karyawan pulang kantor. Dia janji promosi lebih gencar. Wow, dukungan lagi bagi proyekku.
Hampir jam sebelas malam aku sampai di depan pintu pagar. Baru saja mobil yang mengantarku akan pergi, kulihat sorot lampu mobil Martin. Aku membukakan pintu pagar lebih lebar, agar mobilnya bisa segera masuk. Martin turun mendekatiku, mencium pipiku dan menutup pagar. Aku mengambil tas kantor Martin di mobilnya. Aku membuka pintu rumah, sementara Martin memasukkan mobil ke garasi. Kami capek dan ngantuk tentu saja. Usai mandi air hangat dan ganti pakaian tidur, aku dan Martin langsung ke tempat tidur. Mengunci kamar kami. Tidur pulas.
Aku terbangun karena udara semakin dingin. Ini musim kemarau, jadi udara malam lebih dingin, apalagi menjelang subuh. Aku duduk, mencari selimutku di ujung kaki. Karena gerakkanku Martin terbangun, dia memeriksa jam di meja samping.
”Jam tiga, tidur lagi Lin!” katanya. Aku hanya menjawab sepintas. Kembali berbaring, menarik selimut hingga batas leher dan memunggungi Martin. Kurasakan tangan kiri Martin memeluk pinggangku. Bergeser lebih dekat.
”Lin, jangan memunggungi aku dong!” kata Martin manja.
Aku diam saja, pura-pura sudah tidur. Martin menyusupkan tangan kanannya ke leherku, memaksaku berbalik kearahnya.
”Pura-pura tidur kan?”kata Martin. Dalam gelap aku senyum. Martin menyalakan lampu duduk di meja samping. Aku tahu apa maunya. Dia paling suka memandangku saat bercinta. Dengan lampu menyala terang. Terpikir olehku, hampir lima tahun bersamanya, aku tahu kebiasaannya. Apalagi besok dia akan pergi keluar kota.
Dengan kesibukanku dan Martin yang sangat padat, kami jarang bisa bersama sama. Kami bahkan pernah tidak bertemu hampir sebulan! Rumah kami kosong. Terpaksa aku minta adikku Ari dan Arya sesekali bermalam di rumahku. Pak Kun juga kuminta datang untuk membersihkan teras, halaman depan, belakang dan menyiram tanaman setiap hari. Saat itu, Martin ke Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Batam, Palembang dan Bandar Lampung. Sementara, aku dalam kegiatan promosi mengunjungi hampir semua kota besar di pulau Jawa , beberapa kota di Sulawesi dan Kalimantan.
Dua bulan yang lalu aku malah janjian bertemu dengan Martin di airport Soekarno Hatta! Aku akan berangkat ke Makassar dan Manado untuk negosiasi lokasi counter baru kami untuk pembukaan department store baru di kedua kota itu. Sedangkan Martin pulang dari sana mengecek proyeknya. Dia menyusulku ke terminal keberangkatan. Aku geli mengingatnya. Melihat Martin berlari mengejarku karena aku sudah harus masuk boarding room. Pesawat sudah hampir berangkat. Martin terengah-engah berlari dengan tas besarnya. Aku menunggunya di lobby. Persis adegan film barat yang pernah kutonton bersamanya. Dulu kami mentertawakan pemain film itu, berpikir adegan itu tak mungkin ada di dunia nyata, hanya dalam film drama cinta ala Hollywood. Melihat Martin terengah-engah, aku tak sampai hati mentertawakannya. Segera berlari mendekati Martin. Kami berpelukan sesaat.
Sebelas hari kami berpisah, bertemu di airport cuma lima menit. Kami jadi tontonan beberapa calon penumpang dan security airport. Aku berjanji akan menelpon Martin ke rumah malam ini.
“Martin, aku sudah belanja. Di kulkas sudah ada susu segar, roti, sosis dan mayonaise. Bon laundry ada di atas TV” pesanku pada Martin ketika akan masuk pintu keberangkatan. Martin mengangguk, security airport di depan pintu yang berwajah angker tersenyum mendengar ucapanku. Kudengar panggilan kedua untuk masuk pesawat.
“Telpon anak-anak, tolong kasih tahu, aku yang akan ambil raport mereka ke sekolah” kataku lagi. Security airport itu makin sumringah wajahnya.
“Okay Lin! Sudah masuk saja! Aku yang atur” kata Martin mencium pipiku. Aku berlari meninggalkannya menuju boarding room dilantai atas menuju lorong ke pesawat. Aku baru bertemu lagi dengan Martin setelah lima hari kemudian. Itupun hari berikutnya Martin harus berangkat ke Singapore.
Benar-benar hari-hari kami diisi dengan bongkar dan muat pakaian ke koper masing-masing. Pergi ke berbagai arah yang berlawanan! Bahkan, seorang ibu, yang akhirnya satu pesawat denganku malah bertanya.
“Tadi itu pacar ya Jeng?” tanya ibu itu ingin tahu. Tentu saja dia heran, kok pelukan dengan pria di depan orang banyak. Aku terpaksa menjelaskan bahwa pria yang menciumku tadi adalah suamiku. Kami baru bertemu, setelah berpisah lama. Ibu tua itu geleng-geleng kepala.
“Wanita sekarang ya, sibuk kerja” katanya lalu bergumam. Aku mengiyakan saja, malas untuk melanjutkan obrolan.
Pagi ini, selagi Martin bersiap untuk ke airport, aku ceritakan merencana perjalananku ke Medan, Padang, Batam dan Palembang dua minggu yang akan datang. Dia mengerutkan dahinya.
”Kenapa?” tanyaku heran. Martin menggeleng.
”Tidak apa-apa” katanya. Biasanya reaksi Martin tak begitu. Tapi kemudian aku teringat hal lain.
”Martin, kemarin Mami telepon. Minta kalau bisa kita ke Bandung. Aku belum bisa kasih jawaban, belum tahu jadwalmu sih. Aku mungkin bisa Sabtu depan, berangkat sore, pulang Minggu” Aku menjelaskan.
”Sabtu pagi aku harus hadir pada acara promosi di sebuah department store di Jakarta Barat” Martin terlihat mengingat-ingat.
”Nanti siang aku telpon Mbak Tiara dari Palembang, dia yang atur jadwalku untuk minggu depan. Malam aku telpon ke rumah ya Lin!” jawabnya.
”Okay, aku tunggu ya telponnya, aku pulang malam” kataku. Aku mengantarnya ke taxi yang telah menunggu di depan rumah. Dia akan di Palembang selama empat hari, karena ada tiga gedung yang sedang memasang produk perusahaannya.
Sabtu siang, promosi dan pagelaran busana produk kami di department store yang dikelola bu Herlina usai. Pengunjung banyak sekali, gadis remaja dan wanita muda. Aku juga melihat beberapa pengelola toko lain berada diantara pengunjung. Para detektif retail! Aku tahu Senin depan akan sibuk sekali, akan dapat telpon dari mereka. Produk kami di terima baik, aku menunggu sekitar sejam seusai acara itu di counter penjualan bersama Bu Herlina. Ingin tahu komentar konsumen. Aku juga bertemu Pak Dodi Irawan, Marketing Manager produk kompetitor kami. Kami sering bertemu, dan berkawan baik.
”Hey, Linda, selamat ya!”katanya. ”Bagus sekali produk kali ini. Aku bisa kalah nih!” katanya memuji.
”Aduh, terima kasih. Kami masih deg-deg-an nih. Takut sales nya malah jeblok, nggak ada yang beli!” kataku.
”Pak Irawan, bikin juga dong acara seperti ini, nanti pasti saya dukung!” kata Bu Herlina juga turut bicara. Tadi Bu Herlina sudah minta aku untuk memberi prioritas pertama kalau ada promosi produk terbaru kami. Kapok rupanya dia, di dahului pesaingnya. Rasakan!
Saat ngobrol itulah Martin tiba, dia menjemputku untuk pergi ke Bandung. Aku melambai padanya agar mendekat. Kuperkenalkan pada kedua relasiku itu. Mereka bersalaman dan berbincang sebentar. Kemudian kami pamit. Kami tiba di Bandung jam tujuh malam. Cyril dan Inge senang sekali kami kami datang. Aku dan Martin mendengarkan cerita mereka.
”Mama, kak Cyril kan sudah punya pacar!” lapor Inge padaku.
”Bener nih! Siapa?”kataku pura-pura heran.
”Bukan, Inge bohong Ma!” bantah Cyril. ”Windy kan cuma ikut mobil satu kali, waktu pulang les piano supirnya nggak jemput, kan sudah malam jadi Mang asep suruh aku ajak aja!” lanjutnya menjelaskan. Martin tertawa geli. Dasar Inge, numpang mobil aja dibilang pacaran!
Mami datang bergabung. ”Linda, Mami sengaja nggak sedia makan malam. Kita makan keluar saja ya, sekalian jalan-jalan. Mau ganti baju dulu atau bagaimana?” katanya.
”Saya mandi dulu ya biar segar, dari kerjaan langsung kesini sih!” jawabku, mengajak Martin ke kamar tidur. Aku membuka tas pakaian untuk cari baju ganti.
”Ini pakai sekarang, aku belikan tadi siang!” katanya Martin mendekatiku. Mengejutkanku dengan menyerahkan sebuah shopping bag dari karton.
Kantong warna merah itu berlogo toko yang siang tadi sedang promosi. Dasar Martin, paling suka kasih kejutan!
”Baju? Terimakasih ya!” kataku sambil memeluk Martin. Kubuka tas itu, baju warna biru turquoise. Rupanya Martin sempat belanja dulu, sambil menungguku. Sebenarnya aku sudah lihat baju ini dipajang saat berjalan dengan Bu Herlina. Aku berniat membelinya, nanti Senin setelah kembali dari Bandung. Aku suka warnanya, potongannya juga sederhana. Sekarang sudah jadi milikku!
Setelah mandi dan make up tipis, aku mengenakan baju hadiah itu. Gaun lurus selutut, pas di tubuhku dengan kerah rendah bulat, tanpa lengan. Ada sedikit belahan pada bagian bawah rok samping kiri. Potongannya sederhana, warnanya yang membuat gaun ini indah. Biru turquoise, benar-benar warna batu mulia yang terkenal dari Iran itu. Kebetulan aku bawa tas kecil warna hitam dan sepatu hitam, jadi bolehlah penampilanku untuk makan malam akhir pekan ini! Karena tidak ada rencana untuk menghadiri pesta, aku tak membawa perhiasan kecuali cincin platina dengan permata kecil oleh-oleh Martin dari Singapore. Martin menungguiku berdandan, dia sendiri sudah siap, dengan baju warna biru tua lengan panjang.
”Mama, Papa, sudah siap belum?” kudengar teriakan Inge di depan kamar kami.
”Kata Opa berangkatnya sama-sama atau mobil sendiri-sendiri?” tanya Inge lagi. ”Sebentar, sudah selesai!” jawabku buru-buru keluar kamar. Inge memandangku, kebiasaannya bila melihatku rapi.
”Mama Inge cantik!” pujinya meraba bajuku.
”Inge juga cantik!” balasku. Inge mengenakan rok kulot warna putih dengan blues merah muda dengan renda putih pada pinggir kerah dan lengan. Dia sudah kelas tiga Sekolah Dasar sekarang.
”Ayo kita berangkat!” ajak Martin yang keluar dari kamar, kemudian meraih tangan kami.
Kami berangkat satu mobil dengan Inge dan Cyril. Papi dan Mami diantar Mang Asep. Makan malam ini rupanya di hotel berbintang di tengah kota. Halaman hotel tempat kami parkir mobil penuh dengan mobil asal Jakarta. Ya, malam libur, Bandung akan dipenuhi oleh orang dari Jakarta. Di lobbynya sudah banyak pengunjung dan tamu hotel. Mungkin juga ada seminar, karena kulihat banyak yang berpakaian resmi. Baru kemudian ketika mau masuk lift aku tahu, ada reuni sebuah perguruan tinggi di lantai yang lima. Pemberitahuan singkat pada secarik kertas, reuni di lantai lima, itu saja.
Papi, Mami dan Mirna, Mas Leo suaminya serta kedua anaknya sudah menunggu kami. Duduk di sudut mengelilingi meja bulat besar. Kami segera bergabung. Makanan segera datang, rupanya Mami sudah pesan sebelumnya.
”Martin, Linda, sengaja kalian Papi undang datang. Ini pesta hadiah untuk memperingati lima tahun pernikahan kalian. Semoga bahagia!” kata Papi.
Ya.... ampun! Aku lupa ini hari pernikahan kami! Aku memandang Martin minta maaf, dia tersenyum saja. Aku tak bisa bicara, benar-benar shock!. Pantas kasih hadiah mendadak! Oh... aku tak punya apa apa untuknya! Aku sibuk sekali akhir-akhir ini.
Mereka berdiri menyalamiku dan Martin, aku sangat terharu dengan hadiah kejutan ini. Berterima kasih pada mereka, terutama Papi dan Mami. Papi mengatakan, dulu Mirna juga mendapatkan hadiah seperti ini. Mirna memberi kami hiasan dinding khas Thailand, sulaman berbenang emas bergambar gajah. Mereka duduk kembali. Martin menahanku tetap berdiri. Martin mengeluarkan kotak hadiah, menyerahkannya padaku sambil memeluk dan mencium pipiku. Mereka bertepuk tangan. Beberapa pengunjung restoran di sekitar kami menoleh tertarik. Aku mengangguk sopan, meminta maaf mereka terganggu.
”Mama, buka dong!” desak Inge, ingin tahu. Aku membuka tutup kotak, satu set perhiasan emas dengan batu berwarna biru bergaya Oriental! Turquoise. Warna batunya biru sebening langit! Martin memasangkan kalung ke leherku. Mencium pipiku sekali lagi. Memintaku mengenakan gelang, anting dan kalung serta cincin. Semua batu berbentuk buah pir atau sering disebut cabochon. Serasi sekali dengan bajuku!
”Martin, terima kasih!” kataku. ”Maafkan, aku tidak punya hadiah!” lanjutku.
”Aku hanya ingin kita selalu dapat bersama dan bahagia!” jawab Martin. Kudengar Mami menyebut ”Amin!”
”Linda, simpan baik-baik perhiasan itu ya. Itu tradisi keluarga Mami, memberi perhiasan dengan batu Turquoise untuk memperingati lima tahun pernikahan. Itu sebuah harapan, agar pernikahan kalian bahagia. Mami kemudian menceritakan, bahwa batu Turquoise sebenarnya berasal dari Iran, tapi masuk Eropah melalui Turki, makanya disebut Turquoise. Dalam bahasa Perancis disebut batu Turki atau pierre turquoise. Di barat, dipakai untuk merayakan pernikahan tahun ke lima. Bahkan orang Indian percaya Turquoise akan membawa kebahagian bagi semua orang. Oh...begitu!
Kami selesai makan sekitar jam delapan. Cyril dan Inge akan menginap di rumah Mirna, karena akan ikut Leo ke lapangan olahraga, subuh nanti. Kami berjanji akan bertemu di lapangan Gasibu dengan mereka subuh besok. Mereka pulang duluan. Disusul Mami dan Papi. Kami ingin tinggal lebih lama menikmati malam Minggu. Mungkin juga akan pindah ke Cafe. Martin mengajakku ke Cafe di lantai bawah, di dekat lobby.
”Kita minum dan pacaran di cafe bawah yuk!” ajak Martin sambil tertawa mencandaiku. ”Disini penuh, dan meja kita terlalu besar” katanya lagi.
Aku dan Martin bergandengan ketika akan keluar lift di lobby bawah. Di depan pintu lift, telah bergerombol beberapa pria yang akan masuk, menunggu kami keluar. Diantara pria itu! Dia..Rinto!? Oh....... Tuhan, jangan sekarang! pintaku dalam hati. Tapi doaku tak terkabul, Rinto menatap ke arah kami, ada rona kaget di wajahnya. Wajah yang selama ini tak pernah hilang dalam pikiranku, muncul mendadak seperti ini membuatku terpana. Martin segera menyadari perubahan sikapku. Mempererat pelukannya di pinggangku.”Kenapa Lin” tanya Martin. Aku tak berani menatap Martin. Mungkin wajahku sudah pucat, pias. Aku hanya mampu melangkah keluar lift, tak bisa menghindar. Rinto bagai patung berdiri di depan kami.
Kulihat pria-pria itu yang rupanya teman-teman Rinto telah masuk lift menggantikan kami. Cuma Rinto yang tidak masuk, melambaikan tangan pada kawan-kawannya menyuruh duluan.
”Linda!” sapanya mengulurkan tangannya. Rinto di hadapanku, berdiri sama tegak dengan Martin. Aku tak bisa menghindar.
Aku benar benar shock! Martin bingung melihat tingkahku, aku gemetar. ”Linda, kenapa?” kata Martin khawatir. Aku berusaha mengendalikan diri.
”Martin, ini Rinto” kataku memperkenalkan Rinto pada Martin. Kulihat Martin dan Rinto bersalaman, tapi kaku sekali. Keduanya terlihat saling menilai.
”Ayo, kita duduk di sana” ajak Martin duluan, rupanya berusaha mencairkan situasi yang beberapa detik terasa kaku. Dia berjalan meninggalkan kami menuju ke Cafe di sudut lobby. Rinto langsung membimbingku bergabung dengan Martin. Tangannya dingin. Aku duduk di samping Martin. Rinto duduk di depanku.
Martin memulai bicara, ”Mas Rinto, silahkan kalau mau bicara sama Linda” katanya. ”Kalian ngobrol saja, saya mau ke depan sebentar” katanya, aku tahu Martin selalu mampu mengatasi emosinya. Dia sangat rasional dalam bertindak dan berpikir. Sisi ini mungkin yang membuatku tertarik padanya.
”Terima kasih, saya ada acara reuni di atas, jadi tidak akan lama” kata Rinto menjawab. Martin menepuk bahuku pelan, berdiri meninggalkan kami berdua. Aku mengamati gerak tubuh Martin, pasti ada perasaan terluka yang dia simpan. Dia berjalan menjauhi kami duduk, menuju pintu keluar. Rasanya, aku ingin berlari mengejar Martin. Tapi kakiku menahanku untuk tetap diam. Rinto menatapiku.

Beginilah, aku dan Rinto, bertemu kembali setelah enam tahun berpisah. Rinto yang memulai bicara. Aku masih belum bisa, masih mencari-cari dengan mataku, kemana Martin pergi.
”Linda, aku pulang ke Indonesia bukan karena reuni ini. Rencanaku, besok akan ke rumahmu. Ternyata kita malah bertemu disini” kata Rinto.
”Aku akan bicara sama Martin nanti. Aku akan tinggal disini, kalau kau mau bersamaku. Aku akan kembali ke Antwerpen kalau kau tetap bersama Martin” kata Rinto melanjutkan. Kali ini dia sangat tegas dan penuh tuntutan. Aku mulai menangis, bertahun-tahun, aku selalu bimbang. Sekarang juga.
”Rinto, jangan desak aku, please!” ujarku. ”Rinto, aku sekarang semakin sulit” lanjutku. Tentu saja air mataku mulai merebak. Aku tak punya kekuaatan untuk menatap Rinto.
”Kenapa Linda? Sekarang kau cinta sekali sama Martin ya?” katanya. Aku hanya menangis, tak mampu menjawab. Untung di sekitar kami penerangannya tidak terlalu kuat, jadi tak menarik perhatian orang.
”Linda, aku tidak bisa menunggu lagi. Ini, lihat, cincin pertunangan kita masih kupakai!” katanya memamerkan tangan kirinya. Rinto berdiri, mendekati kursiku, memegang bahuku yang sedang menelungkup di meja.
”Biarkan Linda menangis, tidak apa-apa!” kudengar suara Martin tiba-tiba.
”Tinggalkan saja!” kata Martin, terdengaar mendesak. Kurasakan Rinto segera melepaskan tangannya di bahuku.
Aku tak melihat Rinto meninggalkan kami. Aku sudah memeluk Martin. Menangis di dadanya. Aku sedih, bingung dan putus asa. Martin hanya berdiam diri. Setelah lima tahun bersama Martin, satu kali aku mencoba meninggalkannya, kini akankah aku mencoba lagi? Berat sekali! Trauma itu masih dirasakan Martin. Setiap dia akan pergi ke luar kota, selalu bimbang. Dia selalu khawatir ketika kembali ke rumah, aku sudah pergi seperti dulu.Menghilang.
Kini bukan Martin saja yang kupertimbangkan, Papi dan Mami yang begitu baik padaku. Sangat bangga padaku. Mirna yang selalu membantuku, memahami mengapa aku kadang suka tidak memperdulikan Martin. Kemudian Cyril dan Inge! Begitu dekat dengan anak-anak, tanpa Martin pun, aku bisa berangkat ke Bandung menemui mereka, hanya karena kangen. Biasanya kami lalu tidur bersama di kamar tamu, mengobrol bertiga, bercanda-canda. Juga mempertimbangkan keluargaku, Papa dan Mama. Malam ini, pada pesta kejutan untuk kami, untukku malah, karena Martin sebenarnya sudah diberitahu, mereka mendoakan pernikahan kami agar bahagia. Tapi apakah aku tega melakukannya? Meninggalkan mereka? Rinto disini, sekarang hendak menjemputku! Meraih impian masaa remaja kami.
Aku melihat tanganku, di pergelangan tangan kananku gelang emas dengan batu Turquoise biru terang itu begitu cemerlang! Bukan hanya karena emasnya tapi juga karena harapan semua orang, keluargaku, agar aku dan Martin bahagia. Martin telah memberikan cintanya padaku selama lima tahun ini.

Martin membuyarkan pikiranku yang kalut dengan menawarkan minuman. ”Linda, minum dulu!” katanya. Aku minum, membasahi tenggorokkanku yang kering.
”Martin, kita pergi saja!” pintaku.
”Pulang?” tanya Martin.
”Nggak, aku mau kita putar kota saja” jawabku. Martin jadi bingung dengan jawabanku.
”Martin, aku nggak mau disini. Kita harus pergi, kemana saja!” Kulihat Martin berpikir, tidak menjawabku.
”Linda, urusan dengan Rinto harus malam ini juga kita selesaikan, okay?” katanya. ”Tunggu dulu disini, aku ada perlu sebentar” katanya tanpa minta persetujuanku. Pergi tergesa-gesa. Beberapa menit kemudian kembali.
”Okay, kita istirahat di sini saja. Aku sudah pesan kamar dan minuman!” katanya.
Aku tahu, dia ingin membicarakan masalah ini sekarang. Tidak mau membicarakannya di mobil atau di rumah. Selama ini, Papi dan Mami tidak tahu masalah aku dan Rinto belum juga selesai.
”Martin, jangan mendesakku memutuskannya sekarang, please!” kataku. Martin tidak menjawab, menarik tanganku, mengajakku memasuki lift. Wajahnya keras, tak menjawabku lagi. Kami memasuki kamar di lantai empat. Sebuah kamar yang indah, satu set kursi rotan dengan bantal kursi bersarung tenunan. Satu set tempat tidur besar dengan bedcover juga dari bahan tenunan. Semuanya dalam warna abu-abu muda dan pink. Kami duduk bersisian di ujung tempat tidur.

”Linda, aku minta keputusan sekarang!” kata Martin mantap. ”Aku akan lawan Rinto, kalau kamu ingin tetap bersamaku” katanya, sangat emosi. Hampir tak pernah aku melihat Martin seperti ini.
”Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya!” dia mendekatiku, memelukku erat-erat.
”Kita sudah lima tahun menikah, kenapa baru sekarang dia berpikir untuk menjemputmu!” kata Martin lagi. Aku diam, tak tahu harus menjawab atau tidak.
”Kenapa tidak datang waktu itu, cuma telpon, kirim surat, kirim cincin saja!” lanjut Martin. Aku mendengarkannya saja, khawatir salah menjawabnya, malah membuat Martin marah.
”Seperti pangeran saja, minta disanjung perempuan!” kata Martin makin garang. ”Dia harusnya datang waktu tahu kau menikah, rebut kalau berani!” katanya meneruskan. ”Harusnya dia hadapi keluargamu!” katanya lagi.
Aku diam saja, apa yang bisa kukatakan?Airmata mengaburkan pandanganku.
”Linda, aku pergi sebentar ya, tunggu saja, nggak lama” katanya meninggalkanku keluar kamar. Aku ke kamar mandi, menghapus bekas airmata, merapikan make-up ku. Aku duduk di pinggir tempat tidur, tanpa mampu berpikir. Kudengar ketukan pintu, dan suara Martin memanggil. Kubuka pintu.... astaga! Mengapa Martin mengajaknya kesini! Gila! Aku benar-benar shock, untuk kedua kalinya. Martin mempersilahkan Rinto masuk. Aku hanya mampu berdiri, terbengong bengong! Aku tak lagi dapat berlari, menghindar.
”Silahkan duduk!” kata Martin pada Rinto menunjuk ke dua kursi rotan dengan meja kecil persis di sisi jendela kamar. Aku duduk di pinggir tempat tidur, Martin duduk di kursi satu lagi. Aku memandang keduanya. Dua pria yang mengisi hatiku dengan cinta. Malam ini, aku harus memilih satu diantara mereka. Martin benar-benar ingin penyelesaian masalah kami sekarang juga. Seandainya ada pilihan lain, aku mau! Meski harus mengorbankan nyawaku. Haruskah akan menyakiti salah satu diantara mereka dengan keputusanku. Aku bagaikan algojo! Tuhan... tolonglah! pintaku, dalam hati.
”Linda, maaf aku sengaja minta Rinto datang kesini. Kita selesaikan urusan kalian disini. Lebih leluasa” kata Martin .
” Rinto, silahkan bicarakan saja” kata Martin. Kali ini Rinto memandangku, kemudian bicara. Wajah Rinto tak banyak berubah, masih dengan senyum tertahannya. Kulitnya agak lebih putih, mungkin kurang terkena sinar matahari.
”Linda, terus terang pertemuan ini mendadak sekali. Aku minta maaf telah mengganggu acara kalian. Katanya malam ini pesta lima tahun pernikahan kalian ya?” kata Rinto memulai bicara.
” Martin, jujur saja, aku ingin Linda kembali padaku, kalau Linda bersedia, tentu saja!” katanya sambil menghela nafas. Aku memandang Martin, kulihat raut wajahnya mengeras.
”Bagaimana Linda?” tanya Rinto menatapku.
”Rinto, sebagai suaminya, aku keberatan. Kenapa baru datang sekarang? Seandainya datang lima tahun yang lalu , mungkin tidak terlalu berat bagiku atau Linda!” kata Martin lugas. Rinto menatap Martin, tanpa suara.
”Sekarang, jika Linda ingin berpisah denganku, aku mau tahu apa rencanamu?” katanya pada Rinto. Dengan cara apa kalian akan menikah? Disini, peraturan pernikahan belum berubah. Lagipula aku tidak berhak begitu saja menyerahkan Linda. Dia bukan property ku, dia isteri. Wanita yang dipercayakan keluarganya untuk kujaga dan kulindungi. Bila Linda ingin bersamamu, aku akan menerimanya. Bicarakan masalah ini dengan keluarga Linda. Hadapi mereka! Aku telah menghadapi mereka, terus terang tidak mudah! Padahal aku punya keyakinan yang sama dengan mereka. Linda, meski jadi isteriku, masih milik mereka! Apapun akan mereka lakukan, untuk mempertahankan Linda! Jadi kau harus siap berkorban! Korbankan segalanya! Seharusnya kaulakukan dulu, sebelum pergi meninggalkan Linda!” Aku mendengarkan ucapan Martin, tak menyangka dia akan senekat itu, tanpa basa-basi pada Rinto.
”Begini Linda, aku minta maaf tidak kembali secepatnya. Betul katamu Martin, aku buang buang waktuku!” kata Rinto memulai.
”Ya, aku minta Linda untuk melepaskanmu! Aku akan menikahinya, apapun tuntutan keluarganya aku pasti penuhi! Bahkan aku sudah siap untuk itu sebenarnya. Keluargaku juga tidak keberatan” lanjutnya.
”Tentu saja kalau Linda bersedia” kata Rinto terdengar ragu. Martin diam mendengarkan ucapan Rinto, menatapku. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Martin.
Aku rasakan kepalaku pening. Kulihat Rinto sangat berharap, memandangku dengan memohon. Bayangan saat kami bersama, bagaikan film. Pertemuan pertama kami, lalu Rinto ke kampusku, malam-malam Minggu yang kami lalui bersama. Kenangan pergi ke Manado menghadiri pernikahan Ronald, ke Solo, ke rumah orang tuanya, Wisuda Rinto. Saat Wisuda ku. Banyak lagi. Tapi kemudian, muncul wajah Inge! Ya Tuhan.... mengapa Inge yang muncul? Serasa mendengar teriakkannya memanggilku. Lalu suara Cyril, yang berlari juga memanggilku! Aku menoleh, kulihat Martin, memandangku. Martin terlihat pucat, menunggu keputusanku. Sudah lima tahun, tepat hari ini aku hidup bersama Martin. Lima tahun aku merasakan cinta Martin untukku. Sudah kuputuskan untuk selalu bersamanya. Kalau harus berjuang lagi membentuk keluarga baru dengan Rinto aku sudah tidak mampu. Aku tak punya kekuatan. Aku menyadari tanpa Martin hidupku akan oleng, meski cintaku pada Rinto tak berkurang. Aku sudah tak bisa menangis lagi. Aku gemetar, rasanya lemah sekali.
Aku menguatkan diri, memandang Rinto, meski sangat lemah aku berusaha berpegangan pada tepi tempat tidur. Aku pandangi pola carpet di lantai, dekat sepatuku. Carpet seakan bergerak, jadi semacam riak air yang makin kuat.
”Rinto, maafkan, aku tidak bisa!” kataku Aku tak tahu bagaimana reaksi Rinto atau Martin. Mudah-mudahan mereka mendengar suaraku yang nyaris tak dapat keluar. Dadaku terasa sakit menahan tangis. Aku merasa tubuhku melayang kemudian terhempas. Rasanya gelap dan sepi sekali! Aku merasa masuk ke pusaran air yang berriak di kakiku. Ada titik pusaran seperti air. Lalu memutarku sangat kuat. Aku tak mampu menahannya, terseret ke dalam. Dalam sekali dan gelap serta dingin membeku.
Aku membuka mataku ketika merasakan ke dua tanganku digenggam kuat-kuat. Aku juga merasakan elusan di dahiku. Meski berat, aku mencoba membuka mataku.
”Linda, Linda!” kudengar Martin memanggilku. Aku mencoba bangun, tapi kepalaku berat. ”Tiduran saja dulu” kata Martin menyuruhku. Kudengar lagi suara Martin. ”Dia sudah sadar!” Aku tetap berbaring, membiarkan Martin memegangi tanganku. Baru kuingat, tadi kami bersama Rinto. Kemudian kudengar suara Rinto.
”Linda, ini aku, Rinto” katanya. Aku buka mataku lagi, dia ada di sisi lain tempat tidur. Aku mencoba tersenyum, tapi mataku berat, jadi aku menutup mataku lagi.
” Rinto, kita biarkan dia tenang dulu. Hal seperti ini yang sering kuhadapi. Linda sering pingsan, apalagi kalau pikirannya berat. Aku ingin Linda tenang, yakinlah aku akan memperlakukannya dengan baik” kudengar Martin bicara.

”Aku juga ingin kasih tahu satu hal, Linda pernah operasi satu setengah tahun setelah menikah denganku. Tumor payudara! Sering pingsan dengan tumor ini ada kaitannya atau tidak, aku belum dapat penjelasan dokter” kata Martin. Kudengar suara Rinto bergumam, kaget.
”Sebenarnya dia sudah tahu sebulan setelah kau berangkat ke sana” kata Martin melanjutkan. ”Dia kubujuk untuk berobat, tapi obat-obatan sangat menyiksanya. Pusing dan muntah semalaman” kata Martin menjelaskan.
”Tumor, seberapa parah?” kata Rinto terkejut, kudengar Rinto bicara,.
”Tumor sudah diangkat. Hasilnya lab saat itu tidak mengkhawatirkan. Tapi harus kontrol terus, takut ada penyebaran lanjutan, jadi tumor yang aktif. Waktu itu dia sebenarnya tidak mau operasi, putus asa, seperti cari mati saja! Dia selalu ingat kau. Kenapa tinggalkan dia saat seperti itu?” kata Martin.

” Martin, aku tak menyangka dia sangat menderita menungguku. Dia tidak pernah cerita apa-apa tentang sakitnya di dalam surat. Aku minta maaf!” kata Rinto. ”Terima kasih, kau jaga dia, aku akan kembali ke Belgia” lanjut Rinto.
”Tapi tolong beritahu aku, apapun yang terjadi pada Linda” Rinto memohon. Kudengar suara Martin berjanji pada Rinto. Saat mereka bicara itu, aku merasa ingin sekali bangun, Martin menahanku. Kucoba membuka mataku, terasa lebih baik, tidak pusing lagi kepalaku. Kulihat Martin dan Rinto, duduk di sisi tempat tidur. Kini keduanya duduk berdampingan. Mereka tidak mirip secara fisik, tapi aku merasakan keduanya sama. Sama sama mencintaiku!
”Linda, aku mau pamit!” kata Rinto. ”Maafkan aku ya, aku akan kembali ke Antwerpen minggu depan. Mungkin aku tidak kembali lagi ke Indonesia” katanya memegang tanganku. Aku memandangi mereka berdua.
”Aku kini faham mengapa kau tidak bisa bersamaku. Martin sangat baik, mungkin aku tidak akan sebaik dia” katanya.
”Kita bertiga akan jadi sahabat, okay?” lanjutnya, mengguncang tanganku. Rinto perlahan mencium tanganku, aku merasakan tetesan airmatanya di punggung telapak tanganku. Aku hanya memandang kedua pria yang duduk di sisiku. Memandang mereka dengan airmata yang mulai mengalir.
”Lin, jangan menangis lagi! Aku harus meninggalkanmu bahagia! Supaya kesan terakhirku kamu tetap Linda yang bahagia. Biar aku tenang meninggalkanmu” kata Rinto. Aku menahan air mataku. Rinto kemudian berdiri.
Martin membantuku bangun dan duduk. Kemudian aku mencoba berdiri, Martin menggandengku. Mengantarkan Rinto menuju pintu keluar. Rinto bersalaman kemudian memeluk Martin, lalu dengan pelan berjalan di lorong memunggungi kami menuju lift dengan lampu temaram. Aku melihat Rinto menghilang di koridor ujung, masuk ke lift. Aku khawatir tak akan lagi bertemu dengannya. Aku takut sekali menutup mataku, takut bayangan Rinto akan segera menghilang! Tuhanku, biarkan aku bisa membayangkan Rinto, doaku dalam hati. Tuhanku, jangan kau hapuskan bayangannya di mataku , biar aku dapat bertahan hidup! Aku ingin bersamanya meski hanya dalam bayangan yang tipis di mataku!
Martin menutup pintu dan membimbingku kembali ke tempat tidur.
”Linda, kita tidur disini saja ya, aku mau telpon Mami kasih tahu kita tidak pulang” katanya, kulihat dia bicara di telpon. Martin kemudian berbaring di sampingku, memelukku, mencium pipiku.

”Sekarang sudah lega?” tanya Martin. Aku mengangguk, tapi juga menjawab ”Ya, sedikit” jawabku. Aku memang merasa lebih tenang, telah bisa menyelesaikan urusanku dengan Rinto.
”Lin, aku ingin tahu, kenapa kau memutuskan ingin tetap bersamaku?” tanya Martin. ”Tadi Rinto kan sudah bersedia berkorban segalanya, keluarganya juga tidak masalah” lanjut Martin. Aku menggeleng, ingin menolak menjawabnya.
”Harus jawab Lin!” katanya mendesak ”Biar aku tenang!” kata Martin lagi beralasan.

”Harus, apa-apaan sih?” kataku. ”Rahasiaku” kataku sambil mencoba menghindari bibir Martin yang akan mencium bibirku. Karena tak berhasil mencium bibirku, dia mengalihkan pada leherku.
”Martin sudah, ah! Kamu sudah tahu kok! Sama dengan Surabaya kok” kataku sambil menutupi leherku. Aku merasa aneh, leherku kosong! Kalung dengan leontin Turquoise itu ada dimana? ”Sebentar.....” ujarku, menatap Martin, dia menghentikan ciumannya.
”Kenapa?” katanya, kemudian duduk.
”Martin, kalungku hilang!” kataku panik.
”Biar saja!” katanya tak peduli, mulai lagi menyerangku dengan ciuman. Aku heran dan gemas, masa kalung semahal itu hilang tidak dicari! Aku cubit pinggangnya kuat kuat.
”Martin, ayo bantu aku cari!” pintaku. Martin tergelak. Ih... orang ini malah tertawa!
”Kenapa, takut dimarahin Mami?” kata Martin menebak.
”Tenang Lin, jawab dulu yang tadi kutanya. Pasti kalungnya ada lagi” katanya.
”Apa alasannya?” desaknya. Kali ini sungguh-sungguh minta jawaban.
”Martin, begini ya, karena Inge dan Cyril” kataku. Martin terlihat kaget, dia kemudian menunduk. Kulihat sedikit airmata mengalir di sudut matanya. Aku tak tahan melihatnya. Ini ke empat kalinya aku menemukan Martin menangis. Dulu, sekali, pertama kali kami bercinta, kedua, saat dia tahu aku kena tumor payudara dan di rumah sakit sepulang dari Surabaya. Aku bangun, memeluknya.
”Martin, aku ingin bersamamu! Aku tidak sanggup lagi berpisah dengan kalian semua!” kini kami berpelukan, menangis bersama. Aku bahagia berada dalam pelukannya, di malam penuh konflik ini.
Martin melepaspan pelukannya, merogoh saku celananya. Mengeluarkan kalungku. ”Ini dia!” katanya. Oh syukurlah! Itu kalung kebahagiaanku. Kalung dengan leontin Turqouise, batu berwarna birunya yang cemerlang dengan emas murni! Martin untuk kedua kalinya mengenakannya ke leherku. Kembali mencium leherku. Kali ini terasa sangat indah!

Ambulance


Sepulang dari Bandung untuk menghadiri pesta kecil merayakan lima tahun pernikahanku dengan Martin, acara kejutan buat kami dari orang tuanya, aku dan Martin mulai lagi dengan kesibukan kerja masing masing. Aku melaksanakan kegiatan promosi untuk produk baru dengan peninjauan ke kantor cabang dan outlet di Medan, Padang, Batam dan Palembang selama sepuluh hari. Kemudian tambahan perjalanan sekitar lima hari, mengunjungi kantor cabang di Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Memberikan pengarahan dan training untuk display dan promosi. Bertemu dengan para pemilik toko, untuk menegosiasikan beberapa perubahan counter untuk renovasi.
Martin meninggalkan rumah dua hari setelah aku berangkat. Seminggu di Malaysia dan Singapore. Dua hari kemudian dia pergi ke Ujung Pandang dan langsung akan ke Semarang. Jadi sudah dua minggu aku tak bertemu dengannya. Kami hanya sempat berkomunikasi via telpon sepulang Martin dari Singapore. Waktu itu dia menelponku ke hotel sewaktu aku di Palembang.
Aku baru menyelesaikan laporan kunjunganku, menyerahkan pada Yati, sekretarisku untuk diketik, memintanya check semua bon-bon dan segala macam pengeluaranku selama perjalanan. Aku juga minta Nancy, asistenku untuk menyusun laporan promosi dan problem dan keluhan semua daerah yang kukunjungi.
”Nancy, aku rekam semua pembicaraan selama bertemu dengan pengelola toko, orang cabang dan anak-anak SPG. Ini kaset-kasetnya. Catat dan buat resumenya untuk rapat Senin depan” perintahku pada Nancy. Nancy sangat dapat kuandalkan. Dia fasih berbahasa Inggeris, mudah bergaul, tahu korespondensi jadi kalau sekretaris kantor kami tak hadir, semua dia yang atur. Nggak ada supir, bukan masalah! Dia bisa bahkan bisa setir mobil box pengantar barang! Yang lebih hebat, dia cantik! Dia gadis campuran yang ajaib! Ayahnya Nancy, beribu wanita Madura Jawa dan bapaknya pria asal Minang dengan darah Indo-Belanda. Menurut Nancy, neneknya dari pihak ibu adalah wanita asal Manado campuran Ambon dan Jepang. Hasilnya, gadis yang lincah, cantik, pintar. Malah untuk program tahun depan, aku telah menyusunnya bersama Nancy. Input darinya bagus dan dapat dilaksanakan, jadi kuterima. Aku malah tantang dia untuk bikin action plan detail.Meski bolak balik Tanya, tapi dia gigih sekali mengerjakannnya.
”Okay Mbak, beres! Setelah makan siang aku kerjakan” kata Nancy.
Sudah hampir waktu makan siang, aku menunggu telpon dari Martin. Dia tahu aku sudah kembali ke Jakarta. Hari ini dia akan ke Semarang katanya atau malah sudah berada di sana pikirku.
Sudah jam satu kurang sepuluh menit, aku baru saja menyudahi makan siangku, tak mampu menghabiskannya. Semangkok sop ayam dan sayuran serta nasi putih. Hari ini aku tak berselera makan. Aku makan di ruang kerjaku saja, malas keluar meski diajak Mbak Fanny dan Riri dari bagian keuangan untuk makan ke mall dekat kantor kami. Aku mau tunggu telpon Martin. Aku dari jam sepuluh sudah ingat Martin terus. Kangen sekali rasanya. Aku senang sekali ketika tiba-tiba telpon berdering di mejaku, kupikir pasti itu telpon dari Martin. Dengan gembira kuangkat telpon. Suara operator, memberitahukan ada tamu untukku, sedang menunggu di ruang tamu. Setahuku hari ini aku tidak ada rencana bertemu seseorang.
Aku merapikan diri, kemudian keluar menemui tamuku. Ada dua orang pria, Richard Mc Gill, General Manager kantor Martin, pria asal Amerika itu beberapa kali pernah bertemu denganku dalam acara kantor Martin. Satu lagi seorang pria muda, berpakaian rapi sekali, aku belum pernah melihatnya.
Kenapa dia ingin bertemu denganku? Keduanya menyambutku, menyalamiku. Mc Gill kemudian memperkenalkan temannya, Pak Budianto, seorang staf Hubungan Masyarakat sebuah penerbangan. Aku mengajak mereka duduk di ruang tamu kantor kami.
”Mrs. Wiradisurya” Mc Gill memulai pembicaraannya, menyapaku secara resmi. Oh....... ada apa ini? Ada apa dengan Martin? Aku mulai curiga.
”Bapak ini, Mr. Budianto memberitahu kami, pesawat yang ditumpangi Mr. Wiradisurya mendarat darurat di airport Semarang” katanya mengagetkanku. Aku merasa, Mc Gill seperti membaca kalimat yang terus ia hapalkan. Aku tahu dia tak terlalu pasih berbahasa Indonesia.
”Ibu, kami ingin Anda bersama kami pergi kesana sekarang dengan penerbangan pertama” Pak Budianto memulai bicara. Kata-katanya, pelahan tapi seakan menggodamku dengan palu. Aku bagai terhempas! Martin!
”Oh... bagaimana Martin?” tanyaku panik. Petugas Humas itu mencoba menenangkanku. Aku benar-benar panik.
”Begini Ibu, kami menerima kabar, beberapa penumpang ada yang terluka. Tapi kami belum dapat data detailnya. Saya mewakili perusahaan menyampaikan hal ini. Kami akan membantu semaksimal mungkin agar Ibu bisa segera bertemu suami Ibu” katanya. Halus, santun, tapi sungguh tak berhasil membuatku tenang. Aku terduduk lunglai di kursi tamu. Mc Gill mencoba menenangkanku, menawarkan untuk menghubungi keluargaku. Aku akhirnya memutuskan akan pergi sendiri, sampai aku tahu kondisi Martin yang sesungguhnya. Aku hanya ingin Mirna atau mas Leo yang tahu.
Aku menghubungi Mirna, sambil berusaha tenang, tidak menangis memberitahukan hal ini. Mirna sangat kooperatif, meski juga terguncang mengetahui adik kesayangannya belum jelas nasibnya. Aku katakan aku tidak berani langsung bicara soal ini pada Mami dan Papi. Aku kemudian menelpon Papaku, beliau yang akan menyampaikannya pada mertuaku nanti. Lalu minta Nancy memberitahu bosku, aku akan pergi ke Semarang menyusul Martin. Aku pergi langsung ke airport bersama McGill dan Pak Budianto.

Mudah-mudahan Martin selamat! Tuhan tolong Martin, tolonglah kami! Doaku sepanjang perjalanan ke airport. Semua prosedur keberangkatan ke semarang itubdiurus Mc Gill, aku hanya bisa duduk menunggu pesawat berangkat. Banyak orang yang mengurus keberangkatan mereka, semua para keluarga yang satu pesawat dengan Martin. Ada banyak berita, semua simpang siur! Petugas penerbangan juga hanya tiga orang yang melayani sejumlah besar pertanyaan para keluarga. Tak terjawab semua, terutama yang paling dasar, bagaimana keadaan keluarga kami. Panik, kesal dan khawatir!
Aku benar-benar ketakutan. Tiga minggu lalu aku telah kehilangan Rinto, melepaskannya pergi dengan begitu berat dan sedih. Tapi saat itu masih ada Martin di sisiku. Sekarang, kalau Martin juga pergi...... aku harus bagaimana? Tuhanku... jangan biarkan Martin meninggalkanku, doaku berulang-ulang. Berilah kesempatan padaku, tolonglah kami! Tuhanku ,aku akan baik pada Martin! Aku heran, aku tak mampu menangis.
Mc Gill menemaniku hingga masuk pesawat, dia berjanji akan menyusul dengan pesawat lain. Mc Gill menyerahkan sebuah bungkusan, jaket yang dibelinya di counter dekat ruang tunggu dan sekotak coklat. Itulah yang yang kubawa selain tas kerjaku. Untung hari itu aku mengenakan celana panjang dan blus lengan panjang dan jaket pemberian Mc Gill, jadi cukup hangat di pesawat.

Ternyata pesawat yang ditumpangi Martin bukan mendarat darurat seperti Pak Budianto katakan padaku. Tapi pesawat tergelincir ketika mendarat. Aku sama sekali tak berani melihat pesawat yang tadi pagi membawa Martin. Sekarang berada di ujung dekat hanggar, sudah di tarik. Para penumpang yang terluka sudah di angkut ke rumah sakit, jadi kami menyusul ke sana, dengan bus.
Ada delapan belas orang yang terluka, Martin diantaranya. Luka di kepala sebelah kiri dan patah tangan kiri. Ketika bertemu dengannya, dia sudah di kamar perawatan, berbaring dengan selimut menutupi kaki dan dadanya. Kepalanya di balut, mata kanan dan bibir bengkak. Kedua kakinya memar memar di beberapa tempat. Tangannya sudah di gips. Luka gores di punggung tangan kanan, sudah diobati, tapi tidak di verband. Darah mulai mengering pada luka itu. Martin belum boleh bangkit dari tempat tidur. Dia masih harus menunggu pemeriksaan kepalanya, khawatir ada gegar otak. Ketika melihatku datang, Martin melambaikan tangan kanannya. Tuhanku, terima kasih dia masih hidup! Aku bergegas memeluknya, menangis terharu. Bersyukur Martin masih hidup! Aku tak mampu membayangkan bila Martin meninggalkanku saat ini.
Aku kemudian menghubungi Mirna, mengabarkan kondisi Martin, meminta Mirna mengabarkan pada Papi dan Mami serta anak-anak. Aku juga langsung menelpon ke rumah Mama. Papa yang angkat telpon, dia menunggu kabarku dan akan segera menyusulku ke Semarang. Aku mendengar suara Mama, dia sudah tahu rupanya. Aku minta mereka untuk tetap di Jakarta, tak usah menyusulku. Aku katakan aku mau bawa Martin pulang secepatnya. Aku juga menelpon Richard Mc Gill.
Dua hari Martin dirawat, aku menginap di rumah sakit menungguinya. Tak berniat menginap di hotel, meski ditawarkan pihak perusahaan penerbangan itu. Bos Martin, Mc Gill memenuhi janjinya, datang esok hari. Aku, Martin dan McGill memutuskan untuk membawa Martin kembali ke Jakarta. Minta pihak rumah sakit agar mengizinkan Martin di rawat di Jakarta saja. Sorenya, dengan ambulance, Martin dan aku berangkat ke airport Ahmad Yani untuk kembali ke Jakarta.
Ternyata ada tiga orang penumpang yang terluka seperti Martin yang juga kembali ke Jakarta. Seorang dokter dan dua perawat mendampingi para pasien untuk penerbangan ke Jakarta. Mc Gill telah menghubungi pihak rumah sakit di Jakarta untuk menjemput Martin di bandara. Mc Gill, mengambil alih tugas Martin, jadi dia akan tinggal di Semarang beberapa hari lagi.
Sesampai di Jakarta Martin dan aku langsung ke rumah sakit juga dengan ambulance. Mobil ambulance telah siap mengangkut Martin dan dua pasien lainnya. Jadi di tiga ambulance itu konvoi menembus kemacetan kota Jakarta senja hari. Suara sirene ketiga mobil itu menghalau mobil-mobil yang menghalangi jalan. Selama penerbangan Martin tidak mengeluh kesakitan, mual atau muntah.
Di dalam ambulance ini dia lebih ceria, minta aku memegangi tangannya. Dokter Budiono yang duduk di sampingku sampai tersenyum. Dua perawat lainnya berada di mobil-mobil lainnya mendampingi pasien lain.
”Kalian pengantin baru?” tanyanya. Aku menggeleng. Martin tersenyum.
”Lin, Papi Mami sudah diberi tahu ya?” tanya Martin.
”Sudah. Sekarang semua tunggu kamu di rumah sakit. Tadi aku sudah telpon ke rumah” sahutku. Kulihat Martin murung.
”Berarti anak-anak juga dibawa?” katanya. Aku mengangguk.
”Lin, nanti kau pegang Inge ya, aku khawatir dia jadi ketakutan lihat aku berdarah-darah gini” kata Martin. Aku juga sebenarnya memikirkan reaksi anak-anak melihat Martin.
”Oh.... rupanya kalian sudah punya anak, saya kira benar-benar pengantin baru” kata Dokter Budiono.
”Anak kami dua orang, masih kecil. Mereka belum pernah lihat saya sakit begini. Jadi saya agak khawatir Dok! Terutama yang kecil, anak perempuan” sahut Martin.
”Kalau begitu, nanti Ibu turun duluan, tenangkan anak-anak. Baru saya keluarkan Bapak. Karena bukan sifatnya emergency lagi, jadi saya bisa sedikit atur waktu” kata Dokter Budiono.
”Wah terima kasih Dok” ujarku. ”Maaf merepotkan Anda” kata Martin.
”Oh.... tidak apa-apa! Anak-anak memang harus diperhatikan jangan sampai ada trauma. Mereka masih sensitif. Saya senang kalian sangat memperhatikan dan melindungi mereka” kata Dokter Budiono.
Kami tiba di rumah sakit, langsung ke UGD untuk prosedur pemeriksaan dan kemudian penyerahan pasien. Ketika mobil berhenti, aku sudah melihat keluarga kami berkumpul. Aku tak melihat Inge dan Cyril. Aku turun duluan, berpelukan dengan Papi dan Mami. Menanyakan Inge dan Cyril. Rupanya sedang dibawa Arya beli minuman ke kantin. Martin segera dikeluarkan dari ambulance. Aku minta Mirna mendampingi Martin. Kuberi tahu alasanku untuk mencegat Inge dan Cyril. Aku meminta Ari, adikku memanggil anak-anak. Aku ingin membicarakan tentang Martin dulu, agar mereka tidak shock jika bertemu. Aku agak sedikit risau.
Meski demikian, aku lebih gembira, karena keluarga kami telah menunggu. Papi, Mami, Cyril dan Inge serta Papa dan Mamaku serta Tante Hanum dan Om Burhan. Mirna bersama suami dan anak anaknya malah sudah menunggu di rumah sakit sejak siang hari. Juga ketiga adikku. Malamnya kunjungan dari para sepupuku, Tante-tanteku dan Om-omku, sepupu Martin, staf kantor Martin dan staf kantor ku. Kiriman bunga juga berdatangan dari atasanku dan relasi Martin.
Selama Martin di rumah sakit, Papi Mami tinggal di rumahku, mereka menunggui Martin selama aku ke kantor. Aku menemani Martin malam hari. Anak-anak sudah kembali ke Bandung bersama Mirna. Beruntung, luka Martin tidak berbahaya, juga tidak ada gegar otak. Martin keluar rumah sakit empat hari kemudian.
Sudah seminggu Martin kembali masuk kerja lagi, tapi sekarang dia kemana-mana diantar supir. Tangannya masih digips. Untuk berpakaian masih susah, harus kubantu. Pagi pagi aku mendandaninya dulu, pasang baju dan pantalon serta dasi.
“Martin, rasanya aku seperti bantu Cyril pasang seragam SD mau berangkat sekolah ya?” kataku menggodanya. Martin ketawa mendengar komentarku.
”Maaf Lin, pasti kau capek sekali dua minggu ini” katanya.
”Martin, sekali-sekali aku kan boleh melayanimu. Selama ini kalau aku sakit selalu kamu yang repot!” kataku sambil memasukkan kemejanya ke dalam celana panjang, menarik ritsluiting , mengancingkan dan mengunci dengan ban pinggangnya.
”Martin, hari ini aku akan ke Bogor, pulang sore. Kita makan malam di rumah saja. Nanti aku bawa makanan” lanjutku. Aku kini sedang memasangkannya dasi. Dia cuma mengangguk.
”Nah, sudah beres, ayo sarapan!” kataku.
Memang sejak Martin patah tangan, kami sering makan malam di rumah. Nggak enak rasanya menyuruh supir lembur hanya untuk mengantar kami pergi makan malam. Apalagi kami sering belum tahu mau makan apa dan dimana. Jadi biasanya tak tahu jam berapa baru selesai dan pulang ke rumah. Berkeliling, mencari rumah makan yang ada sepanjang jalan, sambil ngobrol. Kadang juga pergi saja numpang makan di rumah Mama atau Tante Hanum! Bagiku Tante Hanum seperti ibuku, dia akan repot menyuruh pembantunya masak bila tahu akan ke rumahnya. Sama seperti Mama.

Aku dari rumah langsung berangkat ke Bogor, ke pabrik pakaian jadi milik perusahaan tempatku bekerja. Rapat dengan bagian produksi dan gudang bahan baku dan barang jadi. Ada rapat untuk mengatasi problem barang yang dibuat tak terjual, minta bagianku untuk membantu. Aku heran barang apa?
Manager Pemasaran, atasanku Pak Wirawan juga sudah datang. Dia membisikkan padaku bahwa barang yang dibuat dan jadi stock bermasalah itu bukan order dari kami, Bagian Pemasaran. Itu barang inisiatif bagian produksi, jadi waktu coba ditawarkan ke agen macet total, kurang sukses. O... begitu, aku baru jelas. Pasti ramai rapat ini, pikirku.
”Salah mereka sendiri, sekarang baru minta bantuan kita Lin!” kata Pak Wirawan. Wow... pantas Bu Herwati yang mengundang rapat, dia kan yang menentukan produksi. Pasti nyanyian sumbang bos besar tentang stock menumpuk, bunga bank yang tinggi dan lain-lain bikin dia panik! Baru aku tahu, produk itu sudah enam bulan di Gudang Barang Jadi! Sudah pernah jalan-jalan ke beberapa agen kecil yang tak digarap petugas Bagian Pemasaran, lalu kembali lagi ke gudang!Ini aksi diam-diam rupanya! Merepotkan orang distribusi saja, kata Pak Wirawan mengutip keluhan Pak Ismedianto, Manager Distribusi.
Aku terharu juga, biasanya Bu Herwati sok jago terus! Permintaan kami, Bagian Pemasaran pada barang yang kencang penjualannya selalu terhambat olehnya. Alasannya macam-macam. Dia punya bahan baku lain yang harus dihabiskanlah! Schedule produksi yang padatlah! Karyawan tidak mau lembur lah dan sebagainya! Dia juga bilang permintaan kami terlalu banyaklah! Nggak sesuai dengan Sales actual! Kata-katanya dulu menyakitkan kami, Bagian Pemasaran.
Pak Wirawan dalam rapat, sambil bercanda menyindir Bu Herwati, ”Tenang Bu Herwati, urusan ini orang Pemasaran jagonya. Linda nanti yang atur. Barang jelek juga pasti bisa kami jual! Yang penting you musti bikin barang berdasarkan order kami!” Aku cuma bisa senyum saja melihat bos Bagian Produksi itu mengangguk-anguk takzim, mendengar barang produksinya disebut jelek. Apalagi bos besar, maksudku Presiden Direktur kami muncul dengan perintah sangat lugas.
”Bu Herwati, you jangan produksi apa-apa kalau Marketing tidak setuju!”katanya, campuran bahasa inggeris, Indonesia terasa lucu terdengarnya.
Horre... kami menang! Satu kosong sekarang! Kami, Bagian Pemasaran memang selalu ada konflik dengan bos Bagian Produksi ini.
Belum selesai kegembiraan kami, Bos besar kedua, GM yang biasanya pendiam, juga mengutik-utik tingkah Manager Purchasing bahan baku, Mas Yulius. Dia sobat karib dan rekan kerja paling kompak Bu Herwati.
”Mr. Yulius juga konsultasi sama Marketing, karena gara-gara memaksakan beli bahan tertentu, jadi produksi jelek. Bagian desain lapor, sulit rancang dengan bahan terbatas .Marketing nggak bisa jual!” Kata bos besar kedua ini, dia putra mahkota perusahaan ini. Tuan Muda lulusan universitas di Amerika ini jarang bicara, selain bahasa Indonesianya masih belum beres, karena sejak SMP tinggal di Los Angeles, dia kelihatan memang pendiam. Rupanya diam-diam dia sudah tahu klik dalam perusahaan ayahnya. Hebat! Suksesi berarti akan lancar di perusahaan ini.
”Oh ya, Miss Linda, May I have your strategy for this case? Tolong fax grand designnya, okay?” katanya. Dia ingin tahu rencanaku untuk menjual produk gagal ini. Aku tahu, dia disuruh belajar oleh ayahnya untuk mengelola usaha keluarga ini. Aku mengangguk.
”Sekarang juga saya sudah ada ide” kataku, membuatnya tercengang. Pak Wirawan sudah tidak kaget. Tadi dia pesan padaku, kita bom saja! Maksudnya aku suruh pamer kemampuan Bagian Pemasaran, biar sedikit kasih pelajaran pada Bagian Produksi dan Purchasing.
”Oh ya! Come on, tell me now!” pinta pemuda berkacamata minus sang putra mahkota, gembira sambil membetulkan letak kacamatanya. Yang lain terpaksa membatalkan membenahi alat tulis dan kertas-kertas di hadapan mereka. Padahal tadi rapat sudah hampir selesai, mereka kira. Aku siap-siap presentasi.
”Kita lakukan dengan tools promotion mix. Pertama, Sales Promotion dengan kemasan special, karena produk terlihat jelek. Kemasan baru dengan design exclusive akan menolong konsumen mendekati barang sewaktu di display. Produk itu, selain untuk diri sendiri, dapat dibuat hadiah atau koleksi. Berikan sedikit diskon jika membeli dengan jumlah nilai tertentu. Kedua, beritahukan pada konsumen produk ini dan program promosinya dengan beriklan di media cetak, sebagai produk baru, memasang POP, dan leaflet. Tambahkan special tag pada karton berisi info produk pada setiap barang. Sedang ketiga, Display dan visual merchandising khusus di setiap counter. Sales akan di training khusus untuk produk baru ini. Untuk sementara strategi kami seperti itu. Semoga stock yang begitu tinggi segera kering. Terima kasih” kataku mengakhiri presentasi.
Tak kusangka bos besar bertepuk tangan, membuat Bu Herwati terpaksa juga mengikuti. Pak Wirawan masih menunggu tembakan terakhirku!
”Okay, laksanakan!” kata bos besar. Bos kedua mengangguk takzim pada ayahnya. Bu Herwati terlihat lega. Seakan beban sudah diambil dari pundaknya. Pak Wirawan lagi-lagi melirikku, tersenyum penuh arti. Okay, sekarang aku akan menyulut meriam kami! pikirku.
”Baik Pak, hanya semua biaya diambil dari mana? Budget Promosi saya sudah di pasang pada program satu tahun. Produk Bu Herwati tidak masuk disana. Saya tidak bisa ambil dana cadangan Promosi. Bisa mengganggu kalau ada kompetitor bikin program mendadak. Itu dana antisipasi, bukan dana menganggur” kataku, membuat murung Bu Herwati.
Aku sudah menduga, dia kira beban di punggungnya sudah pindah ke pundak kami, jadi merasa lega.”Kita tak sekeluarga!” itu ucapan Pak Wirawan ketika kami masuk ruang rapat ini. Jangan pakai dana pemasaran, maksudnya. Tembakanku mengenai sasaran. Pak Wirawan menunduk, pura pura menulis di bloknotenya. Kulirik dia, rupanya malah menggambar. Sebuah mobil dengan tulisan ambulance. Nakal sekali!
”Gampang, Dana dari Bagian Produksi karena ini ulah mereka, you kan sudah sumbang tenaga. Budget promosi nggak boleh diganggu” kata bos besar. ”Linda, you atur sama orang Finance, semua pengeluaran untuk produk ini pakai kode expenses Bagian Produksi, jadi you tak kehilangan budget. Okay!” katanya, berdiri meninggalkan ruang rapat. Maka ambulance di blocknote Pak Wirawan berjalan angkut korban korban, beriringan. Bu Herwati terlihat lunglai mengemasi berkas-berkasnya. Mas Yulius menghibur dengan kata-kata ajaib. Kami pulang ke kantor kami di Jakarta seperti dari medan perang penuh kemenangan!
Rapat usai sebelum makan siang, jadi aku kembali ke kantor pusat di Jakarta. Masih ada urusan dengan biro iklan untuk kampanye produk baru kami, tiga bulan lagi. Pakaian santai dan olah raga untuk para remaja. Aku mau kasih brief, penjelasan singkat tentang produk kami supaya mereka buat proposal kampanye periklanannya. Hari ini aku juga sekalian ambil sample produksi ke bagian merchandiser, ibu Miya.
Selesai memberikan brief pada dua account executive biro iklan, Mbak Saras dan Lina, aku merasa ingin ke toilet. Oh.... rupanya aku haid, pantas hari ini perutku terasa tak nyaman. Kaki juga pegal. Aku kembali ke meja kerjaku. Ambil pembalut dan celana dalam, yang selalu kusiapkan dilaci. Okay, sekarang aman, aku kembali melanjutkan kerjaku. Memanggil Nancy menyuruhnya bikin detail program promosi untuk produk Bu Herwati. Setelahnya duduk di kursiku membaca beberapa surat masuk, menandatangani beberapa tagihan biro iklan untuk biaya pemotretan dan membaca laporan bagian penjualan khusus pakaian tidur yang sedang kami promosikan.
Ada catatan kecil dari Indri, Sales Manager untuk Jakarta.
”Mbak, Linda, bisa-bisa stock barangku nggak cukup nih! Sales kebut-kebutan! Bisa bantu dorong Bu Herwati produksi lembur nggak? Sayang kalau barang terputus, hilang moment bagus. Kalau Mbak yang ngomong dia rada takut tuh. Tolong ya, thanks! Jadi barang yang sedang promosi sukses. Surat yang hampir sama kuterima dari kepala cabang-kepala cabang dan agent. Syukurlah, barang yang dipromosikan berhasil.
Aku berdiri ingin mencatat di white board beberapa pesan untuk Nancy , ketika kurasakan di pahaku sesuatu mengalir. Ah.. masa haid begini, pikirku. Aku cepat-cepat ke toilet, memeriksa. Ya ampun... mengapa begitu banyak darah haidku! Perutku mual dan mules. Kuganti pembalutku, duduk kembali di kursiku berniat meneruskan kerjaku. Tapi semakin sakit perutku. Tak kuat rasanya. Sudah jam empat sore. Aku pulang diantar supir. Martin belum pulang, mungkin sebentar lagi. Aku langsung berbaring, perutku sakit sekali.
Karena makin terasa sakit, aku mencoba bangkit untuk mencari balsem. Kupikir bisa membuat lebih ringan sakitnya bila diolesi balsem di perutku. Ketika berdiri itulah aku melihat lagi aliran darah segar di paha dan kakiku. Aku ketakutan, ada apa dengan haidku, begitu banyak dan seperti darah segar saja. Aku berganti pakaian dengan yang bersih, kemudian menelpon Martin,
”Halo, Martin, bisa pulang cepat nggak? Aku sakit perut, mau ke dokter bisa tolong supirmu mengantar? Aku nggak kuat nyetir sendiri” kataku cepat-cepat. ”Lin, kau diare atau apa?” tanya Martin. Aku tak berani mengatakannya.
”Nanti saja ceritanya, bisa pulang kan Martin?” tanyaku lagi.
”Bisa, tunggu ya segera pulang” katanya, terdengar khawatir.
Rasanya menunggu Martin begitu lama, hampir tak tertahankan. Perutku sakit sekali. Aku tiduran di kursi dekat meja telepon. Mencoba tidur, kuangkat kakiku. Kurasakan darah masih saja mengalir. Aku merasa lemas. Kupikir ini bukan sekedar haid. Ya... terakhir aku haid tanggal....., aduh aku lupa. Ya ampun, dua bulan lalu! Jangan jangan… aku tak berani meneruskan! Aku begitu teledor dengan hal ini. Kudengar pagar dibuka, Martin muncul dengan tas kerjanya.
”Lin, sakit perut katamu, muntah-muntah ya?” tanya Martin, segera melihatku berbaring di kursi.
”Mukamu pucat sekali, ayo kita berangkat ke dokter!” katanya. Aku menurunkan kakiku, mencoba bangkit dari kursi.
”Martin, mungkin aku pendarahan!” kataku. Martin melihat, daster bagian belakangku sudah penuh darah, juga kursi. Dia kaget sekali.
”Ayo, cepat Lin, cepat!” katanya panik. Memapahku dengan tangan kanannya, berteriak pada supir untuk membukakan pintu mobil. Kemudian memapahku masuk mobil.
Kami ke sebuah klinik dekat rumah, kebetulan sudah buka, Tetapi dokternya belum datang. Terpaksa pergi ke rumah sakit swasta sekitar tiga kilometer dari rumah. Ingin cepat-cepat, tetapi jalanan macet disaat orang sedang pulang kantor. Aku merasa dingin meski Martin memelukku.
Aku masuk unit gawat darurat, aku banyak kehilangan darah. Dokter menyatakan aku keguguran! Aku sudah tak terlalu kaget lagi, Martin yang benar-benar shock! Malam itu juga aku harus di kuret, mengambil sisa konsepsi, calon bayi. Bius total, aku baru tersadar setelah tengah malam. Martin dan Mama menungguiku. Tapi benar-benar tersadar setelah pagi hari.

Martin tidak ke kantor, menemaniku katanya. Mama sudah pamit pulang dulu, nanti siang baru kembali lagi. Tadi malam kata Martin, berkumpul banyak sekali keluargaku. Aku masih berbaring di tempat tidur, tidak diizinkan bangkit oleh Martin. Dia melap mukaku dengan handuk hangat. Menyuapiku makan pagi.
Dia masih sakit sebetulnya, tangan kirinya masih di gips. Kami ini benar-benar pasangan yang pas, pikirku. Martin masuk rumah sakit, aku juga ikut-ikutan masuk rumah sakit juga!
”Linda, kemarin aku khawatir sekali, darah berceceran di kamar sampai ruang tamu” katanya. Kata dokter Irwan tadi malam, kau hamil sepuluh minggu, kenapa tidak bilang aku?” tanya Martin menyesaliku.
”Martin, aku kan haid tidak teratur, jadi kupikir cuma terlambat biasa” kataku. ”Lagipula waktu minggu-minggu lalu kita sibuk, jadi tak teringat lagi” lanjutku. Martin terdiam mendengar penjelasanku. Kemudian dia memandangku.
”Linda sejak kapan kau tidak minum pil itu lagi?” katanya, mengagetkanku.
Oh.. ternyata dia tahu, aku selama ini minum pil anti hamil itu! Mengapa selama ini dia tidak pernah menanyakannya?
”Martin, sejak kapan kau tahu aku minum pil itu?” Aku balik bertanya. Martin tersenyum.
”Sudah lama Lin, sejak kita menikah kan?” jawab Martin.
Aku memejamkan mataku, tak menyangka dia begitu kuat menyimpan rahasiaku. Berpura-pura tidak tahu. Selama lima tahun, dia menyimpan sendiri. Merasakan penolakanku atas kehadiran dirinya. Kasihan sekali, aku berdosa padanya.
Selama ini aku tak pernah meminta pendapat Martin tentang pil itu. Aku merasa itu tak perlu minta izin darinya. Waktu itu aku juga berharap bisa meninggalkannya, menyusul Rinto. Benar-benar keputusanku sendiri. Tapi Martin kelihatan tak kecewa.
”Linda, mengapa tidak minum pil lagi?” tanyanya lagi ingin tahu.
”Martin, sebenarnya, aku sudah tak telan pil-pil itu sejak kita pulang dari Surabaya” kataku menjelaskan. Martin tentu saja kaget.
”Jadi selama ini......?” katanya menggantung tak melanjutkan ucapannya.aku memang tak membuang pil itu dari laci mejaa riasku.
”Ya... aku membiarkannya. Tidak berharap banyak tapi juga tak menolak seandainya aku nantinya hamil. Tapi ya begini jadinya!” kataku menjelaskan. Martin memelukku, aku tahu dia terharu.
”Martin, sebenarnya aku sudah tahu haidku terlambat saat kita di Bandung itu” kataku. ”Tapi kemudian jadi terlupakan” lanjutku.
”Linda, setelah ini, harus beri tahu aku ya kalau terlambat haid?” katanya tersenyum.
”Aku takut kalau hal ini terjadi lagi, pendarahan begitu hebat, bahaya sekali!” lanjutnya, menggenggam tanganku.
”Linda, aku ingin bila kau hamil, kita menjaga kandunganmu bersama-sama. Kita benar-benar mengharapkannya lahir ke dunia ini karena kita menginginkannya. Menunggunya dan menyambut kelahirannya dengan hati gembira”kata Martin.
”Selamat Pagi! Kudengar suara seorang pria, kini berdiri di pintu kamarku dirawat. Oh dia rupanya Dokter Irwan yang akan memeriksaku.
”Maaf, saya tadi mendengar ucapan Anda Pak” katanya pada Martin. ”Itu betul, Bu!” katanya. ”Kehamilan yang dipersiapkan dan dijaga bersama-sama akan sangat berdampak positif bagi bayi dan ibunya. Ayah harus punya peran dalam menjaga kehamilan dan persalinan” katanya. Kami mengangguk setuju, kemudian dia memeriksaku di tunggui Martin. Dokter Irwan memastikan dalam tiga hari aku sudah bisa keluar dari rumah sakit.
Saat Dokter Irwan bicara itu, Inge menerobos masuk! Wow.... pasti subuh tadi mereka berangkat ke Jakarta. Langsung bicara padaku.
”Mama, kata Oma Mama sakit, jadi adik bayi Inge nggak jadi lahir!” katanya, memelukku. Cyril masuk, juga dengan pertanyaan yang lucu.
”Mama, kalau Mama sudah sembuh, adik bayinya ada lagi nggak?” katanya setelah menyalami dan mencium pipiku. Kemudian kulihat Papi, Mami dan Mirna dan anak anaknya.
Martin memperkenalkan mereka pada dokter Irwan. ”Oh.... ini anak-anak Anda?” tanyanya heran. Aku mengangguk mengiyakan. ”Cantik seperti ibunya, ganteng seperti bapaknya” katanya memuji dan menyalami.
Aku tahu, sebagai dokter ahli kandungan dia telah memeriksaku, pasti heran mendapati fakta aku telah punya anak. Padahal tanda-tanda pernah melahirkan belum ada padaku. Biarlah lain kali kujelaskan pada dokter Irwan. Anak-anak paling tidak suka kalau aku memperkenalkan mereka sebagai anak tiriku! Aku tak ingin mereka sakit hati. Seorang temanku sekarang sangat tidak disukai mereka berdua gara gara sapaan akrab temanku. Lia waktu itu bertemu kami di mall. Dia menyapaku sekaligus juga menanyakan mereka. ”Lin...... ini anak-anak Martin ya? Cakep-cakep ya!” katanya memuji.
Dokter Irwan pamit pada kami, akan melanjutkan tugasnya. Kami mengobrol ramai, aku merasa lebih baik dan bisa duduk di tempat tidur.
”Linda, harus jaga kesehatan lho” kata Mami menasehatiku.
”Martin, Mami rasa Linda terlalu lelah. Merawatmu setiap malam di rumah sakit. Seharusnya kalau hamil muda tidak boleh begitu, banyak istirahat” katanya.
”Kenapa kalian nggak bilang Mami kalau Linda lagi hamil?” katanya lagi. Aku buru-buru menjelaskan pada Mami, tak enak hati Martin yang dipersalahkannya. ”Maaf, waktu di Bandung sebenarnya sudah ingin kasih tahu Mami dan Papi, tapi saya belum tahu positif atau tidaknya. Lalu terlupakan karena Martin sakit” kataku mohon maaf padanya.
”Mami, doakan saya ya biar bisa hamil lagi” kataku memohon. Martin, Cyril dan Inge terlihat senang mendengarkan pembicaraan kami. Saat mengucapkannya aku benar-benar tulus mengharapkan doanya. Setelah kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Martin, aku benar-benar ingin bersamanya terus. Aku takut kehilangannya. Aku ingin memenuhi harapannya untuk punya anak dariku. Bukan ikatan perkawinan kami, tapi tanda kasih sayang kami.

CATTLEYA

Sudah jam sepuluh malam, aku baru saja memasukkan anak kunci untuk membuka pintu kamarku. Aku bergegas membuka pintu kamar hotel tempatku menginap di Semarang ini, karena kudengar suara dering telpon dari dalam kamarku. Cepat kuangkat, kemudian mendengar operator memberitahukan telpon dari Jakarta, Martin ingin bicara. Seharian tadi aku tak kembali ke hotel, sibuk dengan kunjungan ke beberapa relasi kantorku. Sudah seminggu aku meninggalkan rumah, kunjungan rutin untuk promosi produk akhir tahun. Mungkin sejak tadi Martin menelponku.
”Halo, Martin, maaf aku baru pulang. Baru saja selesai kasih training di kantor cabang Maaf, belum sempat telpon ke rumah!” kataku memulai pembicaraan dengan Martin. ”Okay, tidak apa-apa Lin, kau sehat kan, besok jadi pulang?” tanya Martin ingin tahu keadaanku.
”Sewaktu aku di Solo dan Jogya memang susah tidur sih, mungkin capek. Kau sudah makan malam?” jawabku terus terang padanya
Martin kudengar sedikit bergumam, lalu kudengar suaranya bertanya lagi.
”Lin, besok pulang ke Jakarta pesawat jam berapa?” Aku agak heran, tak biasanya dia begitu kepingin tahu kapan aku pulang. ”Aku mau jemput ke airport, harus tunggu aku ya!” katanya lagi.
”Aku naik pesawat jam 11 pagi, kira-kira sudah di bandara Cengkareng sekitar jam dua belas. Nggak usah jemput deh, nanti orang kantorku aja. Kau kan sibuk!” kataku. Tapi Martin tetap ingin menjemputku, jadi aku mengalah saja. Dia bilang dia sudah sangat kangen aku. Wow, kami kan sudah sering berpisah karena pergi keluar kota, kok jadi manja ya Martin? pikirku.
Pesawat yang kutumpangi tertunda berangkat hampir tiga puluh menit, jadi aku tiba di Jakarta sudah siang sekali. Aku langsung keluar airport, karena barang bawaanku hanya tas kerjaku, tas tangan dan sekotak besar kue sopia untuk Martin dan Mama. Koperku serta berkas-berkas kerjaan untuk laporan kutitipkan pada mobil box bagian distribusi untuk dibawa ke Jakarta.
Dari balik kaca ruang kedatangan, kulihat Martin berdiri dekat pintu keluar, berdesakan dengan para supir taxi yang menawarkan jasa mereka. Aku lihat Martin rapi sekali, dia jarang pakai blus putih dengan dasi hitam, dia juga pakai jas segala. Kejutan apalagi yang dia buat? pikirku. Selama pernikahanku dengan Martin, dia paling suka bikin kejutan untukku, jadi aku tak merasa aneh. Dia keren banget! Wah penyambutannya hebat sekali, tapi sayang tak seperti di film-film dengan sebuket bunga! pikirku. Aku segera melambai padanya dan bergegas keluar menemui Martin.
Martin memelukku, dan segera mengajakku ke mobil yang di parkir dekat taxi. Rupanya Pak Bin sudah menunggu. Kuserahkan kotak kue untuk di simpan di bagasi. Masuk ke dalam mobil bersama Martin. Kulihat pakaianku, setelan celana panjang dan blazer, lengkap dengan blus di dalamnya, berwarna hitam tergantung di dekat pintu mobil, masih dalam plastik laundry.
”Martin, ini bajuku kok ada di mobil?” tanyaku. Martin baru saja menutup pintu mobil dan menyuruh Pak Bin berangkat.
”Lin, aku sengaja bawa, mungkin kau perlu baju ganti” katanya. Kupikir ini orang suka sekali bikin kejutan!
”Ah nggak, aku pakai ini saja. Langsung pulang kan?” tanyaku.
Hari ini aku mengenakan celana panjang warna biru tua, blus putih lengan pendek dengan bros perak pada kerah, blazer pendek biru tua sebagai pasangannya. Untuk perjalanan kantor, aku selalu cari yang praktis, tak cepat kotor, nyaman dipakai dan tetap bisa untuk suasana formal. Aku hanya pakai jam tangan dan cincin blue safier hadiah dari Martin. Aku juga mengantongi scarf warna abu-abu dengan motif paisley, motif melengkung seperti daun pakis warna putih.
Kulihat Martin kemudian mendekat padaku, melingkarkan lengannya memelukku. Memandangku, aku curiga pasti ada sesuatu yang terjadi.
”Linda, kita ke Kebun Jeruk dulu ya” katanya, pelan.
”Ok, kau ada urusan kantor? Kenapa repot-repot harus jemput aku sih?” tanyaku. Martin bukan menjawab pertanyaanku, malah memelukku. Kini aku semakin heran.
”Martin, ada apa?” desakku. Kulihat mobil kami sudah berada di sekitar perempatan jalan Tomang, membelok ke kanan ke arah jalan Kebun Jeruk. Macet, jam sibuk! Pak Bin kulihat agak tegang, ada apa ini? Mau kemana sih sebenarnya?
”Linda, kita akan menemui Rinto. Dia sekarang sedang menunggu kita di rumah kakaknya, Mas Purnomo” katanya kemudian. Aku kaget tentu saja, kapan dia datang dari Belgia? Tujuh bulan lalu kan dia bilang tak ingin menetap di Indonesia lagi. Mau apa dia ingin bertemu kami? Oh..... mungkin dia ingin merayakan Natal disini, pikirku. Tapi kemudian aku menyadari bajuku yang dibawakan Martin ini, apakah ada sesuatu? Tapi perkataan Martin kemudian membuatku berhenti berpikir. Aku jadi gugup.
”Martin, ayo ada apa ini?” desakku lagi, menatap Martin. Martin memegangi tanganku, kemudian dengan perlahan mengatakan. Perlahan tapi aku menerimanya bagaikan mendengar petir.
”Linda, lima hari lalu Rinto kecelakaan lalu lintas!” kata Martin.
”Meninggal.......?” ucapku spontan, tapi tak mampu meneruskan ucapanku. Aku merasakan kepedihan yang luar biasa. Aku tidak percaya Rinto pergi untuk selama-lamanya. Tapi Martin tidak akan membohongiku. Kupandangi Martin, dia mengangguk memastikan apa yang dia ucapkan.
”Linda, Ronald mengabariku, jadi kemarin sore, aku sudah melayat. Keluarga Rinto meminta kau datang” kata Martin. Aku menutup mataku, gelap dan rasa terhempas dari tebing yang tinggi!
Aku hanya mampu menangis! Aku tak bisa meneriakkan kepedihan hatiku. Aku lunglai dalam pelukan Martin. Aku kini menyadari Rinto benar-benar pergi! Dia benar memenuhi janjinya, tidak akan tinggal di Indonesia. Martin memijit-mijit keningku sambil berusaha menghiburku.
”Linda, menangislah sepuasmu, jangan di tahan” katanya. ”Sebentar lagi kita akan sampai di rumah Mas Purnomo, kau kuat untuk menemui Rinto kan? Kuat kan untuk mengantarkan dia ke pemakamannya? Jangan khawatir, aku akan selalu bersamamu, ok?” hibur Martin. Aku mencoba memahami ucapan Martin, menyeka air mataku, menyandarkan kepalaku ke dada Martin. Martin kemudian meraih tanganku, memasukkan cincin ke jari manis tangan kiriku yang kosong. Cincin dari Rinto! ”Pakailah cincin ini Lin, biar Rinto senang. Ini harapannya, permintaanya yang tak pernah kau penuhi!” kata Martin. Aku sangat terharu, tapi juga sedih. Ini pertamakali aku memakai cincin ini, setelah dia tiada pula! Aku merasa bersalah pada Rinto.
Mobil kami berbelok ke kiri ke sebuah perumahan. Di ujung jalan sudah kulihat bendera kecil dari kertas minyak berwarna kuning, tanda seseorang telah meninggal. Ya aku ingat, aku pernah kesini beberapa tahun lalu, berkenalan dengan kakaknya sulungnya. Di jalan masuk telah puluhan mobil di parkir, kami turun di ujung jalan tak jauh dari rumah duka. Kulihat dua kakak Rinto bergegas menyambut kami, membukakan pintu mobil. Begitu lemasnya, aku tak bisa langsung keluar mobil. Rasanya tak kuat, jadi aku terpaksa duduk dulu, menenangkan diri. Mas Purnomo dan kakak keduanya, Mas Gunawan serta isteri-isteri mereka, Mbak Winda dan Mbak Lastri menunggu di samping mobil.
Setelah kurasa mampu untuk berdiri, aku menemui mereka. Mereka begitu emosional ketika bertemu denganku, semuanya menangis! Aku merasa kami jadi pusat perhatian para pelayat. Martin kemudian membimbingku, juga di gandeng Mbak Winda menuju rumah yang jaraknya mungkin hanya seratus meter, tapi rasanya begitu sulit untuk dicapai. Aku ingin menghindari kenyataan bahwa Rinto menunggu kami dalam peti matinya! Kulihat jalanan depan rumah sudah terpasang tenda dan di bawahnya banyak sekali pelayat sedang duduk-duduk.
Di ruang tamu yang telah dikosongkan dari kursi tamu, ditempatkan peti jenazah. Kudengar beberapa pelayat diminta keluar, memberi ruang untukku mendekati peti jenazah Rinto. Peti jenazahnya di letakkan di atas penyangga dari besi dengan berroda. Peti jenazahnya masih terbuka, sebagian ditutup dengan kain putih tipis transparan, dengan sulaman salib berwarna putih. Di bagian ujung kaki, diletakkan pada meja kecil foto Rinto dalam bingkai kayu. Itu foto resmi yang dibuatnya untuk paspor, aku mengantarnya ke studio foto saat itu. Dua lilin mengapitnya, menyala. Aku mendekati peti jenazah dibimbing Martin. Kulihat di dalam peti yang berlapis kain satin warna putih, Rinto dibaringkan dengan tenang, ditunggui ayah dan ibunya yang duduk di kursi lipat.
Ayah dan Ibu Rinto mendekatiku, memelukku, menangis. Saudara-saudara Rinto dan isteri mereka mengelilingi kami.
“Terima kasih Linda, sudah datang. Maafkan Rinto ya, dia sudah membuatmu menderita. Maafkan kami nak, tidak memahami persoalan kalian!” kata Ibu Rinto.
”Seharusnya Rinto tahu kami tidak keberatan dia menikah denganmu dan pindah keyakinan. Kami sebenarnya tidak melarang Lin, yang penting dia bahagia, tapi jadi begini” keluhnya Ibu Rinto melanjutkan.
”Tante, sudahlah jangan disesali lagi. Tidak apa-apa” jawabku sambil menahan airmata. Ayah Rinto tidak banyak bicara, dia hanya mengucapkan terima kasih pada Martin yang bersedia membawaku menemui Rinto untuk yang terakhir kalinya. Aku melihat hati keduanya jauh lebih berduka dariku.
Aku kemudian duduk dekat peti jenazah Rinto, memandanginya. Wajahnya tenang seperti sedang tidur, meskipun sangat pucat. Aku hanya beberapa kali pernah melihatnya tidur.Misalnya sewaktu kami dalam penerbangan ke Manado, di mobil ketika bersama-sama ke Bandung dengan Ronald dan Susy. Waktu itu wajahnya dalam tidur, tidak seperti sekarang, bersemangat. Sekarang wajahnya terlihat damai, tanpa semangat. Kulihat ada luka di kepala sebelah kiri dan patah tangan kiri. Kaki Rinto juga memar. Aneh, lokasi lukanya persis luka Martin waktu kecelakaan pesawat! Bibirnya mengatup, senyumnya tertahan, khas Rinto. Matanya tertutup rapat. Ooh...Rinto, aku tidak percaya kau pergi,...... bukalah matamu! bujukku dalam hati. Rinto,....bangunlah!
Seandainya ada keajaiban! Entah mengapa, meski terasa pedih sekali, tanpa tangis aku kini menerima kenyataan Rinto benar-benar telah meninggal. Tak lagi ingin berontak. Mungkin karena aku telah melihat jazadnya terbujur di hadapanku.
Rinto mengenakan jas warna hitam dengan blus putih dan dasi kupu-kupu warna hitam. Kedua tangannya berada di atas dada, saling menyatu. Tangannya mengenakan sarung tangan warna putih, memegang sebuah rosario dari perak. Kupandangi tangannya, tangan itu dulu begitu nyaman melindungiku, membimbingku. Kusentuh tangan Rinto, dingin dan kaku. Pada jari manis tangan kirinya, di atas sarung tangannya dipasangkan cincin pertunangan kami.
Aku menyentuh tangan Rnto dengaan tangan kiriku. Kini aku melihat kedua tangan kami memang akhirnya sama-sama memakai cincin pertunangan kami. Sayang, hal ini setelah dia sudah tak bernyawa lagi. Aku tak mampu lagi menangis. Kakak-kakak Rinto, Mas Purnomo, Mas Gunawan, Mas Riyanto, juga para isteri mereka yang turut mengelilingi peti jenazahnya semua menangis, melihat pertemuan kami ini. Ibunya malah harus di bawa ke kamar tidur. Aku menyadari beberapa anggota keluarga Rinto ada yang sengaja mengambil foto ketika tanganku menyentuh tangan Rinto ini. Seperti close up fot pertunangan!
”Linda, kami minta maaf, cincin itu dipasang atas permintaan Rinto!” kudengar Ayah Rinto menjelaskan.
”Permintaannya yang terakhir, kami juga sudah minta izin Mas Martin” lanjutnya. Aku mengangguk.
”Ada satu lagi permintaannya, maukah kau mengantarnya ke pemakaman? Kami tahu Linda baru saja pulang dari Semarang, masih capek!” kata Ayah Rinto, meneruskan, penuh harap. Aku berpaling pada Martin, dia segera mengangguk, malah membantuku menjawab.
”Pak, Linda akan mengantarkan Rinto bersama saya, jangan khawatir” kata Martin. Orang tua itu tersenyum berterima kasih. Kemudian menerima dari Mas Gunawan kotak berwarna biru. Memeganginya dengan sangat hati-hati.
”Terima kasih, Linda, ini terimalah titipan dari Rinto” katanya menyerahkan sebuah kotak berwarna biru tua dengan pita berwarna perak itu kepadaku.
”Saya menunggui sampai dia pergi, ini pesan terakhirnya. Dia ingin tetap menganggapmu sebagai kekasihnya, maafkan Rinto ya nak” katanya menjelaskan. Kuterima kotak itu, memangkunya sambil duduk.
”Bukalah Lin!” kata kata Martin memintaku membukanya. Ruangan telah dipenuhi pelayat dan keluarga Rinto lainnya. Mereka juga ingin tahu isi kotak itu rupaanya. Aku perlahan membuka kotak biru itu. Isinya sebuah kartu berwarna putih dengan gambar anggrek cattleya dan satu set perhiasan emas disainnya bagus sekali dengan beberapa permata, sebuah anak kunci dan kartu mahasiswa Rinto semasa kuliah di Bandung. Kubuka kartu itu, membacanya dalam hati.
“Linda sayang, ini semua untukmu. Tadinya sudah kubawa ke Jakarta untuk melamarmu, setelah lima tahun kau menungguku. Aku salah Lin, tak mau berkorban untukmu. Kau sangat menderita karena menungguku. Semoga kau bahagia! Aku tahu Martin orang yang tepat untukmu. Dia mencintaimu dengan tulus. Sayangi Martin ya Lin! Good bye and I love you so much!” Kartu itu di tanda tanganinya dan tertulis tanggal 1 Oktober, satu setengah bulan yang lalu! Apakah dia sudah merasa akan pergi saat menulis kartu ini? Kuserahkan kartu itu pada Martin untuk membacanya.
Aku kembali menangis setelah membaca surat Rinto. Kemudian meraba anak kunci, rupanya anak kunci sebuah apartemen, terlihat dari tulisan di gantungan kuncinya. Aku ingat dia pernah cerita tentang apartemen yang disiapkannya untukku. Lalu kartu mahasiswa, fotonya masih terlihat jelas. Rambutnya gondrong, panjang. Dahinya tertutup sedikit dengan poni. Matanya agak tidak terlalu besar cenderung sipit, hidungnya mancung. Dia mengenakan jaket almamaternya yang berwarna biru tua. Masih sangat muda, ganteng, dengan senyum tertahan. Wajah inilah yang bertemu denganku di dalam bis rombongan kami. Mengajakku berkenalan dengannya dan secara ngawur menebak aku berasal dari Manado. Sekarang wajahnya lebih dewasa, tapi dia sudah terbujur kaku dalam peti jenazahnya. Kututup kembali kotak biru itu, seakan menutup peti jenazah Rinto!
Aku duduk dekat peti jenazah Rinto sekitar setengah jam, berdoa untuknya. Memandanginya, menangisinya, mencoba berkomunikasi dengannya tanpa hasil. Kemudian bersama Martin bergabung dengan pelayat yang duduk di bawah tenda. Beberapa orang berbisik-bisik, terasa membicarakan kehadiranku. Mungkin sebagian sudah tahu siapa aku dan hubunganku dengan Rinto.
Martin memintaku duduk di kursi dekat beberapa wanita di bawah tenda di depan rumah tetangga Mas Purnomo, para wanita itu mungkin tetangga atau keluarga Rinto. Aku bersalaman dengan mereka, lalu duduk diam melamun. Martin memberiku segelas air putih.
”Lin, duduk disini ya, kutinggal sebentar , aku mau ke mobil, cari Pak Bin” katanya kemudian. Aku mengiyakannya, duduk diam-diam meneruskan lamunanku.
Kemudian beberapa orang mendekatiku, rupanya teman-teman Rinto semasa kuliah. Mereka masih mengenaliku. Begitu banyak, seperti reuni angkatan mereka saja. Kuperkenalkan Martin pada mereka, ketika dia telah bergabung kembali denganku. Ada teman Rinto yang mencoba bercanda.
”Oh ini toh suamimu Lin, pantas saja Rinto kalah!” kata Bondan.
”Hush.... ngawur! Kalo Rinto dengar ucapanmu, sakit hati dia!” kata Iwan, juga teman Rinto. Aku dan Martin hanya bisa senyum.
”Eh, kalian berdua masih saudara atau apa, kok wajah kalian mirip?” tanya Binsar. Yang lain juga merasa sependapat.
”Tidak, sama sekali nggak ada hubungan darah. Aku dari Jawa Barat, Linda dari Kalimantan” jawab Martin.
Rupanya Omar masih penasaran, terpaksa kami buka kartu tentang asal usul.
” Kakekku dari pihak Ibu asal Belanda, sedang Linda kakeknya dari pihak ayah juga dari Belanda, mungkin itu kami jadi mirip” ujar Martin menjelaskan. Mendengar penjelasan Martin, Omar langsung bicara, agak lucu.
”Oh, pantas, sama-sama Kompeni rupanya!” yang lain jadi tertawa. Rini, teman Rinto lainnya menimpali.
” Ya, iya lah, Inlander pasti kalah sama Kompeni!” katanya mencoba melucu.
”Eh Inlander itu artinya pribumi atau rakyat jelata? Soalnya kalau dalam film perjuangan, selalu yang dipanggil Inlander itu tampangnya orang susah gitu! Kalo para raja dan pangeran, Londo-Londo dalam film nggak panggil mereka Inlander tuh!” kataYanti malah mempertanyakan istilah Inlander.
Kemudian melanjutkan bicaranya ”Apa Rinto itu tergolong Inlander? Rinto kan turunan ningrat?”
Binsar buru-buru memutuskan secara ngawur dan bercanda , ”Inlander itu rakyat jelata. Para pejuang bukan Inlander. Para bangsawan bukan Inlander” Katanya.. ”Tapi mereka pejuang juga nggak?” tanya Heru menggoda Binsar.
”Tauk ah, jadi bingung gue!” sahut Binsar, bikin yang lain senyum, tak berani tertawa keras, ingat suasana duka. Teman-teman Rinto yang lain bicara menanggapi, tapi tak serius. VOC lah, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, macam-macam yang berkaitan dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Kami jadi asyik ngobrol, juga saling bertukar alamat.
Martin cepat menjadi bagian dari mereka, apalagi mereka tahu Martin dari Bandung, mereka juga sama bidang pendidikan, tehnik semua. Cuma aku yang dari ilmu sosial. Aku jadi lumayan terhibur, sambil merintang waktu menunggu acara dimulai.
Kulihat Mas Purnomo mendekati kami, memberitahukan acara pelepasan jenazah segera dimulai. ”Mas Martin, kita berangkat ke Solo sore ini dengan pesawat. Mas Martin dan Linda sudah kami masukkan dalam daftar keluarga yang berangkat. Ini ticket untuk kalian. Kami sudah siapkan hotel, kebetulan dekat rumah. Ke Bandara mau bersama kami atau naik mobil sendiri? Pemakaman besok pagi jam delapan setelah misa jam tujuh, jam sepuluh bisa kembali lagi ke Jakarta” katanya. Martin dan aku hanya mengangguk saja. Memberitahunya kami akan pakai mobil sendiri ke bandara. Kemudian Mas Purnomo masuk rumah. Kudengar mikrofon mulai dinyalakan, diketuk-ketuk. Seorang anggota keluarga berbicara minta para pelayat berkumpul.
”Hadirin yang kami hormati, acara pelepasan jenazah saudara Insinyur Aloysius Arinto Nugroho Adiputranto, putera bungsu bapak Martinus Siswadi dan Ibu Anna Maria Siswadi akan segera kita mulai” kata pembawa acara. Kami segera berdiri. Pembawa acara melanjutkan dengan mempersilahkan Mas Purnomo mewakili keluarga berpidato.
“Para hadirin yang terhormat, hari ini kami atas nama keluarga menghaturkan terima kasih banyak pada Anda semua yang telah hadir dan melayat kerumah kami. Terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak yang telah kami terima, saat adik kami mendapat kecelakaan, saat dirawat hingga wafat dan kini siap untuk diberangkatkan ke Solo untuk dimakamkan” katanya, terlihat dia menahan tangis. Kemudian meneruskan pidatonya, “Kami juga memohon maaf bila selama hidupnya anak kami, adik kami, Om kami, almarhum Rinto melakukan kesalahan pada Anda semua”
“Hadirin yang terhormat, agar tidak terjadi fitnah, tidak menyenangkan bagi yang meninggal maupun yang masih hidup, saya ingin menjelaskan pada Anda semua suatu hal berkaitan dengan almarhum adik kami Rinto” katanya meneruskan.
“Adik kami meninggal karena kecelakaan lalu lintas di Belgia, mobilnya slip saat musim dingin ini. Seorang temannya, saudara Alex yang menyetir mobil, saat ini sedang dirawat di rumah sakit di Antwerpen. Rinto meninggal dunia lima hari yang lalu. Dia hanya meninggalkan kenangan pada kami. Tanpa isteri atau anak. Jika Anda tadi melihat jenazahnya, dia memakai cincin pertunangan, sebenarnya tidak ada tunangan yang ditinggalkannya. Atas permintaanya sebelum meninggal, dia ingin dimakamkan dengan cincin pertunangannya dengan seorang gadis yang dia cintai sejak dia kuliah di Bandung. Karena rencana Tuhan, dia tak dapat bersatu dengan gadis itu. Akibat salah faham dan keinginan untuk tidak mengecewakan keluarga, mereka berpisah dan memilih jadi sahabat saja. Gadis yang dicintai Rinto bernama Linda, kini berdiri di hadapan kita semua. Linda sudah kami anggap keluarga kami sendiri!” katanya sambil mengangguk ke arahku. Kulihat hadirin memandangku, entah apa pikiran mereka tentang aku.terdengar dengung suara berbisik.
”Linda sudah menikah dengan Mas Martin. Atas izin keduanya, kami mencoba memenuhi permintaan terakhir adik kami. Terima kasih banyak untuk Mas Martin dan Linda, bahkan juga bersedia untuk mengantar Rinto ke Solo, sore hari ini” katanya lagi.
”Jadi sekali lagi terima kasih, mohon maaf apabila dalam penerimaan kami selama anda semua melayat, kurang tepat, tidak layak, tidak semestinya. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekian!” katanya mengakhiri pidatonya.

Pembawa acara meminta pihak keluarga untuk memberikan penghormatan terakhir untuk Rinto, karena peti jenazah akan segera di tutup dan berangkat ke bandara. Kami dipersilahkan duduk kembali, sambil menunggu saat pemberangkatan. Kulihat keluarga Rinto satu persatu keluar dari ruangan tempat Rinto di semayamkan. Mas Purnomo dan Mas Gunawan menawariku untuk melihat Rinto untuk terakhir kalinya.
Martin juga memintaku, ”Lihat sekali lagi Lin, supaya tenang dan ikhlas !” katanya. Aku berjalan, mendekati Rinto yang terbaring di peti matinya. Kali ini aku harus mampu, tidak menangis! tekatku dalam hati. Ibu Rinto menyambutku, membimbingku ke dekat Rinto. ”Ciumlah dia Lin, dia pasti bahagia!” katanya memintaku. Aku menunduk, perlahan mendekatkan wajahku, mencium dahi Rinto. Merasakan dinginnya kulit Rinto.
”Rinto, ini cium perpisahan dariku!” bisikku. ”Rinto, maafkan aku, selamat jalan!” bisikku lagi. Saat mencium dan mengelus rambutnya, rasanya aku ingin membenamkan wajahku, ingin turut bersamanya! Aku tegak kembali, berbalik, mencari bahu Martin. Dulu aku sering merasa gembira, menyadari ada dua pria yang menyayangiku, Rinto dan Martin. Kini hanya ada Martin!
Kami tiba di Solo sudah malam. Langsung ke rumah orang tua Rinto, tinggal di sana sekitar sejam. Kemudian pamit untuk istirahat di hotel. Karena Martin telah mempersiapkan pakaian untuk kami selama di Solo, jadi aku langsung bisa ganti pakaian. Lima hari yang lalu aku juga menginap di hotel ini, untuk tugas kantorku. Martin memintaku makan malam, meski tak merasa lapar, kuturuti kehendak Martin. Aku tak ingin merepotkannya. Aku juga menelpon bosku memberitahu aku sedang di Solo, berjanji untuk mengusahakan besok siang sudah bisa ke kantor lagi.
Pemakaman Rinto dimulai jam delapan pagi besok harinya.Sebelumnya sebuah misa requim dilaksanakan untuk Rinto di sebuah gereja Katholik. Aku pernah beberapa kali menyaksikan ritual ini, tapi misa untuk Rinto benar-benar mengharukan. Matahari pagi cerah, udara tidak terlalu dingin. Meski bulan November ini musim hujan, tapi saat pemakaman begitu cerahnya. Saat pemakaman aku sudah lebih bisa menguasai diriku. Aku sudah bisa menerima kenyataan Rinto telah pergi. Aku bersama Martin kembali ke Jakarta setelah pemakaman Rinto.
Di atas pesawat dalam penerbangan menuju Jakarta aku duduk dengan Martin di sebelahku. Martin menyuruhku tidur saja, karena aku malam tadi kurang tidur. Sambil membaca majalah, Martin memegangi tanganku. Aku bersandar di bahunya, mencoba tidur. Kupejamkan mataku, tapi justru aku melihat kenanganku dengan Rinto begitu jelas! Lalu wajah Martin muncul, bergandengan tangan dengan Rinto, mereka berdua tertawa-tawa.
Aku cepat-cepat membuka mataku, dan menegakkan tubuhku. ”Kenapa Lin, nggak bisa tidur?” tanya Martin. Aku mengangguk, kemudian Martin memelukku. ”Martin, aku takut!” kataku panik. lanjutku. ”Lin, aku disini, bersamamu! Mimpi?” katanya menenangkanku. Aku benar-benar hanya punya Martin sekarang.
”Lin, istirahat ya, biar tenang, sebentar lagi kita sampai di rumah kita” katanya.
Ya Tuhan! Sudah berapa hari aku meninggalkan rumah kami? Sudah berapa hari aku mengabaikan perasaan Martin? Bagaimana perasaannya melihat kenyataan aku, isterinya berhari-hari ini menangisi Rinto, pria lain? Teganya aku pada Martin!
Rinto, pergilah dengan damai, tinggalkan Martin bersamaku, pintaku dalam hati.
Semoga kau bahagia di Surga!

Selesai


Depok, 2005


Hanarose

Tidak ada komentar:

Posting Komentar